Friday, November 26, 2021

Mengapa manusia mempertanyakan berita kebangkitan Yesus Kristus?

 


 

Sebuah zaman dimana manusia menjadi semakin pintar

Di dalam tulisan berjudul “Menentang berita kebangkitan Yesus Kristus dari kematian” saya sudah sempat menyebutkan bagaimana sikap orang-orang di abad Pencerahan terhadap berita kebangkitan Yesus Kristus [klik disini]. Dan dalam tulisan tersebut, saya menyinggung pula pandangan seorang teolog bernama Stanley J.Grenz tentang abad Pencerahan, yaitu suatu abad di mana penolakan terhadap kebangkitan Yesus Kristus semakin meningkat.

 

Buku "The Unshakeable Truth" - Josh McDowell
Klik disini.

Seorang teolog lain bernama Alister E McGrath, di dalam bukunya berpendapat bahwa kebangkitan Yesus Kristus adalah salah satu komponen utama dari kritik abad Pencerahan terhadap kekristenan. McGrath mengatakan: The question whether Christ was indeed raised from the dead brings together the central components of the Enlightenment critique of traditional Christianity. [Alister E. McGrath, Christian Theology: An Introduction (Oxford: Blackwell Publishers, 1996), 376.] McGrath cukup memahami sejarah, karena selain dikenal sebagai teolog, dia juga adalah seorang ahli sejarah dan seorang cendekiawan, di samping pula menjabat sebagai seorang pendeta.

McGrath memakai istilah the central components of the Enlightenment critique of traditional Christianity”. Jadi agaknya ada banyak juga kritik-kritik lain bermunculan di abad Pencerahan, yang diarahkan kepada kekristenan. Tetapi pusat dari segala kritik itu rupa-rupanya terletak pada pertanyaan: Apakah Kristus sungguh-sungguh bangkit dari kematian?

 

Kepintaran manusia yang dipakai untuk menyerang Allah

Sungguh merupakan hal yang patut disayangkan bukan? Ada sebuah abad yang disebut sebagai abad Pencerahan, namun yang kita temui justru orang-orang yang hidupnya semakin jauh dari kebenaran Firman Tuhan.

Kemajuan dalam cara berpikir, di satu sisi memang telah menjadikan manusia menjadi semakin kritis di dalam mempertanyakan realita dan hal itu tidak selalu merupakan hal yang buruk. Akan tetapi di sisi lain, sikap kritis seperti itu sayangnya justru dipakai untuk menyerang Allah dan mempertanyakan Firman-Nya pula. Ini sungguh-sungguh merupakan suatu kecelakaan yang tidak seharusnya terjadi.

[Baca juga: Tema-tema penting dalam Perjanjian Baru. Klik disini]

Dapat dikatakan keberanian dalam mempertanyakan realitas seperti ini, sudah melewati batas sehingga terkesan seperti suatu kebalikan dari ide tentang pencerahan itu sendiri, di mana pencerahan itu seharusnya identik dengan terang dan kemampuan untuk melihat. Tetapi kaum yang kritis ini, dengan sikapnya tersebut, justru membuat zaman itu lebih tepat jika dinamai sebagai zaman kegelapan, yaitu zaman di mana manusia gagal mengenal Allah yang mengasihi mereka.

Mengapa bisa terjadi sikap kritis yang demikian?
Apa sumber utama dari sikap menentang yang Ilahi seperti ini?
Dan bagaimana kita sebagai orang Kristen harus menghadapi situasi ini?

 

Mengapa muncul sikap kritis yang menentang Allah itu?

Sikap penuh kritik yang mengemuka di dalam abad Pencerahan muncul karena dua faktor yang paling populer di zaman tersebut yaitu pertama, bahwa akal budi manusia dianggap memiliki kemampuan yang amat tinggi untuk mengetahui kebenaran dan kedua, bahwa suatu peristiwa harus dapat diverifikasi terlebih dahulu di dalam sejarah masa lampau sebelum peristiwa itu diterima sebagai kebenaran.

Secara sepintas, sepertinya tidak ada yang salah dengan cara pandang seperti yang disebutkan di atas. Akan tetapi jika renungkan kembali, maka kita akan menyadari bahwa dengan berbuat seperti demikian sesungguhnya manusia telah menjadikan akal budinya sendiri menjadi sama seperti allah, yaitu faktor mutlak yang menentukan mana yang merupakan kebenaran dan mana yang bukan.

Sebab, siapakah yang dapat membuktikan bahwa akal budi manusia memiliki kemampuan untuk mengetahui segala kebenaran? Bukankah ada banyak hal di dunia ini yang manusia sendiri belum dapat ketahui dan pahami?

 

Apa sumber utama dari sikap seperti ini?

Mari kita simak pendapat McGrath yang mengungkapkan karakteristik seperti apakah yang cenderung dimiliki oleh manusia abad Pencerahan, McGrath mengatakan: The characteristic Enlightenment emphasis on the omnicompetence of reason and the importance of contemporary analogs to past events led to the development of an intensely skeptical attitude toward the resurrection. [Alister E. McGrath, Christian Theology, 376]

Dari penuturan McGrath di atas, kita mendapati beberapa pokok pikiran yang menjadi sumber utama dari sikap yang terlalu berani di dalam mengkritisi Tuhan. Adapun pokok pikiran itu adalah:

  • Kemahakuasaan akal budi (peng-ilahi-an) akal budi.
  • Arti penting dari perbandingan dengan peristiwa serupa.
  • Sikap hati yang skeptis.

Tentang kemahakuasaan akal budi, hal tersebut mengingatkan kita kepada peristiwa di Taman Eden yaitu kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa.

