Tuesday, July 27, 2021

Apakah yang menjadi puncak kehidupan orang Kristen?

Eksposisi singkat dari Surat 2 Petrus 1:7
Apakah yang menjadi ciri utama dari seorang yang beriman sejati?
Apakah yang menjadi sasaran akhir yang ingin dicapai melalui iman kita sebagai orang Kristen?

 

Oleh: Izar Tirta

Apakah yang menjadi puncak kehidupan orang Kristen

 

Pendahuluan

Apakah puncak kehidupan orang Kristen tercapai apabila pada akhirnya ia menjadi kaya dan sejahtera? Apakah puncak kehidupan orang Kristen tercapai jika ia punya segudang kesibukan pelayanan? Apakah puncak kehidupan orang Kristen ditandai dengan jenjang pendidikannya yang sangat tinggi? Apakah puncak kehidupan orang Kristen baru tercapai apabila ia mati sebagai martir? Menurut Rasul Petrus tidak demikian.

Tulisan ini merupakan renungan yang digali dari Surat 2 Petrus 1:7 di mana dalam ayat ini Rasul Petrus menjelaskan suatu karakterisitik yang sangat penting dari iman Kristen, yaitu kasih kepada saudara dan kasih kepada semua orang. Pasti bukan suatu kebetulan apabila Petrus menempatkan karakteristik kasih ini di bagian yang paling akhir, sebab mengasihi sesama, mengasihi saudara seiman dan apalagi mengasihi semua orang, sama sekali bukan perkara yang mudah untuk dikerjakan. Banyak orang yang mudah untuk mengatakannya, tetapi untuk melakukannya? Pasti kita akan kesulitan di dalam menghayati kasih kepada saudara dan kasih kepada semua orang apabila tidak terlebih dahulu merenungkan dan berusaha menghayati karakteristik lain yang telah disebutkan oleh Petrus di dalam ayat-ayat sebelumnya. [Baca: Apakah hubungan antara iman, kebajikan dan pengetahuan? Klik disini]

Kiranya melalui renungan dari Surat 2 Petrus 1:7 ini kita dapat semakin mengerti apakah yang menjadi arah dan tujuan dari iman kita kepada Yesus Kristus. Kiranya melalui renungan ini kita semakin memahami apa dan bagaimanakah ciri-ciri dari iman Kristen yang sejati itu.

 

Ayat Firman Tuhan

dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. (2 Petrus 1:7)

 

Membaca tulisan Petrus, khususnya dalam 2 Petrus 1:7 ini, kita tidak terlepas dari sebuah pertanyaan di dalam benak kita: “Apakah menjadi orang saleh saja belum cukup sehingga masih harus ditambahkan dengan sesuatu yang lain?” Menurut Petrus jawabannya adalah belum.

Menurut Rasul Petrus kesalehan bukan merupakan tujuan akhir dari iman Kristen. Itu sebabnya kesalehan pun masih perlu ditambahkan dengan suatu kualitas yang lain, yaitu kasih akan saudara-saudara. Ini tentu saja bukan berarti bahwa kesalehan itu tidak penting, melainkan berarti bahwa kesalehan merupakan sebuah kualitas rohani yang belum lengkap apabila di dalam kesalehan itu tidak ada kasih kepada saudara dan kasih kepada semua orang.

 

Mengapa kita perlu menambahkan kesalehan itu dengan kasih akan saudara-saudara?

Di dalam tulisan sebelumnya kita sudah merenungkan tentang makna dari kesalehan, yaitu dimana kesalehan yang sejati itu selalu ada hubungannya dengan pengenalan akan Allah yang sejati pula. Kita tidak bisa merenungkan tentang kesalehan dalam keadaan yang terlepas dari pengenalan akan Allah yang sejati tersebut. [Baca tulisan sebelumnya: Apa yang dimaksud dengan pengendalian diri, ketekunan dan kesalehan? Klik disini]

Tanpa adanya suatu relasi, atau pengenalan yang intim dengan Allah yang menyatakan diri-Nya melalui Yesus Kristus, maka kesalehan manusia dapat dipastikan akan salah arah. Secara agamawi, orang Farisi dapat dikatakan sebagai orang yang saleh, mereka berusaha hidup sesuai dengan aturan agama. Tetapi ketika Allah sendiri datang menyatakan diri-Nya di dalam Pribadi Yesus Kristus, ternyata orang-orang Farisi justru tidak menerima Dia, dan bahkan mendorong pemerintah Romawi untuk menyalibkan Dia.

Kesalehan di dalam menjalankan perintah agama tidak serta merta merupakan tanda dari seseorang yang mengenal Allah. Bahkan bukan merupakan hal yang mustahil apabila kesalehan di dalam beragama justru melahirkan radikalisme yang keras dan kejam terhadap orang lain yang memiliki kepercayaan berbeda. Tuhan Yesus mengingatkan kita semua akan hal itu ketika Ia berkata: … akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah ... (Yohanes 16:2)

Oleh karena itu, kesalehan kita pun harus didasarkan pada pengenalan akan Pribadi Allah itu. Dan yang dimaksud dengan pengenalan adalah terjalinnya hubungan antar pribadi, yaitu pribadi kita dan Pribadi Allah. Orang yang mengenal Allah, menjalin kehidupan yang timbal balik dengan Tuhan. Mereka mendengar Tuhan berbicara melalui Alkitab, mereka juga menyampaikan isi hati mereka kepada Tuhan di dalam doa. Manusia menjadikan Tuhan bukan semata-mata sebagai objek penyembahan, tetapi sungguh-sungguh menjadi Sosok Pribadi yang senantiasa terlibat di dalam kehidupan sehari-hari. Pada gilirannya melalui relasi pribadi ini kita belajar mengenal kasih Allah secara nyata dan pada akhirnya mulai belajar untuk mengasihi Allah juga.

