Apakah anugerah yang sejati dari
Allah itu disertai dengan tanda-tanda tertentu?
Ataukah anugerah Allah itu
merupakan sesuatu yang sama sekali tidak terlihat oleh mata?
Pendahuluan
Istilah anugerah sudah menjadi istilah yang sangat populer di kalangan orang Kristen. Namun tidak sedikit orang Kristen yang memakai konsep anugerah ini sebagai semacam alasan untuk menjalani hidup yang sembarangan. Atas nama anugerah, maka orang Kristen lalu merasa bahwa hidup ini adalah kebebasan semata-mata, tanpa ada hukum atau peraturan yang boleh mengatur hidupnya.
Pandangan seperti ini sangat keliru dan tidak
sesuai Alkitab. Menurut Alkitab, orang
yang menerima anugerah yang sejati dari Allah, pasti akan menunjukkan
tanda-tanda yang terlihat di dalam kehidupannya. Berikut ini kita akan
merenungkan tanda-tanda apakah yang menyertai seseorang yang mendapat anugerah
keselamatan dari Allah. [Baca juga: Apakah yang menjadi tujuan hidup kita sebagai orang Kristen? Klik disini.]
Ayat Firman Tuhan:
Zakharia dan Elisabet… keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. (Lukas 1:6)
Pemahaman yang keliru tentang anugerah
Pada umumnya, istilah “anugerah” dipahami sebagai sesuatu yang diberikan oleh Allah begitu saja tanpa syarat apapun, ini tentu saja tidak salah. Justru kalau ada syaratnya, bagaimana mungkin pemberian tersebut bisa disebut sebagai anugerah, bukan? Tetapi pemahaman atas anugerah di kalangan orang Kristen seringkali menjadi berat sebelah atau bahkan kebablasan, sehingga bukan saja anugerah itu bersifat tanpa syarat, tetapi bahkan tanpa tanda-tanda yang nyata pula dari anugerah tersebut.
Pada akhirnya, gagasan tentang anugerah di dalam kekristenan lebih sering dimengerti sebagai suatu kebebasan, sedemikian rupa hingga kurang memberi penekanan pada pentingnya hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Zakharia dan Elisabet.
Tidak jarang orang Kristen berpikir: “Sebagai orang Kristen aku sudah dibebaskan dari ikatan Hukum Taurat.” Dalam artian tertentu, ada benarnya berpikir seperti ini, tetapi jika kita tidak paham betul makna dan konteks dari kalimat tersebut, maka pada akhirnya kebebasan tersebut membuat orang Kristen masuk ke dalam kebebasan yang tidak pada tempatnya; mau ke gereja atau tidak ke gereja, mau memikirkan Tuhan atau tidak memikirkan Tuhan, mau baca Alkitab atau tidak baca, mau malas atau rajin, mau jujur atau suka menipu, mau serakah atau rela berbagi, mau sabar atau tidak sabar, mau sombong atau humble, seseorang dapat tetap merasa diri sebagai orang Kristen, karena ia berpedoman bahwa keselamatan itu berdasarkan anugerah, bukan karena perbuatan. Pandangan tentang “anugerah keselamatan” seperti ini sangat berpotensi membawa orang ke dalam kesesatan fatal.
Ada pandangan lain yang cukup populer tentang anugerah yaitu: orang yang tadinya sangat tidak bermoral atau jahat, lalu tiba-tiba mendapat anugerah, sehingga berubah menjadi baik dalam sekejap mata. Pada dasarnya, pemahaman seperti ini juga tidak keliru. Alkitab memang mencatat kasus-kasus di mana anugerah itu datang secara tiba-tiba, mengubah seseorang yang tadinya berkelakuan buruk menjadi orang yang memiliki mata rohani dalam sekejap mata.
Contoh paling terkenal dari kasus ini adalah orang yang disalibkan di sebelah Yesus Kristus. Ia tiba-tiba mengalami perubahan cara pandang dan bertobat pada detik-detik terakhir sebelum kematiannya. Contoh lainnya adalah pertobatan Saulus menjadi Paulus. Anugerah keselamatan datang dengan cara yang spektakuler dan tiba-tiba di dalam diri Saulus yang kejam, sehingga ia berubah menjadi Paulus, rasul yang penuh kasih.
Tetapi kita perlu ingat bahwa Alkitab itu sangat berlimpah isinya, tidak selalu dan tidak selamanya kedatangan anugerah kepada manusia dituturkan melalui kisah spektakuler dari orang-orang jahat yang berubah baik dalam sekejap. Jika kita selalu memakai “kacamata” seperti ini untuk membaca seluruh 66 buku dalam Alkitab, niscaya kita akan kehilangan banyak kesempatan untuk melihat bagaimana anugerah Allah bekerja di dalam diri seorang manusia.
Orang Kristen pun harus memperhatikan hukum dan ketetapan Ilahi
Ada kesan bahwa sebagai orang Kristen kita merasa alergi mendengar istilah “perbuatan baik,” sedemikian rupa sehingga buru-buru mengabaikan istilah tersebut setiap kali ia muncul. Karena takut dituduh liberal, maka kita segera menyiram dengan air dingin setiap kali istilah “moralitas” disebutkan. Mungkin hal ini terjadi karena kita begitu khawatir istilah itu akan merusak gagasan tentang “anugerah.” Tapi ini adalah sikap hati-hati yang berlebihan dan bahkan kelihatan lebih mirip seperti sebuah paranoia yang tidak sehat. Jangan-jangan itu semua terjadi justru karena selama ini kita keliru dalam memahami apa artinya seseorang mendapat anugerah keselamatan.
