Friday, December 31, 2021

Inkarnasi: istilah asing yang (terasa) tidak asing lagi di telinga kita

 


Istilah inkarnasi menjadi populer sekali di dalam khotbah-khotbah Natal, artikel-artikel, maupun pembicaraan sehari-hari di antara orang-orang Kristen. Khususnya pada saat menjelang hari Natal. Anehnya, walaupun kita sering mendengar kata “inkarnasi” istilah tersebut ternyata tidak terdapat di dalam Alkitab bahasa Indonesia kita. Lho? Lantas, darimana istilah itu muncul? Dan yang lebih penting lagi, apa sih yang mesti kita pikirkan atau pahami ketika mendengar istilah itu? 

Inkarnasi berasal dari bahasa Inggris incarnation. Sementara bahasa Inggris sendiri pun mencontek istilah itu dari bahasa Latin in carne yang merupakan terjemahan dari bahasa Yunani en sarki, (en sarki). Dan sebagaimana kita (mungkin) sudah tahu, bahasa Yunani inilah bahasa yang dipakai untuk menulis kitab-kitab dalam Perjanjian Baru. Jadi, tidak perlu repot-repot untuk mencari istilah itu di Alkitab bahasa Indonesia, karena pasti tidak akan ketemu. Dan seperti kita lihat di sini, istilah itu sebenarnya adalah istilah asing. Dari bahasa Yunani, diserap oleh bahasa Latin, lalu oleh bahasa Inggris dan akhirnya baru giliran kita. 

Jika merujuk pada bahasa aslinya, ada cukup banyak ayat yang menyebutkan istilah ini, satu di antaranya adalah Yohanes 1:14, bunyinya: “Firman itu telah menjadi manusia.” Dalam Alkitab bahasa Inggris versi New International Version (NIV), ayat itu berbunyi: “The Word became flesh.” “Flesh” dalam bahasa Inggris berarti daging, dan bahasa Inggris tidak membedakan antara daging manusia dan daging binatang. Selain itu, flesh juga mengandung pengertian atau konotasi tubuh, sebagai lawan arti dari roh (spirit). Dan “flesh” juga dapat menyimbolkan sesuatu yang berada di luar (bersifat eksternal), sebagai kontras dari sesuatu yang berada di dalam (bersifat internal) “Flesh” dalam bahasa Yunani adalah sarx. Dan Yohanes 1:14 dalam bahasa Yunani adalah kai ho logos sarx. Lalu seperti yang saya uraikan di atas, sarx ini kemudian menjadi en sarki (yang artinya “menjadi manusia”) dan kemudian menjadi in carne, lalu incarnation dan akhirnya inkarnasi. 

Baiklah, sekarang kita sudah tahu asal usul kata ini tetapi, apa arti semuanya ini? Di dalam pengertian bahasa Yunaninya, sarx mengandung pengertian yang lebih luas dan lengkap. Istilah sarx menunjuk kepada manusia secara utuh atau secara keseluruhan, terdiri dari tubuh dan roh. Oleh karena itu, saya pikir bahasa Indonesia lebih tepat dalam menerjemahkan ayat itu, yaitu “menjadi manusia,” bukan sekedar “menjadi daging.” Sebab seorang manusia bukanlah sekedar seonggok daging. Manusia memang memiliki daging, tetapi manusia yang utuh bukanlah sekedar daging. Manusia yang utuh terdiri dari daging dan roh. 

Melalui inkarnasi, keberadaan Yesus yang semula bersifat Roh (yaitu Firman atau the Word) masuk ke dalam suatu pengalaman yang unik yaitu sungguh-sungguh menjadi Manusia, sebagaimana semua makhluk lain yang disebut “manusia.” Dalam bahasa Yunani, istilah sarx tidak dikonotasikan sebagai sesuatu yang berdosa. Istilah sarx, pada dirinya sendiri (secara inheren) bukanlah dosa, tetapi di dalam sarx ada kemungkinan atau kemampuan untuk berbuat dosa. 

