Saturday, January 4, 2014

Yusuf si tukang kayu

Seberapa besar iman kita dapat diukur dari seberapa jauh kita berani menanggung risiko demi iman tersebut.[Baca juga: Yusuf si tukang kayu yang tulus hati. Klik disini.]

 
 
Yusuf, tidak diragukan lagi, adalah seorang pria dengan iman yang kokoh. Ia berani melakukan apa yang benar, meskipun ia tahu bahwa apa yang ia lakukan itu akan mengakibatkan penderitaan bagi dirinya. [Baca juga: Yusuf si tukang kayu yang peka akan suara Tuhan. Klik disini.]

Yusuf sudah bertunangan dengan Maria ketika namanya mulai muncul di dalam pentas sejarah Alkitab. Untuk masyarakat Yahudi pada masa itu terdapat tiga tahap yang harus dilalui dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah. Tahap pertama, kedua calon mempelai saling setuju untuk hidup sebagai satu kesatuan. Tahap kedua, persetujuan mereka berdua diumumkan kepada masyarakat umum atau orang-orang di sekitar hidup mereka. Pada tahap ini, hubungan mereka sudah bersifat mengikat satu sama lain dan hanya dapat dipisahkan oleh kematian atau perceraian. Meskipun demikian, hubungan seksual seperti layaknya suami istri masih belum diperkenankan. Tahap selanjutnya yaitu yang ketiga, pasangan muda mudi ini masuk ke dalam jenjang pernikahan dan tinggal bersama.
 
[Baca juga: Mengapa Yesus Kristus harus menjadi Manusia? Klik disini]

Ketika Maria memberi tahu Yusuf bahwa dirinya telah mengandung, Yusuf dapat saja menceraikan Maria dan membiarkan pihak-pihak yang berwenang menghukum Maria dengan cara melemparinya dengan batu sampai mati. Hal ini sesuai dengan hukum Yahudi seperti yang tertuang di dalam Ulangan 22:23-24 yang berbunyi: “Apabila ada seorang gadis yang masih perawan dan yang sudah bertunangan -- jika seorang laki-laki bertemu dengan dia di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.”

Ketika kisah antara Yusuf dan Maria muncul di Alkitab, hubungan mereka sudah berada pada tahap yang kedua. Artinya, hubungan mereka sudah berada pada situasi di mana masyakarat sudah mengetahui bahwa mereka adalah calon suami istri.

Secara manusiawi, fakta bahwa Maria sudah hamil hanya mungkin terjadi jika Maria memiliki pria lain yang telah menghamili dirinya. Sehingga dalam hal ini, Yusuf dapat saja mengumumkan perceraiannya dengan Maria secara terbuka agar masyarakat dan para pemimpin agama dapat mengetahui bahwa perceraian tersebut disebabkan karena Maria berkhianat pada calon suaminya. Dan dengan demikian pihak yang berwenang pun dapat menjatuhkan hukuman pada Maria (dan pria misterius tersebut) sebagaimana yang telah di atur dalam Ulangan 22:23-24.

Namun luarbiasanya, sekalipun Yusuf belum mengetahui[1] siapa ayah dari bayi itu, ia telah memutuskan untuk melepaskan Maria dari penghukuman. Daripada mengumumkan perceraian itu secara terbuka, Yusuf memilih untuk menceraikan Maria secara diam-diam. Karena hanya dengan cara ini Yusuf dapat memberi kesempatan pada Maria untuk hidup dan menikah dengan laki-laki lain yang telah menghamili dirinya itu.

Dari peristiwa ini kita tahu betapa baiknya kepribadian Yusuf. Sebagai laki-laki ia tentu merasa sakit hati karena menduga bahwa dirinya telah dikhianati oleh wanita yang dicintainya. Akan tetapi di dalam hal ini Yusuf memilih untuk menunjukkan tindakan kasih karunia daripada menjatuhkan penghakiman yang keras sesuai dengan perintah agama. Ketimbang membalas dendam atas sakit hatinya itu, rupanya Yusuf lebih memilih untuk memberi pengampunan.

Alkitab secara singkat menyebutkan karakter Yusuf ini sebagai “tulus hati.” (Matius 1:19) Dalam versi lain Alkitab istilah yang dipakai adalah righteous sementara versi lainnya memakai istilah just. Sedangkah istilah Yunani yang dipakai adalah dikaios yang mengacu pada karakter yang suci, adil dan benar.

