Thursday, November 29, 2007

Firman Tuhan adalah Kebenaran – Bagian 2

OLeh: Izartirta

Pada tulisan terdahulu kita telah mempelajari beberapa pokok pikiran, yaitu:

  1. Kata-kata adalah suatu sarana komunikasi antar pribadi.
  2. Kata-kata adalah sarana yang pertama-tama dipakai Tuhan untuk berkomunikasi dengan kita. (Kemudian tiba saatnya Allah berkomunikasi dengan sarana yang jauh lebih dahsyat daripada kata-kata)
  3. Firman Tuhan atau kata-kata Allah adalah ekspresi dari pikiran, emosi dan kehendak Allah yang melaluinya kita dapat mengenal jati diri Allah sebagaimana yang Ia ingin agar kita ketahui.
  4. Tanpa Allah menyatakan diri-Nya melalui kata-kata, tidak mungkin kita mengenal Dia, mengerti rencana-Nya dan mengetahui karya-Nya.
  5. Allah yang terlebih dahulu berinisiatif untuk berkata-kata pada kita.

Dalam Yohanes 17:17 ada tertulis: “Firman-Mu adalah kebenaran.” Penting sekali bagi kita untuk memperhatikan kata predikat yang digunakan dalam kalimat tersebut, yaitu: “adalah.”

Firman Tuhan adalah kebenaran. Bunyi ayat itu bukanlah: Firman Tuhan menyerupai kebenaran. Atau, Firman Tuhan mirip sekali dengan kebenaran. Atau, Firman Tuhan mempunyai banyak kesamaan dengan kebenaran. Atau, Firman Tuhan hampir mencapai kebenaran. Atau, Firman Tuhan sedang berjalan menuju pada kebenaran. Atau bahkan, Firman Tuhan adalah jalan menuju kebenaran. Tidak demikian.

Yang tertulis adalah: “Firman Tuhan adalah kebenaran.” Artinya, antara Firman Tuhan dan kebenaran tidak ada jarak sama sekali. Firman Tuhan identik dengan kebenaran. Firman Tuhan = kebenaran.

Sebagai perbandingan, kita manusia tidak dapat diidentifikasikan sebagai kebenaran. Kita sedang mencari kebenaran, itu bisa. Kita sedang berada di jalan kebenaran, itu boleh juga. Kita mengatakan kebenaran, oke. Kita melakukan kebenaran, bisa diterima. Tetapi saya atau anda adalah kebenaran? Tidak mungkin.

Kita manusia adalah peta dan teladan Sang Kebenaran, oleh karena itulah di dalam diri kita selalu ada kehausan akan kebenaran. Kita tidak pernah puas dengan apa yang telah kita ketahui, kita selalu ingin mengetahui lebih dan kita selalu ingin mencari kebenaran di balik segala sesuatu. Kita tidak suka dibohongi, diberi informasi keliru atau ditipu. Sekalipun kita sendiri bukan kebenaran, tetapi kita senantiasa haus pada kebenaran. Contohnya atau ciri-cirinya?

Pada waktu kecil, kita selalu bertanya tentang segala sesuatu.[1] Kita selalu tertarik untuk mengetahui sesuatu yang baru. Dan sifat ini tentu tidak berhenti hanya pada usia dini saja[2] melainkan terus bertumbuh seiring dengan pertambahan usia. Akan tiba waktunya, mereka tidak lagi bertanya-tanya pada kita melainkan tertantang untuk mencari jawabannya sendiri. Mereka mulai suka menyelidiki segala sesuatu serta mencoba segala sesuatu. Jangan matikan hasrat mereka, awasi saja agar terhindar dari hal-hal yang dapat membahayakan mereka. Apa yang terjadi pada mereka di usia muda hanyalah suatu meterai kebenaran Firman Tuhan yang mengajarkan bahwa kita adalah peta dan teladan Allah.

Kita manusia tidak pernah merasa cukup belajar sesuatu sampai pada tingkat tertentu saja, melainkan mau terus belajar seumur hidup kita. Dari SD, kita lanjutkan ke SMP, lalu di SMU lalu masuk Perguruan Tinggi. Tidak cukup sampai S1, kita ingin ke S2, S3 atau apapun tingkat tertinggi yang masih mungkin dicapai. Atau, jikapun gelar akademis berhenti di satu tingkat, S1 misalnya, karena alasan biaya atau kesibukan atau lainnya, kita tetap tidak berhenti untuk mempelajari sesuatu. Bangku sekolah bukanlah akhir dari proses belajar tetapi justru tahap yang awal sekali. Kelak kita masuk dalam dunia pekerjaan atau usaha yang juga membuat kita terus berhasrat untuk mempelajari atau mengetahui sesuatu. Andrias Harifa mengatakan: Belajar adalah manusiawi. Dia benar, tapi mungkin belum lengkap sekali. Mengapa kita belajar? Karena dalam diri kita masing-masing ada kapasitas untuk dipuaskan oleh kebenaran.