Jika ditanya, “Manakah yang lebih tinggi nilainya, seekor sapi ataukah seekor semut?” Tentu kita dengan mudah menjawab bahwa sapi memiliki nilai yang lebih tinggi dari semut. Biasanya semakin besar hewannya, semakin tinggi pula nilainya. Namun tentu saja hal itu tidak mutlak demikian, perlu pula dipertimbangkan faktor kelangkaan dari hewan tersebut. Seekor burung kecil bersuara emas dapat saja lebih mahal harganya daripada seekor kerbau yang amat besar dan berat. Seekor ikan kecil di akuarium bisa lebih berharga dari seekor kucing liar yang dapat kita temui dengan mudah di jalan-jalan. Membandingkan antara hewan yang satu dengan yang lain sama saja dengan memberi nilai kepada hewan-hewan tersebut. 

Ada hewan yang nilainya tinggi, ada pula yang nilainya rendah tergantung kegunaan, kelangkaan dan lain sebagainya, tergantung pula dari kriteria apa yang kita pakai untuk menilai hewan-hewan tersebut. Akan tetapi dapatkah kita menilai seorang manusia dengan cara seperti itu? Apakah manusia yang lebih berat tubuhnya pasti lebih bernilai daripada seorang yang amat kurus? Apakah mereka yang lahir dengan tubuh tinggi, lebih mulia daripada mereka yang bertubuh pendek? Dapatkah kita mengatakan intelegensia seseorang menentukan nilai orang tersebut? Atau bagaimana dengan status sosialnya, atau pekerjaannya, atau kekayaannya? Dengan apakah kita mengukur nilai seorang manusia? Atau bahkan pertanyaannya adalah, dapatkah kita mengukur nilai seorang manusia? Dari Alkitab kita belajar bahwa manusia adalah makluk yang paling mulia dari segala ciptaan Allah di muka bumi ini. 

Manusia sudah pasti memiliki nilai kehidupan yang lebih besar daripada hewan-hewan atau tumbuhan. Dan nilai serta kemuliaan itu tidak berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, kita (sepatutnya) tidak memiliki kategori untuk nilai seorang manusia. Kita adalah manusia, titik. Dan sebagai manusia kita memiliki nilai yang sama di hadapan Allah. 

Seringkali kita sulit menghargai seorang manusia sebagaimana yang Allah maksudkan. Budaya hidup kita sehari-hari telah mengajar kita bahwa tidak semua manusia memiliki nilai yang sama. Demi alasan-alasan sepele, seorang manusia bisa melenyapkan nyawa sesamanya. Kompetisi sehari-hari telah membentuk cara berpikir kita bahwa para pemenang adalah orang-orang yang memang memiliki nilai yang lebih baik dari orang yang lain. Iklan-iklan komersial telah membentuk cara pandang kita tentang bentuk wajah seperti apakah yang disebut cantik, rambut bagaimanakah yang paling menarik, postur tubuh apakah yang paling sempurna, makanan apakah yang harus kita makan agar kita bisa berbeda dengan orang lain, kendaraan apakah yang harus kita kendarai agar nilai hidup kita bisa meningkat dan masih banyak lagi. 

Melalui inkarnasi, kita ditegur, diajarkan atau barangkali diingatkan kembali bahwa manusia, seperti anda dan saya adalah makluk yang berharga di mata Allah. Orang lain mungkin tidak bisa menghargai anda. Diri anda sendiripun mungkin sulit untuk menerima kenyataan bahwa anda adalah seorang yang berharga. Tetapi satu hal dari inkarnasi yang dapat kita renungkan adalah Allah memandang anda berharga sehingga Ia bersedia untuk menjadi sama seperti anda. Allah mau sama seperti kita agar di dalam ke-sama-an itu Ia dapat mengerjakan hal-hal yang berguna bagi kepentingan kita. 

Sudahkah kita berterima kasih pada Yesus yang telah mengambil keputusan untuk menjadi sama seperti anda di dalam kemanusiaan anda? Segeralah berterima kasih pada Yesus. Bagaimanakah cara pandang anda selama ini terhadap sesama manusia? Apakah anda termasuk orang yang suka membeda-bedakan nilai jati diri seseorang? Mari, jangan kecil hati, belum terlambat untuk mengubah cara pandang tersebut. Yesus telah menjadi Manusia, supaya di dalam diri setiap manusia kita bisa menemukan arti dari “diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa” Allah. Tuhan memberkati. (Oleh: Izar Tirta)