Monday, February 13, 2023

Apa yang Tuhan harapkan dari pelayanan kita?

Ketika Yesus memandang sekeliling-Nya dan melihat, bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada Filipus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?" (Yohanes 6:5)


Apa yang Tuhan harapkan dari pelayanan kita? (Yohanes 6:5)

Dalam tulisan sebelumnya kita sudah merenungkan bagaimana para murid Tuhan Yesus merasa terkejut dan bingung ketika Tuhan Yesus meminta mereka memberi makan kepada ribuan orang yang datang mencari Dia.

 


Buku "Anugerah Yang Hilang"
Klik disini.

Ada dua hal yang membingungkan para murid yaitu pertama, mengapa Yesus meminta hal tersebut? Yang kedua adalah bagaimana cara mereka memenuhi permintaan-Nya itu? Dan melalui dua hal ini, para murid menyadari bahwa mereka sedang masuk ke dalam suatu persoalan besar.

Perlu kita garis bawahi, bahwa persoalan yang mereka hadapi itu bukan terjadi karena mereka serakah, atau karena salah investasi atau karena mereka lalai dan lain sebagainya. Persoalan itu muncul karena Tuhan sendiri yang menyodorkannya ke hadapan mereka.

Mengikut Tuhan adalah suatu keindahan, melayani Tuhan juga adalah hal yang baik, tetapi apakah di dalam pengikutan dan pelayanan tersebut kita telah memenuhi keinginan Tuhan atau belum, itu adalah persoalan yang berbeda.

Dari peristiwa di atas bukit itu, kita melihat betapa terbatasnya para murid dalam melaksanakan apa yang menjadi tuntutan dari Tuhan. Mereka pikir ikut pelayanan Tuhan Yesus ke atas bukit sudah merupakan pelayanan yang menyeluruh, tetapi kemudian mereka kaget karena ternyata Tuhan menuntut lebih.

Dalam hidup kita, hal seperti itu dapat pula terjadi. Kita pikir kita sudah mengerti Dia, kita pikir kita sudah cukup melayani Dia, kita pikir kita sudah menjalankan apa yang Tuhan inginkan. Tetapi ternyata kita keliru. Tuntutan Tuhan jauh lebih tinggi dari apa yang kita bayangkan.

Sebagai orang Kristen modern, kita sudah terbiasa dengan kalimat: Berkat Tuhan itu begitu besar, jauh lebih tinggi daripada yang dapat kita bayangkan. Tidak salah tentu saja memiliki pikiran semacam itu. Tapi jangan lupa Alkitab juga mengajarkan bahwa: tuntutan Tuhan pun ternyata bisa jauh lebih tinggi dari apa yang kita bayangkan.

Dalam melayani Tuhan, seorang Kristen tanpa sadar bisa condong kepada satu di antara dua cara pandang yang sempit. Apa sajakah itu? Pertama, bahwa melayani Tuhan itu adalah perkara yang sangat mudah. Atau kedua, bahwa melayani Tuhan adalah hal yang sangat sulit. Kita akan lihat satu persatu.

 

Pertama: melayani Tuhan itu sangat mudah


Mengapa kita bisa merasa bahwa melayani Tuhan adalah hal yang mudah? Karena kita pikir standarnya tidak terlalu tinggi dan karena kita menyangka bahwa kemampuan serta kecakapan kita sudah cukup untuk memenuhi tuntutan dalam pelayanan tersebut.

Seperti yang pernah saya utarakan dalam tulisan sebelumnya, pada waktu awal-awal jadi orang percaya, mungkin kita melihat diri sendiri sebagai orang yang miskin rohani, tidak pantas, tidak mampu, tidak layak dan lain sebagainya. Tetapi setelah lama berkecimpung dalam dunia pelayanan, kita bisa saja menjadi cukup trampil, punya suatu skill, punya banyak relasi dan bahkan resources di dalam pelayanan. Kondisi ini jika tidak diwaspadai, bisa membawa kita pada perasaan mampu dan pantas. Cukup wajar bukan? Dan sangat manusiawi pula.

Tetapi Firman Tuhan justru ditulis untuk mengingatkan kita bahwa sikap merasa cukup berbuat, cukup melayani, cukup mampu, cukup cakap dan serba kecukupan lainnya adalah suatu sikap yang harus kita tinggalkan jauh-jauh. Sebab kita tidak pernah tahu dengan pasti apakah segala sesuatu yang kita lakukan itu sudah benar-benar sesuai dengan harapan Tuhan ataukah belum?

Memenuhi harapan jemaat mungkin, memenuhi harapan keluarga juga mungkin, tetapi memenuhi harapan Tuhan? Siapa yang berani menilai bahwa dirinya sudah memenuhi segala yang Tuhan harapkan untuk dia lakukan? Bahkan kalau mau jujur, semakin kita dekat dengan Tuhan, justru kita akan sadar bahwa kita ini tidak pernah cukup berbuat, tidak mungkin pernah cukup membalas cinta Tuhan dan tidak akan pernah cukup dalam membayar hutang cinta kasih kita kepada sesama.

Berkaca dari peristiwa di atas bukit itu marilah kita senantiasa ingat untuk tidak memandang diri kita sebagai orang yang mampu dalam melayani Tuhan. Sebab tanpa anugrah Tuhan tidak ada satupun pelayanan yang layak untuk kita persembahkan kepada-Nya.

