Oleh: Novizar Tirta
Mantan PM Inggris Margareth Thatcher konon pernah mengatakan: “Permulaan yang baik adalah separuh dari pekerjaan.” Apapun yang mungkin ada di dalam pikiran beliau ketika mencetuskan kalimat tersebut, jelas sekali bahwa bagi beliau suatu permulaan adalah sesuatu yang penting sekali. Atau jika boleh saya ubah dan simpulkan sedikit kalimat beliau: “Permulaan dari segala sesuatu, memainkan peran yang penting sekali bagi langkah-langkah berikutnya.” Atau, “Suatu permulaan memberi pengaruh yang signifikan bagi pekerjaan yang sedang dan terus dilakukan.”
Namun rupanya bukan hanya Mrs Thatcher yang tertarik pada suatu permulaan, Plato dan Aristoteles, dua filsuf Yunani yang penting dalam sejarah, juga memikirkan tentang arti pentingnya suatu permulaan. Mereka berdua telah mengembangkan suatu model argumentasi yang dalam dunia filsafat dikenal sebagai “First Cause Arguments.”
Plato (427- 347 SM) meyakini bahwa di dalam alam semesta ini ada suatu kebijaksanaan dan kecerdasan yang paling tinggi dan paling utama (supreme wisdom and intelligence) yang ia sebut sebagai “demiurge.” Dan di dalam karya monumental Plato yang berjudul “Timaeus” itu, disebutkan bahwa “demiurge” ini juga bertindak sebagai pencipta atau “creator.”
Aristoteles, yang hidup tahun 384 – 322 SM, juga memiliki gagasan yang hampir serupa. Bagi Aristoteles alam semesta ini membutuhkan hadirnya suatu sosok yang menjadi Primus Motor atau Prime Mover atau dalam istilah yang sangat terkenal disebut sebagai “The Unmoved Mover” (Sang penggerak yang tidak digerakkan oleh apapun – terj. bebas dari saya)
Logika Aristoteles, yang tertuang dalam karyanya “Metaphysics,” melihat bahwa jika sesuatu benda dapat bergerak maka tentu ada sesuatu (atau seseorang) yang menggerakkannya. Akan tetapi, keadaan tersebut secara logika tidak mungkin dapat berlangsung selamanya. Apa maksudnya? Untuk mudahnya, saya coba beri gambaran sederhana dari apa yang dipikirkan oleh Aristoteles, yaitu seperti ini: Jika benda A bergerak karena benda B, dan benda B bergerak karena benda C, lalu benda C bergerak karena benda D dan seterusnya, maka tentu harus ada suatu titik di mana terdapat sang penggerak yang tidak bergerak. Sang penggerak ini, pada dirinya sendiri, tidak digerakkan oleh apapun. Ia bertindak sebagai penggerak mula-mula yang tidak membutuhkan apapun selain dirinya sendiri untuk mengerakkan segala sesuatu. The unmoved mover milik Aristoteles ini adalah sumber dari segala gerakan yang terjadi di alam semesta.
Aristoteles, terlepas dari apakah ia mengidentifikasikan sang penggerak yang tidak bergerak ini sebagai Tuhan atau bukan, menyimpulkan bahwa secara logika kehadiran sosok Primus Motor itu adalah mutlak. Tidak bisa tidak.
Lalu sekarang, bagaimana kita harus menanggapi gagasan dari para filsuf ini? Bagi saya, tidak ada jalan lain yang lebih tepat selain mengajak kita semua untuk melihat pada apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai hal ini.
Alkitab juga mengajarkan bahwa permulaan segala sesuatu adalah penting sekali. Kitab pertama dari Alkitab yaitu kitab Kejadian memulai tulisannya dengan kata-kata: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. (Kejadian 1:1)
Kata yang dipakai dalam Kejadian 1 ayat 1 tersebut (yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pada mulanya”) adalah tyviÞarEB (Bürë´šît) yang artinya beginning (permulaan) atau starting point (titik mula).
Untuk melengkapi kita dengan pengertian yang lebih dalam dari konsep tersebut, saya ingin mengajak kita untuk melihat pada Perjanjian Baru. Di dalam Perjanjian Baru, konsep ini pun muncul berulang kali dan yang paling serupa dengan cara pengungkapan dalam Kejadian 1:1 adalah Injil Yesus Kristus menurut Yohanes, yaitu: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yoh 1:1)
Dalam bahasa aslinya, yaitu Yunani, ayat tersebut berbunyi:
VEn avrch/| h=n o` lo,goj( kai. o` lo,goj h=n pro.j to.n qeo,n( kai. qeo.j h=n o` lo,gojÅ
Melihat pada ayat dalam bahasa Yunani di atas, kita tahu bahwa kata yang dipakai untuk “Pada mulanya” adalah avrch/| (arche), dari kata mana kita kemudian mengenal istilah archeology. Adapun beberapa pengertian yang terkandung di dalam kata avrch (kata benda, datif, feminin, tunggal) ini adalah: permulaan (beginning), asal usul (origin), prinsip-prinsip dasar (elementary principles), sebab yang mula-mula (first cause), hukum atau aturan (rule), otoritas (authority), resmi (official) dan beberapa pengertian lain yang merupakan derivatif dari pengertian-pengertian tadi.
