Wednesday, November 27, 2019

Eksposisi Kejadian 4:1 : Apakah semua orang itu pada dasarnya baik?

 
Apakah semua orang itu pada dasarnya baik?

 

… mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain;
maka kata perempuan itu: "Aku telah mendapat
seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN."… (Kejadian 4:1)


Semua orang pada dasarnya baik” – benarkah?

Jay Austin adalah seorang pria Amerika lulusan Georgetown University yang bekerja di the United States Department of Housing and Urban Development. Sejak tahun 2012, Jay menjalin asmara dengan seorang gadis yang kebetulan berasal dari almamater yang sama dengan Jay. Nama perempuan itu adalah Lauren Geoghegan. Lauren masih bekerja di bagian administrasi kampus ketika bertemu dengan Jay pertama kali.
 
[Baca juga: Apa tandanya seseorang sudah menerima anugerah dari Allah? Klik disini.]

Entah apa yang ada di dalam pikiran Jay dan Lauren, ketika mereka memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan mereka dan memulai sebuah pengalaman baru dalam hidup mereka. Bulan Juli 2017 adalah momen yang mereka pilih untuk meninggalkan kehidupan lama yang telah mereka kenal selama ini, lalu mulai bertualang dengan hanya mengendarai sepeda ke tempat-tempat yang belum pernah mereka jelajahi sebelumnya.

Jay dan Lauren sering mendokumentasikan pengalaman mereka dalam sebuah blog dan di bulan Desember 2017, pasangan yang sempat mencuri perhatian dunia ini dikabarkan telah tiba di Eropa. Dalam blog mereka, Jay dan Lauren sempat mengungkapkan latar belakang kepergian mereka, yaitu dalam rangka membuktikan bahwa “humans are kind” dan bahwa kejahatan atau evil, tidak lebih dari sebuah “make-believe concept” semata-mata.

Keyakinan tinggal keyakinan, seberapa pun kuatnya keyakinan seseorang terhadap sesuatu, tidak mengubah begitu saja realita dunia yang ada.[1] Pada tanggal 29 Juli 2018, ketika Jay, Lauren dan dua simpatisan pesepeda lain yang berasal dari Swiss dan Belanda sedang bersantai mengayuh sepeda mereka di daerah Tajikistan, sebuah mobil yang diisi oleh lima pria berpenampilan garang melewati iring-iringan sepeda mereka.

Pada awalnya, Jay dan Lauren tetap tenang ketika mobil itu berhenti di depan mereka. Mereka yakin bahwa semua manusia pada dasarnya adalah makhluk yang baik, dan bahwa kejahatan bukanlah suatu konsep yang riil. Tetapi keyakinan mereka itu agaknya tidak bertahan lama pada hari itu, mana kala kelima pria itu turun dari mobil, mengeluarkan pisau, parang dan senjata tajam lainnya sambil berjalan menghampiri mereka.

Tidak ada kata-kata, tidak ada dialog, bahkan Jay dan Lauren tidak sempat memohon belas kasihan pada lima pria itu. Satu persatu mereka roboh ke tanah, bersimbah darah setelah dihujam berkali-kali dengan senjata tajam. Mayat mereka berempat tergeletak di jalan tempat mereka dibunuh tanpa belas kasihan dan lima pria tersebut meninggalkan begitu saja tubuh-tubuh tak bernyawa itu karena tidak sudi berhubungan dengan apapun yang mereka anggap kafir.

Dua hari kemudian, The Islamic State atau yang lebih kita kenal sebagai ISIS mengeluarkan video rekaman untuk mengomentari peristiwa tersebut. Tanpa menyesal sedikitpun ISIS menyatakan bahwa merekalah yang melakukan hal itu karena mereka telah bersumpah untuk membunuh semua kaum non-believer yang mereka temui.

Berbeda dengan anggapan Jay dan Lauren, manusia sebetulnya bukan makhluk yang baik. Semua manusia telah jatuh ke dalam dosa dan mempunyai potensi untuk melukai atau bahkan mencelakakan sesamanya. Hanya karena anugerah Allah saja, dunia ini masih bisa berjalan tanpa setiap manusia berusaha memangsa manusia lainnya.[2]

Lauren sebetulnya bukan satu-satunya perempuan yang keliru dalam membuat perkiraan terhadap perilaku manusia. Perempuan pertama yang ada di dunia ini pun tidak luput dari kesalahan serupa.