Kita manusia mungkin akan berhenti dari proses belajar secara formal di sekolah, pada umumnya kita memang demikian, tetapi bukan berarti hasrat kita pada kebenaran berhenti. Buktinya? Setiap pagi kita mencari surat kabar atau majalah atau mendengar berita di televisi dan radio. Kita melakukan hal itu, karena sifat kita yang selalu ingin mengetahui kebenaran apa yang sedang terjadi saat ini. Beberapa waktu yang lalu saya berusaha untuk menonton pertandingan Brasil melawan Perancis, tapi sayang sekali baru beberapa saat menonton saya tertidur. Esoknya, saya penasaran sekali untuk mencari berita tentang apa yang terjadi semalam. Dan tidak cukup mengetahui siapa yang menang dan berapa skornya, saya juga penasaran mengetahui komentar orang-orang tentang permainan tersebut. Demikianlah kita manusia, selalu haus untuk mencari tahu tentang segala sesuatu, apa saja sampai segala kebenarannya menjadi jelas.

Sampai dengan hari ini, sudah berapa banyak buku yang anda baca? Puluhan, ratusan atau bahkan ribuan? Sampai kapan anda akan terus begitu? Mengapa demikian? Kita tidak mungkin berhenti membaca buku (kecuali jika anda memang benci sekali membaca dan lebih suka menonton). Tidak peduli sudah berapa ribu buku yang anda pegang (cuma pegang, belum tentu dibaca lho) anda akan terus tertarik jika muncul buku baru. Sifat kebenaran dalam diri anda tidak akan mengizinkan anda untuk berhenti berburu kebenaran dan terus mengupas kebenaran di dalamnya.

Tidak peduli sudah berapa lama suatu kejadian berlangsung, kita manusia masih saja suka mencari kebenaran di masa yang berbeda. Sementara beberapa orang tertarik untuk mencari kebenaran di masa depan, beberapa orang tersedot perhatiannya untuk mempelajari sejarah-sejarah kuno. Kita membaca buku-buku yang ditulis ribuan tahun lalu, kita menggali kerangka dinosaurus dan seolah meminta dia bercerita tentang apa yang terjadi pada dirinya di masa lalu. Kita memandang bintang dan mencoba membuat perhitungan tentang apa yang mungkin akan terjadi di masa depan. Kita menganalisa segala sesuatu mulai dari angka-angka matematika, harga saham, kesukaan lawan jenis sampai peta kekuatan kesebelasan yang terlibat dalam World Cup. Kita ingin tahu berapa prosenkah jumlah orang Kristen di Indonesia, kita ingin tahu apakah sebaiknya invest di saham atau deposito ataukah emas, kita ingin tahu apakah dengan bunga mawar ataukah dengan coklat si dia akan jatuh hati dan kita ingin tahu apakah Zidane atau Del Piero yang akan keluar lapangan sambil ketawa-ketiwi. (Paling tidak ketika tulisan ini dibuat, saya belum tahu).

Demikianlah kita manusia yang bagaikan “kerasukan” terus dihantam oleh dahaga keingintahuan yang seolah tak berujung. Waktu dan tempat tidak pernah dapat membatasi hasrat manusia. Betapa luarbiasanya potensi yang Tuhan tanamkan pada diri manusia. Potensi sebesar ini tidak mungkin ditemukan dalam makhluk apapun di bumi kecuali manusia.[3]

Meskipun demikian, tetap ada jarak antara manusia dengan kebenaran. Manusia bukanlah kebenaran itu sendiri. Contohnya? Ketika kecil, anda berkata :”Kalau sudah besar nanti saya mau jadi pilot.” Nyatanya setelah dewasa anda tidak menjadi pilot. Anda mungkin pernah berkata: “Saya akan ke gereja besok pagi.” Nyatanya, jangankan ke gereja pagi-pagi, bangunpun tidak. Dulu orang berharap: “Kalau si Anu yang jadi Presiden, kita pasti makmur.” Nyatanya? Dulu ada seorang pemimpin muda yang luar biasa hebatnya. Orang menyebut dia sebagai Alexander Agung. Ia mempunyai visi yang besar terhadap kerajaannya dan terus menaklukkan berbagai bangsa untuk memenuhi visi tersebut. Nyatanya, ia mati muda dan kerajaannya segera hancur terpecah-pecah begitu ia tidak ada lagi. Apa yang diekspresikan oleh manusia bukanlah kebenaran mutlak.

Di dalam Alkitab hanya ada empat hal yang diidentikkan sebagai kebenaran mutlak. Pertama tentunya adalah Allah Bapa. Tuhan Yesus di dalam Yohanes Pasal 4 menyuruh kita menyembah Dia dalam kebenaran karena Dialah sumber dari segala kebenaran bahkan Dialah kebenaran itu sendiri. Kedua adalah Yesus Kristus seperti yang secara tegas dikatakan dalam Yohanes 14:6. Ketiga adalah Roh Kudus (1 Yoh 5:6). Dan keempat adalah Firman Tuhan (Yoh 17:17). Tidak ada lagi yang lain.

