Thursday, December 5, 2019

Eksposisi Kejadian 4:2: makna kelahiran Habel

Oleh: Izar Tirta




… Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain…
(Kejadian 4:2)

Berbeda dengan Kain yang kelahirannya dituturkan secara lebih lengkap, kelahiran Habel justru dituturkan dengan cara yang singkat sekali. Seolah-olah orang tua Habel sedang menyampaikan informasi sambil lalu yang tidak terlalu penting saja layaknya. Ada kesan bahwa anak yang satu ini kurang diinginkan, sehingga kehadirannya tidak membangkitkan suasana yang gegap gempita di dalam hati sang Ibu, dibandingkan waktu kakaknya lahir. Bahkan untuk kelahiran yang kali ini, nama TUHAN sudah tidak lagi dibawa-bawa. Satu-satunya predikat yang disandang Habel adalah bahwa ia disebut sebagai adik Kain. Itu saja.

Selain itu, nama Habel[1] sendiri mengandung makna yang cukup beragam. Namun sayang sekali, dari sekian makna yang ada, semuanya dapat dikatakan kurang menarik atau mengandung arti yang menyedihkan. Adapun beberapa makna yang terkandung di dalam nama Habel itu adalah:
-         tindakan yang kosong (to act emptily),
-         sia-sia (vain),
-         nafas (breath). Dan istilah nafas yang dimaksudkan di sini adalah suatu “keberadaan yang sangat singkat,” begitu singkat dan cepat sirna sehingga bagaikan hembusan nafas saja layaknya.
Sehingga secara keseluruhan pengertian dari nama Habel atau Hevel di dalam benak orang Yahudi adalah something very close to nothing, sesuatu yang hampir tidak ada arti pentingnya sama sekali.
 
Tidak ada penjelasan yang rinci dalam Alkitab mengenai alasan mengapa Hawa memberi nama kepada adik Kain dengan istilah yang memiliki arti sedemikian menyedihkan itu. Tetapi fakta ini semakin menguatkan dugaan kita bahwa bagi Hawa, kehadiran Habel[2] ke dalam dunia bukanlah sesuatu yang terlalu diharapkannya.
 
Ada penafsir yang menduga bahwa nama Habel diberikan karena kisah hidupnya yang memang sangat menyedihkan. Habel mati terbunuh tanpa sempat memiliki keturunan, padahal ia tidak salah apa-apa. Sungguh wajar jika orang menilai hidupnya begitu malang dan sia-sia. Akan tetapi bagi saya, cara berpikir seperti ini kurang tepat, sebab bagaimana mungkin orang tua Habel bisa mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi di masa mendatang? Sehingga ia bisa memberi nama yang sesuai dengan nasib dari anak tersebut?
 
Tentu saja seorang bayi diberi nama pada saat ia dilahirkan. Jika nama Habel diberikan karena melihat segala sesuatu yang terjadi pada dirinya, maka bukankah seolah-olah nama itu diberikan setelah yang bersangkutan sendiri meninggal? Tentu saja cara berpikir seperti ini akan janggal sekali bukan?
 
Kejanggalan semacam itu, pada akhirnya menimbulkan dugaan bahwa Habel sebetulnya bukanlah tokoh yang sungguh-sungguh pernah hidup di dalam sejarah, melainkan hanyalah seorang tokoh rekayasa, hasil imaginasi sang penulis Kitab Kejadian.
 
Saya pribadi, yakin sekali bahwa Habel bukanlah tokoh rekaan seorang penulis, melainkan nama dari seorang manusia yang benar-benar pernah hidup di dunia. Keyakinan ini saya dasarkan pada fakta bahwa Tuhan Yesus sendiri menganggap Habel sebagai tokoh nyata yang ada di dalam sejarah. Dan bagi saya, perkataan Tuhan Yesus ini saja sudah cukup,[3] tidak perlu bukti yang lain.
 
Cukup misterius memang, melihat Hawa memberi nama yang begitu buruk bagi anaknya yang kedua itu. Namun di bawah ini saya coba menjabarkan beberapa dugaan yang mungkin menjadi latar belakang dari keadaan tersebut:
 
Kemungkinan pertama
 
Hawa kecewa terhadap Kain, yang setelah bertumbuh semakin dewasa ternyata tidak memiliki karakter yang membanggakan seperti harapannya semula. Rupanya kekecewaan itu begitu mendalam, sehingga kelahiran anak yang kedua tidak mampu membuat dia bahagia.[4]
 
Kemungkinan kedua
 
Hawa semakin merasakan kepedihan sebagai manusia yang dibuang dari Taman Eden. Efek dari putusnya relasi antara manusia dengan Allah yang diungkapkan dengan cara pengusiran dari Taman Eden, mulai membawa dampak yang sangat mengganggu jiwanya. Ia mulai merasa tertekan oleh hidup ini. Kenangan akan Taman Eden yang telah hilang itu, agaknya turut menambah beban psikologis yang dialaminya.
 
Kemungkinan ketiga
 
Peringatan Allah kepada Adam dan Hawa bahwa mereka akan mati apabila memakan buah terlarang itu, kini mulai masuk ke dalam kesadaran mereka. Bagi banyak orang Kristen di zaman sekarang ini, ancaman kematian yang disampaikan oleh Tuhan kepada Adam dan Hawa seolah-olah terlihat seperti ancaman kosong belaka. Sebab setelah Adam dan Hawa memakan buah terlarang, mereka sepertinya tidak langsung mati. Mereka masih bisa bicara, masih bisa berjalan, bahkan masih bisa bekerja serta melahirkan keturunan. Lalu, mengapa Tuhan mengatakan tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati."[5]?
 
Ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan mati dalam kalimat itu adalah mati secara rohani, bukan secara fisik. Menurut saya, jawaban seperti ini cukup masuk akal, namun masih kurang sesuai dengan apa yang mau disampaikan oleh Alkitab. Sebab dengan menafsirkan seperti ini, kalimat Tuhan kepada Adam jadi kehilangan nuansa totalitas dan sifat serius dari kematian itu. Jawaban semacam ini hanya menekankan pada aspek spiritual manusia saja.
 