Kita tidak dipanggil untuk menjadi orang yang saleh secara agamawi, tetapi tidak memiliki kasih. Bagi Alkitab konsep kesalehan yang tanpa kasih adalah sesuatu yang sangat asing. Kesalehan kita tidak ada artinya jika tidak menjadikan kita sebagai orang yang hatinya penuh dengan kasih. Inilah tujuan dari segala kesalehan kita di hadapan Tuhan. Inilah puncak dari kehidupan orang Kristen yang sejati.

Kita tidak dipanggil untuk menjadi saleh dalam arti merasa berbeda dengan orang lain. Menjadi saleh bukan berarti merasa lebih baik, lebih suci, lebih mulia dari orang lain. Ukuran kesalehan kita adalah dari sikap yang semakin mengasihi orang lain.

Tidak seorangpun di antara kita yang tahu bagaimana mengasihi, tetapi kita belajar dari Allah kita yang adalah sumber kasih itu. Di dalam tulisan Paulus kita belajar bahwa kita diselamatkan oleh Allah juga berdasarkan kasih karunia. [Baca: Apa arti perkataan “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan”? Klik disini]

Kasih yang menyelamatkan itulah yang mendorong kita untuk belajar mengasihi Dia. Menarik bahwa dalam bagian ini kasih ditempatkan di bagian belakang. Setelah ada iman yang benar, setelah ada kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan dan kesalehan, baru membicarakan kasih. Sebab tanpa semua perjalanan rohani ini, kasih yang timbul dalam diri manusia mungkin sekali bukan kasih yang dari Allah.

Kasih tanpa iman yang benar, dapat merupakan kasih yang salah arah. Orang dapat saja mengasihi sosok ilahi tertentu yang dia percayai sebagai kebenaran, padahal bukan. Kasih tanpa kebajikan, dapat berupa kasih yang terkotak-kotak antara like and dislike. Seorang Hitler yang kejam pun bisa mengasihi pacarnya. Seorang diktator pun dapat mengasihi anaknya. Tetapi yang demikian pasti bukan kasih yang lahir dari iman dan bukan kasih yang lahir dari kebajikan.

Kasih tanpa pengetahuan juga salah arah, orang bisa mengarahkan kasihnya melalui kesetiaan dalam berdoa kepada Maria, atau para rasul atau orang suci lainnya, tanpa menyadari bahwa itu adalah tindakan yang sangat bertentangan dengan ajaran Alkitab. Kasih yang tanpa pengetahuan yang benar juga bisa menyebabkan seseorang mengasihi sosok Kristus, tetapi bukan Kristus yang sejati, melainkan Kristus yang diciptakan oleh imaginasinya sendiri.

Kasih tanpa penguasaan diri bisa menjerumuskan orang pada radikalisme yang sulit menerima orang lain yang berbeda. Bahkan sulit menerima kenyataan ketika sesama yang kita kasihi itu ternyata tidak membalas kasih kita.

Kasih tanpa kesalehan adalah kasih yang tidak berkait dengan pribadi Allah. Kita mengasihi manusia karena kita mengasihi Allah. Kita mengasihi manusia, karena kita terlebih dahulu merasakan kasih Allah. Tidak ada orang yang sanggup mengasihi sesamanya dengan benar, jika tidak terlebih dahulu menerima cinta kasih dari Allah.

 

Siapakah yang dimaksud dengan saudara-saudara di dalam 2 Petrus 1:7 ini?

Istilah saudara memiliki cakupan arti yang umum maupun arti yang khusus. Di dalam arti yang khusus pun istilah saudara dapat dipahami sebagai hubungan darah daging di dalam satu garis keturunan, namun dapat pula dipahami sebagai hubungan di dalam satu iman kepada Yesus Kristus.

Di dalam kisah Kain dan Habel, kita tahu bahwa mereka berdua adalah saudara kandung dari Adam dan Hawa. Meskipun demikian salah seorang dari mereka sama sekali tidak melihat saudaranya sebagai sesama manusia, sebab sebagai saudara yang lebih tua Kain justru membunuh Habel [Baca: Mengapa Kain membunuh Habel? Klikdisini]

Istilah saudara di dalam tulisan Petrus ini tidak dipahami secara harafiah bahwa harus merupakan saudara dalam satu garis keturunan, melainkan saudara dalam arti sama-sama percaya kepada Yesus Kristus. Kita tahu bahwa tulisan Petrus ini merupakan sebuah surat yang ditujukan kepada jemaat, yaitu sekumpulan orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Petrus ingin jemaat melihat sesamanya itu sebagai saudara, bukan semata-mata sebagai kenalan, atau apalagi sebagai orang lain.

Dan sebagai saudara, Petrus ingin agar jemaat dapat saling mengasihi, saling memperhatikan dan saling tolong menolong. Ini bukan perkara yang pasti akan mudah untuk dikerjakan, sebab sekalipun jemaat itu sama-sama orang percaya, tetapi mereka juga adalah orang berdosa yang bisa melukai sesamanya. Meskipun demikian, Petrus ingin agar kasih kepada sesama suadara seiman ini harus lebih diprioritaskan. Sebab sebagai sesama orang percaya, jemaat juga merupakan satu kesatuan tubuh Kristus.

Jika kita kesulitan untuk mengasihi sesama kita, setidaknya kita perlu sungguh-sungguh belajar untuk mengasihi tubuh Kristus. Sebab bagaimana mungkin kita dapat mengasihi Kristus, yang secara fisik sudah tidak terlihat, tetapi kita tidak dapat mengasihi saudara seiman yang adalah tubuh-Nya di dunia ini?