Di satu sisi kita mendapat informasi bahwa sesuai hukum agama, seharusnya Yusuf melaporkan Maria atas penyimpangan yang dibuatnya dan membiarkan gadis itu diproses secara hukum agama. Tetapi kini kita tahu pula bahwa Yusuf  ternyata disebut sebagai orang yang tulus hati justru ketika ia berniat menghindarkan Maria dari hukuman. Apa yang dapat kita pelajari di sini??

Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa rupanya menunjukkan kasih karunia kepada orang yang bersalah adalah lebih tinggi nilainya daripada semata-mata menjatuhi orang tersebut dengan hukuman.

Kasih karunia adalah sifat Allah. Kasih karunia berarti memberikan kepada orang lain kesempatan atau ruang atau hadiah yang sebenarnya tidak patut diterima oleh orang itu.

[Baca: Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan. Klik disini]

Berapa banyak orang telah mati karena melanggar perintah agama? Atau berapa banyak pula orang telah mati karena dianggap tidak sesuai dengan aturan agama-agama tertentu? Mereka adalah orang-orang yang disebut kafir dan pendosa oleh orang-orang yang merasa dirinya telah cukup baik dalam menjalankan hukum dan perintah agama. Namun Allah justru datang untuk menunjukkan kasih karunia pada dunia melalui Yesus Kristus yang lahir untuk menyelamatkan kita dari dosa.

Seorang Yusuf paham bahwa di balik aturan-aturan agama tersimpan suatu makna yang dalam yaitu bagaimana mengasihi sesama seperti diri sendiri. Oleh karena itu Yusuf lebih memilih untuk tetap mengasihi Maria ketimbang menghukumnya.

Dan bersyukurlah kita atas sikap Yusuf yang tulus hati ini, karena kemudian kebenaran itu pun dinyatakan oleh malaikat, bahwa sesungguhnya kehamilan Maria bukan disebabkan oleh karena suatu perzinahan melainkan karena pekerjaan Tuhan yang harus terjadi melalui Maria.

Selain dikenal sebagai pria yang tulus hati, rupanya Yusuf juga merupakan tipe seorang laki-laki yang segera bertindak dan taat kepada suara Tuhan. Alkitab menjelaskan: “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.” (Matius 1:24-25)

Bayangkan peristiwa itu?! Malaikat datang dalam mimpi ketika Yusuf sedang bergumul dalam membuat keputusan terhadap hubungannya dengan Maria. Dan setelah bangun dari tidur Yusuf dengan penuh keyakinan “berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya.” Ini adalah suatu tindakan iman yang luarbiasa bukan? Hanya orang-orang yang peka terhadap suara Tuhan yang dapat terlatih untuk melakukan hal seperti yang Yusuf lakukan dengan segera.

Sekalipun peristiwa ini hanya disampaikan secara singkat oleh penulis Alkitab namun kita dapat menyimpulkan bahwa Yusuf memang adalah seorang yang memiliki hubungan pribadi yang baik dengan Tuhan. Ia mengenal suara Tuhannya dan bersedia untuk bertindak sesuai dengan suara itu. Ia peka dan taat. Bagaimana dengan kita?

Ada banyak keputusan yang harus kita ambil di dalam hidup ini dan ada begitu banyak pertimbangan yang muncul, entah itu dari pikiran kita sendiri, entah itu dari orang-orang di sekeliling kita. Bagaimana dengan pertimbangan yang berasal dari Tuhan? Apakah kita juga turut memperhitungkannya? Belajar dari Yusuf, satu-satunya hal yang harus kita perhitungkan di dalam mengambil keputusan justru adalah suara Tuhan.

Secara manusiawi, Yusuf tentu masih galau akibat tidak umumnya peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Maria itu. Secara kehidupan sosial, desas desus kehamilan Maria yang terjadi sebelum Yusuf dan Maria hidup sebagai suami istri tentulah menjadi suatu beban tersendiri bagi Yusuf. Tetapi di dalam kesulitan ini, Yusuf tetap taat. Dan bukan hanya sekali Yusuf bertindak seperti itu.

