Saturday, August 11, 2007

Firman Tuhan adalah kebenaran - Bagian 1

Pada tulisan terdahulu kita telah mempelajari bahwa Firman Tuhan amat penting bagi kita karena:

  1. Hidup kita ditopang oleh Firman
  2. Firman itu berlaku selamanya, seumur hidup kita selalu harus memperhatikan Firman itu.
  3. Firman itu berkuasa, kita tidak mungkin menentang melainkan harus mentaati-Nya.
  4. Firman itu memberi kebebasan pada manusia untuk memilih, penting sekali untuk kita memilih apa yang benar di antara pilihan yang salah.

Tetapi apakah Firman itu?

Dalam pengertian yang sederhana Firman berarti kata-kata. Lantas, apakah arti dari kata-kata?

Kebutuhan akan kata-kata

Mungkin tidak terlalu mudah bagi anda untuk menemukan sebuah buku yang mengulas arti atau definisi dari kata-kata. Lagi pula, apa pentingnya memikirkan hal itu bukan? Mungkin saja, tetapi sebagai orang Kristen yang hidup bergaul dengan Firman Tuhan, agaknya perlu juga kita meluangkan waktu untuk merenungkan arti yang terkandung di dalam istilah “Firman” atau “kata-kata.” Sebab melaluinya kita setidaknya mempunyai pengertian yang baik dalam memandang posisi atau status Firman Tuhan di dalam hidup kita.

Kata-kata sesungguhnya adalah sebuah wadah atau sarana untuk mengutarakan apa yang kita pikirkan, kita rasakan dan kita kehendaki. Sebagai sebuah pribadi yang hidup, kita memiliki ketiga aspek tersebut yaitu pikiran/intelegensia, emosi/perasaan dan kehendak/kemauan(willingness). Semua yang kita pikirkan, rasakan dan kehendaki terjadi di dalam otak kita, dan sejauh kita tidak menyatakan semua itu dalam bahasa komunikasi, maka hanya kita pribadilah yang mengetahuinya.

Dapatkah anda bayangkan sebuah dunia tanpa kata-kata?

Cobalah masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan bayi-bayi yang berusia kira-kira di bawah satu tahun. Betapa ributnya jika mereka ingin mengutarakan sesuatu bukan? Mereka menjerit, saling meneriaki, membuat gerakan-gerakan yang bagi kita mungkin tidak mudah untuk mengartikan apa yang mereka maksudkan.[1]

Untunglah kondisi semacam itu hanya terjadi pada masa-masa awal kehidupan manusia. Dengan bertambahnya usia, kita mulai belajar menggunakan kata-kata untuk mengutarakan pikiran kita. Bahkan lebih lanjut kita manusia mulai belajar untuk mengaplikasikan kata-kata itu kedalam sekumpulan gambar-gambar yang kita setujui bersama (konsensus) untuk mewakili bunyi tertentu. Sehingga akhirnya kita mengenal apa yang disebut sebagai huruf.

Kata-kata dan huruf kemudian berkembang menjadi semacam kekuatan yang hidup di tengah-tengah kita. Kata-kata dapat dipakai untuk membangun maupun menghancurkan. Huruf yang dikemas dengan apik dapat dipakai untuk menjalin suatu kisah, suatu berita ataupun suatu petunjuk yang berguna bagi hidup kita. Dampak kata-kata dan huruf di dalam hidup kita demikian besarnya, sehingga jika kita tidak hati-hati dalam menggunakannya maka potensi sebesar itu dapat segera berubah menjadi krisis yang dahsyat. Adolf Hitler adalah seorang diktator yang sangat pandai memakai orasi-orasinya yang penuh semangat untuk menggerakkan kaum muda Jerman untuk bangkit menjadi bangsa yang kuat. Namun sayangnya, kekuatan orasi yang begitu hebat juga dipakai oleh Hitler untuk membasmi orang Yahudi yang begitu dibencinya. Mengapa begitu banyak orang mau percaya pada ide-ide Hitler dan mau mendukung dia? Tidak lain karena kekuatan kata-katanya yang seolah mampu menyihir pikiran orang lain. Di sisi lain, John Calvin berhasil membuat perubahan di dalam arah kemajuan dunia, juga melalui kata-kata yang ia tuliskan. Kata-kata, ia dapat menghancurkan tetapi dapat pula membangun.