 

Meningkatkan kasih kita kepada saudara seiman menjadi kasih kepada semua orang

Mengasihi saudara seiman seharusnya lebih diprioritaskan daripada mengasihi semua orang, sebab saudara seiman adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh Kristus. Apabila kita sulit mengasihi saudara seiman, maka dapat dipastikan bahwa akan sangat sulit pula untuk mengasihi orang lain yang tidak sepikiran dengan kita. Ini adalah hal yang sangat realistis.

Disisi lain, Petrus ingin mengingatkan bahwa mengasihi saudara seiman saja belum merupakan tujuan akhir dari perjalanan kehidupan orang Kristen. Di dalam tulisan Yohanes yang sangat terkenal, kita belajar bahwa Allah adalah Dia yang mengasihi dunia ini dengan kasih yang besar. [Baca: Renungan dari Yohanes 3:16. Klikdisini]

Sebagaimana Allah menaruh kasih kepada dunia ini, yang memberikan matahari kepada orang baik dan orang jahat, demikian pula kita diundang untuk mengasihi semua orang. Tuhan Yesus bahkan mengajarkan kita untuk mengasihi musuh-musuh kita sekalipun. Musuh adalah orang-orang yang membenci kita karena kehidupan kita yang semakin serupa Kristus. Kepada orang-orang semacam inipun Tuhan ingin kita belajar mengasihi.

Kemampuan semacam ini tidak muncul dalam satu malam. Dibutuhkan latihan rohani yang tekun dan usaha yang sungguh-sungguh untuk dapat memiliki hati seperti ini. Kita boleh bersyukur memiliki Kristus yang memiliki kasih sedemikian besar.

Di sisi lain, biarlah kita juga terdorong untuk menjadi serupa dengan Kristus dalam hal mengasihi. Salah satu bentuk dari kasih kita kepada sesama adalah dengan jalan bersaksi tentang Kristus kepada orang-orang yang belum percaya. [Baca: Bersaksi di dalam kuasa Roh Kudus. Klik disini]

 

Kesimpulan

Karakterisitik ini dapat dikatakan merupakan ciri utama dari seseorang yang memiliki iman yang sejati. Kekristenan seharusnya bukan dikenal karena kekayaannya, kekristenan seharusnya bukan dikenal karena berisi orang-orang yang cerdik pandai, kekristenan seharusnya bukan dikenal dari besarnya kekuasaan gereja, kekristenan seharusnya dikenal dari sikapnya yang penuh kasih kepada sesama saudara dan penuh kasih kepada semua orang.

Menurut Alkitab, setiap orang yang sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan Yesus pasti memiliki ciri-ciri tertentu yang menyertai dirinya. Dan salah satu ciri paling penting dari hidup seorang Kristen adalah bahwa mereka belajar untuk mengasihi saudara-saudaranya dan belajar untuk mengasihi semua orang, bahkan orang yang membenci sekalipun. Dapat dikatakan bahwa inilah puncak dari kehidupan seorang Kristen. Namun tentu saja hal ini bukan semudah membalikkan telapak tangan, oleh karena itu biarlah kita bersandar kepada kasih karunia Allah dan berusaha mengikuti nasihat Petrus di dalam Suratnya ini.

 

Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Sunday, July 25, 2021

Renungan dari Surat 2 Petrus 1:6

Apa yang dimaksud dengan penguasaan diri?
Apa yang dimaksud dengan ketekunan?
Apa yang dimaksud dengan kesalehan?



Oleh: Izar tirta


 

 Pendahuluan

Tulisan ini merupakan sebuah perenungan yang digali dari Surat 2 Petrus 1:6, sebagai kelanjutan dari perenungan atas ayat-ayat sebelumnya (klik disini). Di dalam perenungan sebelumnya kita sudah melihat bagaimana Rasul Petrus begitu serius di dalam mendorong jemaat agar berusaha menambahkan kepada iman mereka itu suatu kebajikan dan kepada kebajikan itu pengetahuan.


Di dalam renungan yang kita gali dari Surat 2 Petrus 1:6 ini kita akan melihat lebih jauh hal-hal lain yang perlu kita tambahkan kepada iman kita sebagai sesuatu konsekuensi yang wajar dari kehidupan kerohanian yang bertumbuh. Semoga melalui perenungan ini kita semakin mengenal isi hati Tuhan yang disampaikan melalui surat 2 Petrus ini. [Baca juga: Mengenal Tuhan lebih penting daripada kekayaan. Klik disini.]

 

Ayat Firman Tuhan

dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, (2 Petrus 1:6)

 

Mengapa pengetahuan perlu ditambah dengan penguasaan diri?

Di dalam ayat sebelumnya kita sudah merenungkan tentang betapa pentingnya menambahkan pengetahuan kepada kebajikan sehingga kebajikan yang dimiliki seseorang itu dapat didasarkan pada pengetahuan akan kebenaran.


Dalam ayat 6 ini, kita belajar bahwa pengetahuan pun masih perlu ditambahkan oleh kualitas lain, yaitu penguasaan diri. Memiliki pengetahuan adalah sesuatu yang baik, tetapi tanpa penguasaan diri maka pengetahuan pun bisa gagal memberi pertumbuhan kepada kehidupan rohani kita.

Apa yang dimaksud dengan penguasaan diri? Penguasaan diri artinya dapat menahan dari keinginan-keinginan yang ada di dalam hati kita. Ada kalanya, ketika kita menginginkan sesuatu yang baik terjadi, maka hal itu belum tentu terjadi. Logika kita bisa berontak, hati kita pun bisa resah karena hal tersebut. Itu sebabnya dibutuhkan suatu penguasaan diri.

