Sunday, January 18, 2009

Apakah Natal adalah sebuah moment atau momentum?

(Sebuah renungan antara Natal dan Paskah)

Oleh: Novizar Tirta

Lho? Memangnya moment dan momentum itu beda yach?
Jelas beda. Moment (karena ini sudah jadi bahasa Indonesia, boleh juga ditulis “momen”) memiliki beberapa pengertian. Dalam bahasa Inggris, “moment” dapat didefinisikan sebagai “very brief period of time” atau “exact point in time.” Sedangkan dalam bahasa Indonesia, momen dimengerti sebagai “waktu yang pendek” atau “saat.” Dalam hal ini, kita melihat bahwa baik bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia memiliki pengertian yang sama tentang istilah moment (momen) ini, yaitu berkenaan dengan periode waktu yang singkat.

Bagaimana dengan momentum? Dalam bahasa Inggris, momentum dimengerti sebagai “force that increases the rate of development of a process.” Sedangkan dalam bahasa Indonesia, momentum adalah “sifat benda bergerak” atau boleh juga dipahami sebagai “gerakan.” Jadi, kalau boleh saya simpulkan, karakteristik dari momentum adalah terdapatnya suatu daya atau upaya, lalu adanya gerakan (sebagai kontras dari sesuatu yang bersifat statis atau monoton) dan tentu saja harus ada pula arah dan tujuan. Sebab bukankah setiap benda yang bergerak pasti ada arah gerakannya? Termasuk dalam karakteristik suatu momentum yang saya lihat adalah adanya pembangunan (development) atau boleh juga ditafsirkan sebagai progress (kemajuan) serta adanya suatu proses.

Dari penjabaran terhadap arti kata moment dan momentum, kita dapat melihat bahwa kedua kata itu memang jelas memiliki pengertian yang jauh berbeda, sekalipun cara melafalkannya terdengar hampir sama.

Lalu, apa arti penting semuanya itu?
Sering kali kita berpikir atau melihat Natal hanya dari sudut pandang moment atau sudut pandang periode waktu yang singkat. Biasanya kita mengasosiasikan Natal dengan bulan Desember sampai kira-kira dua minggu pertama di bulan Januari. Setelah semuanya berlalu, maka kita melupakan Natal dan kembali pada kesibukan semula, seolah tidak pernah terjadi apa-apa di waktu Natal yang baru saja lewat itu (Kecuali tagihan kartu kredit yang membengkak sehubungan dengan aktivitas belanja liburan Natal kita tentunya, atau barangkali?)

Saya akui, saya juga sering terjebak dalam cara pandang seperti ini. Tetapi saya ingin mengusulkan suatu cara pandang lain, yaitu melihat Natal bukan sekedar sebagai moment, yang dapat datang, berlangsung dan akhirnya berlalu, melainkan sebagai suatu momentum; artinya suatu gerakan. Dan karena ini adalah suatu gerakan, maka ia tidak perlu dibatasi oleh waktu. Kita dapat membicarakan dan memikirkannya at any time. Dan karena ia adalah suatu gerakan, maka dibutuhkan upaya atau usaha, dinamika, arah tujuan, pembangunan/kemajuan (atau progress) serta adanya suatu proses.

Mengapa saya mengusulkan demikian?
Karena pertama-tama, tentu saja melakukan gerakan semacam ini pasti ada faedahnya, khususnya di dalam hubungan dengan pengenalan kita terhadap Kristus Yesus. Kedua, pada dasarnya ada begitu banyak hal yang dapat kita pelajari dari Natal, lebih banyak dari waktu yang tersedia selama bulan Desember dan Januari. Dan ketiga, kita bisa memberi waktu kepada diri kita untuk mencerna pesan Natal di dalam pikiran kita dan mulai mencoba mengaplikasikan ajaran-ajaran di dalamnya pada kehidupan kita sehari-hari. Anda tentu setuju jika saya katakan bahwa proses tersebut membutuhkan waktu bukan?

Alasan keempat adalah bahwa membicarakan Natal dapat merupakan suatu persiapan yang baik pula untuk menyambut Paskah yang umumnya hanya berselang sekitar empat bulan setelah Natal.

Tidak sedikit orang yang mengganggap hari Natal lebih penting daripada Paskah, namun banyak pula yang melihat bahwa justru Paskah-lah yang lebih penting daripada Natal. Bagi saya, ide bahwa kedua peristiwa itu dapat dipisahkan-pisahkan saja sudah merupakan gagasan yang tidak tepat. Natal dan Paskah harus dilihat sebagai satu kesatuan, tidak boleh dipisah-pisahkan. Karena arti penting dari peristiwa yang satu amat bergantung pada peristiwa yang lain.