Jika kita lihat poin-poin di atas, kita tahu bahwa hanya Allah yang dapat diidentikkan sebagai kebenaran mutlak. Bapa, Yesus dan Roh Kudus jelas adalah kesatuan karena masing-masing adalah tiga Pribadi Allah Tritunggal. Sedangkan Firman Tuhan jelas dapat diidentikkan dengan kebenaran karena Firman[4] tidak lain adalah ekspresi dari pikiran, emosi, kehendak dan jati diri dari Allah Tritunggal. Mengapa demikian? Sebab ada beberapa sifat atribusi (atribute) atau dapat pula dikatakan kualitas yang harus dimiliki oleh suatu Pribadi untuk dapat dikatakan sebagai kebenaran mutlak, yaitu: mahatahu, mahakuasa, mahakudus dan kekal.[5]

Mahatahu

Kita manusia bukanlah makhluk yang mahatahu. Bahkan dapat dikatakan pengetahuan kita terhadap keseluruhan realitas di alam semesta hanya sedikit saja. Jangankan untuk mengetahui sesuatu yang ada di luar diri kita, sesuatu yang nyata-nyata ada di dalam diri kita pun belum tentu kita mengetahuinya. Dari segi fisik misalnya, kita tidak senantiasa segera mengetahui apa yang terjadi pada tubuh kita ketika suatu penyakit menyerang. Bahkan dokter yang diperlengkapi dengan teknik dan keterampilan dalam memeriksa pun tidak jarang keliru dalam mendiagnosa suatu penyakit. Dari segi spiritual atau kehidupan batiniah bahkan jauh lebih rumit lagi, ada terlalu banyak hal yang kita sendiri tidak mengerti mengapa kita melakukan atau memikirkan atau merasakan sesuatu. Apalagi jika berbicara tentang realitas spiritual yang ada di luar diri kita. Singkatnya, kita manusia sungguh-sungguh terbatas dalam pengetahuan. Kita sama sekali jauh dari sifat mahatahu, mendekati pun tidak.[6] Hanya manusia yang terlalu sombong dan tegar tengkuk saja yang merasa dirinya mengetahui segala sesuatu sehingga berusaha menggantikan posisi Allah.

Karena kita ini tidak mahatahu, maka kata-kata kita pun sangat mudah melenceng dari kebenaran. Ada jarak antara kata-kata kita dengan kebenaran. Ingatkah anda pada peristiwa-peristiwa ketika perkataan anda ternyata keliru, tidak seperti yang diucapkan, karena adanya faktor-faktor di luar pengetahuan kita yang terjadi diluar perhitungan?

Hal semacam ini tidak berlaku bagi Firman Tuhan. Karena Firman Tuhan adalah ekspresi dari Allah Tritunggal yang Mahatahu, maka segala ucapan yang ada di dalamnya tidak mungkin tidak benar. Allah yang Mahatahu artinya Allah yang memiliki pengetahuan yang sempurna, lengkap dan melampaui segala jaman. Tidak ada sesuatu yang ada dari segala yang ada yang tidak diketahui oleh Allah. Tidak seperti kita yang sering gagal bahkan untuk mengenali diri sendiri, Allah memiliki pengetahuan yang lengkap tentang diri-Nya.

Jemaat sekalian, kita akan meneruskan pembahasan tersebut dalam tulisan mendatang. Tuhan memberkati .



[1] Saya tahu persis hal ini karena paling tidak kedua anak saya berkelakuan demikian. Mereka terus menyerbu orang tuanya dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti. Lalu saya juga menerima laporan serupa dari orangtua-orangtua yang saya kenal. Dan saya juga bertanya pada orang tua saya, apakah dulu saya demikian. Walaupun belum semua orang yang saya kenal pernah saya tanyakan mengenai hal ini, tapi saya yakin bahwa memang inilah natur dari anak-anak balita. Bagaimana menurut anda?

[2] Kecuali jika mereka sering dicela atau dimarahi karena terlalu banyak bertanya. Saya menghimbau untuk para orang tua muda seperti saya untuk jangan sekali-kali mematikan rasa ingin tahu anak-anak kecil. Jawablah semua pertanyaan mereka sebaik dan semampu anda. Itu tekad saya dan itu yang kami lakukan pada anak kami. Tentu saja untuk itu kita juga sedikit banyak dituntut untuk terus belajar mengerti banyak hal dan belajar untuk menerangkan segala sesuatu pada mereka. Lakukan apa saja, pokoknya jangan biarkan rasa ingin tahu mereka mati karena kemalasan kita.

[3] Padahal ini baru pokok pikiran yang kecil saja dari keseluruhan makna manusia yang dicipta menurut peta dan teladan Allah.

[4] Dalam tulisan ini saya masih membedakan antara Yesus sebagai Pribadi dengan Firman Tuhan. Kelak akan kita bahas pula mengapa Yesus pun disebut sebagai Firman (Logos).

[5] Tentu saja atribute Allah bukan hanya terbatas pada empat sifat tersebut, tetapi setidaknya empat sifat inilah yang secara langsung terlihat paling jelas berhubungan dengan sifat kebenaran mutlak.