Adakah contoh-contoh di dalam Alkitab tentang penguasaan diri? Tentu saja ada, bahkan banyak sekali. Namun dalam kesempatan yang terbatas ini saya hanya menyebutkan beberapa contoh saja dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Di dalam Perjanjian Lama kita membaca bagaimana Raja Daud pernah ingin membangun Bait bagi Yahwe. Di dalam bijaksana dan pengetahuan kita sebagai manusia tentu kita dapat menilai bahwa hal tersebut merupakan hal yang baik. Tetapi sebagaiaman kita juga tahu bahwa Yahwe ternyata menolak keinginan Daud tersebut. Terlepas dari alasan apa yang diberikan oleh Yahwe atas penolakan tersebut, dan kita tahu alasan itu pasti baik, tetap saja dibutuhkan suatu penguasaan diri untuk menerima keputusan Allah bagi seseorang. Apalagi ketika keputusan Allah itu berbeda dengan apa yang kita harapkan.

Di dalam Perjanjian Baru, kita juga melihat bahwa rasul Paulus juga pernah memohon agar Tuhan mencabut duri di dalam daging yang ia rasakan. Tetapi Tuhan Yesus menolak permintaan tersebut. Dan Paulus harus belajar menguasai diri terhadap keputusan Tuhan Yesus tersebut.

Orang yang banyak pengetahuan, tetapi kurang dalam penguasaan diri bisa jatuh ke dalam kecongkakan. Sehingga akhirnya pengetahuan itupun membawa dia ke dalam kejatuhan. Ada kalanya di dalam belas kasihan Tuhan, seorang manusia sengaja di beri kelemahan agar ia menjadi rendah hati dan tidak jatuh ke dalam kecongkakan.

Contoh lain yang dapat kita renungkan adalah dari pengalaman rasul Paulus. Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. (2 Korintus 12:7)

Penyataan-penyataan yang luar biasa mengacu pada suatu pengetahuan yang dimiliki oleh Paulus. Dan itu bukan merupakan pengetahuan yang biasa-biasa saja, melainkan pengetahuan yang sangat luar biasa, pengetahuan yang tidak dimiliki oleh sembarang manusia, kecuali jika manusia itu diberi kesempatan oleh Tuhan.

Tuhan Yesus tahu bahwa bahkan Rasul Paulus pun punya keterbatasan. Jika ia diberikan pengetahuan yang luar biasa sehingga bisa menyatakan hal-hal yang luarbiasa, maka Paulus memiiki kemungkinan untuk menjadi sombong atau meninggikan diri. Itu sebabnya Tuhan Yesus memberi suatu duri di dalam daging Paulus.

Kita tidak pernah tahu secara persis apa yang dimaksud dengan duri di dalam daging yang dialami oleh Paulus, tetapi satu hal yang kita tahu adalah bahwa alasan Tuhan Yesus mengapa Paulus diberi suatu duri dalam daging adalah “supaya jangan meninggikan diri.” Hal tersebut bahkan sampai disebutkan hingga dua kali di dalam satu kalimat, terdapat di awal kalimat dan juga di akhir kalimat. Sehingga dapat dikatakan bahwa Paulus ingian kita juga menaruh perhatian pada perkataan tersebut.

Duri di dalam daging adalah cara Tuhan menolong Paulus di dalam menguasai dirinya sehingga dengan segala pengetahuan dan pengalaman rohani yang sangat luar biasa bersama Tuhan, Paulus tidak jatuh ke dalam dosa kesombongan. Saya pikir hal ini sungguh-sungguh sejalan dengan apa yang Petrus katakan tentang menambahkan penguasaan diri kepada pengetahuan.

Kitab Amsal juga menulis: Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya. (Amsal 18:13)

Tidak ayal lagi, perkataan di dalam Amsal juga berbicara tentang arti penting dari penguasaan diri. Ada kalanya manusia terlalu berhasrat untuk memberi tahu orang lain, karena ia merasa lebih tahu dari lawan bicaranya. Hasratnya begitu besar untuk berbicara sampai tidak ada waktu untuk mendengar lebih dahulu. Dan ketika penguasaan diri itu tidak ada maka hal yang baik pun bisa menjadi buruk.

Memberijawab adalah suatu perbuatan yang baik. Tetapi jika pertanyaannya saja tidak didengarkan terlebih dahulu, berhubung orang itu tidak mampu untuk menguasai diri, maka memberijawab pun menjadi suatu kebodohan. Ini bukan berarti orang yang berpengetahuan itu mendadak jadi bodoh atau pengetahuannya mendadak hilang semua. Tidak demikian. Tetapi ini mengacu pada kebodohan spiritual, tanda dari orang-orang yang belum bertumbuh. Tanda dari orang-orang yang tidak bisa menguasai diri.

Penguasaan diri begitu penting sehingga perlu ditambahkan kepada pengetahuan kita. Di dalam Galatia 5:22, rasul Paulus juga menyebutkan bahwa salah satu karakter dari buah Roh adalah penguasaan diri.

 

Mengapa penguasaan diri perlu ditambah dengan ketekunan?

Penguasaan diri adalah suatu kualitas yang sangat baik, tetapi menurut Petrus penguasaan diri saja belum cukup, kita perlu menambahkan penguasa diri itu dengan karakter yang lain yaitu ketekunan.