Dasar dari argumentasi saya adalah demikian: Natal tidak akan mencapai maksud dan tujuan Allah bagi umat manusia secara keseluruhan, jika Yesus yang lahir di Betlehem itu pada akhirnya tidak mati di kayu salib dan bangkit pada hari ketiga, karena tujuan dari Natal adalah “menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” (Matius 1:21). Tujuan mana tidak mungkin tercapai tanpa adanya pencurahan darah Yesus yang dilanjutkan dengan peristiwa kebangkitan. Di sisi lain, kematian Yesus di kayu salib hanya berhenti sebagai satu memori tragis seorang pemuda saleh yang rela berkorban, jika Yesus bukan sungguh-sungguh Allah yang menjadi Manusia. Kualitas Yesus sebagai Pribadi Allah yang menjadi Manusia adalah sangat signifikan bagi tugas yang kelak diemban-Nya di atas kayu salib; kualitas mana diperlihatkan-Nya melalui peristiwa Natal.

Jadi, jelas sekali bahwa kedua peristiwa ini secara substantial, tidak dapat dipisahkan sama sekali, sehingga kita (sepatutnya) tidak dapat memilih mana yang lebih penting dan mana yang kurang penting. Bahwa pada kenyataannya kita sebagai manusia seringkali merayakan Natal secara lebih meriah daripada Paskah, hal itu terletak pada problem kebudayaan kita sendiri, bukan serta merta menunjukkan adanya suatu comparative atau superlative events.

Tujuan dari momentum Natal ini jelas, yaitu menjawab pertanyaan “apakah Natal tahun ini membuatku semakin mengenal Kristus?” Sebab jika Natal tahun ini ataupun tahun-tahun sebelumnya berlalu begitu saja (tidak jauh-jauh dari liburan dan yaah … itu tadi, tagihan kartu kredit yang membengkak) maka saya pikir kita telah kehilangan arah serta signifikansi dari Natal. Sebenarnya, ada jauh lebih banyak hal yang bernilai dari Natal daripada yang kita pikir telah kita pahami. Ada jauh lebih banyak kisah yang dapat kita gali daripada kisah-kisah yang biasanya muncul dalam drama Natal di gereja kita.

Bagaimana kalau kita mencoba gerakan sederhana ini dengan cara mulai menggali kembali catatan-catatan peristiwa yang berkenaan dengan Natal; meskipun perayaannya sendiri sudah agak lama berlalu? Apalagi jika mengingat fakta bahwa kita sekarang sedang bergerak mendekati Paskah? Saya yakin anda tidak keberatan. Tuhan memberkati.

Natal, ironi dan introspeksi

Oleh: Novizar Tirta

Sebuah lukisan keemasan
Tertoreh lembut di suatu pojok negri
Tergeletak dalam ketidakberdayaan
Menyimpan makna nan sulit dipahami

O .. indahnya lukisan ini
Sayang ia tak terperhatikan
Kepongahan mendorongnya ke tepi
Dibiarkan terbaring sendirian

Biarpun fajar baru direkahkan
Dan warna emasnya memancar tinggi
Namun dalam jerat bernama keangkuhan
Berapa banyak yang masih peduli?

Lukisan keemasan terus kuamati
Sampai sosokku terpantul kelihatan
Di tepian sebuah ironi
Yang berulang menyedihkan

Kuharap Engkau tidak bosan
Melihat nista yang itu-itu lagi
Sungguh heran kalau aku bisa punya harapan
Akan sebuah hidup mulia nan abadi

Apakah dayaku saat ini?
Tergantung lemah pada belas kasih Tuhan
Entah ke kanan ataukah ke kiri
Tertatih-tatih mengikuti-Mu aku berjalan

Oh .. Natal yang tiba bersama embun pagi ini
Sekalipun tak sepenuhnya ku pahami
Tolong lukiskan pada jiwa letihku sekali lagi
Sebuah kenangan indah dari peristiwa di suatu hari
Ketika Allah buktikan bahwa Dia memang peduli
(izar)
***

Apa yang saya coba sampaikan melalui puisi ini:

Natal adalah sebuah kisah abadi yang terus diceritakan dari masa ke masa. Ia bukan cerita biasa, tetapi kisah nyata tentang pertemuan intim antara Yang Ilahi dengan manusia. Ia adalah kisah tentang kemuliaan tak terhingga di tengah dunia biasa-biasa. Saya memakai warna emas untuk melukiskan kemuliaan itu, warna yang umum dipakai dalam kelas Pendalaman Alkitab ketika menceritakan tentang hidup kekal bersama Allah.

Natal menyimpan begitu banyak ironi. Allah Raja semesta alam menjadi bayi yang lemah. Allah yang Mahakaya lahir di kandang nan hina. Allah yang begitu peduli, lahir di tengah masyarakat yang tidak peduli. Allah yang Mahakuasa namun membiarkan diri-Nya digendong dan digantikan popok-Nya oleh dua muda mudi pedesaan. Dan masih banyak lagi ironi lainnya. Tidak peduli berapa banyak yang Allah telah lakukan, manusia tetap kurang memperhatikan. Tidak peduli berapa banyak pengorbanan yang Allah berikan, manusia memandangnya sebagai hal yang biasa saja. Penyakit klasik bernama kesombongan telah dibuktikan oleh sejarah sebagai penyakit paling mematikan. Karena jenis penyakit semacam ini telah menghalangi orang untuk datang kepada-Nya dan memohon dengan rendah hati agar Dia menjadi Juruselamat bagi mereka. O ya, banyak juga yang datang kepada Tuhan, paling tidak kelihatannya begitu. Namun yang mereka inginkan hanyalah hadiah, hanya berkat atau hanya mukjizat, mereka tidak betul-betul menginginkan Dia sebagai Pribadi. Mereka curiga jika hubungan ini semakin berlanjut maka Dia akan menuntut terlalu banyak. Segala tetek-bengek hubungan pribadi yang menyusahkan, untuk apa semua itu?? O ya mereka mencintai Dia, tetapi itu jika Dia melakukan apa yang mereka minta. Jika Dia bertindak dan berkata-kata secara membingungkan dan sulit dimengerti, siapa yang mau peduli?