Jika kita bandingkan antara pola pikir para filsuf, seperti Plato dan Aristoteles, dengan pola pikir Alkitab, kita dapat menemukan adanya persamaan, di samping tentunya juga perbedaan-perbedaan.
Persamaan yang dengan jelas terlihat adalah mengenai terdapatnya konsep “pada mulanya” baik dari sudut pandang Alkitab maupun dari sudut pandang Filsafat. Seringkali kita mendekati Alkitab dengan perasaan “Ya sudah kita beriman saja, tidak usah berpikir yang macam-macam karena berbicara tentang iman dan Alkitab kita tidak perlu memakai logika. Logika adalah untuk orang pintar yang mau memakai otaknya, sedangkan iman adalah untuk orang yang tidak suka berpikir, terima saja, percayai saja, habis perkara”
Akan tetapi kini sadarkah kita bahwa bukan hanya Alkitab yang mengajari kita untuk melihat pada apa yang menjadi “pada mulanya,” melainkan para filsufpun menyadari bahwa hal tersebut penting secara logika?
Apa (atau siapa) yang menjadi “pada mulanya” dalam hidup anda?
Mengacu pada pengertian dari kata avrch yang saya jabarkan di atas, pertanyaan tadi dapat berbunyi seperti ini:
Apa (atau siapa) yang menjadi asal usul dari segala sesuatu menurut pandangan anda?
Apa (atau siapa) yang menjadi prinsip dasar (elementary principle) bagi hidup anda?
Apa (atau siapa) yang menjadi pembuat hukum atau aturan bagi hidup anda?
Apa (atau siapa) yang memegang otoritas dalam hidup anda?
Mari kita lihat beberapa contoh alternatif jawaban:
Jika misalnya anda setuju bahwa asal usul (origin) manusia adalah kera, seperti yang dicetuskan oleh Charles Darwin, maka saya katakan marilah kita berbuat sekehendak hati kita, karena sebagai keturunan kera kita tidak memiliki landasan moral apapun dari segala perbuatan kita. Jika hari ini kita memilih seorang wanita untuk dinikahi (dan disetubuhi) lalu keesokan harinya kita mengambil wanita lain (milik keturunan kera lainnya) untuk dinikahi (dan tentu saja disetubuhi) maka sepatutnya tidak ada seorang pun yang boleh keberatan pada perbuatan tersebut karena sebagai keturunan kera, apakah moral itu? Apakah yang harus menjadi dasar untuk menyebut sebuah perbuatan benar atau salah? Darimana datangnya perasaan bahwa persetubuhan yang ini benar sedangkan persetubuhan yang itu salah? Bukankah perbuatan yang salah di suatu tempat, dapat menjadi benar di tempat lain atau pada kebudayaan lain? Lalu dimana patokannya?
Atau contoh kedua, jika misalnya anda memiliki prinsip dasar (elementary principle) bahwa uang adalah segala-galanya, maka dapat dipastikan bahwa hidup anda akan dipusatkan pada pencarian uang semata-mata. Dan dapat dipastikan pula bahwa cara anda menilai segala sesuatu pun tentunya semata dari sudut pandang menguntungkan atau merugikan secara ekonomi. Oleh karena itu, bagi orang yang berpandangan semacam ini, tentu sah-sah saja menjalankan bisnis apapun, entah itu menjual panci untuk memasak atau menjual anak-anak di bawah umur untuk santapan kaum paedophilia, sejauh hal tersebut menghasilkan uang yang banyak. Tentu tidak menjadi soal, bagi orang yang berprinsip semacam ini, untuk mengambil uang yang semula diperuntukkan bagi korban bencana alam lalu memakainya untuk membeli berbagai barang mewah untuk keperluan pribadi. Mengapa? Karena elementary principle yang dianut orang-orang ini adalah uang. Repotnya adalah jika anda bertemu dengan orang lain yang berpandangan serupa dan merasa yakin bahwa ia boleh merampas harta benda anda juga bagi dirinya. Lalu sekali lagi, dimana patokannya?
Contoh ketiga adalah jika misalnya anda percaya bahwa pemilik otoritas (authority) hidup ini adalah diri anda sendiri, maka anda bebas menentukan tindakan mana yang benar dan tindakan mana yang salah. Anda boleh berbuat apapun sesuka hati, karena anda sendirilah otoritas utama itu. Anda boleh membunuh orang lain yang menjengkelkan anda, karena toh anda yang memegang keputusan bukan? Anda dengan perasaan tenang boleh membom rumah ibadah orang lain karena sekali lagi andalah yang memegang keputusan, bukan? Namun tentunya anda juga harus siap menerima kenyataan bahwa orang lain pun dapat saja merasa bahwa diri mereka masing-masinglah yang memegang otoritas. Dan jangan bosan jika saya bertanya lagi, dimana patokannya?