Apa yang dimaksud dengan ketekunan? “Ketekunan” berbicara tentang durasi yang panjang. Ada suatu upaya terus menerus di dalam penguasaan diri kita. Atau dengan kata lain, ada godaan yang juga bersifat terus menerus terhadap kemampuan kita dalam menguasai diri.

Menjadi orang percaya memang bukan perkara yang bersifat “sekali untuk selamanya” saja. Tentu ada tempatnya untuk perkara-perkara seperti itu, akan tetapi jangan lupa bahwa sebagai orang percaya, kita juga diajar tentang perkara yang bersifat “terus menerus, yaitu suatu tindakan yang terjadi berkali-kali, ada suatu kontinuitas di dalamnya dan ada suatu upaya yang tidak putus-putusnya” dilakukan.

Maksudnya begini, mungkin di dalam suatu peristiwa kita berhasil menguasai diri, tetapi hendaklah kita berhati-hati sebab cobaan terhadap penguasaan diri kita itu bukan hanya satu kali saja terjadi lalu untuk selamanya tidak terjadi lagi. Cobaan atas penguasaan diri kita akan berlangsung secara terus menerus, berulang-ulang kali terjadi di sepanjang kehidupan kita. Itu sebabnya mengapa Petrus mengajarkan kepada kita untuk menambahkan penguasaan diri kita dengan suatu ketekunan.

Prinsip semacam ini dapat pula kita temukan di dalam arti dari kata “percaya.” Orang Kristen tidak diajar untuk percaya sekali saja setelah itu tidak perlu lagi memikirkan apakah ia sedang percaya, masih percaya atau pernah percaya dan seterusnya. Pengertian percaya di dalam Alkitab tidak seperti itu. Jika kita perhatikan, istilah percaya dalam Yohanes 3:16 memakai bentuk “sekarang” atau “present tense” [Baca juga: Arti kata percaya di dalam Yohanes 3:16. Klik disini]

Artinya, orang Kristen harus senantiasa melihat dan memperhatikan apakah ia sampai sekarang masih terus menerus percaya, ataukah sekedar pernah percaya, tetapi setelah itu tidak dipikirkan lagi? “Percaya” di dalam ajaran Alkitab bukan tentang pernah ambil keputusan ikut Yesus Kristus pada 10 tahun yang lalu saja, tetapi tentang apakah sampai sekarang pun kita masih tetap menjalani kehidupan sebagai orang yang percaya pada-Nya? Jangan lupa, menurut Yohanes 3:16, iman orang Kristen itu bukan dinyatakan dalam bentuk lampau, tetapi dalam bentuk sekarang (present tense).

Di dalam bagian lain, Yohanes juga mencatat bahwa Tuhan Yesus memerintahkan orang percaya untuk “tetap tinggal” (Yoh 15:4). Perhatikan kata-kata tersebut, dan kita akan mendapati nuansa kontinuitas di dalamnya. Ini bukan tentang tinggal di dalam Yesus sekali untuk selamanya setelah itu tidak ada lagi yang harus diperhatikan. Ini lebih menekankan pada aspek upaya yang terus menerus untuk ada di dalam Tuhan Yesus. Dan bukan tidak mungkin bagi orang yang merasa dirinya Kristen, ternyata sekarang ini hidupnya sudah tidak tinggal lagi di dalam Kristus, melainkan sudah jauh meninggalkan Dia.

Jika kita memahami istilah tinggal di dalam Tuhan Yesus semata-mata  dari aspek satu kali untuk selamanya, maka untuk apa Tuhan Yesus memberi semacam peringatan kepada orang Kristen untuk tetap tinggal di dalam Dia? Bukankah perkataan Tuhan Yesus ini menjadi seperti perkataan yang tidak ada artinya belaka? Justru perkataan Tuhan Yesus menjadi suatu peringatan yang sangat berarti bagi kita, apabila memang ada kemungkinan bagi orang Kristen untuk tidak tetap tinggal di dalam Dia, meninggalkan Dia, sehingga selama hidupnya tidak pernah berbuah dan pada akhir hidupnya ia dibuang ke dalam api.

 

Mengapa ketekunan perlu ditambah dengan kesalehan?

Di dalam bagian sebelumnya kita sudah melihat apa arti dari ketekunan serta mengapa ketekunan itu penting. Di dalam bagian ini kita melihat bahwa ketekunan pun perlu ditambahkan dengan nilai yang lain lagi, yaitu kesalehan. Mengapa ketekunan perlu ditambahkan dengan kesalehan?

Kita perlu menambahkan ketekunan dan kesalehan sebab kita tahu bahwa pada awalnya kita akan merasa berat sekali di dalam menekuni sesuatu. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, jika kita setia, maka ketekunan itu perlahan-lahan akan berubah menjadi kerelaan. Oleh karena itu kita membutuhkan kekuatan lain agar kita dapat setia di dalam ketekunan. Dan kekuatan lain itu muncul dari kesalehan.

Apa yang dimaskud dengan kesalehan? Di dalam pemahaman Alkitab, kesalehan tidak mungkin dilepaskan dari pengenalan akan Pribadi Allah itu sendiri. Tanpa adanya suatu pengenalan, maka segala sesuatu yang kelihatannya seperti kesalehan itu sebenarnya bukan sungguh-sungguh kesalehan melainkan hanya ritual dan bahkan hanya kepura-puraan belaka.

Keselahen yang sejati lahir dari cinta kasih kepada Tuhan. Orang yang mengenal Tuhan tahu bahwa dirinya dikasihi. Dan orang yang tahu bahwa dirinya dikasihi oleh Allah, akan terdorong untuk membalas cinta kasih Allah itu. Dan cinta kasih kepada Allah inilah yang kemudian melahirkan kesalehan.