[6] Itu sebabnya Alkitab berkata: Orang bebal berkata dalam hatinya “Tidak ada Allah” (Mzm 14:1). Karena bagaimana mungkin manusia mengatakan kata-kata seperti itu, sementara dalam keterbatasan pengetahuannya manusia tidak mungkin mampu membuktikan ketiadaan Allah? Jadi orang semacam itu sudah menyimpulkan sesuatu yang tidak diketahuinya dengan pasti, tidak heran ia disebut bebal.

Saturday, August 11, 2007

Firman Tuhan adalah kebenaran - Bagian 1

Pada tulisan terdahulu kita telah mempelajari bahwa Firman Tuhan amat penting bagi kita karena:

  1. Hidup kita ditopang oleh Firman
  2. Firman itu berlaku selamanya, seumur hidup kita selalu harus memperhatikan Firman itu.
  3. Firman itu berkuasa, kita tidak mungkin menentang melainkan harus mentaati-Nya.
  4. Firman itu memberi kebebasan pada manusia untuk memilih, penting sekali untuk kita memilih apa yang benar di antara pilihan yang salah.

Tetapi apakah Firman itu?

Dalam pengertian yang sederhana Firman berarti kata-kata. Lantas, apakah arti dari kata-kata?

Kebutuhan akan kata-kata

Mungkin tidak terlalu mudah bagi anda untuk menemukan sebuah buku yang mengulas arti atau definisi dari kata-kata. Lagi pula, apa pentingnya memikirkan hal itu bukan? Mungkin saja, tetapi sebagai orang Kristen yang hidup bergaul dengan Firman Tuhan, agaknya perlu juga kita meluangkan waktu untuk merenungkan arti yang terkandung di dalam istilah “Firman” atau “kata-kata.” Sebab melaluinya kita setidaknya mempunyai pengertian yang baik dalam memandang posisi atau status Firman Tuhan di dalam hidup kita.

Kata-kata sesungguhnya adalah sebuah wadah atau sarana untuk mengutarakan apa yang kita pikirkan, kita rasakan dan kita kehendaki. Sebagai sebuah pribadi yang hidup, kita memiliki ketiga aspek tersebut yaitu pikiran/intelegensia, emosi/perasaan dan kehendak/kemauan(willingness). Semua yang kita pikirkan, rasakan dan kehendaki terjadi di dalam otak kita, dan sejauh kita tidak menyatakan semua itu dalam bahasa komunikasi, maka hanya kita pribadilah yang mengetahuinya.

Dapatkah anda bayangkan sebuah dunia tanpa kata-kata?

Cobalah masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan bayi-bayi yang berusia kira-kira di bawah satu tahun. Betapa ributnya jika mereka ingin mengutarakan sesuatu bukan? Mereka menjerit, saling meneriaki, membuat gerakan-gerakan yang bagi kita mungkin tidak mudah untuk mengartikan apa yang mereka maksudkan.[1]

Untunglah kondisi semacam itu hanya terjadi pada masa-masa awal kehidupan manusia. Dengan bertambahnya usia, kita mulai belajar menggunakan kata-kata untuk mengutarakan pikiran kita. Bahkan lebih lanjut kita manusia mulai belajar untuk mengaplikasikan kata-kata itu kedalam sekumpulan gambar-gambar yang kita setujui bersama (konsensus) untuk mewakili bunyi tertentu. Sehingga akhirnya kita mengenal apa yang disebut sebagai huruf.

Kata-kata dan huruf kemudian berkembang menjadi semacam kekuatan yang hidup di tengah-tengah kita. Kata-kata dapat dipakai untuk membangun maupun menghancurkan. Huruf yang dikemas dengan apik dapat dipakai untuk menjalin suatu kisah, suatu berita ataupun suatu petunjuk yang berguna bagi hidup kita. Dampak kata-kata dan huruf di dalam hidup kita demikian besarnya, sehingga jika kita tidak hati-hati dalam menggunakannya maka potensi sebesar itu dapat segera berubah menjadi krisis yang dahsyat. Adolf Hitler adalah seorang diktator yang sangat pandai memakai orasi-orasinya yang penuh semangat untuk menggerakkan kaum muda Jerman untuk bangkit menjadi bangsa yang kuat. Namun sayangnya, kekuatan orasi yang begitu hebat juga dipakai oleh Hitler untuk membasmi orang Yahudi yang begitu dibencinya. Mengapa begitu banyak orang mau percaya pada ide-ide Hitler dan mau mendukung dia? Tidak lain karena kekuatan kata-katanya yang seolah mampu menyihir pikiran orang lain. Di sisi lain, John Calvin berhasil membuat perubahan di dalam arah kemajuan dunia, juga melalui kata-kata yang ia tuliskan. Kata-kata, ia dapat menghancurkan tetapi dapat pula membangun.

Ketika kita bertemu seseorang yang belum kita kenal, mungkin sekali kita membuat prasangka-prasangka. Siapa orang ini? Mau apa dia ke sini? Apakah dia bermaksud baik atau jahat? Dan berbagai pertanyaan lain yang mungkin muncul di dalam benak kita. Baru setelah terjalin kata-kata antara kita dan dia, segala pertanyaan dalam benak kita itupun mulai terjawab satu persatu dan sedikit demi sedikit kita pun mulai mengenal orang tersebut. Melalui kata-kata, seorang manusia menyatakan apa yang ada di dalam pikirannya, apa yang ia rasakan dan apa yang ia kehendaki. Melalui kata-kata, jati diri seseorang dapat menjadi jelas.