Ada pula yang menafsirkan bahwa mereka memang akan mati, tetapi tidak segera mati, masih ada waktu yang panjang sebelum mereka benar-benar mati. Jawaban seperti ini bagi saya malah lebih tidak bisa diterima, karena Tuhan secara spesifik berkata bahwa pada hari engkau memakannya, pasti engkau mati. Tidak ada indikasi bahwa terdapat jeda waktu di antara peristiwa mati dan peristiwa memakan buah terlarang. Lagipula, jawaban semacam ini hanya menekankan pada aspek fisikal manusia saja. Masih kurang lengkap.
 
Oleh karena itu, jawaban paling tepat yang dapat saya terima untuk memahami arti “mati” dari perkataan Tuhan kepada Adam dan Hawa adalah putusnya relasi antara manusia dengan Tuhan. Dan Alkitab melukiskan hal itu melalui peristiwa diusirnya Adam dan Hawa dari Taman Eden pada hari yang sama ketika mereka memakan buah terlarang. Itulah kematian yang dialami oleh Adam dan Hawa menurut versi Alkitab. Sebab jika hidup kekal adalah mengenal Allah, maka kehilangan kesempatan untuk mengenal Allah pasti akan sama artinya dengan kematian kekal, bukan?[6]
 
Aura kematian, tidak ada lagi relasi dengan Allah, tidak ada lagi hubungan yang harmonis dengan Adam, kepedihan dan kekosongan di dalam hati, adalah hal-hal yang sangat mungkin memberi kontribusi terhadap keputus asaan dalam diri Hawa. Tidak sulit membayangkan bahwa Adam dan Hawa menghabiskan sisa umur mereka dengan masih saling menyalahkan satu sama lain atas Taman Eden yang hilang itu. Kosa kata paradise lost dan forbiden fruit sangat mungkin kerap kali muncul dalam setiap pertengkaran di antara mereka berdua. Dalam suasana yang terpuruk dan tidak bahagia inilah, Habel dilahirkan.
 
Dari kemungkinan-kemungkinan yang saya jabarkan di atas, rasanya kita mulai mendapat semacam gambaran tentang mengapa Hawa memberi nama anaknya dengan sebutan “kesia-siaan,” istilah yang something close to nothing itu.
 
Kontras dengan kehidupan Kain yang sukses,[7] Habel betul-betul adalah gambaran dari orang yang kehidupannya sangat tidak beruntung. Hidupnya dapat dikatakan relatif singkat.[8] Ia dibunuh walau tidak salah apa-apa. Jangankan keturunan, istri pun dia tidak punya. Dan apakah yang ia tinggalkan setelah kematiannya?
 
Meskipun demikian, paradigma kehidupan Habel rupanya merupakan suatu paradigma yang juga dihidupi oleh Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita. Meskipun tidak memiliki kemiripan yang sangat terperinci antara kehidupan Habel dan kehidupan Yesus, tetapi dari sudut pandang dunia, gaya hidup Yesus pun dapat dikategorikan sebagai gaya hidup orang bodoh yang sarat dengan kegagalan dan kesia-siaan.
 
Ketika manusia pada umumnya cenderung siap mengorbankan orang lain demi menyelamatkan diri sendiri dari bencana, Yesus justru bersedia mati demi menyelamatkan orang lain, meskipun diri-Nya sendiri tidak bersalah.
 
Ketika semua pakar human resources modern mencari bakat-bakat terbaik, kandidat paling berpengaruh dan orang-orang yang penting untuk mencapai kemajuan sebuah organisasi, Yesus justru memilih beberapa nelayan kampung yang miskin dan sederhana untuk dijadikan para pengikut-Nya.
 
Ketika semua orang senantiasa berusaha memasarkan citra dirinya, atau produknya atau apapun yang mereka miliki demi mendapatkan suatu keuntungan, Yesus memilih untuk menghilang dari tengah-tengah orang banyak dan memilih suatu ketersembunyian, pada saat nama-Nya justru mulai mendapat perhatian dari orang banyak. Benar-benar suatu gaya hidup yang aneh dari sudut pandang dunia dan terlihat sangat kontraproduktif dibandingkan dengan imaginasi banyak pihak mengenai sosok orang penting pada umumnya.
 
Dan ketika semua orang berharap Ia menjadi Mesias yang gagah perkasa serta mampu mengusir tentara Romawi dari wilayah keturunan Abraham, Yesus justru memilih datang sambil menunggangi seekor keledai. Sungguh suatu tindakan yang membuat kita semua heran, geleng-geleng kepala sambil bertanya-tanya: Inikah sosok Raja di atas segala raja itu? Ataukah sebenarnya Dia ini hanya seorang pelawak belaka? Lelucon macam apakah yang coba dibawakan oleh Orang ini? Secara penampilan, Yesus adalah sosok yang jauh dari kesan gagah atau keren sehingga kita kagum melihat Dia.[9]
 
Jalan hidup Yesus adalah jalan hidup kesia-siaan jika dilihat dari sudut pandang dunia yang mengagungkan materi dan prestasi ini. Bahkan pemberitaan tentang salib Kristus, terdengar bagai suatu kebodohan besar bagi dunia kita ini.[10]
 
Jalan kesia-siaan, siapakah yang berminat untuk menelusurinya? Habel adalah sosok mula-mula dari kesia-siaan itu, tetapi bukan Habel saja sebetulnya yang ingin diperlihatkan oleh Alkitab, melainkan Dia, yaitu sosok Habel yang berikutnya, Dia adalah anak Adam yang selanjutnya, yaitu Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat kita.
 
Sebagaimana Alkitab melukiskan bahwa setelah kematian Habel, muncul keturunan lain pengganti Habel yang mulai memanggil nama TUHAN,[11] demikian pula Alkitab mengajarkan pada kita bahwa hanya setelah kematian dan kebangkitan Kristus Yesus di salib itulah, maka muncul pula keturunan lain yang mulai mengenal Allah yang sejati, yaitu orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.[12] Adanya penggambaran secara pararel seperti itu, memberi kesan yang sangat kuat bahwa kedua kisah ini memang saling berhubungan satu sama lain.
 
Kisah Habel bukan kisah sembarangan, ia adalah kisah pendahuluan dari hadirnya kisah Kristus. Memang gambaran pendahuluan ini belum lengkap sifatnya,[13] hanya berupa bayang-bayang yang masih samar. Tetapi melalui kisah Habel ini, setidaknya kita sudah diberi suatu pengharapan bahwa sekalipun Adam dan Hawa melahirkan keturunan yang sangat jahat seperti Kain, tetapi di dalam anugerah-Nya, Allah kita telah menghadirkan pula cikal bakal keturunan manusia yang kelak akan menghancurkan kepala si ular itu sekali untuk selama-lamanya.
 