Jika seseorang sudah belajar untuk mengasihi Allah, maka apa yang semula berat seperti ketekunan misalnya, lama-kelamaan bukan lagi menjadi sesuatu yang berat, tetapi menjadi sesuatu yang dapat kita lakukan dengan sukacita, mengapa? Karena kita melakukannya di dalam pengenalan akan Allah dan kita melakukannya bukan karena terpaksa melainkan karena kita mengasihi Dia.

Tuhan Yesus pernah berkata: Kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan (Matius 11:30). Bagaimana kita bisa memahami perkataan seperti ini apabila pada kenyataannya Tuhan Yesus juga meminta kita untuk menyangkal diri dan memikul salib? Dimana letak rasa enak dan ringan dari suatu penyangkalan diri dan perintah memikul salib? Jawabannya adalah karena kasih.

Orang yang mengasihi Tuhan Yesus akan melihat segala perintah Tuhan itu sebagai sesuatu yang enak dan ringan, bukan sebagai sesuatu yang tidak enak dan berat. Kita tahu bahwa tidak ada seorang pun di antara kita yang sudah sempurna di dalam kasih yang seperti ini, tetapi kita tahu bahwa Tuhan sanggup mengerjakan hal itu di dalam diri kita. Kasih Tuhan kepada kita dan kasih kita kepada Tuhan itu kuncinya sehingga sekalipun kita bertekun di dalam penyangkalan diri dan memikul salib maka ketekunan itu bukan ketekunan yang terpaksa, melainkan ketekunan yang timbul dari hati yang rela.

 

Kesimpulan

Betapa dalamnya iman Kristen yang sejati itu jika kita membaca penuturan Petrus di dalam Suratnya ini. Iman Kristen itu bukan sekedar dinyatakan dalam seruan di medsos “aku percaya, amin, haleluya, puji Tuhan” dan jargon-jargon kekristenan lainnya. Sangat menggelikan jika kita berpikir bahwa kita adalah orang yang beriman semata-mata karena kita ini berani mengucapkan kata amin di medsos. Apalagi jika dijadikan semacam perlombaan untuk mencapai target angka tertentu, 500 ucapan atau 1000 ucapan amin misalnya. Ini sungguh-sungguh merupakan cara yang sangat absurd di dalam menyatakan iman kita. Iman Kristen yang sejati menurut Alkitab, justru tidak dinyatakan dengan cara-cara seperti itu.

Biarlah kita dengan hati yang tenang dan tekun mempelajari baik-baik Firman Tuhan dan merenungkannya. Biarlah melalui perenungan itu kita boleh mendapat pengenalan akan Pribadi Allah yang Agung itu untuk menggantikan gambaran-gambaran yang dangkal dari iman Kristen yang selama ini kita hidupi dan pamerkan di dalam medsos manapun.

Biarlah kita bertumbuh di dalam iman kita dengan menambahkan kepada iman itu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri dan kepada penguasaan diri ketekunan dan kepada ketekunan itu kesalehan. Kalimat ini belum selesai karena Rasul Petrus masih menambahkan lagi dengan karakter-karakter yang lain, namun kita akan membahas hal itu di dalam tulisan-tulisan mendatang. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita.

Baca juga:

Apa yang dimaksud dengan iman? Klik disini
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan. Klik disini
Bersaksi di dalam kuasa Roh Kudus. Klik disini.
Sebuah perenungan terhadap janji Tuhan. Klik disini
Memahami kerangka Surat 2 Petrus. Klik disini


 

Friday, July 16, 2021

Renungan dari 2 Petrus 1:5

Apakah beriman saja tidak cukup sehingga perlu ditambah dengan kebajikan dan pengetahuan?

 

Renungan dari 2 Petrus 1:5

Pendahuluan

Tulisan ini merupakan sebuah perenungan yang diambil dari Surat Petrus yang ke 2, yaitu tepatnya dari 2 Petrus 1:5. Di dalam tulisan ini kita akan merenungkan isi hati Tuhan, yang dituangkan melalui Petrus, mengenai betapa pentingnya berusaha melakukan sesuatu terhadap iman kita. Hal tersebut penting untuk kita pahami sebab tidak sedikit orang Kristen yang beranggapan bahwa hubungan satu-satunya yang terjalin antara manusia dengan Allah adalah percaya atau iman, tanpa mencoba berpikir lebih jauh mengenai apa yang Alkitab maksudkan dengan kata “percaya,” atau apa ciri-ciri dari orang yang percaya atau beriman tersebut.

Alkitab New Living Translation bersampul kulit. Klik disini.

Melalui 2 Petrus 1:5 ini kita akan belajar betapa Rasul Petrus memberikan penekanan pada arti yang sesungguhnya dari orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Semoga kita dapat membuka pikiran kita dan belajar dengan rendah hati, apa yang Petrus ajarkan melalui ayat ke 5 ini.


Dalam tulisan-tulisan sebelumnya saya telah menguraikan ayat 3 (klik disini) yang berbicara tentang panggilan untuk hidup saleh serta ayat 4 (klik disini) yang berbicara tentang janji Tuhan. [Baca juga: Renungan 2 Petrus 1:6. Klik disini.]

 

Ayat Firman Tuhan:

Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, (2 Petrus 1:5)


Justru karena itu:

Ayat ke 5 ini dibuka oleh Rasul Petrus dengan perkataan “justru karena itu.” Apa yang Rasul Petrus maksudkan dengan perkataan ini? Justru karena apa?


Jika melihat ayat-ayat sebelumnya, maka kita dapat memahami maksud Rasul Petrus, yaitu justru karena anugerah janji yang besar itu serta justru karena kita boleh mengambil bagian di dalam kodrat Ilahi itu, maka ada konsekuensi selanjutnya yang harus diperhatikan oleh orang Kristen.