Pertanyaannya, apakah hanya melalui kata-kata seseorang dapat mengemukakan pikiran, perasaan dan kehendaknya? Apakah melalui kata-kata saja kita dapat mengenal dan dikenal? Tentu saja tidak, namun kata-kata adalah media yang paling jelas dan paling populer diterima secara umum oleh sebagian besar umat manusia sebagai sarana berkomunikasi. Bagi orang-orang yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat berbicara (tuna rungu dan tuna wicara) tentu saja ada bahasa isyarat yang dapat dipakai sebagai sarana komunikasi. Dan tiap-tiap kelompok manusia biasanya mempunyai bahasanya sendiri untuk saling berkomunikasi. Apapun bahasanya, apapun sarananya, komunikasi adalah kata kunci yang menghubungkan pribadi yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, bagaimana komunikasi dapat terjalin antara manusia dengan Allah, mengingat kedua jenis pribadi tersebut memiliki perbedaan kualitas yang tak terperikan?

Kata-kata: penghubung kita dengan Allah

Tidak seperti ajaran teologi Budha, Allah yang dikenal[2] melalui Alkitab adalah makhluk Ilahi yang ber-Pribadi. Artinya, Allah kita bukanlah semacam kekuatan di alam semesta yang bekerja melalui probabilita alamiah belaka. Atau bukan pula semacam “the Force” yang dikenal melalui film “Star Wars” yang begitu kuat namun tergantung pada orang yang “memakainya.” Jika yang memakai adalah orang baik seperti Obiwan Kenobi, maka “Ia” menjadi kekuatan baik, lalu jika yang memakai adalah Anakin Skywalker (Dart Vader) yang dirundung dendam, maka “Ia” turut bekerja di dalam kejahatan. Allah Alkitab tidak demikian.

Sebagai makhluk Ilahi yang ber-Pribadi, Allah memiliki intelegensia, emosi dan kehendak. Itu sebabnya, kita sebagai manusia yang dicipta menurut gambar dan teladan Allah pun memiliki ketiga aspek tersebut. Ketika Allah ingin mengungkapkan pikiran-Nya, perasaan-Nya dan kehendak-Nya, cara apakah yang Ia tempuh? Firman,[3] kata-kata. Jadi, jika demikian apakah arti dari Firman?

Firman Tuhan adalah pikiran, perasaan dan kehendak Allah, yang sama-sama merangkum jati diri Allah yang ingin diungkapkan-Nya pada manusia sesuai dengan maksud dan tujuan Ilahi. Di dalam Yohanes pasal 1 kita membaca: “Pada mulanya adalah Firman.” Artinya, pada mulanya segala sesuatu berasal dari pikiran, perasaan dan kehendak Allah yang dinyatakan dalam kata-kata-Nya. Sebelum Tuhan mencipta segala sesuatu, Allah sudah mempunyai rencana (intelegensia), Allah sudah mempunyai emosi cinta (aspek perasaan) dan Allah sudah mempunyai tujuan (aspek kehendak) terhadap langkah-langkah penciptaan yang akan Ia lakukan. Lalu, semua itu Ia ekspresikan dalam bentuk kata-kata. Misalnya: “Jadilah Terang!” Sebelum Allah berucap Jadilah Terang, sudah ada di dalam benak Allah tentang terang itu. Setelah Allah mengucapkannya, maka barulah kita tahu, bahwa Allah menghendaki adanya terang, dan bahwa terang itu baik. Kata-kata adalah permulaan dari ekspresi pikiran, perasaan, kehendak dan bahkan jati diri Allah terhadap ciptaan-Nya ini, tapi ingat, ini baru permulaan saja.

Dalam Yohanes pasal 1 yang kita baca, kata Firman dalam bahasa aslinya adalah Logos yang berarti sesuatu yang diucapkan atau sesuatu yang ada di dalam pikiran. Melalui Logos, Allah menyatakan diri-Nya. Melalui Firman Allah membuat keberadaan diri-Nya menjadi nyata. Melalui Firman kita dapat mengenal sebagian dari pikiran Allah, apa yang Ia rasakan dan apa yang Ia mau dari diri kita. Firman, adalah bagaimana Allah berkomunikasi pada ciptaan-Nya, terutama kita. Firman, adalah satu-satunya cara yang benar agar manusia dapat mengenal Allah yang benar.

Allah adalah Pribadi yang Mahakuasa, oleh karena itu di dalam kata-kata-Nya ada kuasa. Semua orang, bahkan anak SD yang masih kecil pun dapat berkata : “Jadilah terang.” Apa susahnya? Tetapi masalahnya adalah, kata-kata manusia tidak memiliki kuasa seperti kata-kata Allah. (Kita pernah membahas ini dalam tulisan sebelumnya) Sehingga ketika kita berkata “Jadilah terang,” maka mungkin sekali terang itu tidak jadi. Akan tetapi ketika Allah berkata demikian, maka Alkitab menyaksikan : “Lalu terang itu jadi.” Pengertian ini penting untuk kita pegang agar dapat mengerti mengapa Firman Tuhan adalah Kebenaran.