Dan kalaupun pada akhirnya kita mendapat anugerah untuk melayani Tuhan, biarlah kita selalu ingat perkataan Tuhan Yesus: “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan." (Lukas 17:10)

 

Kedua: melayani Tuhan itu sangat sulit

 

Peristiwa di bukit dapat membuat kita terkejut karena ternyata Tuhan dapat saja menuntut kita melakukan hal-hal yang melampaui kemampuan kita. Hal semacam itu dapat membawa kita ke dalam suatu perasaan putus asa, dan sebagai akibatnya mendorong kita untuk merasa kecewa dan mundur dari melayani Tuhan.

Akan tetapi jika kita membaca peristiwa di bukit, kita melihat bahwa sikap undur serta putus asa bukanlah sikap yang Tuhan harapkan muncul dari diri kita. Sebab betapapun tingginya tuntutan Tuhan atas pelayanan kita, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita sendirian.

Tuhan Yesus yang menetapkan standar, tetapi Tuhan Yesus juga yang akan menolong kita untuk mencapai standar itu. Yang Tuhan harapkan dari kita adalah agar kita percaya dan menyerahkan segala kemampuan kita, betapapun kecilnya, ke hadapan Tuhan.

Di tangan Tuhan, hal sekecil apapun dapat diubah menjadi suatu berkat yang besar bagi banyak orang. Lima roti dan dua ikan jelas bukan apa-apa dibanding ribuan orang. Tetapi di tangan Tuhan Yesus, persembahan sekecil itu bukan saja dapat memenuhi kebutuhan orang yang hadir, melainkan bahkan masih tersisa berlimpah-limpah berkat untuk dibagikan kepada orang yang lain.

 

Oleh karena itu…

 

Bagi kita yang merasa bahwa pelayanan itu mudah sehingga kita tidak lagi merasa perlu persiapan sebaik-baiknya, tidak lagi bersandar pada Tuhan, terlalu percaya diri, merasa sudah jago, merasa banyak duit dan seterusnya dan seterusnya, ingatlah bahwa bukan kita yang menetapkan standar di dalam pelayanan tetapi Tuhan. Dan sejujurnya, orang-orang seperti kita mungkin sebetulnya memang tidak terlalu berguna juga bagi Dia.

Pada prinsipnya, Tuhan memang tidak membutuhkan kita, justru kitalah yang membutuhkan Dia. Apakah kita ada atau tidak ada, Tuhan tetap akan menjalankan pelayanan-Nya di dunia. Sehingga tidak ada dasar sedikitpun bagi kita untuk bermegah di dalam menjalankan pelayanan tersebut.

Tetapi bagi kita yang merasa terlalu berkecil hati, merasa putus asa, hilang semangat, karena merasa tantangan di depan terlalu besar untuk diatasi, ingatlah akan Dia yang mengubah lima roti dan dua ikan menjadi berkat yang berlimpah-limpah untuk mengenyangkan seisi dunia. Yang harus kita lakukan hanyalah datang kepada-Nya membawa apapun yang kita miliki; sumber daya kita yang minim, keterbatasan kita, kegagalan kita, kebangkrutan kita, bahkan dosa kita sekalipun untuk diubah-Nya menjadi suatu berkat yang berlimpah-limpah bagi dunia ini.

Pada malam sebelum Yesus disalibkan, Petrus adalah orang yang terlalu percaya diri. Ia yakin dapat mengikut Yesus hingga menuju kematian sekalipun. Tetapi Petrus tidak tahu apa yang sedang ia hadapi, ia bahkan belum mengenal dirinya sendiri.

Tidak butuh seorang panglima perang yang berotot sambil menghunus pedang untuk merontokkan kepercayaan diri Petrus yang berlebihan. Cukup dengan diperhadapkan pada seorang hamba perempuan saja pun maka Petrus sudah kelabakan dan mati-matian menyangkal bahwa ia mengenal Yesus. Apa yang terjadi pada Petrus adalah potret dari diri kita semua ketika kita terlalu yakin pada kekuatan diri sendiri.

Sesudah kebangkitan Tuhan kita yang mulia, Petrus bertemu lagi dengan Yesus, tetapi Petrus kini sadar bahwa dia bukan siapa-siapa. Petrus tahu bahwa dia bangkrut, gak punya modal dan gak punya jasa apa-apa untuk ditawarkan kepada Yesus. Sebagai seorang nelayan, Petrus bahkan tidak sanggup menawarkan sepotong ikan pun untuk Yesus, melainkan justru Yesuslah yang mendatangkan ikan untuk ditangkap oleh Petrus. Di hadapan Tuhan tidak ada orang yang bisa berkata bahwa ia telah memberi sesuatu kepada Tuhan, kecuali apabila Tuhan telah terlebih dahulu memberi sesuatu kepada orang itu.

Kalau pun ada yang dapat dibawa untuk diserahkan kepada Yesus, maka itu adalah diri Petrus sendiri. Ia datang menemui Yesus di pantai sambil berharap bahwa Sang Guru masih mau menerimanya dan mengampuni segala kesalahannya. Dan kita tahu bahwa Yesus bukan saja menerima Petrus kembali tetapi Petrus bahkan begitu dicintai dan dipercayai, sehingga Yesus memberi dia tanggungjawab yang besar untuk menggembalakan domba-domba-Nya.

Pelayanan bukan tentang siapa diri kita dan apa yang kita punyai, pelayanan adalah tentang seorang yang datang dalam keadaan bangkrut ke hadapan Tuhan dan membiarkan Tuhan bekerja di dalam dan melalui  diri kita yang bangkrut itu. Pelayanan bukan tentang the story of our love for God, melainkan the story of God’s love upon us.

Adakah hati kita berkobar-kobar oleh cinta kasih yang dari Tuhan itu? Kiranya Tuhan Yesus berbelas kasihan menerima kita yang bangkrut ini untuk boleh mengambil suatu bagian pelayanan di dalam Kerajaan-Nya yang mulia. Amin.