Baiklah, memang mudah mengkritik dunia ini, saya akui. Paling gampang memang melihat atau mencari kekurangan orang lain. Tetapi bagaimana dengan diri sendiri? Dalam perenungan pribadi menjelang Natal, saya menemukan diri saya pribadi dapat dengan mudahnya memainkan peran para pemilik penginapan “Tidak ada tempat untuk bayi itu.” Atau pergumulan Yusuf dan Maria “Apakah aku sudah melakukan semuanya dengan benar?” Atau barangkali peran para penghuni Betlehem di malam itu “Ayo cepet bobo, jangan pikir macam-macam kita masih banyak urusan besok” Atau para gembala di tengah segala rutinitas mereka yang biasa-biasa saja, seakan tanpa makna. Singkatnya, tidak seorangpun pada masa itu merasa benar-benar siap menyambut kedatangan Yesus, termasuk .. ehm (jangan bilang siapa-siapa ya) saya sendiri di zaman ini.

Gampang sekali untuk masuk dan larut dalam perayaan Natal, apalagi kalau acaranya meriah. Yang susah adalah bagaimana membuat pesan utama Natal itu masuk dan larut dalam diri saya. Apakah Natal kali ini membuat diriku berbeda dengan Natal yang lalu? Kalau iya, apakah lebih baik atau lebih buruk? Terus terang, saya sering mendapati diri saya jatuh bangun dalam upaya mengikut Yesus (siapa bilang jadi orang Kristen itu gampang?). Tidak jarang saya memergoki diri sendiri sedang kebingungan tentang apa yang mesti dilakukan, ketika sesuatu terjadi. Inikah yang Tuhan mau? Atau yang itu? Dan tahu-tahu saya sudah kedapatan berbuat salah. Semua kata-kata itu, yang harusnya tidak terucap tapi malah dikumandangkan. Semua perbuatan itu yang harusnya tidak dilakukan, tapi malah dikerjakan. Yang mestinya dikatakan malah tidak disampaikan, yang mestinya dikerjakan malah tidak pernah tuntas terselesaikan.

Akhirnya, mau tidak mau harus disadari bahwa kita memang tidak bisa memperlakukan Natal sebagai rutinitas, sebab rutinitas adalah pembunuh makna yang paling jempolan. Artinya, ketika kita memandang Natal hanya sebagai rutinitas akhir tahun, maka kita kehilangan maknanya yang dalam. Dan ironi dua ribu tahun lalu bisa berulang pada diri kita. Kita akhirnya akan memandang Natal hanya sebagai tradisi, bukan transformasi. Hanya repetisi, tapi bukan inkarnasi.

Sementara gereja tertentu tidak setuju merayakan Natal, karena 25 Desember bukanlah persis hari dimana Yesus dilahirkan, saya justru bersyukur karena kita bisa merayakannya. Sebab paling tidak Natal adalah sebuah moment, dimana kita boleh introspeksi dan evaluasi diri. Sebuah milestone dimana kita boleh melihat sudah sejauh mana perjalanan rohani kita sekarang ini. Sebuah kesempatan untuk mengenang apa yang mungkin terlupa karena tenggelam dalam kesibukan. Sebuah refleksi, adakah Natal punya sentuhan pribadi bagiku? Seperti pesan klasik yang berbunyi: “Sekalipun Yesus seribu kali lahir ke dunia ini tetapi tidak ada artinya jika Ia tidak lahir di hati anda.” Saya tidak tahu siapa yang pertama buat kalimat itu, tapi saya pikir itu ada benarnya.

Baru saja Natal datang kembali menjumpai kita, persis seperti satu tahun kemarin. Dan kita tidak boleh bosan-bosan mendengar dan merenungkan peristiwa itu, sekalipun (jujur saja) kadang-kadang perasaan itu muncul. Sebab melalui Natal Allah berulang kali berbicara pada kita demikian … (yang juga saya coba ungkapkan dalam puisi singkat) :

“You are My precious child.
Shine on you, I send My love light
Please do not have a dread
‘cause you can call me Dad
Whether you feel sad or in laughter
To the very end of the age, I leave you never”

Biarlah pada kesempatan Natal yang masih hangat ini, pesan tersebut boleh meresap ke dalam diri dan membawa kita pada suatu perubahan, baik bagi diri pribadi maupun bagi orang-orang di sekitar kita. Tuhan memberkati.