Jadi, sekali lagi, Firman dalam arti sempit memang adalah kata-kata. Tetapi dalam arti yang luas, Firman jauh lebih besar dari kata-kata, Firman adalah ekspresi dari Pribadi Allah pada ciptaan-Nya. Bahkan di dalam Perjanjian Baru, Firman diwujudkan jauh lebih besar dan lebih dahsyat lagi dari sekedar kata-kata. Firman telah menjadi daging, yaitu di dalam Pribadi Yesus Kristus.

Kita akan melihat pengertian Firman Tuhan adalah Kebenaran secara lebih jauh dalam tulisan mendatang. Tuhan memberkati. (izar)



[1] Dalam bahasa Inggris bayi disebut juga Infant, yang merupakan serapan dari bahasa Latin yang mengandung arti No Language (tanpa bahasa). Jadi bayi adalah sekelompok manusia yang belum mengenal bahasa.

[2] Atau lebih tepatnya: “Allah yang memperkenal diri-Nya”

[3] Alkitab mengenal dua jenis penyataan diri Allah atau yang disebut Wahyu Allah, yaitu Wahyu Umum dan Wahyu Khusus. Wahyu Umum sudah pernah kita bahas dalam lembar pembinaan semacam ini, yaitu penyataan Allah melalui alam semesta ciptaan-Nya. Roma 1: 20 menyatakan : Apa yang tidak nampak dari pada-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan. Wahyu Khusus secara sederhana dapat dikatakan sebagai adalah penyataan Allah melalui Alkitab dan melalui Yesus Kristus, Firman Allah yang hidup.

Wednesday, August 1, 2007

Pentingnya Firman Tuhan

“Sebab perkataan ini bukanlah perkataan hampa bagimu, tetapi itulah hidupmu ...” (Ulangan 32:47)


Perkataan yang menghidupkan

Kutipan ayat Alkitab di atas datang dari mulut Musa, seorang hamba Tuhan yang luarbiasa. Meskipun keluar dari mulut seorang manusia, tetapi perkataan-perkataan tersebut berasal dari Tuhan sendiri, sehingga tidak salah jika kita katakan bahwa perkataan-perkataan tersebut adalah juga perkataan Tuhan.

Ada banyak perkataan yang kita dengarkan setiap hari, bahkan setiap detiknya. Meskipun demikian bukan berarti semua perkataan itu penting bagi kita. Beberapa, atau mungkin malah sebagian besar, perkataan yang kita dengar setiap harinya tidak memiliki makna yang penting bagi hidup kita. Akan tetapi perkataan yang disampaikan oleh Musa, yaitu perkataan yang berasal dari Allah sendiri, bukanlah perkataan yang hampa.

Perkataan yang hampa adalah perkataan yang tidak memiliki dasar yang kuat. Perkataan hampa dapat pula berarti perkataan yang tidak bermakna. Atau dapat pula kita pahami sebagai perkataan yang tidak berguna bagi hidup kita.

Perkataan Tuhan bukanlah perkataan yang hampa. Jika Tuhan mengatakan sesuatu, pastilah ada dasar yang kuat di balik kata-kata itu. Jika Tuhan mengatakan sesuatu maka pastilah kata-kata itu memiliki makna yang dalam di baliknya. Seorang yang mempunyai pengetahuan sederhana dapat mengerti perkataan Tuhan. Namun seorang cendekiawan yang paling cerdaspun tidak akan habis-habisnya menggali perkataan Tuhan. Sungguh amat dalam makna perkataan Tuhan itu. Dan di atas semua itu, perkataan Tuhan adalah perkataan yang pasti amat berguna bagi hidup kita.

Pengertian di atas muncul ketika kita memahami perkataan Tuhan sebagai bukan perkataan yang hampa. Akan tetapi sesungguhnya Alkitab bahkan berkata lebih jauh dan lebih dalam lagi tentang natur dari perkataan Tuhan. “Itulah hidupmu…”

Ada perbedaan antara suatu perkataan yang berguna bagi hidup dan suatu perkataan yang adalah hidup. Sebagai contoh: tangan berguna bagi hidup, tetapi tangan bukanlah hidup itu sendiri. Seorang manusia masih dapat hidup tanpa memiliki tangan bukan? Dari contoh sederhana ini, kiranya kita dapat memahami bahwa Firman Tuhan ternyata bukan saja berguna bagi hidup, tetapi adalah juga hidup itu sendiri. Tidaklah mengherankan jika 14 abad kemudian Seorang yang jauh lebih agung dari Musa berkata: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (Matius 4:4)

Jika Firman Tuhan hanya dikategorikan sebagai “berguna bagi hidup,” – sebagai sekedar lawan pengertian dari “hampa” – maka manusia masih dapat hidup tanpa Firman Tuhan. Akan tetapi Firman Tuhan lebih dari itu, Firman Tuhan adalah hidup, yaitu hidupku dan hidup anda sekalian. Tanpa Firman, sesungguhnya kita mati. Betapa dahsyat dan dalamnya pengertian ini. Kiranya Tuhan yang Mahamurah boleh membukakan mata kita akan pengertian dari kata-kata tersebut.