Sekali lagi kita belajar bahwa anugerah Tuhan itu selalu membawa konsekuensi dan tanggungjawab bagi kita orang-orang yang menerima anugerah tersebut. Jika di dalam hidup kekristenan ini pemahaman anugerah yang seperti demikian tidak kita miliki, maka dapat dipastikan bahwa pemahaman anugerah kita itu tidak sesuai dengan ajaran Alkitab. Rasul Petrus mengajar kita bahwa justru karena anugerah dan panggilan dari Tuhan itu, maka harus ada sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai orang percaya.


Atau, jika tidak terjadi apa-apa seperti yang diutarakan oleh Rasul Petrus di sini, maka sangat mungkin kita sebetulnya memang belum pernah menerima anugerah dan panggilan dari Tuhan untuk turut mengambil bagian di dalam kodrat Ilahi yang mulia itu. Dan apabila itu yang terjadi dalam hidup kita, maka biarlah pada kesempatan ini kita boleh datang dengan rendah hati ke hadapan Tuhan dan mulai belajar untuk peka terhadap panggilan-Nya serta mulai berespon dengan benar terhadap anugerah-Nya.

 

Kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha:

Meskipun menurut Rasul Petus, berita anugerah tidak bertentangan dengan dorongan untuk berusaha, bahkan sungguh-sungguh berusaha, namun tidak jarang orang Kristen di masa ini yang merasa sangat terganggu dengan konsep yang demikian. Mengapa? Karena tidak sedikit orang Kristen yang mempunyai pemahaman anugerah yang tidak lengkap. Seperti apakah berita anugerah yang tidak lengkap itu? Berita anugerah yang tidak lengkap adalah berita anugerah yang tidak disertai dengan tanggungjawab yang sungguh-sungguh untuk menjalani hidup yang sepadan dengan anugerah itu sendiri.


Sekali lagi, ini bukan berarti bahwa kita diselamatkan karena kesungguhan atau karena perbuatan kita, melainkan tentang apa yang seharusnya terjadi pada diri orang-orang yang sudah diselamatkan oleh Kristus.


Rasul Petrus bukan satu-satunya rasul yang mengajarkan konsep seperti itu. Rasul Paulus pun pernah berkata: Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, (Filipi 2:12)


Dalam tulisan lain Rasul Paulus juga menekankan bahwa anugerah keselamatan yang Tuhan berikan adalah untuk pekerjaan baik yang Tuhan siapkan. Selengkapnya Rasul Paulus berkata: Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya. (Efesus 2:10)


Rasul Yohanes, meskipun tidak memakai kata “berusaha” ataupun kata-kata “tetap kerjakan keselamatan,” namun sama-sama memiliki konsep tanggung jawab di dalam anugerah. Istilah yang dipakai oleh Rasul Yohanes adalah: Tetap tinggal di dalam Yesus (Yoh 15:4).


Orang Kristen yang sangat menentang konsep berusaha, berbuat, melakukan atau konsep peraturan dan kewajiban di dalam imannya, memiliki potensi yang besar untuk jatuh ke dalam ajaran sesat yang dikenal dengan istilah anti-nomianisme. Para penganut ajaran anti-nomianisme adalah orang-orang yang mengaku percaya kepada Yesus, tetapi hampir sama sekali menghilangkan arti penting dari Hukum Taurat, peraturan dan kewajiban di dalam kepercayaannya tersebut.


Orang-orang semacam ini ditentang keras oleh Injil Matius, sehingga jika kita membaca Injil tersebut, maka kita akan melihat betapa Matius justru menekankan pada “aspek melakukan perbuatan” ketimbang “aspek percaya.” Hal ini bukan berarti bahwa Injil Matius menentang konsep keselamatan berdasarkan anugerah. Yang ditentang oleh Injil Matius adalah konsep anugerah yang keliru, yaitu konsep anugerah yang menghapuskan arti penting dari perbuatan-perbuatan yang seharusnya ada di dalam diri orang Kristen.

 

Untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan:

Apakah dengan berkata seperti ini Rasul Petrus bermaksud mengatakan bahwa beriman saja tidak cukup? Sehingga harus ditambahkan sesuatu?


Perlu kita ingat sekali lagi bahwa Rasul Petrus tidak sedang berbicara tentang syarat untuk diselamatkan. Yang sedang dibicarakan oleh Petrus adalah bukti atau tanda dari orang yang sudah menerima keselamatan. Orang yang imannya sejati, pasti akan mengalami pertumbuhan. Imannya yang sejati itu pasti akan melahirkan sesuatu yang lain, yaitu kebajikan. Orang yang sungguh-sungguh beriman, akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk berbuat kebajikan, mengapa? Sebab orang itu telah percaya kepada Dia yang adalah sumber dari segala kebajikan.


[Baca Juga: Apakah yang dimaksud dengan iman? Klik disini]

Justru sangat aneh jika ada orang yang mengaku percaya kepada Kristus, namun tidak ada dorongan untuk menjadi semakin serupa dengan Kristus di dalam hal kebajikan, bukan? Perkataan Petrus ini mirip dengan surat Paulus kepada Titus: Perkataan ini benar dan aku mau supaya engkau dengan yakin menguatkannya, agar mereka yang sudah percaya kepada Allah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik. Itulah yang baik dan berguna bagi manusia (Titus 3:8).