Kiranya Tuhan memberkati kita.
 
Kata kunci:
Kelahiran Habel
Apakah arti dari nama Habel?
Makna kelahiran Habel bagi kita
Siapakah yang memberi nama Habel?
Apakah Habel merupakan tokoh yang nyata di dalam sejarah?
Apakah nama Habel diberikan setelah kematiannya?
Mengapa Habel diberi nama Vanity?
Mengapa Habel diberi nama kesia-siaan?
Apakah ada persamaan antara kisah Habel dengan kisah Yesus Kristus?
 




[1] Dalam bahasa Ibrani nama Habel di tulis ‘lb,h,’   yang sebetulnya lebih tepat jika dibaca Hevel bukan Habel
[2] Dalam tulisan ini, kita tetap memakai istilah Habel sesuai LAI, bukan Hevel sebagaimana dituliskan dalam aksara Ibrani. Sementara dalam bahasa Inggris, istilah yang dipakai adalah Abel, diambil dari bahasa Yunani Abel yang terdapat dalam Alkitab versi Septuaginta.
[3] Matius 23:35
[4] Saya tidak setuju dengan beberapa penafsir yang mengatakan bahwa Kain dan Habel adalah saudara kembar. Sebab bagaimana mungkin seorang ibu bisa menamai anak yang lahir hampir bersamaan, tetapi dengan respon atau sikap hati yang sangat bertolak belakang seperti itu? Jauh lebih masuk akal dan wajar apabila kita mengasumsikan bahwa ada jeda waktu yang tidak sedikit di antara kedua peristiwa kelahiran tersebut.
[5] Kejadian 2:17
[6] Silahkan merenungkan Matius 7:23 dan Yohanes 17:3, yang menjadi dasar bagi kalimat yang saya tulis.
[7] Bahkan setelah Kain membunuh Habel, ia masih tinggal di dunia cukup lama dan menghasilkan banyak keturunan yang mampu mengukir sejumlah prestasi. Kehidupan Kain adalah gambaran dari kehidupan sukses yang diidamkan banyak orang di dunia.
[8] Alkitab tidak mengindikasikan bahwa Habel memiliki usia yang panjang.
[9] Yesaya 53:2
[10] 1 Kor 1:18
[11] Kej 4:26
[12] Yoh 1:13
[13] Kisah Habel tidak menuturkan adanya kisah kebangkitan seperti Kristus. Meskipun demikian, di dalam kematiannya, Habel masih bisa berkomunikasi dengan Tuhan sehingga sekalipun sudah mati relasi antara Habel dan Tuhan masih tetap ada. Di sisi lain, Kain yang digambarkan secara fisik masih hidup, justru sudah tidak berkomunikasi lagi dengan Tuhan. Menurut Alkitab, kehidupan yang sesungguhnya adalah relasi dengan Tuhan, sementara kematian yang sesungguhnya adalah terputusnya relasi itu.

Wednesday, November 27, 2019

Eksposisi Kejadian 4:1 : Apakah semua orang itu pada dasarnya baik?

 
Apakah semua orang itu pada dasarnya baik?

 

… mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain;
maka kata perempuan itu: "Aku telah mendapat
seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN."… (Kejadian 4:1)


Semua orang pada dasarnya baik” – benarkah?

Jay Austin adalah seorang pria Amerika lulusan Georgetown University yang bekerja di the United States Department of Housing and Urban Development. Sejak tahun 2012, Jay menjalin asmara dengan seorang gadis yang kebetulan berasal dari almamater yang sama dengan Jay. Nama perempuan itu adalah Lauren Geoghegan. Lauren masih bekerja di bagian administrasi kampus ketika bertemu dengan Jay pertama kali.
 
[Baca juga: Apa tandanya seseorang sudah menerima anugerah dari Allah? Klik disini.]

Entah apa yang ada di dalam pikiran Jay dan Lauren, ketika mereka memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan mereka dan memulai sebuah pengalaman baru dalam hidup mereka. Bulan Juli 2017 adalah momen yang mereka pilih untuk meninggalkan kehidupan lama yang telah mereka kenal selama ini, lalu mulai bertualang dengan hanya mengendarai sepeda ke tempat-tempat yang belum pernah mereka jelajahi sebelumnya.

Jay dan Lauren sering mendokumentasikan pengalaman mereka dalam sebuah blog dan di bulan Desember 2017, pasangan yang sempat mencuri perhatian dunia ini dikabarkan telah tiba di Eropa. Dalam blog mereka, Jay dan Lauren sempat mengungkapkan latar belakang kepergian mereka, yaitu dalam rangka membuktikan bahwa “humans are kind” dan bahwa kejahatan atau evil, tidak lebih dari sebuah “make-believe concept” semata-mata.

Keyakinan tinggal keyakinan, seberapa pun kuatnya keyakinan seseorang terhadap sesuatu, tidak mengubah begitu saja realita dunia yang ada.[1] Pada tanggal 29 Juli 2018, ketika Jay, Lauren dan dua simpatisan pesepeda lain yang berasal dari Swiss dan Belanda sedang bersantai mengayuh sepeda mereka di daerah Tajikistan, sebuah mobil yang diisi oleh lima pria berpenampilan garang melewati iring-iringan sepeda mereka.

Pada awalnya, Jay dan Lauren tetap tenang ketika mobil itu berhenti di depan mereka. Mereka yakin bahwa semua manusia pada dasarnya adalah makhluk yang baik, dan bahwa kejahatan bukanlah suatu konsep yang riil. Tetapi keyakinan mereka itu agaknya tidak bertahan lama pada hari itu, mana kala kelima pria itu turun dari mobil, mengeluarkan pisau, parang dan senjata tajam lainnya sambil berjalan menghampiri mereka.

Tidak ada kata-kata, tidak ada dialog, bahkan Jay dan Lauren tidak sempat memohon belas kasihan pada lima pria itu. Satu persatu mereka roboh ke tanah, bersimbah darah setelah dihujam berkali-kali dengan senjata tajam. Mayat mereka berempat tergeletak di jalan tempat mereka dibunuh tanpa belas kasihan dan lima pria tersebut meninggalkan begitu saja tubuh-tubuh tak bernyawa itu karena tidak sudi berhubungan dengan apapun yang mereka anggap kafir.