Bagaimana mungkin dikatakan tanpa Firman kita adalah mati? Pertama-tama kita harus ingat bahwa kita dapat ada sebagaimana kita ada sebagai manusia, itu adalah karena Firman Tuhan. Tuhan berfirman, maka apa yang difirmankan itu ada. Hidup kita ada, karena Tuhan yang telah menciptakannya melalui Firman yang Ia ucapkan. Kedua, kita harus sadari pula bahwa hidup kita bukanlah semata-mata terdiri dari kehidupan yang bersifat fisik, melainkan juga kehidupan spiritual. Banyak orang yang kita temui dalam keadaan hidup secara fisik, akan tetapi belum tentu mereka memiliki kehidupan secara spiritual. Ini bukanlah kehidupan yang lengkap seperti yang diinginkan Allah sejak semula. Hidup secara fisik saja belum berarti hidup di mata Allah. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata bahwa kehidupan kita perlu ditopang oleh roti, sebagai wakil dari makanan badaniah untuk kehidupan fisik kita, dan perlu pula ditopang oleh Firman, sebagai makanan rohaniah bagi kehidupan spiritual kita. Kedua makanan itu kita butuhkan bagi kehidupan kita secara lengkap. Jika tidak ada Firman, maka matilah kehidupan spiritual kita dan itu berarti di hadapan Tuhan kita adalah mati. Suatu saat, kita tidak lagi memerlukan makanan badaniah untuk hidup fisik kita, namun kita pasti tetap membutuhkan Firman Tuhan selamanya untuk menopang hidup spiritual kita. Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa makanan badaniah adalah penting, namun makanan spiritual bahkan lebih penting lagi daripada makanan badaniah.

Perkataan yang berlaku selamanya

Di gereja kita ada tulisan “Harap matikan handphone anda selama ibadah berlangsung.” Bagi kita yang sibuk dan selalu dirundung urusan, entah itu urusan bisnis atau keluarga, tentu pengumuman ini kurang menyenangkan karena agak mengganggu kebebasan kita berkomunikasi dengan orang di luar gereja. Akan tetapi hal itu sebenarnya tidak harus menjadi masalah besar karena kata-kata yang terdapat dalam pengumuman tersebut hanya berlaku “selama ibadah berlangsung,” tidak selama-lamanya. Ada saat dimana kata-kata dalam pengumuman itu tidak berlaku lagi, yaitu setelah ibadah selesai. Kita hanya harus bersabar beberapa saat untuk membiarkan diri kita diikat oleh aturan sementara tersebut. Tetapi Firman Tuhan tidak bersifat seperti ini.

Firman Tuhan bukanlah perkataan yang berlaku hanya sementara saja. Tuhan Yesus berkata: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” (Matius 24:35)

Siapa di antara kita yang tahu persis kapan langit dan bumi bermula dan kapan mereka akan berlalu? Jika kita memandang langit dan memperhatikan bumi tempat kita hidup, betapa sulitnya membayangkan bagaimana sesuatu yang dahsyat seperti ini pertama kali tercipta dan lebih sulit lagi membayangkan bagaimana sesuatu yang hebat seperti ini suatu saat harus berlalu. Akan tetapi kalimat Tuhan Yesus di atas menjelaskan secara tidak langsung pada kita bahwa sesuatu yang dahsyat seperti langit dan bumi ini tidak ada apa-apanya dibanding kedahsyatan perkataan Tuhan.

Perkataan Tuhan bersifat kekal. Selama-lamanya perkataan itu akan berlaku. Tidak ada suatu saat di mana kita tidak diikat oleh kebenaran perkataan Tuhan. Ketika kita masih muda, Firman Tuhan berlaku bagi kita. Ketika tua pun bukan berarti apa yang pernah kita pelajari dari Firman Tuhan tidak berlaku lagi. Di zaman para rasul ketika bayang-bayang kehadiran Tuhan Yesus masih terasa begitu hangat, Firman-Nya berlaku, tetapi ratusan tahun bahkan ribuan tahun kemudian pun kata-kata Tuhan tetap berlaku. Di abad kegelapan gereja (selama 1000 tahun yaitu kira-kira[1] dari abad 5 sampai abad 15) dimana Firman Tuhan diabaikan oleh gereja, Firman itu tetap berlaku. Di zaman reformasi Kristen sampai gereja hari ini pun Firman itu tetap berlaku. Di zaman modern (kira-kira mulai abad 17 sampai abad 19) dimana pusat perhatian manusia adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai penemuan ilmiah, Firman Tuhan tetap berlaku. Di zaman postmodern (kira-kira mulai abad 20 sampai sekarang) ketika teknologi masih jadi primadona dan orang mulai mempertanyakan adanya kebenaran yang bersifat mutlak, Firman Tuhan juga masih berlaku.

Firman Tuhan selamanya berlaku, bagaikan batu karang zaman yang tidak pernah goyah diterpa badai keraguan, ketidakpercayaan dan bahkan kebencian. Jangankan hancur, goyah pun tidak.