Ketaatan semacam ini kembali ditunjukkan Yusuf ketika ia sekali lagi diberi peringatan oleh malaikat melalui mimpi untuk menyingkir ke Mesir. Alkitab mencatat: nampaklah malaikat Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata: "Bangunlah, ambillah Anak itu serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia." Maka Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu menyingkir ke Mesir, (Matius 2:13-14)

Jujur saja, saya sangat penasaran, adakah Yusuf suatu ketika termenung ketika ia harus hidup di Mesir, bahwa segala peristiwa hidupnya yang agak ganjil itu, selalu di arahkan lewat mimpi? Kalau saya jadi Yusuf, mungkin saya akan mempertanyakan kewarasan diri saya. “Menikahi seorang perempuan yang sudah hamil hanya gara-gara mimpi?” Lalu, “pergi jauh-jauh ke Mesir juga hanya gara-gara mimpi? Apa-apaan ini?! Bagaimana kalau itu cuma fantasiku atau cuma mimpi di siang bolong belaka? Bagaimana kalau aku salah dengar.. !?”
Sekedar perbandingan, Zakharia dan Maria dikunjungi malaikat bukan ketika tertidur melainkan pada saat mereka berdua sedang dalam keadaan sadar. Tetapi kepada Yusuf, malaikat datang lewat sebuah mimpi, sungguh suatu kunjungan yang bersifat sangat tersamar. Diam-diam hati saya pun mengaku: “Yusuf, betapa hebatnya engkau, betapa beraninya dirimu dalam bertindak dan betapa pekanya hatimu pada suara Tuhan. Allah tidak perlu berteriak kepadamu, cukup berbisik lembut lewat mimpi saja pun, engkau sudah bisa melakukan pekerjaan besar bagi kemuliaan-Nya. Berapa seringkah Tuhan telah berteriak padaku, tetapi hatiku yang degil ini tetap tidak mendengar?”
Kita tidak tahu berapa lama Yusuf menjalankan perannya sebagai ayah bagi seorang Yesus Kristus. Terakhir kali namanya dicatat adalah ketika Yesus berusia dua belas tahun dan mereka sekeluarga sedang pergi ke Bait Allah. Kemungkinan sekali Yusuf telah meninggal dunia ketika Yesus memulai pelayanan-Nya pada usia 30 tahun. Dan sekalipun Yusuf telah mendapatkan berkat melimpah dalam hidupnya karena telah dipercaya untuk menjadi ayah bagi Sang Mesias, bukan berarti Yusuf lalu menjadi seorang yang terpandang bagaikan seorang selebritis yang hidup makmur. Yusuf tetap menjalankan suatu hidup sederhana sebagai seorang tukang kayu. Hidup yang begitu biasa. Hidup yang mungkin tidak pernah kita minati. Hidup yang begitu jauh dari publisitas, glamour dan hingar bingar kesuksesan dunia.

Jadi jika anda mendengar ajaran gereja di abad modern ini yang mengatakan bahwa kalau ikut Yesus, hidup anda pasti hebat, pasti kaya, pasti sukses secara materi dan lain sebagainya, cobalah untuk duduk sebentar dan memandang sosok Yusuf si tukang kayu Yahudi ini dalam keheningan. Pria sederhana yang namanya bahkan jarang kita angkat secara khusus dalam khotbah-khotbah di gereja kita. Tapi siapa di antara kita yang berani berada di posisi Yusuf ketika tanggung jawab dan risiko sebesar itu dibebankan di atas pundaknya?

Meskipun hanya tukang kayu sederhana, peran Yusuf sebagai orang percaya yang rela dipakai Tuhan tidaklah sedikit. Di tangan Yusuf-lah Allah telah mempercayakan Anak-Nya yang tunggal, Juruselamat kita ketika Dia masih seorang bayi yang lemah. Apa sajakah yang telah Tuhan percayakan di tangan kita? Bagaimana sikap kita terhadap tanggung jawab yang Tuhan berikan itu? Belajarlah dari Yusuf, hamba Tuhan yang setia ini.
Jadi, jika lain kali ada orang yang menyakiti hati kita, mungkin ada baiknya kita belajar bersabar sedikit dan mencoba menunjukkan kasih karunia pada orang itu, sebab siapa tahu pada saat itu Roh Kudus sedang melakukan sebuah pekerjaan besar di dunia ini melalui kita. Itu pernah terjadi pada Yusuf, dalam skala yang berlainan bukan tidak mungkin itu terjadi juga pada kita, iya kan?

Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
(Oleh: Izar Tirta)

[1] Pada saat itu, malaikat belum datang kepada Yusuf untuk memberitahukan peristiwa yang sebenarnya terjadi atas Maria.