Ketiga contoh ini sengaja saya angkat untuk memperlihatkan pada anda bahwa jawaban dari pertanyaan “Apa (atau siapa) yang menjadi “pada mulanya” dalam hidup kita?” amatlah menentukan sikap hidup kita dan cara bagaimana kita akan menjalani kehidupan sehari-hari. Saya pribadi tidak setuju dengan gagasan yang saya munculkan dalam contoh-contoh tersebut, namun saya melihat bahwa gagasan-gagasan semacam itu cukup populer dianut oleh masyarakat dari berbagai lapisan.
Plato dan Aristoteles sudah cukup baik ketika mereka menyadari bahwa konsep “pada mulanya” ini adalah konsep yang sangat penting, namun bagi saya, mereka belum lengkap dalam pemikiran tersebut. Plato dan Aristoteles dalam keterbatasan mereka tidak mampu menjelaskan tentang apakah atau siapakah sang “supreme wisdom” (menurut Plato) atau sang “unmoved mover” (menurut Aristoteles) tersebut. Sejujurnya, saya pun tidak akan dapat, tetapi saya tahu siapa yang bisa; yaitu Allah sendiri melalui Alkitab-Nya.
Alkitab mengajar dan memperkenalkan pada kita bahwa subjek yang menjadi titik perhatian dari konsep “pada mulanya” ini tidak lain adalah Pribadi Allah sendiri.
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. (Kejadian 1:1)
“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yoh 1:1)
Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sama-sama menyerukan bahwa Allah adalah permulaan dari segala sesuatu. Jika saya boleh meminjam alur logika Aristoteles dalam kasus ini, maka dapat saya simpulkan bahwa hadirnya sosok Allah dalam alam semesta ini adalah mutlak benar secara logika. Memang Aristoteles tidak memakai istilah Allah, tetapi ia bersikeras bahwa Sosok yang satu ini (siapapun Dia) harus ada, secara logika, demi menjawab fakta-fakta kehidupan yang dilihat oleh Aristoteles (yaitu dalam kasus dia adalah mengenai adanya gerakan).
Implikasi dari apa yang saya katakan ini adalah bahwa kaum atheist yang mengatakan bahwa Allah tidak ada, telah sungguh-sungguh bersikap tidak ilmiah. Atau dalam kata-kata yang lain dapat saya simpulkan: “Dibutuhkan iman yang jauh lebih besar untuk menyimpulkan bahwa Allah tidak ada (seperti yang dilakukan oleh kaum atheist) daripada menyimpulkan bahwa Allah ada.”
Jika sudah begini, lalu siapakah yang telah bersikap lebih tidak masuk akal, kaum percaya (believer) ataukah kaum atheis? Jelas sekali, kaum atheis telah bertindak (atau berpikir) secara tidak masuk akal, tidak konsisten dan semata-mata mengandalkan keyakinan mereka bahwa Allah tidak ada. Dan bukankah ini adalah ironi yang memalukan jika mereka (kaum atheist) yang seringkali memandang kaum percaya (believer) sebagai orang bodoh yang tidak memaki otaknya, justru mereka sendiri ternyata lebih mengandalkan hidup mereka pada iman yang buta (bahwa Allah tidak ada).
Itu sebabnya tidaklah berlebihan, saya kira, jika Alkitab memberi cap yang memalukan bagi kaum atheis, dengan mengatakan:
Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." (Mazmur 14:1).
Itu benar. Mereka, kaum atheis adalah bebal, itulah kesimpulan ilmiahnya, dan sekaligus itulah pernyataan Alkitabiahnya, apa lagi yang dapat kita katakan?
Sering kita menemukan bahwa orang-orang atheis adalah orang-orang yang senang membangga-banggakan logikanya, atau ilmu pengetahuannya, atau teknologinya. Mereka mengesampingkan Allah sampai pada titik ketiadaan. Namun sekarang, kiranya melalui tulisan sederhana ini kita dapat melihat persoalan tersebut dari sudut pandang yang tepat.
Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita.
Catatan:
Tulisan ini masih jauh dari selesai, karena masih ada begitu banyak hal yang dapat kita bahas dari konsep “pada mulanya” yang diajarkan oleh Alkitab ini. Dalam tulisan-tulisan mendatang saya akan coba mengajak kita semua untuk mengeksplorasi lebih jauh konsep ini dan mencoba melihat perbandingan-perbandingan antara konsep Alkitabiah dengan konsep filsafat serta dengan gagasan sosial yang sedang berkembang pada masyarakat dewasa ini.