Perkataan yang berkuasa

Jika saya berkata: “Bapa ibu percayalah pada saya maka saya akan memberi kepada anda hidup yang kekal.” Anda tentu akan berpikir: “Kasihan, si Novizar ini sudah gila karena stress.” Dan anda benar. Sebab kata-kata saya itu hanya omong kosong belaka. Tidak ada kuasa dan kebenaran di balik kata-kata itu karena yang mengucapkan hanya manusia biasa yang sama berdosanya seperti anda, tetapi jika Yesus yang berkata demikian maka anda boleh percaya, bahkan harus. Sebab ada kuasa di dalam perkataan Tuhan Yesus. Jika kita berkata pada sebatang pohon: “Matilah dan tercampaklah engkau di laut.” Barangkali itu dapat menjadi kenyataan jika kita tebang dan cabut pohon itu sampai ke akarnya lalu kita buang ke laut. Tetapi jika kita berkata: “Bertumbuhlah dan berbuahlah.” Maka mungkin kita akan malu sendiri. Karena besok-besok datang kemarau lalu pohon itu malah mati, maka tidak ada apapun yang dapat kita lakukan. Perkataan kita kadang-kadang memiliki kuasa, tetapi tidak senantiasa. Tetapi perkataan Tuhan adalah perkataan yang berkuasa, selamanya di manapun juga. Tidak ada kuasa yang lebih besar dari Pribadi Tuhan sendiri. Oleh karena itu, tak ada kuasa apapun juga yang mampu melebihi kuasa perkataan-Nya.

Tidak ada suatu lokasi di dunia ini dimana perkataan Tuhan boleh tidak diberlakukan. Perkataan itu memiliki kuasa mengikat yang melampaui segala lokasi, segala waktu, segala lapisan masyarakat, segala struktur sosial, segala jenis budaya. Dimanapun, siapapun dan kapanpun, suka atau tidak suka, percaya atau tidak percaya, menerima atau tidak menerima, tahu atau tidak tahu, telah diikat oleh kekuasaan perkataan Tuhan. Orang-orang yang menolak perkataan Tuhan sudah pasti akan menerima konsekuensi dari penolakan tersebut. Orang-orang yang mencaci maki, menghina dan mengabaikan perkataan Tuhan Yesus tentu merasa senang dan menang saat ini, akan tetapi sesungguhnya saat inipun mereka sudah mendapat hukuman. Di dalam kekerasan hati mereka untuk menolak Firman, mereka telah dihukum Tuhan yaitu dijauhkan dari anugerah keselamatan. Semakin mereka membenci Firman, semakin jauh pulalah mereka dari kemungkinan mendapat keselamatan. Semakin mereka menolak, semakin mereka ditolak. Sungguh betapa mengerikan realitas yang paradoksial ini.

Perkataan yang dapat diabaikan

Perkataan Tuhan menghidupkan, berlaku selamanya serta berkuasa, oleh karena itu jelas perkataan Tuhan adalah perkataan yang penting bagi manusia. Akan tetapi bukan berarti bahwa manusia sudah pasti tertarik dan sadar bahwa mereka membutuhkan Firman Tuhan. Dalam keberadaannya yang diikat oleh dosa, manusia justru ingin menjauh dari Firman Tuhan. Inilah suatu paradoks kehidupan yang amat menakutkan. Di masa hidup kita sekarang, dengan mata kepala sendiri kita dapat melihat bagaimana Firman Tuhan dilecehkan. Kebenaran sejati Tuhan dipertanyakan dan bahkan dihina secara terbuka. Celakanya, bukan saja orang tidak percaya yang melakukan hal ini, gereja sebagai tubuh Kristus pun secara global mulai lebih mementingkan pengalaman rohani yang bersifat subjektif daripada penggalian Firman Tuhan. Gereja lebih suka pada hal-hal yang bersifat pragmatis dan cenderung sekuler, daripada ajaran yang bersifat konseptual dan dibangun dari penggalian Firman Tuhan. Dalam kondisi semacam ini, kita tahu bahwa Firman Tuhan justru menjadi semakin penting lagi untuk kita perhatikan.

Kiranya belas kasihan dan kebaikan Tuhan boleh menumbuhkan suatu sense of urgency[2] terhadap Firman-Nya di hati kita semua, sebab “inilah hidupku dan inilah hidupmu.” Tuhan memberkati. (izar)



[1] Untuk semua pembagian zaman dalam tulisan ini saya memakai bahasa “kira-kira” karena pembagian tersebut dilakukan secara kasar, untuk maksud memberikan patokan secara garis besar. Pada kenyataannya tidak pernah ada suatu batasan yang tegas sekali dari kalangan cendekiawan tentang kapan suatu zaman berakhir dan kapan zaman berikutnya lahir. Karena segala zaman itu saling mempengaruhi dan dipengaruhi sehingga kita hanya dapat menangkap sebagian saja dari gagasan utama yang muncul dalam masing-masing semangat zaman.

[2] Suatu perasaan yang menekan kita untuk segera melakukan sesuatu berhubungan kepentingan mendesak yang ada di dalamnya.