Saturday, December 31, 2022

Mengapa Tuhan mau hadir dalam kerapuhan?

Sebuah perenungan Natal tentang kekuatan di dalam kerapuhan


Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah.. (Lukas 2:1)

Dalam tulisan berjudul “Antara Herodes dan Zakharia,” saya telah menyebutkan bagaimana Lukas memberikan koridor-koridor sejarah ke dalam tulisan Injilnya sebagai suatu pesan bahwa kisah kehidupan Yesus Kristus bukanlah suatu dongeng melainkan suatu peristiwa yang benar-benar terjadi di dalam konteks sejarah manusia.


Rekomendasi Buku:
"Karena Betlehem"
Klik disini.

Dalam peristiwa kelahiran Yesus Kristus, Lukas sekali lagi menyebutkan suatu sosok di dalam sejarah yang bahkan lebih besar dari Herodes, dia adalah Kaisar Agustus. Menurut kacamata dunia, Agustus adalah penguasa yang sebenarnya, sedangkan Herodes hanyalah raja boneka kepunyaan Romawi yang dapat diatur-atur menuruti kemauan sang Kaisar.

Tetapi, Alkitab bukan ditulis karena penulisnya kagum pada kebesaran Agustus yang melebihi Herodes. Alkitab ditulis agar kita tahu bahwa ada yang jauh lebih besar dari Agustus, yaitu Dia, Sang Penguasa sejati yang saat itu sedang datang ke dalam dunia.

Pada masa itu kekuasaan Kaisar sangatlah besar, ia menaklukkan banyak daerah, mengalahkan berbagai kerajaan dan memiliki kekuatan militer paling menakutkan di zamannya. Sekali Kaisar mengeluarkan perintah, maka ada banyak orang yang hidupnya akan terpengaruh oleh perkataannya tersebut.

Di satu sisi, secara kasat mata, Yusuf dan Maria hanyalah dua orang biasa dari kaum rakyat jelata yang hidupnya harus digeser kesana kemari karena sebuah perintah yang dikeluarkan oleh Kaisar. Ketika Kaisar berkata semua orang harus mendaftarkan diri masing-masing di kotanya sendiri, maka Yusuf dan Maria tidak punya pilihan lain kecuali mematuhi keinginan sang penguasa Romawi.

Tetapi di sisi lain, jika kita melihat peristiwa itu dari perspektif Ilahi, maka kita tahu bahwa Kaisar pun sebetulnya sedang dikendalikan oleh suatu kuasa yang jauh lebih besar dari dirinya. Apa yang Kaisar lakukan tidak lain dan tidak bukan adalah bagian dari rencana Allah yang sudah ditetapkan sejak lama, jauh sebelum Kaisar Agustus lahir. Mungkin Kaisar dengan kerajaan dunianya sudah merasa bahwa dialah yang paling besar. Sampai tibalah kerajaan Allah, yang sekalipun kehadirannya diawali oleh bayi yang lemah namun merupakan kerajaan yang tidak akan pernah berakhir.

Sangat disayangkan apabila sebagai orang Kristen kita juga menaruh kekaguman hanya kepada hal-hal yang lahiriah seperti itu. Sebab Natal yang pertama kali terjadi di dunia telah mengajarkan kita untuk melihat jauh melampaui hal-hal yang kelihatan, yaitu kepada Dia, yang tersembunyi, yang biasa-biasa saja, yang dapat dengan mudah terluput oleh pandangan kita.

Kerajaan Allah bukan datang dengan ribuan malaikat gagah perkasa yang dapat segera dilihat dan membuat semua orang ketakutan dan menjadi (terpaksa) percaya. Kerajaan Allah bukan hadir melalui raja yang menaklukkan semua orang dengan pedang dan gada besi. Natal mengajarkan pada kita bahwa Kerajaan Allah justru hadir sebagai bayi, yang tidak berdaya, miskin, tergeletak di antara binatang-binatang.