Dua hari kemudian, The Islamic State atau yang lebih kita kenal sebagai ISIS mengeluarkan video rekaman untuk mengomentari peristiwa tersebut. Tanpa menyesal sedikitpun ISIS menyatakan bahwa merekalah yang melakukan hal itu karena mereka telah bersumpah untuk membunuh semua kaum non-believer yang mereka temui.

Berbeda dengan anggapan Jay dan Lauren, manusia sebetulnya bukan makhluk yang baik. Semua manusia telah jatuh ke dalam dosa dan mempunyai potensi untuk melukai atau bahkan mencelakakan sesamanya. Hanya karena anugerah Allah saja, dunia ini masih bisa berjalan tanpa setiap manusia berusaha memangsa manusia lainnya.[2]

Lauren sebetulnya bukan satu-satunya perempuan yang keliru dalam membuat perkiraan terhadap perilaku manusia. Perempuan pertama yang ada di dunia ini pun tidak luput dari kesalahan serupa.


Dan Kain pun lahir

Setelah dirundung duka karena mendapat hukuman dari Tuhan dan diusir dari Taman Eden, Hawa kini dapat merasa bersyukur kembali dengan adanya kehamilan dan terutama dengan lahirnya seorang anak laki-laki. Meskipun Hawa telah jatuh ke dalam dosa, namun di dalam anugerah Tuhan, Hawa masih bisa melihat kelahiran tersebut sebagai hadiah atau pertolongan dari TUHAN. Bagaimana pun sikap positif semacam ini patut kita acungi jempol bukan? [Baca juga: Kelahiran Kain. Klik disini.]

Pada saat itu, proses lahirnya seorang manusia dari dalam rahim seorang perempuan adalah hal yang sama sekali baru. Bagi Hawa peristiwa itu sangat mungkin benar-benar terasa bagaikan sebuah keajaiban. Sehingga Hawa menyadari bahwa tanpa pertolongan dari TUHAN atau Yahweh maka tidak mungkin dirinya yang telah jatuh ke dalam dosa itu dapat mengeluarkan atau menghasilkan atau seolah-olah “menciptakan” manusia yang baru. Ada rasa takjub dan kagum di dalam kalimat yang diucapkan oleh Hawa.

Hawa pasti tidak lupa, bagaimana Tuhan menghukum dirinya dengan rasa sakit bersalin yang sangat hebat. Pada era sebelum ditemukannya metode bedah untuk mengeluarkan bayi dari dalam kandungan, hampir semua proses kelahiran merupakan saat-saat menakutkan bagi seorang calon ibu. Nyawa seorang wanita sering dilukiskan sebagai telur yang berada di ujung tanduk ketika mereka meregang kesakitan oleh karena proses kelahiran sang bayi.

Itu sebabnya ketika Hawa dan sang bayi itu akhirnya dapat melewati proses kelahiran ini dengan selamat, ada ungkapan syukur yang begitu besar keluar dari hati Hawa atas kebaikan Tuhan yang masih bersedia menolong dirinya.[3]

Selain itu, ucapan syukur Hawa sangat mungkin berkaitan erat pula dengan cara Hawa menafsirkan ucapan Tuhan di Taman Eden. Tuhan pernah berkata:
Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan me-remukkan kepalamu, dan engkau akan meremuk-kan tumitnya." (Kej 3:15)
 
Sangat mungkin Hawa beranggapan bahwa Kain-lah anak yang akan menghancurkan kepala si ular itu. Tidak sedikitpun terbersit dalam benak wanita pertama ini, bahwa anak sulungnya itulah yang justru merupakan representasi dari keturunan si ular itu sendiri. [Baca juga: Apakah Allah pernah bermusuhan? Klik disini]

Dalam bahasa Ibrani perkataan Hawa adalah Qaniti ish et Yahweh.
Yang diterjemahkan: Aku telah mendapatkan seorang laki-laki dari Yahweh.

Tidak sedikit penafsir yang melihat keterkaitan antara Qaniti dalam kalimat ini dengan nama Kain sendiri, yang dalam bahasa aslinya tertulis Qayin. Sehingga mereka melihat bahwa nama Kain sendiri mengandung arti “mendapatkan” atau acquire dalam bahasa Inggris.

Di sisi lain, Gerhard Von Rad, pakar Perjanjian Lama, melihat bahwa nama Qayin itu sama artinya dengan tombak (spear), sebagaimana tertulis dalam 2 Sam 21:16 yang berbunyi: “Yisbi-Benob, yang termasuk keturunan raksasa--berat tombaknya tiga ratus syikal tembaga..” Kata tombak dalam ayat tersebut adalah qenow yang juga mirip dengan nama Kain.

Tetapi saya pribadi lebih setuju dengan orang-orang yang menafsirkan arti nama Kain sebagai “acquire” ketimbang “spear.” Karena saya melihat arti nama tersebut akan sangat kontras dengan arti dari nama Habel.[4] Namun pada kesempatan ini, kita akan lebih dulu memusatkan perhatian kita pada sosok Kain, bukan dari arti namanya, tetapi dari bagaimana Hawa mengekspresikan sikap hatinya atas kelahiran Kain tersebut.

Jika kita perhatikan dengan seksama kalimat Hawa di atas, maka kita akan dapati bahwa istilah yang dipakai oleh Hawa untuk menunjuk kepada Kain adalah ish “seorang laki-laki” (a man) bukan “anak laki-laki” (a boy) sebagaimana yang digunakan oleh LAI. Dalam bahasa Ibrani, istilah anak laki-laki seharusnya memakai istilah yeled.

Jika demikian, mengapa Hawa memakai istilah “seorang laki-laki” untuk menunjuk pada Kain yang saat itu masih bayi? Bukankah istilah “anak laki-laki” seharusnya lebih sesuai? Hal ini mungkin sekali karena Hawa melihat bayi itu bukan terutama dalam kondisinya sebagai bayi, melainkan dalam statusnya sebagai wakil dari umat manusia yang akan mengalahkan kuasa kejahatan itu. Di mata ibunya, Kain adalah pengharapan baru umat manusia, setelah kejatuhan Adam dan Hawa sendiri.

Kita lihat di sini, betapa besar Hawa telah berharap pada Kain, bukan? Tapi dalam keterbatasannya sebagai manusia, Hawa tidak benar-benar sadar betapa merusaknya sifat berdosa yang telah ia turunkan kepada putra pertamanya itu.[5] Sehingga untuk berharap kepada seorang manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, adalah sama saja dengan upaya untuk menjaring angin.