Tantangan lain bagi orang Kristen untuk menerima konsep kebajikan adalah karena banyak dari mereka yang memahami prinsip total depravity secara terlalu berlebihan. Total depravity adalah suatu pemahaman bahwa semua aspek di dalam diri manusia telah rusak oleh dosa. Di satu sisi tentu saja pemahaman seperti ini ada benarnya. Alkitab pun memberi kesaksian demikian, seperti yang dapat kita baca dalam Roma 3:3-10 misalnya.


Akan tetapi, akan sangat tidak bijaksana apabila kita sedemikian menekankan pemahaman dari Roma 3:3-10 tentang kerusakan manusia, sehingga kita tidak lagi mampu menerima ajaran bahwa sesungguhnya orang percaya telah diberi anugerah oleh Tuhan agar mampu melakukan kebajikan di dalam hidupnya.


Setidaknya apa yang kita baca dari Rasul Petrus membuktikan bahwa kebajikan Kristiani itu adalah suatu kenyataan. Sebab jika tidak ada sama sekali kebajikan Kristiani di dalam dunia nyata, maka untuk apa Petrus menuliskannya bukan? Akan sangat aneh jika Rasul besar seperti Petrus justru memberi nasihat yang sama sekali tidak realisitis seperti itu, bukan?


Memang kita sendiri tidak mungkin melakukan kebajikan yang sempurna seperti Kristus, akan tetapi bukan berarti orang Kristen sama sekali tidak ada kemungkinan untuk melakukannya. Apakah kita ingin mengatakan bahwa orang-orang seperti Rasul Petrus dan Paulus, Raja Daud, Nabi Yesaya dan tokoh Alkitab lainnya sama sekali tidak memiliki kebajikan di dalam hidup mereka?


Ketika Zakheus berkata bahwa setengah dari harta miliknya akan diberikan kepada orang miskin, apakah kita akan menilai bahwa Zakheus telah bersikap munafik di hadapan Tuhan? Tentu itu merupakan cara menilai yang sangat sembrono bukan? Sebab fakta bahwa Tuhan Yesus tidak membuat koreksi apapun terhadap rencana Zakheus, tentu saja sudah merupakan suatu bukti yang kuat bahwa di mata Tuhan kita, perbuatan Zakheus adalah tulus dan sungguh-sungguh merupakan sebuah kebajikan.


Ada kalanya penolakan terhadap konsep kebajikan Kristiani disebabkan pula oleh keengganan manusia untuk taat kepada Tuhan dan melakukan pengorbanan seturut dengan iman yang dimiliki. Hati manusia terlalu berpusat pada kelemahan dan dosa sedemikian rupa sehingga tidak sadar bahwa Tuhan telah menjadikan kita manusia yang baru dan telah memperlengkapi kita dengan segala sestuatu yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan baik yang Tuhan telah rencanakan bagi kita.

 

Dan kepada kebajikan pengetahuan:

Rasul Petrus melanjutkan pengajarannya dengan mengatakan bahwa kebajikan saja ternyata tidak cukup, tetapi harus ditambahkan dengan pengetahuan. Sebab untuk melakukan kebajikan, manusia perlu tahu mana yang benar mana yang salah, mana yang bijaksana dan mana yang sembrono.


Kitab Amsal mengatakan : Tanpa pengetahuan kerajinan pun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah. (Amsal 19:2) Kerajinan adalah sesuatu yang mulia, kerajinan adalah suatu bentuk dari kebajikan. Tetapi menurut penulis Amsal, tanpa pengetahuan, maka hal yang baik seperti kerajinan pun dapat menjadi tidak baik.


Seseorang bisa menjadi rajin, untuk sesuatu yang salah. Misalnya ada orang yang rajin berdoa, tetapi karena kerajinannya itu tidak didukung dengan pengetahuan yang baik, maka bisa saja orang itu berdoa kepada orang kudus atau kepada malaikat atau kepada allah palsu dan bukan kepada Allah yang sejati. Pada akhirnya, kerajinan semacam ini bukan saja tidak berguna, melainkan justru akan membawa orang itu kepada penyembahan berhala.


Atau seseorang bisa saja memiliki hati yang penuh belas kasihan dan siap menolong orang lain, tetapi jika kurang hati-hati atau kurang bijaksana, bisa saja pertolongannya itu malah menyuburkan sifat malas atau manja dari orang yang ditolong tersebut. Sudah bukan rahasia lagi bahwa di dalam kehidupan ini ada orang-orang yang setelah ditolong oleh orang lain, akhirnya malah menganggap bahwa semua orang lain memang selalu berkewajiban untuk menolong dia. Tentu saja sikap yang demikian bukan sikap yang terpuji, tetapi di dalam kehidupan nyata tidak jarang terjadi seperti itu. Sifat penuh belas kasihan adalah sebuah kebajikan, tetapi tanpa didukung oleh kebijaksanaan, maka hal yang baik seperti itu pun bisa membawa dampak yang buruk bagi orang lain.


Kiranya apa yang disampaikan oleh Rasul Petrus melalui 2 Petrus 1:5 ini boleh mendorong kita untuk sungguh-sungguh berusaha menambahkan kepada iman kita itu suatu kebajikan dan kepada kebajikan itu pengetahuan akan kebenaran. Kiranya Tuhan Yesus memberkati dan menolong kita semua. (Oleh: Izar Tirta)


Baca juga:
Siapakah penulis Surat 2 Petrus? Klik disini
Apa panggilan hidup orang Kristen? 2 Petrus 1:3. Klik disini
Apakah janji Tuhan bagi kita? 2 Petrus 1:4. Klik disini
Apa arti bersaksi di dalam kuasa Roh Kudus? Klik disini
Mengapa Tuhan Yesus harus menjadi Manusia? Klik disini