Ketika kita bertemu seseorang yang belum kita kenal, mungkin sekali kita membuat prasangka-prasangka. Siapa orang ini? Mau apa dia ke sini? Apakah dia bermaksud baik atau jahat? Dan berbagai pertanyaan lain yang mungkin muncul di dalam benak kita. Baru setelah terjalin kata-kata antara kita dan dia, segala pertanyaan dalam benak kita itupun mulai terjawab satu persatu dan sedikit demi sedikit kita pun mulai mengenal orang tersebut. Melalui kata-kata, seorang manusia menyatakan apa yang ada di dalam pikirannya, apa yang ia rasakan dan apa yang ia kehendaki. Melalui kata-kata, jati diri seseorang dapat menjadi jelas.

Pertanyaannya, apakah hanya melalui kata-kata seseorang dapat mengemukakan pikiran, perasaan dan kehendaknya? Apakah melalui kata-kata saja kita dapat mengenal dan dikenal? Tentu saja tidak, namun kata-kata adalah media yang paling jelas dan paling populer diterima secara umum oleh sebagian besar umat manusia sebagai sarana berkomunikasi. Bagi orang-orang yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat berbicara (tuna rungu dan tuna wicara) tentu saja ada bahasa isyarat yang dapat dipakai sebagai sarana komunikasi. Dan tiap-tiap kelompok manusia biasanya mempunyai bahasanya sendiri untuk saling berkomunikasi. Apapun bahasanya, apapun sarananya, komunikasi adalah kata kunci yang menghubungkan pribadi yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, bagaimana komunikasi dapat terjalin antara manusia dengan Allah, mengingat kedua jenis pribadi tersebut memiliki perbedaan kualitas yang tak terperikan?

Kata-kata: penghubung kita dengan Allah

Tidak seperti ajaran teologi Budha, Allah yang dikenal[2] melalui Alkitab adalah makhluk Ilahi yang ber-Pribadi. Artinya, Allah kita bukanlah semacam kekuatan di alam semesta yang bekerja melalui probabilita alamiah belaka. Atau bukan pula semacam “the Force” yang dikenal melalui film “Star Wars” yang begitu kuat namun tergantung pada orang yang “memakainya.” Jika yang memakai adalah orang baik seperti Obiwan Kenobi, maka “Ia” menjadi kekuatan baik, lalu jika yang memakai adalah Anakin Skywalker (Dart Vader) yang dirundung dendam, maka “Ia” turut bekerja di dalam kejahatan. Allah Alkitab tidak demikian.

Sebagai makhluk Ilahi yang ber-Pribadi, Allah memiliki intelegensia, emosi dan kehendak. Itu sebabnya, kita sebagai manusia yang dicipta menurut gambar dan teladan Allah pun memiliki ketiga aspek tersebut. Ketika Allah ingin mengungkapkan pikiran-Nya, perasaan-Nya dan kehendak-Nya, cara apakah yang Ia tempuh? Firman,[3] kata-kata. Jadi, jika demikian apakah arti dari Firman?

Firman Tuhan adalah pikiran, perasaan dan kehendak Allah, yang sama-sama merangkum jati diri Allah yang ingin diungkapkan-Nya pada manusia sesuai dengan maksud dan tujuan Ilahi. Di dalam Yohanes pasal 1 kita membaca: “Pada mulanya adalah Firman.” Artinya, pada mulanya segala sesuatu berasal dari pikiran, perasaan dan kehendak Allah yang dinyatakan dalam kata-kata-Nya. Sebelum Tuhan mencipta segala sesuatu, Allah sudah mempunyai rencana (intelegensia), Allah sudah mempunyai emosi cinta (aspek perasaan) dan Allah sudah mempunyai tujuan (aspek kehendak) terhadap langkah-langkah penciptaan yang akan Ia lakukan. Lalu, semua itu Ia ekspresikan dalam bentuk kata-kata. Misalnya: “Jadilah Terang!” Sebelum Allah berucap Jadilah Terang, sudah ada di dalam benak Allah tentang terang itu. Setelah Allah mengucapkannya, maka barulah kita tahu, bahwa Allah menghendaki adanya terang, dan bahwa terang itu baik. Kata-kata adalah permulaan dari ekspresi pikiran, perasaan, kehendak dan bahkan jati diri Allah terhadap ciptaan-Nya ini, tapi ingat, ini baru permulaan saja.

Dalam Yohanes pasal 1 yang kita baca, kata Firman dalam bahasa aslinya adalah Logos yang berarti sesuatu yang diucapkan atau sesuatu yang ada di dalam pikiran. Melalui Logos, Allah menyatakan diri-Nya. Melalui Firman Allah membuat keberadaan diri-Nya menjadi nyata. Melalui Firman kita dapat mengenal sebagian dari pikiran Allah, apa yang Ia rasakan dan apa yang Ia mau dari diri kita. Firman, adalah bagaimana Allah berkomunikasi pada ciptaan-Nya, terutama kita. Firman, adalah satu-satunya cara yang benar agar manusia dapat mengenal Allah yang benar.

Allah adalah Pribadi yang Mahakuasa, oleh karena itu di dalam kata-kata-Nya ada kuasa. Semua orang, bahkan anak SD yang masih kecil pun dapat berkata : “Jadilah terang.” Apa susahnya? Tetapi masalahnya adalah, kata-kata manusia tidak memiliki kuasa seperti kata-kata Allah. (Kita pernah membahas ini dalam tulisan sebelumnya) Sehingga ketika kita berkata “Jadilah terang,” maka mungkin sekali terang itu tidak jadi. Akan tetapi ketika Allah berkata demikian, maka Alkitab menyaksikan : “Lalu terang itu jadi.” Pengertian ini penting untuk kita pegang agar dapat mengerti mengapa Firman Tuhan adalah Kebenaran.

Jadi, sekali lagi, Firman dalam arti sempit memang adalah kata-kata. Tetapi dalam arti yang luas, Firman jauh lebih besar dari kata-kata, Firman adalah ekspresi dari Pribadi Allah pada ciptaan-Nya. Bahkan di dalam Perjanjian Baru, Firman diwujudkan jauh lebih besar dan lebih dahsyat lagi dari sekedar kata-kata. Firman telah menjadi daging, yaitu di dalam Pribadi Yesus Kristus.

Kita akan melihat pengertian Firman Tuhan adalah Kebenaran secara lebih jauh dalam tulisan mendatang. Tuhan memberkati. (izar)



[1] Dalam bahasa Inggris bayi disebut juga Infant, yang merupakan serapan dari bahasa Latin yang mengandung arti No Language (tanpa bahasa). Jadi bayi adalah sekelompok manusia yang belum mengenal bahasa.

[2] Atau lebih tepatnya: “Allah yang memperkenal diri-Nya”

[3] Alkitab mengenal dua jenis penyataan diri Allah atau yang disebut Wahyu Allah, yaitu Wahyu Umum dan Wahyu Khusus. Wahyu Umum sudah pernah kita bahas dalam lembar pembinaan semacam ini, yaitu penyataan Allah melalui alam semesta ciptaan-Nya. Roma 1: 20 menyatakan : Apa yang tidak nampak dari pada-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan. Wahyu Khusus secara sederhana dapat dikatakan sebagai adalah penyataan Allah melalui Alkitab dan melalui Yesus Kristus, Firman Allah yang hidup.

Wednesday, August 1, 2007

Pentingnya Firman Tuhan

“Sebab perkataan ini bukanlah perkataan hampa bagimu, tetapi itulah hidupmu ...” (Ulangan 32:47)


Perkataan yang menghidupkan

Kutipan ayat Alkitab di atas datang dari mulut Musa, seorang hamba Tuhan yang luarbiasa. Meskipun keluar dari mulut seorang manusia, tetapi perkataan-perkataan tersebut berasal dari Tuhan sendiri, sehingga tidak salah jika kita katakan bahwa perkataan-perkataan tersebut adalah juga perkataan Tuhan.

Ada banyak perkataan yang kita dengarkan setiap hari, bahkan setiap detiknya. Meskipun demikian bukan berarti semua perkataan itu penting bagi kita. Beberapa, atau mungkin malah sebagian besar, perkataan yang kita dengar setiap harinya tidak memiliki makna yang penting bagi hidup kita. Akan tetapi perkataan yang disampaikan oleh Musa, yaitu perkataan yang berasal dari Allah sendiri, bukanlah perkataan yang hampa.

Perkataan yang hampa adalah perkataan yang tidak memiliki dasar yang kuat. Perkataan hampa dapat pula berarti perkataan yang tidak bermakna. Atau dapat pula kita pahami sebagai perkataan yang tidak berguna bagi hidup kita.

Perkataan Tuhan bukanlah perkataan yang hampa. Jika Tuhan mengatakan sesuatu, pastilah ada dasar yang kuat di balik kata-kata itu. Jika Tuhan mengatakan sesuatu maka pastilah kata-kata itu memiliki makna yang dalam di baliknya. Seorang yang mempunyai pengetahuan sederhana dapat mengerti perkataan Tuhan. Namun seorang cendekiawan yang paling cerdaspun tidak akan habis-habisnya menggali perkataan Tuhan. Sungguh amat dalam makna perkataan Tuhan itu. Dan di atas semua itu, perkataan Tuhan adalah perkataan yang pasti amat berguna bagi hidup kita.

Pengertian di atas muncul ketika kita memahami perkataan Tuhan sebagai bukan perkataan yang hampa. Akan tetapi sesungguhnya Alkitab bahkan berkata lebih jauh dan lebih dalam lagi tentang natur dari perkataan Tuhan. “Itulah hidupmu…”

Ada perbedaan antara suatu perkataan yang berguna bagi hidup dan suatu perkataan yang adalah hidup. Sebagai contoh: tangan berguna bagi hidup, tetapi tangan bukanlah hidup itu sendiri. Seorang manusia masih dapat hidup tanpa memiliki tangan bukan? Dari contoh sederhana ini, kiranya kita dapat memahami bahwa Firman Tuhan ternyata bukan saja berguna bagi hidup, tetapi adalah juga hidup itu sendiri. Tidaklah mengherankan jika 14 abad kemudian Seorang yang jauh lebih agung dari Musa berkata: “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (Matius 4:4)

Jika Firman Tuhan hanya dikategorikan sebagai “berguna bagi hidup,” – sebagai sekedar lawan pengertian dari “hampa” – maka manusia masih dapat hidup tanpa Firman Tuhan. Akan tetapi Firman Tuhan lebih dari itu, Firman Tuhan adalah hidup, yaitu hidupku dan hidup anda sekalian. Tanpa Firman, sesungguhnya kita mati. Betapa dahsyat dan dalamnya pengertian ini. Kiranya Tuhan yang Mahamurah boleh membukakan mata kita akan pengertian dari kata-kata tersebut.

Bagaimana mungkin dikatakan tanpa Firman kita adalah mati? Pertama-tama kita harus ingat bahwa kita dapat ada sebagaimana kita ada sebagai manusia, itu adalah karena Firman Tuhan. Tuhan berfirman, maka apa yang difirmankan itu ada. Hidup kita ada, karena Tuhan yang telah menciptakannya melalui Firman yang Ia ucapkan. Kedua, kita harus sadari pula bahwa hidup kita bukanlah semata-mata terdiri dari kehidupan yang bersifat fisik, melainkan juga kehidupan spiritual. Banyak orang yang kita temui dalam keadaan hidup secara fisik, akan tetapi belum tentu mereka memiliki kehidupan secara spiritual. Ini bukanlah kehidupan yang lengkap seperti yang diinginkan Allah sejak semula. Hidup secara fisik saja belum berarti hidup di mata Allah. Itu sebabnya Tuhan Yesus berkata bahwa kehidupan kita perlu ditopang oleh roti, sebagai wakil dari makanan badaniah untuk kehidupan fisik kita, dan perlu pula ditopang oleh Firman, sebagai makanan rohaniah bagi kehidupan spiritual kita. Kedua makanan itu kita butuhkan bagi kehidupan kita secara lengkap. Jika tidak ada Firman, maka matilah kehidupan spiritual kita dan itu berarti di hadapan Tuhan kita adalah mati. Suatu saat, kita tidak lagi memerlukan makanan badaniah untuk hidup fisik kita, namun kita pasti tetap membutuhkan Firman Tuhan selamanya untuk menopang hidup spiritual kita. Oleh karena itu, dapat kita katakan bahwa makanan badaniah adalah penting, namun makanan spiritual bahkan lebih penting lagi daripada makanan badaniah.

Perkataan yang berlaku selamanya

Di gereja kita ada tulisan “Harap matikan handphone anda selama ibadah berlangsung.” Bagi kita yang sibuk dan selalu dirundung urusan, entah itu urusan bisnis atau keluarga, tentu pengumuman ini kurang menyenangkan karena agak mengganggu kebebasan kita berkomunikasi dengan orang di luar gereja. Akan tetapi hal itu sebenarnya tidak harus menjadi masalah besar karena kata-kata yang terdapat dalam pengumuman tersebut hanya berlaku “selama ibadah berlangsung,” tidak selama-lamanya. Ada saat dimana kata-kata dalam pengumuman itu tidak berlaku lagi, yaitu setelah ibadah selesai. Kita hanya harus bersabar beberapa saat untuk membiarkan diri kita diikat oleh aturan sementara tersebut. Tetapi Firman Tuhan tidak bersifat seperti ini.

Firman Tuhan bukanlah perkataan yang berlaku hanya sementara saja. Tuhan Yesus berkata: “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu.” (Matius 24:35)

Siapa di antara kita yang tahu persis kapan langit dan bumi bermula dan kapan mereka akan berlalu? Jika kita memandang langit dan memperhatikan bumi tempat kita hidup, betapa sulitnya membayangkan bagaimana sesuatu yang dahsyat seperti ini pertama kali tercipta dan lebih sulit lagi membayangkan bagaimana sesuatu yang hebat seperti ini suatu saat harus berlalu. Akan tetapi kalimat Tuhan Yesus di atas menjelaskan secara tidak langsung pada kita bahwa sesuatu yang dahsyat seperti langit dan bumi ini tidak ada apa-apanya dibanding kedahsyatan perkataan Tuhan.

Perkataan Tuhan bersifat kekal. Selama-lamanya perkataan itu akan berlaku. Tidak ada suatu saat di mana kita tidak diikat oleh kebenaran perkataan Tuhan. Ketika kita masih muda, Firman Tuhan berlaku bagi kita. Ketika tua pun bukan berarti apa yang pernah kita pelajari dari Firman Tuhan tidak berlaku lagi. Di zaman para rasul ketika bayang-bayang kehadiran Tuhan Yesus masih terasa begitu hangat, Firman-Nya berlaku, tetapi ratusan tahun bahkan ribuan tahun kemudian pun kata-kata Tuhan tetap berlaku. Di abad kegelapan gereja (selama 1000 tahun yaitu kira-kira[1] dari abad 5 sampai abad 15) dimana Firman Tuhan diabaikan oleh gereja, Firman itu tetap berlaku. Di zaman reformasi Kristen sampai gereja hari ini pun Firman itu tetap berlaku. Di zaman modern (kira-kira mulai abad 17 sampai abad 19) dimana pusat perhatian manusia adalah ilmu pengetahuan, teknologi dan berbagai penemuan ilmiah, Firman Tuhan tetap berlaku. Di zaman postmodern (kira-kira mulai abad 20 sampai sekarang) ketika teknologi masih jadi primadona dan orang mulai mempertanyakan adanya kebenaran yang bersifat mutlak, Firman Tuhan juga masih berlaku.

Firman Tuhan selamanya berlaku, bagaikan batu karang zaman yang tidak pernah goyah diterpa badai keraguan, ketidakpercayaan dan bahkan kebencian. Jangankan hancur, goyah pun tidak.

Perkataan yang berkuasa

Jika saya berkata: “Bapa ibu percayalah pada saya maka saya akan memberi kepada anda hidup yang kekal.” Anda tentu akan berpikir: “Kasihan, si Novizar ini sudah gila karena stress.” Dan anda benar. Sebab kata-kata saya itu hanya omong kosong belaka. Tidak ada kuasa dan kebenaran di balik kata-kata itu karena yang mengucapkan hanya manusia biasa yang sama berdosanya seperti anda, tetapi jika Yesus yang berkata demikian maka anda boleh percaya, bahkan harus. Sebab ada kuasa di dalam perkataan Tuhan Yesus. Jika kita berkata pada sebatang pohon: “Matilah dan tercampaklah engkau di laut.” Barangkali itu dapat menjadi kenyataan jika kita tebang dan cabut pohon itu sampai ke akarnya lalu kita buang ke laut. Tetapi jika kita berkata: “Bertumbuhlah dan berbuahlah.” Maka mungkin kita akan malu sendiri. Karena besok-besok datang kemarau lalu pohon itu malah mati, maka tidak ada apapun yang dapat kita lakukan. Perkataan kita kadang-kadang memiliki kuasa, tetapi tidak senantiasa. Tetapi perkataan Tuhan adalah perkataan yang berkuasa, selamanya di manapun juga. Tidak ada kuasa yang lebih besar dari Pribadi Tuhan sendiri. Oleh karena itu, tak ada kuasa apapun juga yang mampu melebihi kuasa perkataan-Nya.

Tidak ada suatu lokasi di dunia ini dimana perkataan Tuhan boleh tidak diberlakukan. Perkataan itu memiliki kuasa mengikat yang melampaui segala lokasi, segala waktu, segala lapisan masyarakat, segala struktur sosial, segala jenis budaya. Dimanapun, siapapun dan kapanpun, suka atau tidak suka, percaya atau tidak percaya, menerima atau tidak menerima, tahu atau tidak tahu, telah diikat oleh kekuasaan perkataan Tuhan. Orang-orang yang menolak perkataan Tuhan sudah pasti akan menerima konsekuensi dari penolakan tersebut. Orang-orang yang mencaci maki, menghina dan mengabaikan perkataan Tuhan Yesus tentu merasa senang dan menang saat ini, akan tetapi sesungguhnya saat inipun mereka sudah mendapat hukuman. Di dalam kekerasan hati mereka untuk menolak Firman, mereka telah dihukum Tuhan yaitu dijauhkan dari anugerah keselamatan. Semakin mereka membenci Firman, semakin jauh pulalah mereka dari kemungkinan mendapat keselamatan. Semakin mereka menolak, semakin mereka ditolak. Sungguh betapa mengerikan realitas yang paradoksial ini.

Perkataan yang dapat diabaikan

Perkataan Tuhan menghidupkan, berlaku selamanya serta berkuasa, oleh karena itu jelas perkataan Tuhan adalah perkataan yang penting bagi manusia. Akan tetapi bukan berarti bahwa manusia sudah pasti tertarik dan sadar bahwa mereka membutuhkan Firman Tuhan. Dalam keberadaannya yang diikat oleh dosa, manusia justru ingin menjauh dari Firman Tuhan. Inilah suatu paradoks kehidupan yang amat menakutkan. Di masa hidup kita sekarang, dengan mata kepala sendiri kita dapat melihat bagaimana Firman Tuhan dilecehkan. Kebenaran sejati Tuhan dipertanyakan dan bahkan dihina secara terbuka. Celakanya, bukan saja orang tidak percaya yang melakukan hal ini, gereja sebagai tubuh Kristus pun secara global mulai lebih mementingkan pengalaman rohani yang bersifat subjektif daripada penggalian Firman Tuhan. Gereja lebih suka pada hal-hal yang bersifat pragmatis dan cenderung sekuler, daripada ajaran yang bersifat konseptual dan dibangun dari penggalian Firman Tuhan. Dalam kondisi semacam ini, kita tahu bahwa Firman Tuhan justru menjadi semakin penting lagi untuk kita perhatikan.

Kiranya belas kasihan dan kebaikan Tuhan boleh menumbuhkan suatu sense of urgency[2] terhadap Firman-Nya di hati kita semua, sebab “inilah hidupku dan inilah hidupmu.” Tuhan memberkati. (izar)



[1] Untuk semua pembagian zaman dalam tulisan ini saya memakai bahasa “kira-kira” karena pembagian tersebut dilakukan secara kasar, untuk maksud memberikan patokan secara garis besar. Pada kenyataannya tidak pernah ada suatu batasan yang tegas sekali dari kalangan cendekiawan tentang kapan suatu zaman berakhir dan kapan zaman berikutnya lahir. Karena segala zaman itu saling mempengaruhi dan dipengaruhi sehingga kita hanya dapat menangkap sebagian saja dari gagasan utama yang muncul dalam masing-masing semangat zaman.

[2] Suatu perasaan yang menekan kita untuk segera melakukan sesuatu berhubungan kepentingan mendesak yang ada di dalamnya.