Allah dengan jelas melarang Adam dan Hawa untuk memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, tetapi Hawa dengan mudahnya diperdayakan oleh ular untuk memakan buah tersebut.

Pertanyaanyannya adalah mengapa memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu menjadi sesuatu yang menarik. Apa maksud dari tindakan tersebut?

Dalam pengertian sederhana, memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu sama artinya dengan keinginan manusia untuk menentukan sendiri apa yang benar dan apa yang salah di dalam tindakan mereka. Manusia tidak ingin digurui oleh Allah mengenai apa yang benar dan apa yang salah, mereka ingin otonomi dan tidak ingin bergantung pada Allah.

Tindakan Hawa dan kemudian diikuti oleh Adam ini, sangat mirip dengan pola pikir orang-orang di zaman Pencerahan. Mereka ingin memutuskan sendiri, berdasarkan daya pikir mereka, apa yang benar dan apa yang salah. Daya pikir atau intelegensia menjadi faktor penentu kebenaran tersebut. Manusia tidak ingin tunduk kepada penentuan Allah, manusia tidak ingin diatur oleh Allah.

Itu sebabnya, dengan berani manusia kemudian seolah-olah mendatangi Allah dan menentang peristiwa kebangkitan, semata-mata karena peristiwa kebangkitan itu tidak cocok dengan logika manusia.

Tentang arti penting perbandingan dengan peristiwa serupa, manusia menganggap bahwa peristiwa kebangkitan Yesus Kristus itu tidak dapat diterima karena peristiwa itu tidak memiliki padanan peristiwa yang serupa di dalam sejarah. Menurut orang-orang di zaman Pencerahan, segala sesuatu baru dapat diterima sebagai kebenaran apabila hal itu dapat diperbandingkan dengan peristiwa lainnya di dalam sejarah.

Keyakinan seperti ini membuat orang-orang di zaman Pencerahan sulit diyakini bahwa sebelum peristiwa kebangkitan Yesus Kristus pun, Alkitab sebetulnya telah mencatat peristiwa-peristiwa lain di dalam Perjanjian Lama tentang kebangkitan orang mati.

Dalam peristiwa Elia, ada orang yang dibangkitkan dari kematian. Dalam peristiwa tulang-tulang Elisa juga ada catatan serupa. Lalu di Perjanjian Baru juga ada peristiwa serupa yaitu peristiwa kebangkitan Lazarus.

Semua catatan Alkitab tentang kebangkitan itu tidak digubris oleh orang-orang di abad Pencerahan karena hati mereka memang sudah memutuskan bahwa Alkitab bukanlah suatu tulisan yang berotoritas sehingga apapun yang tertulis di dalamnya layak untuk dipertanyakan, ditentang dan tidak dipercayai.

Di dalam kekerasan hatinya, mereka membuat semacam postulat bahwa segala sesuatu itu baru dapat dikatakan benar, apabila ada peristiwa sebelumnya yang pernah terjadi atau ada peristiwa-peristiwa lain yang akan terulang lagi kejadiannya.

 

Bagaimana sebagai orang  Kristen harus menghadapi hal ini?

Dalam menghadapi cara berpikir dunia yang menentang Kristus, kita tidak akan menemukan solusi apapun yang lain kecuali apabila kita mengarahkan hati untuk kembali kepada Alkitab.

Sebab bagi kita orang percaya, bukan apa yang dikatakan orang yang merupakan kebenaran, tetapi apa yang dikatakan oleh Tuhan itulah yang harus kita pegang sebagai kebenaran. Orang yang sudah mengeraskan hati untuk tidak mau percaya, tidak akan mau mendengarkan penjelasan apapun yang disampaikan kepada mereka.

Dalam sebuah perumpamaan, Tuhan Yesus pernah menceritakan tentang Lazarus dan orang kaya. Setelah keduanya meninggal dunia, maka si orang kaya masuk ke neraka sedangkan Lazarus ada di pangkuan Abraham. Di dalam neraka, si orang kaya berkata kepada Abraham agar menyuruh Lazarus kembali ke dunia untuk memperingatkan sanak saudaranya akan api neraka ini, tetapi kita kemudian mendengar jawaban Abraham (yang tentunya merupakan jawaban Tuhan Yesus juga): Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati." (Lukas 16:31)

Menurut Tuhan Yesus, manusia tidak membutuhkan bukti atau penjelasan atau argumentasi yang sedemikian rumit untuk mengubah mereka dari tidak percaya menjadi percaya. Sebab segala yang disampaikan oleh kesaksian Musa sudah cukup bagi manusia jika mereka mau percaya.

Persoalan manusia bukanlah kurang informasi tentang kebangkitan Kristus dari kematian. Persoalan manusia adalah hati yang ingin memberontak dan tidak ingin diatur oleh Allah, sehingga peristiwa besar seperti apapun tidak akan mengubah hati mereka.

Mereka tidak juga akan mau diyakinkan, itulah perkataan Tuhan Yesus tentang orang-orang fasik yang hatinya telah memutuskan untuk menentang Allah. Orang yang bangkit dari antara orang matipun tidak akan cukup untuk membuktikan kekuasaan Allah.

Semoga kita yang membaca tulisan ini adalah orang-orang yang hatinya mau mendengar Firman Tuhan dan tidak sibuk mendengarkan suara-suara dari dunia ini atau suara-suara yang mengajarkan kesesatan untuk menentang Allah yang telah begitu mengasihi umat manusia. Amin (oleh: izar tirta)

 

Baca juga:
Apa peran penting para saksi mata dalam pemberitaan Injil? Klik disini.

Apa arti penting kebangkitan Yesus Kristus? Klik disini.