Moralitas bukan anti-tesis dari anugerah, bahkan Hukum Taurat pun bukan musuh dari iman Kristen yang sejati. Kalau kita setia membaca Injil Matius, kita akan mendapati bahwa kritik Matius terhadap orang Kristen Yahudi justru adalah karena mereka telah menjadi orang Kristen lawless, yang tidak menaruh kepedulian pada hukum Ilahi (kondisi ini biasa disebut juga dengan istilah anti-nomianisme). Belum lagi jika kita membaca surat Yakobus, atau bahkan membaca tulisan John Calvin, yang membahas tentang “The third use of The Law,” misalnya. Orang bisa saja menentang Calvin, yang dalam tulisannya menjelaskan betapa pentingnya arti Hukum Taurat bagi orang Kristen sejati, tetapi apakah ada yang bisa menentang Yakobus? Atau Matius? … dan tetap merasa dirinya Kristen?
Alkitab mengajarkan bahwa kita diselamatkan berdasarkan anugerah, bukan karena perbuatan baik. Namun Alkitab juga mengajarkan bahwa karya anugerah yang terjadi di dalam diri seseorang justru ditandai dengan munculnya atau terlihatnya perbuatan yang baik di dalam diri orang tersebut.
Dalam ayat yang menjadi kutipan utama tulisan ini, kita membaca kesaksian Lukas tentang anugerah Allah yang bekerja dalam diri Zakharia dan Elisabet. Mereka tidak ayal lagi adalah orang-orang berdosa, sama seperti kita semua yang membutuhkan anugerah keselamatan. AKAN TETAPI anugerah keselamatan yang mereka terima sudah terlihat tanda-tandanya bahkan sebelum mereka menyadarinya, bahkan sebelum ada peristiwa “spektakuler” apapun yang terjadi dalam hidup mereka.
Bagaimana Zakharia dan Elisabet dapat dipandang benar di hadapan Allah? Jawabannya adalah karena mereka mendapat anugerah. Lalu apa tandanya bahwa mereka adalah orang yang mendapat anugerah Ilahi? Tandanya adalah, hidup mereka selama ini senantiasa telah menuruti segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. Perhatikan bahwa frasa “dipandang benar,” mendahului frasa “menuruti segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat.” Dalam Alkitab urutan itu penting, kita jadi mengerti mana yang ada lebih dahulu, dan mana yang harus menyusul kemudian.
Kita tahu bahwa Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa Allah dapat membenarkan seseorang karena perbuatannya. Kebenaran yang disematkan Allah ke atas Zakharia dan Elisabet semata-mata merupakan suatu anugerah yang diberikan secara cuma-cuma kepada pasangan tersebut. Meskipun demikian, anugerah Allah tidak bertentangan dengan kenyataaan bahwa Zakharia dan Elisabet adalah sepasang manusia yang setia dalam menuruti segala perintah dan ketetapan Allah dengan tidak bercacat. Justru tanda bahwa anugerah itu telah diberikan oleh Allah kepada mereka adalah bahwa mereka telah dimampukan untuk bersikap setia seperti demikian.
Orang yang mengatakan bahwa kita diselamatkan karena kita ini setia dalam menuruti perintah Allah (disebut legalisme), harus memahami bahwa keselamatan kita adalah sebuah anugerah, bukan hasil dari perbuatan baik yang dikerjakan oleh manusia (Efesus 2:8,9)
TETAPI orang yang berpikir bahwa karena ada anugerah dari Allah, maka perbuatan yang sesuai dengan hukum sudah tidak menjadi penting lagi (disebut anti-nomianisme), harus sadar bahwa sebuah pohon dikenali dari buahnya. Pohon yang tidak berbuah, pada suatu saat akan ditebang oleh Tuhan dan dicampakkan ke dalam api. Inilah ajaran anugerah yang sejati menurut Alkitab (Matius 12:33; Yohanes 15:5,6).
Ajaran yang mengatakan bahwa “asalkan kita sudah percaya Yesus, maka segalanya sudah beres, tidak ada yang perlu dipikirkan atau dikerjakan lagi, tinggal tunggu kematian datang, lalu kita akan ke sorga,” adalah ajaran anugerah yang tidak lengkap dan tidak setia pada apa yang dinafaskan oleh Alkitab. Kekristenan sejati bukan saja menentang legalisme, tetapi juga menolak paham anti-nomianisme seperti itu.
Kisah Zakharia dan Elisabet memang adalah kisah yang sangat jarang dibahas dari atas mimbar. Akibatnya kekayaan Firman yang ada di dalam kisah inipun jarang tergali. Ayat-ayat yang mengkaitkan pentingnya hubungan antara anugerah dan perbuatan, entah mengapa jadi terdengar asing bagi telinga kita.
Tetapi semoga melalui perenungan tentang Zakharia dan Elisabet kali ini, kita semakin diyakinkan bahwa di dalam anugerah-Nya, Tuhan dapat bekerja melalui berbagai cara dan melalui berbagai jenis manusia. Di dalam diri Zakharia dan Elisabet, anugerah Ilahi ditandai dengan adanya kesalehan dan kesetiaan dalam mengikuti perintah Tuhan. Tanda anugerah apakah yang Tuhan telah kerjakan di dalam diri kita masing-masing? Adakah kita juga memiliki kesetiaan dan hati yang mau taat pada perintah dan ketetapan Tuhan? Ataukah selama ini kita tidak pernah melihat suatu buah pertumbuhan rohani yang nyata di dalam hidup kita dan terus saja berkubang di dalam pemahaman yang keliru tentang anugrah?
Baca juga: