Monday, October 7, 2024

Siapakah para Nephilim itu?

Sebuah kebenaran tentang Nephilim yang jarang dibicarakan oleh gereja.


Kejadian 6:1-4 1Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, 2maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka. 3Berfirmanlah TUHAN: "Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja." 4Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan.


Kejadian Pasal 6 ini merupakan salah satu topik yang sangat menarik untuk dibicarakan, karena di dalamnya terdapat suatu gambaran yang tidak biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari orang modern, yaitu gambaran tentang orang-orang raksasa yang ada di bumi atau yang biasa disebut juga sebagai Nephilim.

Tetapi sebelum tiba pada pembahasan tentang orang-orang raksasa itupun, kisah ini sudah cukup banyak menimbulkan pertanyaan seperti: siapakah anak-anak Allah yang dimaksud dalam ayat 1? Dan siapa pula anak perempuan manusia yang dimaksudkan di sana? Mengapa tindakan mengawini anak-anak perempuan itu merupakan sebuah kejahatan yang layak diganjar oleh air bah? Apakah orang-orang raksasa itu sudah ada sebelum anak-anak Allah menghampiri anak perempuan manusia? Ataukah mereka itu merupakan hasil perkawinan itu sendiri?

Tidak terlalu mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, oleh karena itu kita perlu untuk masuk sedikit lebih dalam dan melihat secara lebih teliti apa saja yang diajarkan melalui Kejadian 6:1-4 ini.

 

Ketika manusia itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan,

Sesuai dengan rencana Allah, agar manusia menjadi semakin bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, sebagaimana ada tertulis demikian: Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kejadian 1:28). Maka Kejadian 6 ini memberikan informasi bahwa kejatuhan manusia pun ternyata tidak dapat menghalangi rencana Allah yang semula tersebut.

Namun sungguh sangat disayangkan bahwa manusia telah membuat kehidupan yang indah ini menjadi tercemar oleh dosa, sehingga dengan semakin bertambah banyaknya jumlah manusia di bumi, maka penyebaran dosa pun menjadi semakin luas dan bumi pun semakin dekat pada potensi kehancuran sebagai akibat dari dosa-dosa manusia tersebut. 

Dari kenyataan tersebut, kita belajar bahwa semakin besar anugerah yang diberikan oleh Tuhan, maka semakin besar pulalah tanggungjawab yang harus diemban oleh manusia, sehingga ketika sesuatu yang buruk terjadi, maka secara otomatis akan semakin besar pulalah potensi kerusakan yang akan terjadi. Meski di sisi lain, satu hal yang tetap harus kita ingat adalah, bahwa di balik segala kegagalan manusia, Allah selalu mempunyai rencana untuk mengantisipasi serta melindungi ciptaan-Nya, sehingga sekalipun manusia sudah jatuh ke dalam dosa dan tanah menjadi terkutuk sebagai akibatnya, bumi tidak serta merta hancur lebur tanpa harapan sama sekali. 

Jadi, di satu sisi ada bahaya kehancuran yang mengintai, tetapi di sisi lain, ada Allah yang berkuasa untuk menopang, menjaga serta memelihara kehidupan manusia yang telah tercemar oleh dosa itu.

Adapun manusia yang dibicarakan dalam Kejadian 6:1 ini, sangat mungkin merupakan populasi manusia secara keseluruhan, bukan semata-mata keturunan dari Kain saja, tetapi meliputi pula keturunan Set. Bukan keturunan yang berasal dari roh kejahatan, yaitu si ular saja, melainkan dari keturunan yang berasal dari orang-orang yang mendapat anugerah pula, yaitu para keturunan dari si wanita.

Kalau pun pada bagian akhir dari kalimat tersebut diberi suatu keterangan mengenai "anak-anak perempuan manusia," maka hal itu dapat kita lihat sebagai suatu pengantar kepada kisah selanjutnya, yaitu kejatuhan manusia ke dalam dosa yang bersifat semakin luas, sehingga Allah mencetuskan suatu penghakiman untuk membasmi hampir seluruh umat manusia. 

Adapun anak-anak perempuan manusia yang disebutkan dalam bagian ini adalah perempuan yang cantik-cantik, tetapi sungguh ironis bahwa kecantikan mereka itu justru kemudian menjadi semacam pemicu bagi keberdosaan manusia yang semakin besar. 

Pada dasarnya, kecantikan dan keindahan adalah sesuatu yang baik adanya, akan tetapi ketika perintah Tuhan tidak diperhatikan dan Pribadi-Nya tidak dianggap sebagai sosok yang penting lagi bagi manusia, maka kecantikan dan keindahan pun dapat membawa manusia masuk ke dalam jurang kehancuran dan kebinasaan.

 

maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik-cantik, lalu mereka mengambil isteri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka.

Siapakah anak-anak Allah yang dibicarakan di dalam ayat ini? Ada beberapa pandangan terhadap siapakah anak-anak Allah tersebut.

Pandangan pertama, anak-anak Allah itu adalah para malaikat.

Pada abad pertama hingga abad ke dua, beberapa Bapa Gereja seperti Justinus Martyr, Eusebius, Clement of Alexandria, Origen, dan Commodianus bahwa “the sons of God" dalam Kejadian 6:1–4 adalah malaikat jahat (fallen angels) yang melakukan hubungan seksual yang tidak natural dengan para perempuan dari kalangan manusia, sehingga melahirkan orang-orang raksasa yang disebut Nephilim.

Tetapi pandangan ini sudah sering ditentang dan tidak diterima lagi oleh mayoritas ahli Perjanjian Lama dan para teolog pada umumnya. Walaupun sangat mungkin sekali bahwa pandangan seperti ini justru masih sangat populer di kalangan orang Kristen awam.

Ada beberapa kelemahan dari pandangan yang mengatakan bahwa anak-anak Allah adalah malaikat, yaitu:

Gambaran tentang malaikat dan manusia yang hidup berdampingan bersama, apalagi sampai melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak, sungguh-singguh tidak memiliki keterkaitan apapun dengan bagian manapun dari Kitab Kejadian, bahkan hal itu  menjadi tema yang sangat asing bagi keseluruhan Alkitab sendiri. 

Masuknya figur malaikat ke dalam kisah kejatuhan manusia terasa bagaikan sebuah nada sumbang bagi seluruh harmonisasi konteks dalam Alkitab, khususnya kitab Kejadian. Semenjak Kejadian pasal 3 sampai 5, dosa manusia menjadi tema yang sangat dominan. Dan pada gilirannya, dosa manusialah yang akan ditebus oleh Allah, bukan dosa malaikat. Dosa-dosa malaikat sama sekali bukan pusat pembicaraan di dalam bagian-bagian sebelum Kejadian 6 maupun setelahnya.

Penulisan Alkitab ditujukan kepada manusia, dengan segala persoalan nyata yang dihadapi manusia dalam kehidupannya, sehingga kisah-kisah yang bersifat fantastis, seperti perkawinan antara malaikat dan manusia, sulit mendapat tempat di dalam persoalan nyata yang dihadapi oleh manusia dalam keseharian.

Pandangan kedua, anak-anak Allah itu adalah anak-anak dari para penguasa

Pandangan ini lebih dapat diterima ketimbang pandangan pertama tadi, sebab “elohim” sendiri berarti “penguasa,” sehingga bagi orang Yahudi, sebutan “Elohim” ini dapat diterapkan pula kepada Yahwe yang adalah penguasa dari segala penguasa. 

Selain itu, pandangan seperti ini, tidak memiliki pertentangan yang nyata dengan bagian-bagian sebelum Kejadian 6 karena masih sama-sama membicarakan tentang kejahatan manusia. Dan jika kita baca Kejadian 6:5, maka kita mendapati bahwa kejahatan yang sedang dibicarakan pun adalah kejahatan manusia, dan sama sekali tidak menyinggung tentang keterlibatan dari para malaikat yang jahat. Kejahatan manusia inilah yang menjadi dasar dari kisah air bah yang merupakan penghakiman Ilahi atas kejahatan manusia tersebut.

Meski demikian, pandangan seperti ini pun bukan tanpa persoalan. Setidaknya ada dua kelemahan dari pandangan ini, yaitu:

Pertama, pribadi anak-anak penguasa itu tidak pernah diidentifikasikan, sehingga kita tidak bisa melihat pertalian atau hubungan antara mereka dengan keturunan Adam yang dibicarakan di dalam Kejadian 5. Meskipun mereka adalah sama-sama manusia, dan bukan malaikat jahat seperti pandangan pertama tadi, tetapi dengan tidak adanya idetifikasi yang jelas, maka bagaimana kita dapat melihat keterkaitan antara Kejadian 6 dengan Kejadian 5?

Kedua, karena tidak ada suatu penjelasan mengenai siapakah anak-anak para penguasa tersebut, maka kita juga sulit menemukan dasar atau alasan tentang mengapa perbuatan anak-anak penguasa ini dianggap sedemikian jahat dimata Allah, hanya karena mereka mengawini perempuan-perempuan cantik tersebut? Mengapa perbuatan seperti yang mereka lakukan itu dapat disebut sebagai jahat? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi sulit dijawab karena tidak ada keterkaitan yang nyata mengenai jatidiri parapenguasa dengan jatidiri orang-orang dalam pasal-pasal sebelumnya.

Pandangan ketiga, anak-anak Allah adalah perwakilan dari keturunan Set, sedangkan anak perempuan manusia adalah perwakilan dari keturunan Kain.

Pandangan ketiga ini, jauh lebih dapat dipertanggungjawabkan dari segi penafsiran karena memiliki banyak keterkaitan dengan pasal sebelum dan sesudahnya dan terlihat adanya kesatuan tema, kesamaan pola serta keserupaan dalam pemakaian istilah-istilah, simbol-simbol maupun warna teologi yang ada di dalamnya.

Kesatuan tema yang dimaksud adalah tema dosa. Sebagaimana dalam pasal-pasal sebelumnya, terdapat banyak pembahasan tentang dosa, maka hadirnya anak-anak Allah ini juga menjadi semacam pemicu atas kondisi keberdosaan manusia yang semakin besar.

Kesamaan pola yang dimaksud adalah pola sifat dosa yang cenderung mengalami perkembangan dan perluasan. Dari sedikit orang, lalu menyebar keorang lain, makin lama makin banyak yang terkena pengaruh.

Keserupaan dalam istilah, simbol dan warna teologi yang dimaksud misalnya adalah istilah “melihat.” Sama seperti Hawa yang melihat buah, demikian pula anak-anak Allah itu melihat anak perempuan manusia. Lalu sama seperti Hawa yang melihat ada keindahan di dalam buah itu sehingga ia tertarik, demikian pula anak-anak Allah itu melihat kecantikan di dalam diri anak perempuan manusia sehingga mereka tertarik. Hawa begitu ingin memuaskan nafsunya untuk menikmati buah terlarang, sedangkan anak-anak Allah ingin memuaskan nafsu seksualnya dengan anak perempuan manusia. Semua sama-sama lebih mementingkan keinginan badani mereka ketimbang memperdulikan larangan atau batasan-batasan spiritual yang ditetapkan oleh Allah. Ada pola yang sama antara Hawa dan anak-anak Allah itu, yaitu mereka melihat lalu mengambil apapun atau siapapun yang mereka sukai. Kesukaan pribadi menjadi hal yang sangat mempengaruhi tindakan mereka, bukan perkataan Tuhan, buka rasa takut ataupun hormat kepada Tuhan

Selanjutnya, kita melihat kemunculan manusia-manusia raksasa di dalam ayat 4 juga memiliki kesamaan pola dengan kisah Kain, yaitu tentang kebanggaan, kekuatan dan kebesaran manusia. Ukuran badaniah menjadi sesuatu yang sangat penting dan ditekankan dalam hal ini. Kemuliaan jasmaniah, kelimpahan materi dan kekuasaan adalah sifat-sifat yang sangat dekat dimiliki oleh keturunan Kain.

Anak-anak Allah yang mewakili keturunan Set adalah keturunan yang diberkati, yang akan menerima janji keselamatan. Sedangkan anak perempuan manusia adalah keturunan Kain yang telah mendapat kutukan. Tidak seharusnya orang yang diberkati itu bercampur dengan orang-orang yang menerima kutukan. Perkawinan di antara kedua kelompok manusia tersebut akan mengakibatkan orang-orang pilihan pun menjadi tercemar dan ikut rusak karena dosa dan kutukan.

Orang-orang pilihan ini seharusnya menyembah Tuhan dengan setia, tetapi mereka telah mengedepankan keinginan daging mereka lebih daripada perintah dan larangan Tuhan, sehingga sebagai akibatnya, mereka pun harus turut menanggung hukuman Ilahi berupa air bah.

Pandangan ketiga ini dianut oleh Agustinus dan dipopulerkan melalui tulisannya yang berjudul City of God dan diterima secara luas dengan baik pula oleh orang-orang Kristen pada era Reformasi.

Pandangan yang bersifat metafor, bahwa perkawinan anak-anak Allah dan anak perempuan manusia itu adalah representasi dari percampuran antara keturunan Set dan keturunan Kain, sangat sesuai dengan keseluruhan rangkaian pengajaran di dalam Alkitab, yaitu bahwa orang benar harus hidup kudus, terpisah dari orang dunia yang tidak mengenal Tuhan. Orang benar adalah mereka yang menyembah Allah yang sejati, sedangkan orang fasik adalah orang yang tidak mengenal Allah sejati. Dalam pandangan Allah, kedua kelompok ini tidak seharusnya dicampuradukkan satu sama lain, sebab kelompok yang rusak itu akan turut menghancurkan kelompok yang baik.


Berfirmanlah TUHAN: "Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja."

Kejahatan manusia yang hanya peduli pada keinginan mata dan kepuasan jasmani tersebut membuat Allah menjadi murka. Dan sebagai respon atas keberdosaan manusia, Tuhan membatasi usia manusia menjadi 120 tahun saja. Dalam ukuran usia manusia di Perjanjian Lama, usia 120 merupakan jangka waktu yang terbilang pendek.

Bencana air bah yang Tuhan kirimkan kepada manusia, menjadi suatu sarana untuk membatasi atau memperpendek usia manusia tersebut. Tidak ada lagi yang akan berusia panjang karena mereka akan mati oleh air bah tersebut.

Pada masa sekarang, usia rata-rata manusia bahkan jauh lebih pendek lagi dibandingkan dengan era Alkitab. Sakit penyakit, peperangan, bencana alam adalah utusan Tuhan untuk memperpendek usia manusia, sama seperti Tuhan pernah mengutus air bah di zaman Nuh.

Tanpa tindakan Allah untuk menyelamatkan Nuh melalui bahtera, maka umat manusia akan punah selamanya. Demikian pula di dalam Perjanjian Baru, Tuhan bertindak untuk menyelamatkan sebagian kecil umat manusia melalui Kristus, agar umat manusia tidak punah secara keseluruhan akibat dosa, melainkan ada sekelompok kecil yang akan diselamatkan dan mengalami kehidupan bersama Tuhan.


4Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan-perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purbakala, orang-orang yang kenamaan.

Tidak sedikit jumlah kalangan Kristen yang menganggap bahwa orang-orang raksasa yang ada di bumi itu adalah hasil perkawinan anak-anak Allah dan anak-anak perempuan manusia. Hal ini tidak lepas dari anggapan bahwa anak-anak Allah itu adalah makhluk supranatural seperti malaikat. 

Akan tetapi anggapan tersebut menjadi sesuatu yang tidak dapat diterima apabila kita setuju bahwa anak-anak Allah adalah wakil dari kelompok keturunan Set, sedangkan anak-anak perempuan manusia adalah kelompok dari keturunan Kain. Sebab kedua kelompok tersebut adalah manusia biasa, bukan makhluk supranatural yang berpotensi melahirkan raksasa.

הַנְּפִלִ֞ים (dibaca HaNephilim) berasal dari istilah Ibrani נְּפִלִ֞י  (naphal) yang berarti “jatuh” atau “to fall.” Jika kita menafsirkan sesuai dengan arti kata dasarnya, maka Nephilim bisa dimengerti sebagai sekumpulan orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa atau orang yang berkarakter jahat atau sekumpulan para pendosa. 

Selanjutnya, apabila kita membaca kalimat pembukaan dalam Kejadian 6:4, maka istilah yang dipakai adalah “pada waktu itu, Nephilim ada di bumi,” kalimat yang dipakai dalam bahasa Ibrani adalah: HaNephilim HaYu BaAres BaYamim HaHem, (The Nephilim WERE in The Earth In Those days), sehingga kita dapat memahami bahwa para Nephilim tersebut sudah ada terlebih dahulu di bumi, pada saat terjadinya peristiwa perkawinan antara anak-anak Allah dan anak perempuan manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa para Nephilim itu bukanlah hasil perkawinan dari anak-anak Allah, wakil dari keturunan Set, dengan anak-anak perempuan manusia, wakil dari keturunan Kain.

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa pesan yang ingin disampaikan oleh Kejadian 6:4 ini adalah, bahwa dunia sudah sedemikian rupa dipengaruhi oleh dosa, dan populasi manusia berdosa pun sudah sedemikian banyaknya, sehingga cara hidup mereka itu pada akhirnya sangat mempengaruhi anak-anak Allah dalam mengambil keputusan untuk mengawini anak perempuan manusia. 

Anak-anak Allah, keturunan Set, yang di dalam Kejadian 5 digambarkan sebagai sekumpulan orang-orang yang mengenal Tuhan, hidup bergaul dengan Tuhan, giat dalam menghasilkan buah bagi Tuhan serta taat pada perintah-Nya, kini telah mengikuti cara dunia bertindak. Mereka tidak lagi menjadikan perkataan Tuhan sebagai dasar pertimbangan dalam mengambil tindakan, melainkan berdasarkan apa yang mereka lihat baik atau cantik, menurut apa yang menjadi kesukaan mereka. Atau dalam bahasa yang dipakai dalam Kejadian 3, anak-anak Allah ini telah memutuskan sendiri apa yang baik dan apa yang jahat menurut kehendak mereka.

Percampuran antara anak-anak keturunan wanita dan anak-anak keturunan si ular, tentu saja merupakan suatu perbuatan atau kejadian yang tidak disukai oleh Tuhan. Sebab semenjak manusia jatuh ke dalam dosa, Tuhan sudah mengadakan permusuhan di antara kedua kelompok manusia tersebut. Oleh karena itu, perbuatan tersebut merupakan dosa yang besar dan berpotensi mendatangkan penghakiman Allah yang berakibat pada hancurnya begitu banyak kehidupan di muka bumi ini, bukan saja kehidupan manusia, tetapi hewan-hewan yang tidak berdosa pun turut menjadi korbannya. Pesan dari peristiwa itu sangat jelas, yaitu dosa senantiasa membawa dampak kehancuran yang bersifat kosmos.


Apa akibat dari kawin campur tersebut?

Hasil dari kawin campur antara kedua garis keturunan manusia ini adalah dilahirkannya pahlawan-pahlawan yang gagah, orang-orang kenamaan di jamannya. Dalam ukuran dunia, apa yang salah dengan hal seperti ini?

Menurut ukuran dunia, hadirnya pada pahlawan yang gagah perkasa, serta orang-orang yang kenamaan, bukanlah suatu persoalan sama sekali. Sebaliknya, dunia justru suka dengan segala sesuatu yang menampilkan kemegahan, kebesaran, keperkasaan, kekayaan, kehebatan dan lain sebagainya.

Tetapi menurut Firman dari Tuhan yang sejati, semua ketertarikan terhadap kemuliaan duniawi itu justru merupakan akibat dari dosa manusia. Bukan kemuliaan Tuhan yang menjadi tujuan hidup manusia, tetapi kemuliaan, kehebatan dan nama besar manusia. Gambaran yang ditampilkan oleh keturunan manusia hasil kawin campur tadi, justru sangat cocok dengan gambaran dari kehidupan keluarga Kain, yang diliputi oleh keberhasilan duniawi dan kehebatan manusiawi. Dan justru gambaran kehidupan seperti inilah yang merupakan jenis kehidupan yang dikutuk oleh Tuhan.

Dengan kebanggaan manusia akan dirinya sendiri, kehebatannya sendiri dan nama besarnya sendiri itu, Tuhan Allah menilai bahwa populasi manusia kini telah menjadi semakin serupa dengan keturunan Kain ketimbang keturunan Set. Dan berdasarkan kenyataan tersebut, maka Tuhan Allah kemudian mengambil tindakan dengan mengirimkan air bah ke bumi untuk melenyapkan percampuran antara yang baik dan yang jahat tersebut sehingga pengaruh dosa yang semakin meluas itu dapat dihentikan.

Sungguh amat disayangkan bahwa hingga kini pun, banyak orang di dunia, termasuk orang-orang yang menamakan dirinya Kristen, jauh lebih tertarik untuk mengejar kemuliaan duniawi dan kehebatan manusiawi, ketimbang kemuliaan dan kehebatan Allah.


Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari hal Kejadian 6:1-4 ini adalah:

  1. Kehidupan manusia yang berdosa memiliki sifat yang menular.
  2. Keturunan orang percaya pun jika tidak hati-hati akan terjerat di dalam kebinasaan, yaitu ketika mereka mulai meninggalkan Tuhan.
  3. Keberdosaan manusia yang digambarkan di dalam bagian ini ditunjukkan melalui kemuliaan duniawi yang mereka miliki, yaitu berupa keperkasaan, kehebatan dan nama besar.
  4. Tuhan tidak tinggal diam melihat kerusakan manusia, Tuhan mendatangkan penghakiman melalui pembatasan usia manusia, sebagai langkah awal.
  5. Dan pada akhirnya, Tuhan mendatangkan penghakiman yang lebih besar yaitu air bah yang nyaris melenyapkan seluruh umat manusia pada saat itu.


Sekilah tentang pandangan Teologi Reformed tentang Kejadian 6:1-4

Para penganut Teologi Reformed, memegang pandangan bahwa perkawinan anak Allah dan anak manusia sebagai perkawinan antara keturunan Kain dan keturunan Set, sehingga tidak terlalu memberi penekanan pada orang-orang raksasa di dalam arti yang senantiasa harafiah. 

Teologi reformed bukan tidak menerima fakta Alkitab bahwa ada orang-orang yang bertubuh besar seperti Goliat, tetapi istilah raksasa yang muncul di Alkitab mungkin tidak senantiasa harus ditafsirkan sebagai raksasa secara fisik saja, melainkan orang-orang yang merasa dirinya besar di dalam kekuasaan, pengaruh dan otoritas, sehingga merasa berhak untuk menindas orang lain yang lebih lemah.


Untuk pembahasan yang lebih terperinci tentang mengapa sebaiknya menafsirkan istilah Nephilim sebagai sekelompok orang-orang yang sudah jatuh di dalam dosa atau orang-orang yang berkarakter jahat, dapat dibaca dalam tulisan berjudul: Istilah Nephilim menurut kitab Kejadian, Bilangan dan Yehezkiel. [Benarkah Nephilim harus identik dengan orang bertubuh raksasa? Klik disini.]