Jadi, kepada siapa kita harus berharap?

Manusia dapat saja menaruh suatu pengharapan yang besar di atas diri manusia yang lain. Namun dalam konteks dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, kita tahu bahwa pengharapan kepada seorang manusia adalah sesuatu yang sangat keliru. Saya pikir Lauren akhirnya sempat sadar akan hal itu, walau sudah terlambat bagi dia untuk menceritakannya sendiri pada kita. Hawa juga belakangan tahu akan kekeliruannya tersebut.

Bagaimana dengan kita? Kita juga sebetulnya tidak kebal terhadap kesalahan semacam ini, bukan? Tanpa kita sadari, kita juga sering menaruh harapan pada orang-orang tertentu dalam hidup kita. Ada orang yang sangat berharap pada anaknya. Ada juga orang yang berharap pada pasangannya, atau orang tuanya. Ada orang yang berharap pada pendetanya, atau pimpinan perusahaannya, atau pemuka agama atau siapapun. Kisah Lauren dan kisah Hawa mengingatkan kita bahwa menaruh pengharapan kepada manusia, atau meletakkan keyakinan penuh pada makhluk yang sudah jatuh ke dalam dosa, adalah sesuatu yang sangat rentan terhadap kesalahan.

Mari kita perhatikan nasihat nabi Yesaya yang berkata demikian:
Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap? (Yesaya 2:22)

Dan biarlah raja Daud menutup pembahasan kita kali ini dengan sebuah nasihat:
Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!  (Mazmur 131:3)

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita dengan keberanian untuk senantiasa hanya berharap kepada Dia. Bersambung ke "Makna kelahiran Habel" (klik disini)

Beberapa pertanyaan untuk direnungkan:
Apakah pesan yang kita dapat dari kelahiran Kain? Klik disini
Apakah semua orang pada dasarnya baik?
Apakah ajaran dunia tentang iman dan kepercayaan?
Apakah ajaran Alkitab tentang iman dan kepercayaan? Klik disini
Mengapa manusia sering melukai sesamanya?
Mengapa kebaikan manusia tidak dapat dipercayai?
Mengapa kesalehan manusia tidak dapat diandalkan?
Apakah kanibalisme dan gladiator masih ada hingga sekarang?
Mengapa Hawa merasa bahagia dengan kelahiran Kain?
Apakah pandangan Hawa terhadap Kain?
Apakah arti dari nama Kain?
Mengapa Hawa menyebut Kain seorang laki-laki?
Mengapa Hawa tidak menyebut Kain sebagai seorang anak laki-laki?
Apakah Alkitab mengajarkan tentang pengharapan kepada manusia?
Apakah kita boleh berharap kepada manusia?
Mengapa kita sering dikecewakan oleh sesama kita?
Mengapa orang tua bisa dikecewakan oleh anaknya sendiri?
Mengapa pacar kita melukai perasaan kita?
Apakah kita boleh berharap pada suami?
Apakah kita boleh berharap pada istri?
Apakah ajaran Alkitab mengenai pengharapan terhadap manusia?
Apakah warisan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya?
Apakah ajaran Alkitab tentang warisan dosa? Klik disini







[1] Dunia mengajarkan, jika kita cukup yakin, maka apa yang kita yakini itu akan menjadi kenyataan. Tetapi Alkitab mengajarkan, justru karena terlebih dulu ada sebuah kenyataan, maka keyakinan itu mempunyai dasar untuk berpijak. Dalam kekristenan yang dibangun di atas Alkitab, yang terpenting bukan seberapa besar keyakinan kita, melainkan di mana atau kepada siapa kita meletakkan keyakinan tersebut. Iman sebesar biji sesawi pun dapat berguna ketika iman itu diletakkan di atas Kristus, Batu Karang yang teguh itu.
[2] Secara umum masyarakat kita memang tidak lagi hidup dalam era kanibalisme ataupun gladiator. Kita tidak lagi hidup pada zaman dimana setiap perselisihan diselesaikan dengan perkelahian yang sadis berdarah-darah. Tetapi siapakah di antara kita yang dapat menyangkal bahwa dalam artian yang berbeda, kita masih sering memangsa sesama kita? Dalam artian yang tidak terlalu fisikal, bukankah kita senantiasa masih berperang antara satu sama lain? Perusahaan besar masih senantiasa ingin menaklukkan dan menelan perusahaan yang lebih kecil. Bangsa yang superpower masih senantiasa ingin menguasai bangsa lain yang lebih lemah. Jika tidak menguasai secara militer, maka setidaknya menguasai secara ekonomi. Dan tentu saja kita semua sadar bahwa walaupun Perang Dunia II telah lama berakhir, di berbagai belahan dunia masih saja terjadi peperangan demi peperangan yang merenggut banyak korban jiwa hingga saat ini. Dan kalau kita pikir bahwa kanibalisme dan gladiator adalah kisah masa lalu, maka mungkin kita perlu lebih banyak membaca lagi agar disadarkan bahwa praktek-praktek itu ternyata masih kerap terjadi di tengah dunia moden ini.
[3] Orang yang luput dari bencana besar, pasti lebih bersyukur daripada orang yang tidak pernah benar-benar merasakan ancaman dari suatu bencana yang besar.
[4] Kita akan membahas arti nama Kain serta perbandingannya dengan arti nama Habel dalam suatu tulisan yang terpisah.
[5] Menurut Alkitab, warisan pertama yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya adalah bibit dosa. Itu sebabnya setiap kita, baik sebagai orang tua, maupun sebagai anak, membutuhkan penebusan Yesus Kristus. Mencoba menyelesaikan masalah ini dengan jalan kesalehan agama, adalah suatu upaya menjaring angin.

Tuesday, November 26, 2019

Eksposisi Kejadian 4:1 : Kelahiran Kain


Kelahiran Kain



Pendahuluan

Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain(Kejadian 4:1)

Sejak lahir hingga detik ketika membaca tulisan ini, kita semua tentu sudah memiliki persepsi sendiri tentang bagaimana dunia ini berjalan.

Sadar atau tidak sadar, kita membangun persepsi itu berdasarkan rupa-rupa informasi yang kita peroleh, entah dari desas-desus yang kita dengar, obrolan populer sehari-hari atau dapat pula terbentuk sendiri di dalam imajinasi kita tentang suatu model kehidupan ideal yang kita impikan. [Baca Juga: Realitas Keberdosaan Seluruh Manusia. Klik disini.]

Tetapi masalahnya, bagaimana jika anggapan, desas-desus, informasi populer dan daya imajinasi yang kita miliki itu ternyata keliru? Bukankah hal itu dapat mengakibatkan kepercayaan kita terhadap banyak hal di dunia ini menjadi keliru pula? Sudahkah kita memeriksa apa yang menjadi dasar bagi kepercayaan kita? Atau jangan-jangan selama ini kita hanya mempercayai saja segala sesuatu tanpa sungguh-sungguh memikirkan dari mana datangnya kepercayaan itu?

Tulisan di bawah ini mungkin akan mengubah cara pandang kita terhadap beberapa hal mendasar dari eksistensi kita sebagai manusia. Semoga melaluinya kita dapat menantang diri sendiri untuk membuat pilihan; apakah ingin terus dengan kepercayaan yang dipegang selama ini, ataukah kita bersedia merangkul gagasan yang diungkapkan oleh Alkitab?

Kemudian manusia itu

Kata “kemudian” dalam ayat ini menjelaskan bahwa kisah Kain dan Habel adalah kelanjutan dari kisah sebelumnya, yaitu kisah Adam dan Hawa, orang tua mereka. Dan karena merupakan sebuah kelanjutan, maka sangat wajar jika kisah ini memiliki keterkaitan yang erat dengan tema yang dibahas pada kisah Adam dan Hawa tersebut.

Setelah pasal 3 berbicara secara gamblang tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka melalui pasal 4 ini kita akan melihat implikasi dari kejatuhan tersebut pada keturunan umat manusia selanjutnya. Kita akan melihat bahwa kondisi keberdosaan manusia tersebut, mau tidak mau telah memberi pengaruh buruk bagi relasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, serta telah merusak pula relasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Akibat dosa, keadaan dunia sudah tidak sama lagi dengan saat ketika Sang Pencipta berkata “sungguh amat baik.” [Baca Juga: Mengapa di tanahku terjadi bencana? Klik disini.]

Mengapa hal ini saya tekankan? Pertama, karena tidak sedikit orang yang masih terkurung dalam paradigma “sungguh amat baik” sebagaimana pernah diucapkan oleh Tuhan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Seolah-olah mereka masih sulit untuk move on dari romantisme spiritual yang melankolis, tanpa keinginan untuk melihat kenyataan bahwa dunia yang “sungguh amat baik” itu sudah berubah secara drastis[1] sejak peristiwa dalam Kejadian pasal 3.

Alasan kedua, karena beberapa catatan yang diuraikan di dalam kisah Kain dan Habel, dicatat berdasarkan sudut pandang orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa.[2] Sehingga cara pandang mereka itu bisa saja sangat keliru dan kita perlu berhati-hati dalam memahaminya.

Manusia itu bersetubuh dengan Hawa isterinya

Istilah yang dipakai untuk kata “bersetubuh” adalah Yada yang artinya to know, atau mengetahui, atau bahkan lebih tepat jika diterjemahkan ke dalam istilah “mengenal.”

Berhubungan seks di dalam konteks Alkitab bukan pertama-tama fokus berbicara tentang nafsu antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana pikiran modern kita yang telah rusak ini memahaminya. Seks di dalam Alkitab, terutama lebih menekankan pada aspek relasi yang intim dan mendalam.[3] Sedemikian intim dan mendalam relasi tersebut sehingga pihak-pihak yang terlibat di dalamnya memiliki pengenalan yang semakin baik akan satu sama lain melalui hubungan seksual tersebut.[4]

Persetubuhan adalah cara natural satu-satunya yang selama ini kita pahami sebagai proses untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia.[5] Sedemikian terbiasanya kita pada cara pandang seperti ini sehingga otak modern kita sulit sekali untuk menerima kenyataan bahwa di dalam Alkitab, seks bukanlah satu-satunya cara yang dipakai oleh Tuhan untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia.

Dalam Kejadian pasal 1 dan pasal 2, Alkitab memberitahukan kita bahwa Sang Pencipta dapat menghadirkan manusia ke dalam dunia tanpa melewati proses hubungan seksual dimana, di dalam aktivitas seperti itu, mutlak dibutuhkan kehadiran sosok pria dan wanita.

Alkitab mengajarkan bahwa sesungguhnya ada empat cara yang telah dipakai Pencipta kita untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia, yaitu:
  1. Tanpa pria, tanpa wanita, contohnya Adam.
  2. Dengan pria, tanpa wanita, contohnya Hawa.
  3. Tanpa pria, dengan wanita, contohnya Yesus Kristus.
  4. Dengan pria, dengan wanita, contohnya kita semua.
Dari Alkitab kita belajar bahwa seks hanyalah satu di antara cara-cara lain yang dapat dipakai oleh Yang Mahakuasa untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia. Seks bukan satu-satunya cara yang ada.

Betapa kaya dan betapa agungnya Allah kita, bukan? Karya-Nya tidak dapat dibatasi oleh pikiran kita yang terbatas. Selama ini kita beranggapan, bahwa seorang manusia baru dapat hadir ke dunia apabila ada sosok ayah dan sosok seorang ibu. Tetapi ternyata gagasan itu tidak sepenuhnya lengkap dan bukan merupakan suatu syarat mutlak yang dapat membatasi kuasa Sang Ilahi. Yohanes Pembaptis, dalam keadaan dipenuhi oleh Roh Kudus, bahkan pernah berkata: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! (Lukas 3:8). Siapakah kita manusia yang berhak mempertanyakan kemampuan Tuhan dan secara gegabah ingin menghina serta membatasi kekuasaan-Nya?

Dunia ini yang begitu menentang ajaran Alkitab bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah. Bagi para penentang itu, jika Yesus adalah Anak Allah[6] dan Allah adalah Bapa-Nya, lantas siapakah yang telah menjadi ibu Yesus? Bagaimana cara allah berhubungan seks dengan perempuan itu (siapapun dia) sehingga allah bisa mempunyai seorang anak? Demikian orang dunia biasanya mengolok-olok kepercayaan bahwa Yesus adalah Anak Allah.

Tetapi, betapa absurd-nya pikiran seperti itu, bukan?