Dan Kain pun lahir

Setelah dirundung duka karena mendapat hukuman dari Tuhan dan diusir dari Taman Eden, Hawa kini dapat merasa bersyukur kembali dengan adanya kehamilan dan terutama dengan lahirnya seorang anak laki-laki. Meskipun Hawa telah jatuh ke dalam dosa, namun di dalam anugerah Tuhan, Hawa masih bisa melihat kelahiran tersebut sebagai hadiah atau pertolongan dari TUHAN. Bagaimana pun sikap positif semacam ini patut kita acungi jempol bukan? [Baca juga: Kelahiran Kain. Klik disini.]

Pada saat itu, proses lahirnya seorang manusia dari dalam rahim seorang perempuan adalah hal yang sama sekali baru. Bagi Hawa peristiwa itu sangat mungkin benar-benar terasa bagaikan sebuah keajaiban. Sehingga Hawa menyadari bahwa tanpa pertolongan dari TUHAN atau Yahweh maka tidak mungkin dirinya yang telah jatuh ke dalam dosa itu dapat mengeluarkan atau menghasilkan atau seolah-olah “menciptakan” manusia yang baru. Ada rasa takjub dan kagum di dalam kalimat yang diucapkan oleh Hawa.

Hawa pasti tidak lupa, bagaimana Tuhan menghukum dirinya dengan rasa sakit bersalin yang sangat hebat. Pada era sebelum ditemukannya metode bedah untuk mengeluarkan bayi dari dalam kandungan, hampir semua proses kelahiran merupakan saat-saat menakutkan bagi seorang calon ibu. Nyawa seorang wanita sering dilukiskan sebagai telur yang berada di ujung tanduk ketika mereka meregang kesakitan oleh karena proses kelahiran sang bayi.

Itu sebabnya ketika Hawa dan sang bayi itu akhirnya dapat melewati proses kelahiran ini dengan selamat, ada ungkapan syukur yang begitu besar keluar dari hati Hawa atas kebaikan Tuhan yang masih bersedia menolong dirinya.[3]

Selain itu, ucapan syukur Hawa sangat mungkin berkaitan erat pula dengan cara Hawa menafsirkan ucapan Tuhan di Taman Eden. Tuhan pernah berkata:
Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan me-remukkan kepalamu, dan engkau akan meremuk-kan tumitnya." (Kej 3:15)
 
Sangat mungkin Hawa beranggapan bahwa Kain-lah anak yang akan menghancurkan kepala si ular itu. Tidak sedikitpun terbersit dalam benak wanita pertama ini, bahwa anak sulungnya itulah yang justru merupakan representasi dari keturunan si ular itu sendiri. [Baca juga: Apakah Allah pernah bermusuhan? Klik disini]

Dalam bahasa Ibrani perkataan Hawa adalah Qaniti ish et Yahweh.
Yang diterjemahkan: Aku telah mendapatkan seorang laki-laki dari Yahweh.

Tidak sedikit penafsir yang melihat keterkaitan antara Qaniti dalam kalimat ini dengan nama Kain sendiri, yang dalam bahasa aslinya tertulis Qayin. Sehingga mereka melihat bahwa nama Kain sendiri mengandung arti “mendapatkan” atau acquire dalam bahasa Inggris.

Di sisi lain, Gerhard Von Rad, pakar Perjanjian Lama, melihat bahwa nama Qayin itu sama artinya dengan tombak (spear), sebagaimana tertulis dalam 2 Sam 21:16 yang berbunyi: “Yisbi-Benob, yang termasuk keturunan raksasa--berat tombaknya tiga ratus syikal tembaga..” Kata tombak dalam ayat tersebut adalah qenow yang juga mirip dengan nama Kain.