Kekuatan-Nya bukan terletak dari kuasa-Nya yang memaksa, melainkan justru dari kerapuhan-Nya yang membiarkan orang untuk menerima atau menolak Dia, untuk mengagumi atau melecehkan-Nya, untuk mencintai atau membenci-Nya.

Kiranya melalui berita Natal, kita boleh belajar untuk mencari Dia di dalam keberadaan-Nya yang tersembunyi sekaligus begitu nyata, di dalam kerapuhan-Nya yang sekaligus juga adalah kekuatan-Nya. Tuhan Yesus memberkati. Amin…

 

…………………………..

Saturday, November 12, 2022

Kepedulian Tuhan Yesus pada manusia sungguh tanpa pamrih

Antara Kristus dan Kapitalisme


Jika dalam tulisan sebelumnya kita merenungkan tentang orang banyak yang datang berbondong-bondong untuk mengikut Tuhan Yesus, maka pada bagian ini, kita akan melihat bagaimana respon Tuhan kita terhadap kedatangan orang banyak tersebut.

Respon Tuhan Yesus yang sempat dicatat oleh Yohanes sehubungan dengan peristiwa itu adalah: Ketika Yesus memandang sekeliling-Nya dan melihat, bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada Filipus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?" (Yoh 6:5)

Saya ingin menyoroti perkataan ini dari sisi kepedulian Tuhan Yesus terhadap kebutuhan manusia. Tuhan Yesus yang kita baca di dalam Injil Yohanes, khususnya dalam peristiwa di atas bukit ini, adalah sosok yang benar-benar memiliki kepedulian terhadap kebutuhan manusia.

Dan yang sangat menarik dari kejadian ini adalah, apabila kita mengintip akhir dari kisah mukjizat spektakuler di atas bukit ini, kita akan mendapati bahwa orang yang datang berbondong-bondong mencari Yesus itu bukanlah orang yang kemudian akan percaya kepada Dia. Nampaknya mereka hanya tertarik pada mukjizat atau hal-hal yang spektakuler saja. Pada akhir kisah, kita melihat bahwa banyak dari mereka yang tetap tidak mengerti, tetap tidak mengenal dan pada akhirnya malah pergi meninggalkan Dia.

Apakah Tuhan Yesus tidak tahu bahwa orang-orang ini akan meninggalkan Dia? Saya yakin Tuhan Yesus tahu, bagaimanapun Dia adalah Allah yang mahatahu. Tetapi keadaan tersebut rupanya tidak menghentikan Tuhan kita dari niat-Nya untuk melakukan suatu tindakan belas kasihan terhadap mereka.

Hal serupa terjadi juga pada Yudas, meskipun Tuhan Yesus tahu bahwa Yudas pada akhirnya akan mengkhianati Dia, tetapi Tuhan kita tidak membeda-bedakan orang, semua murid dilayani-Nya secara tuntas. Ketika Tuhan Yesus mencuci kaki para murid, kaki Yudas juga ikut dicuci.

Cukup masuk akal bagi kita jika Tuhan Yesus mencuci kaki Petrus, pada suatu saat Petrus akan berkhotbah dan tiga ribu orang bertobat. Kalau Tuhan Yesus mencuci kaki Thomas mungkin kita juga tidak heran, suatu saat kaki Thomas itu akan membawa dia pergi jauh hingga ke India untuk memberitakan Injil. Tetapi kaki Yudas??

Bagi orang-orang yang entah mengapa merasa begitu benci kepada Yesus Kristus, biarlah mereka mengetahui bahwa kebencian mereka terhadap Dia sungguh-sungguh tidak masuk di akal. Yesus memiliki hati yang demikian besar, penuh kebaikan, kelembutan dan belas kasihan. Ia tidak suka menghitung untung rugi di dalam memberikan suatu pelayanan kepada orang lain, bahkan kepada orang-orang yang membenci-Nya sekalipun.