Sikap semacam itu adalah suatu gambaran dari sempitnya cara berpikir yang telah dikurung oleh keyakinan bahwa allah tidak mungkin dapat berbuat apapun untuk menghadirkan manusia kecuali melalui proses seksual semata-mata. Dalam pikiran mereka, jika tidak ada seks maka bahkan allah sekalipun pasti akan kewalahan dalam menangani urusan reproduksi manusia.

Namun ironisnya, tidak sedikit sistem kepercayaan di dunia ini yang menerima kisah Adam dan Hawa, bahkan kisah ini tertulis pula dalam kitab yang diangap suci oleh para penganut kepercayaan itu. Tetapi, bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Jika orang dapat mengakui Adam dan Hawa, bukankah seharusnya mereka sadar bahwa seks bukanlah satu-satunya proses yang dibutuhkan oleh Allah untuk menghadirkan seorang manusia? Apakah mereka mau menentang gagasan yang tertulis di dalam kitab suci tersebut? Ataukah mereka sebenarnya tidak sungguh-sungguh percaya pada isi kitab mereka sendiri? Atau mungkin mereka sendiri tidak pernah membacanya, tidak pernah merenungkan apalagi memikirkan hal itu? Inilah yang saya sebut di bagian awal tadi sebagai suatu sikap yang mempercayai sesuatu tanpa memiliki dasar bagi apa yang dipercayainya itu. Seseorang bisa sangat fanatik pada apa yang mereka percayai, sekalipun ia tidak sadar darimana dasar kepercayaannya itu berasal.

Sebagai pengikut Kristus, kita tidak dipanggil untuk mempercayai sesuatu yang tidak memiliki dasar untuk dipercayai. Alkitab adalah Firman Tuhan yang disampaikan kepada kita untuk menjadi dasar bagi kepercayaan kita. Kita tidak bisa mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus sambil pada saat yang bersamaan membangun sendiri gambaran-gambaran tentang manusia, tentang Tuhan, tentang alam semesta atau tentang apapun, tanpa memeriksa terlebih dahulu apa yang Alkitab katakan mengenai hal tersebut. Sebab jika Yesus Kristus saja begitu mengagungkan Alkitab, mengapa kita pikir bahwa kita boleh berbeda?

Ada orang yang seakan terlihat seperti pengikut Yesus, tetapi orang itu lebih mempercayai tradisi manusia (atau bahkan tradisi gereja) ketimbang Alkitab itu sendiri. Ada pula orang yang sepertinya mengenal Kristus, tetapi lebih menyukai penampakan-penampakan yang bersifat magis, ketimbang memahami ajaran Alkitab. Tentu saja hal seperti itu tidak sesuai sama sekali dengan jalan pikiran Yesus Kristus, para rasul dan para misionaris-Nya[7] yang sejati.

Alkitab melampaui imajinasi maupun tradisi kita. Alkitab melampaui perasaan dan juga logika kita. Alkitab adalah Firman Tuhan, dasar yang kokoh bagi iman kepercayaan kita.[8]

Perempuan itu mengandung lalu melahirkan Kain

Persetubuhan yang dicatat dalam Kejadian 4:1 ini adalah persetubuhan pertama yang dicatat oleh Alkitab. Oleh karena itu, anak yang lahir sebagai hasil dari persetubuhan tersebut adalah anak pertama yang dilahirkan di dalam dunia pasca kejatuhan ke dalam dosa. Sebelum Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Alkitab tidak mencatat adanya seorang anak atau sekelompok anak yang dilahirkan oleh pasangan pertama itu.

Dari sini, kembali kita belajar satu prinsip Alkitabiah yang penting, yaitu bahwa semenjak lahir manusia sudah memiliki bibit dosa di dalam dirinya. Kain adalah anak pertama Adam dan Hawa setelah mereka jatuh ke dalam dosa. Dan ketika lahir Kain sudah membawa bibit dosa di dalam dirinya yang ia peroleh dari orang tuanya tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan gagasan Alkitab yang kita baca ini, maka dapat kita simpulkan bahwa semua orang di dunia ini pun adalah orang yang berdosa, karena kita semua pun keturunan Adam dan Hawa.

Gagasan seperti ini lagi-lagi berbeda dengan gagasan populer yang ada di dalam masyarakat, maupun gagasan di dalam sistem kepercayaan lain di luar Alkitab. Keyakinan di luar Alkitab mengajarkan bahwa seorang bayi itu pada dasarnya adalah makhluk suci yang polos bersih, bagaikan kertas putih tanpa noda.[9] Tetapi Alkitab, melalui kisah Kain, mengajarkan bahwa dosa Adam dan Hawa bukan saja turun kepada Kain, tetapi juga telah berkembang di dalam diri Kain menjadi semakin mengerikan dan semakin berbahaya.
 
Bukan hanya kitab Kejadian yang mencatat gagasan seperti ini. Raja Daud di dalam salah satu nyanyian Mazmur yang ditulisnya, juga mengaku: Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. (Mazmur 51:5)

Raja Daud memiliki perspektif yang jelas mengenai seperti apakah manusia itu. Dengan rendah hati, Daud mengaku bahwa sejak masih di dalam peranakan pun, dia sudah terhitung di antara orang-orang yang bersalah di hadapan Tuhan. Sejak masih di dalam kandungan ibunya pun, ia telah ternoda oleh dosa-dosa manusia. Bagaimana hal seperti ini dapat terjadi? Bukankah Daud belum berbuat apa-apa ketika masih di dalam kandungan ibunya?

Daud memang belum melakukan kesalahan apapun semasa ia berada di dalam kandungan, tetapi Daud tahu bahwa sebagai keturunan Adam dan Hawa yang telah jatuh ke dalam dosa, ia sudah membawa bibit dosa itu di dalam dirinya. Janin Daud adalah hasil pertemuan sperma dan ovum dari manusia-manusia yang juga sudah jatuh ke dalam dosa, itu sebabnya ia juga diperhitungkan sebagai orang berdosa. Bukankah penuturan Daud ini sejalan dengan apa yang diutarakan dalam kisah Kain yang sedang kita bahas?

Jika kita berpikir bahwa Daud mungkin sedang melamun ketika ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa, rasul Paulus justru tidak berpikir demikian. Sebaliknya rasul Paulus setuju dengan jalan pikiran raja Daud itu. Paulus yang hidup 1000 tahun setelah Daud, mengutip kata-kata sang raja ketika ia menulis dalam suratnya: Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. (Roma 3:10)

Dan bukan hanya Paulus yang berpendapat seperti itu, tetapi Tuhan Yesus sendiri pun mengatakan: Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. (Markus 10:18)[10]

Tidak dapat dipungkiri lagi, bukan? Ada suatu keseragaman dalam cara berpikir dari tokoh-tokoh Alkitab tentang kondisi keberdosaan manusia, mulai dari Adam, Hawa, lalu Kain dan seterusnya hingga kepada kita semua saat ini. Kegagalan kita dalam memahami hal mendasar ini, niscaya akan membawa kita pada kegagalan dalam memahami signifikansi kematian Kristus di kayu salib.

Menentukan pilihan

Setelah membaca kisah Kain, mendengar penuturan raja Daud, memperhatikan pendapat Paulus serta menyimak komentar Kristus, apakah kita masih berencana untuk memiliki gagasan yang berbeda dengan mereka semua?

Pilihan ada di tangan kita masing-masing, kita boleh setuju, boleh pula tidak suka pada gagasan tersebut. Kekristenan tidak pernah memaksa seseorang untuk menganut ini atau menganut itu. Siapakah yang berkata bahwa kita tidak bisa memilih untuk menentang Paulus, atau menentang Kristus sekalipun? Tentu saja bisa, tetapi biarlah kita senantiasa ingat, bahwa setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang akan mengikutinya.

Pandangan Alkitab berkata: karena manusia secara intrinsik sudah berdosa, maka manusia pasti akan melakukan perbuatan dosa.

Tetapi pandangan dunia berkata: hanya ketika seseorang melakukan perbuatan dosa sajalah, maka orang itu baru dapat disebut berdosa.

Setelah membaca tulisan ini dan melihat berbagai perbedaan pandangan antara Alkitab dan apapun yang ada di luar Alkitab, apakah kita masih ingin mengatakan bahwa semua sistem kepercayaan itu pada dasarnya sama saja? Kecuali jika kita memang buta atau memiliki problem yang akut di dalam proses berpikir, maka sudah pasti kita akan berkesimpulan bahwa semua kepercayaan itu pada dasarnya tidak mungkin sama, bukan?

Apabila kita menolak gagasan yang diutarakan oleh Kitab Kejadian, Mazmur Daud, Injil Yesus Kristus dan surat Paulus tentang kondisi keberdosaan yang hakiki di dalam diri manusia, maka mau tidak mau kita juga harus menolak gagasan bahwa kematian Yesus Kristus di atas kayu salib adalah suatu penebusan yang mutlak bagi keselamatan kita. Mengapa? Karena semua gagasan itu disampaikan oleh Alkitab yang sama sebagai satu kesatuan message. Kita tidak bisa menerima yang satu tetapi menolak yang lain.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk memilih apa yang benar.
Tuhan memberkati. (Oleh: izar tirta)

Beberapa pertanyaan untuk direnungkan:
Apa saja yang kita pelajari dari eksposisi Kejadian 4:1 ini?
Apa hubungan antara kisah Adam dan kisah Kain?
Mengapa Tuhan berkata sungguh amat baik, padahal hidup ini penuh penderitaan?
Apa yang dimaksud dengan Adam bersetubuh dengan Hawa?
Bagaimana Alkitab melihat hubungan seksual?
Bagaimana cara Allah atau Tuhan menciptakan manusia?
Bagaimana cara Allah atau Tuhan menghadirkan manusia ke dalam dunia?
Ada 4 cara Tuhan menghadirkan manusia ke dalam dunia, apa sajakah?
Pembahasan tentang Allah menjadikan anak dari batu.
Bagaimana pandangan Kristen terhadap inseminasi buatan?
Bagaimana memahami Yesus sebagai Anak Allah?
Jika Allah adalah Bapa dan Yesus adalah Anak, lalu siapakah ibu-Nya?
Siapakah manusia pertama yang lahir dari perempuan?
Kisah kelahiran Kain.
Apakah semua orang pada dasarnya baik? Klik disini
Apakah bayi-bayi memiliki dosa?
Bagaimana pandangan Alkitab tentang bayi?
Mengapa Daud mengaku bersalah sejak ada dalam kandungan? Klik disini
Apakah perbedaan antara pandangan Alkitab dan pandangan dunia tentang dosa?
Apakah alasan Tuhan Yesus rela menjadi Manusia? Klik disini






[1] Saya sudah membahas ini dalam tulisan berjudul “Mengapa di tanahku terjadi bencana?”
[2] Terutama dari sudut pandang Hawa dan juga sudut pandang Kain.
[3] Walau bukan berarti Alkitab mengesampingkan sama sekali aspek fisikal dari aktivitas tersebut.
[4] Bahkan Alkitab memakai istilah Yada pula untuk mengungkapkan bagaimana Allah mengenal kita.
[5] Dengan majunya ilmu kedokteran, manusia dapat melakukan inseminasi buatan (artificial insemination). Namun bahkan dalam proses yang diberi label artificial ini pun, tetap dibutuhkan persatuan antara sel sperma dan sel telur wanita untuk menghasilkan janin yang baru. Sehingga sekalipun proses ini tidak melibatkan aktivitas seksual, namun persetubuhan dalam level sel tetap harus terjadi, dan tetap harus ada laki-laki dan perempuan sebagai penyedia sel sperma dan sel telur tersebut.
[6] Status Yesus sebagai Anak Allah tidak ada hubungan sama sekali dengan peristiwa seksual. Yesus diperanakkan secara spiritual oleh Bapa di dalam kekekalan, melampaui ruang dan waktu. Sebagai Anak, Yesus senantiasa menunjukkan sikap yang taat serta submissive kepada Bapa-Nya.
[7] Kita sudah membahas hal ini ketika membicarakan tentang Lukas 1:1-4. Mulai dari kisah William Carey hingga catatan sejarawan sekuler atas peristiwa yang berhubungan dengan Yesus Kristus.
[8] Lihat dan renungkan Efesus 2:20 serta Yohanes 17:17 sebagai dasar bagi kalimat yang saya sebutkan ini.
[9] Keadaan ini kadang dikaitkan pula dengan istilah “tabula rasa”
[10] Kita sudah membahas hal ini ketika mempelajari kisah perjumpaan Tuhan Yesus dengan pemimpin muda yang kaya itu.