Kembali ke peristiwa di bukit itu, coba bayangkan kalau kita yang jadi Tuhan Yesus, mungkin kita biarkan saja orang-orang ini cari makanan sendiri, bukan? Toh bukan kita yang mengundang mereka untuk datang, merekalah yang mau datang sendiri. (Siapa suruh gak bawa bekal..!) Lagipula, kita juga sudah tahu kok bahwa pada akhirnya mereka akan pergi juga dan tetap tidak percaya. (Ngapain orang-orang kayak gitu dipusingin?)

Tapi… yah.. begitulah, seringkali cara berpikir kita memang sudah sangat dipengaruhi oleh cara berpikir kapitalisme. Sadar atau tidak sadar kita suka membuat prediksi tentang apa yang akan terjadi kelak jika seseorang mendapat pelayanan dari kita. Apakah orang itu nanti akan memberi persembahan ke gereja kita? Ke rekening mana dia akan transfer? Apakah dia mau sumbang tanah, atau bangun gereja buat jemaat kita? Bukankah lebih baik bangun gereja di perumahan elit ketimbang di desa karena setidaknya di perumahan elit kekuatan finansial gereja akan lebih terjamin? .. dan seterusnya… dan seterusnya..

Atau.. okelah.. mungkin itu contoh  yang terlalu bersifat materialistis, saya akan buat contoh yang sedikit lebih rohani... “Apakah jika orang ini dilayani, maka kelak dia akan berguna bagi gereja? Apakah dia akan aktif melayani? Apakah dia akan menjadi berkat bagi jemaat kita? (Cukup rohani bukan?) Buat apa menginjili jauh-jauh, sebab kalau mereka percaya pun mereka tidak akan datang ke gereja kita kan?” Dan seterusnya… dan seterusnya..

Tetapi entah contoh yang materialistis maupun contoh yang kelihatan agak rohani, kita tidak bisa memungkiri bahwa cara berpikir seperti itu tetap saja merupakan cara berpikir untung rugi layaknya kaum kapitalis. Dapatkah kita melayani seseorang demi orang itu sendiri? Dapatkah kita melayani seseorang karena ia memang butuh untuk dilayani? Dan terutama, dapatkah kita melayani orang karena Tuhan meminta kita untuk melayani dia?

Kita bisa termasuk kaum kapitalis rohani jika kita berpikir bahwa lebih penting melayani generasi muda daripada generasi lanjut usia. Sebab secara logika sederhana, generasi muda memberi harapan yang lebih besar, jalan hidup mereka masih panjang. Sekarang mereka memang masih anak-anak, tetapi suatu saat mereka bisa saja jadi orang sukses dengan kekuatan finansial yang cukup untuk menopang kebutuhan gereja kita. Sounds familiar?

Tentu dengan berkata begini, bukan berarti bahwa pelayanan kepada generasi muda itu tidak penting. Point-nya adalah, di mata Tuhan baik anak muda maupun orang yang sudah lanjut usia, sama-sama penting dan sama-sama perlu dilayani. Tuhan Yesus pernah menyembuhkan orang yang sudah bungkuk selama 18 tahun. Dapat diperkirakan bahwa orang itu adalah orang yang sudah lanjut usia. Jika ditinjau dari sudut pandang kapitalis, untuk apa Yesus menolong satu orang yang sudah tua seperti itu? Mengapa Tuhan Yesus tidak konsentrasi melayani anak-anak muda Israel saja, yang kelak lebih memungkinkan untuk menjadi tulang punggung gereja dan menjadi penerus berita kekristenan yang lebih efektif? Mengapa Tuhan Yesus tidak seperti itu? Sebab Yesus adalah Sang Mesias, bukan sang kapitalis.

Kita bisa termasuk kaum kapitalis rohani jika kita berpikir bahwa lebih penting melayani di kota besar ketimbang di daerah terpencil. Kita bisa saja melumuri tindakan kita itu dengan alasan-alasan keren seperti: yah.. di kota besar kan orangnya lebih banyak, kita bisa pengaruhi orang lebih luas sehingga kerajaan Allah bisa tersebar lebih cepat ketimbang kalau satu orang berpendidikan tinggi harus pergi ke desa-desa yang kecil, mempengaruhi sedikit orang. Sampai kapan nama Tuhan akan dimuliakan kalau begini caranya? Kita melayani di kota besar dulu, nanti resources yang terkumpul lumayan besar itu barulah kita pakai untuk melayani di desa-desa.

Zaman kita yang semakin maju ini telah memperkenalkan istilah-istilah keren seperti enterpreneur, artpreneur, travelpreneur, sportspreneur, scipreneur dan lain-lain yang semuanya memadukan antara sebuah kegiatan; entah itu seni, traveling, olah raga ataupun science dengan bisnis. Kalau kita tidak hati-hati, bukan tidak mungkin suatu saat nanti muncul pula istilah churchpreneur, bukan?

Tuhan Yesus melayani Yudas sampai tuntas, walaupun Dia sudah tahu bahwa Yudas akan pergi mengkhianati Dia. Tuhan Yesus tetap menyembuhkan sepuluh orang kusta, meskipun hanya satu yang kembali untuk mengucap syukur. Tuhan Yesus memberi makan beribu-ribu orang di atas bukit itu, walau pada akhirnya mereka meninggalkan Dia. Tuhan Yesus mati di kayu salib bagi seluruh dunia, walau hanya sebagian kecil saja dari umat manusia yang kemudian menanggapi perbuatan-Nya tersebut dengan kasih dan penghargaan.

Tuhan Yesus tidak henti-hentinya berbuat kebaikan dan melayani orang lain, meskipun hasil pelayanan-Nya kelihatan seperti tidak seimbang dengan pengorbanan yang dilakukan. Tuhan Yesus itu bagaikan seorang investor tidak pengalaman yang gak tahu apa-apa tentang Return on Investment (ROI). Ketika Tuhan Yesus memandang sekeliling, yang Ia lihat bukan opportunity untuk meraih keuntungan atau mendapat pamrih. Ketika Tuhan Yesus memandang sekeliling, yang Ia lihat adalah manusia yang butuh dilayani.

Dari peristiwa ini kita belajar bahwa Tuhan Yesus yang diberitakan oleh Alkitab adalah Tuhan Yesus yang tidak suka hitung-hitung untung rugi terhadap manusia. Tuhan Yesus yang hanya tahu bagaimana harus melakukan kehendak Bapa-Nya. Tuhan Yesus yang selalu menyerahkan hasil akhir pelayanan-Nya semata-mata demi kemuliaan Sang Bapa saja. Dan kita patut bersyukur karena memperoleh kesempatan untuk mengenal sosok Kristus yang seperti ini, sebab jika Tuhan Yesus hitung-hitungan, sangat mungkin Dia juga tidak akan sudi turun ke dunia untuk menyelamatkan kita.

Bagi Tuhan Yesus, suatu keberhasilan bukan diukur dengan angka-angka, bukan pula dinilai berdasarkan ada atau tidak adanya return yang memadai. Bagi Kristus, suatu keberhasilan dinyatakan melalui kesetiaan di dalam menjalankan apa yang ditugaskan oleh Bapa untuk dijalankan.

Kita tahu bahwa menjalankan sikap hidup seperti ini di dalam dunia yang sudah dirasuki oleh cara berpikir kapitalisme bukanlah suatu perkara gampang. Orang dunia hanya melihat hasil dan cara pandang seperti ini pun tidak jarang sudah meresap pula ke dalam lingkungan keluarga bahkan lingkungan gereja. Pertanyaannya tinggal, apakah kita lebih suka tenggelam di dalam cara berpikir dunia, karena kita anggap cara itu lebih masuk akal dan sesuai dengan tuntutan kehidupan? Atau kita ingin membiarkan Tuhan menebus cara pandang kita ini dan menyesuaikannya dengan cara pandang Kerajaan Allah?

Kiranya Allah Tritunggal berbelas kasihan menolong kita untuk memiliki hati seperti seperti Kristus. Amin. (Oleh: Izar Tirta).