Tetapi saya pribadi lebih setuju dengan orang-orang yang menafsirkan arti nama Kain sebagai “acquire” ketimbang “spear.” Karena saya melihat arti nama tersebut akan sangat kontras dengan arti dari nama Habel.[4] Namun pada kesempatan ini, kita akan lebih dulu memusatkan perhatian kita pada sosok Kain, bukan dari arti namanya, tetapi dari bagaimana Hawa mengekspresikan sikap hatinya atas kelahiran Kain tersebut.

Jika kita perhatikan dengan seksama kalimat Hawa di atas, maka kita akan dapati bahwa istilah yang dipakai oleh Hawa untuk menunjuk kepada Kain adalah ish “seorang laki-laki” (a man) bukan “anak laki-laki” (a boy) sebagaimana yang digunakan oleh LAI. Dalam bahasa Ibrani, istilah anak laki-laki seharusnya memakai istilah yeled.

Jika demikian, mengapa Hawa memakai istilah “seorang laki-laki” untuk menunjuk pada Kain yang saat itu masih bayi? Bukankah istilah “anak laki-laki” seharusnya lebih sesuai? Hal ini mungkin sekali karena Hawa melihat bayi itu bukan terutama dalam kondisinya sebagai bayi, melainkan dalam statusnya sebagai wakil dari umat manusia yang akan mengalahkan kuasa kejahatan itu. Di mata ibunya, Kain adalah pengharapan baru umat manusia, setelah kejatuhan Adam dan Hawa sendiri.

Kita lihat di sini, betapa besar Hawa telah berharap pada Kain, bukan? Tapi dalam keterbatasannya sebagai manusia, Hawa tidak benar-benar sadar betapa merusaknya sifat berdosa yang telah ia turunkan kepada putra pertamanya itu.[5] Sehingga untuk berharap kepada seorang manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, adalah sama saja dengan upaya untuk menjaring angin.


Jadi, kepada siapa kita harus berharap?

Manusia dapat saja menaruh suatu pengharapan yang besar di atas diri manusia yang lain. Namun dalam konteks dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, kita tahu bahwa pengharapan kepada seorang manusia adalah sesuatu yang sangat keliru. Saya pikir Lauren akhirnya sempat sadar akan hal itu, walau sudah terlambat bagi dia untuk menceritakannya sendiri pada kita. Hawa juga belakangan tahu akan kekeliruannya tersebut.

Bagaimana dengan kita? Kita juga sebetulnya tidak kebal terhadap kesalahan semacam ini, bukan? Tanpa kita sadari, kita juga sering menaruh harapan pada orang-orang tertentu dalam hidup kita. Ada orang yang sangat berharap pada anaknya. Ada juga orang yang berharap pada pasangannya, atau orang tuanya. Ada orang yang berharap pada pendetanya, atau pimpinan perusahaannya, atau pemuka agama atau siapapun. Kisah Lauren dan kisah Hawa mengingatkan kita bahwa menaruh pengharapan kepada manusia, atau meletakkan keyakinan penuh pada makhluk yang sudah jatuh ke dalam dosa, adalah sesuatu yang sangat rentan terhadap kesalahan.

Mari kita perhatikan nasihat nabi Yesaya yang berkata demikian:
Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap? (Yesaya 2:22)

Dan biarlah raja Daud menutup pembahasan kita kali ini dengan sebuah nasihat:
Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!  (Mazmur 131:3)

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita dengan keberanian untuk senantiasa hanya berharap kepada Dia. Bersambung ke "Makna kelahiran Habel" (klik disini)

Beberapa pertanyaan untuk direnungkan:
Apakah pesan yang kita dapat dari kelahiran Kain? Klik disini
Apakah semua orang pada dasarnya baik?
Apakah ajaran dunia tentang iman dan kepercayaan?
Apakah ajaran Alkitab tentang iman dan kepercayaan? Klik disini
Mengapa manusia sering melukai sesamanya?
Mengapa kebaikan manusia tidak dapat dipercayai?
Mengapa kesalehan manusia tidak dapat diandalkan?
Apakah kanibalisme dan gladiator masih ada hingga sekarang?
Mengapa Hawa merasa bahagia dengan kelahiran Kain?
Apakah pandangan Hawa terhadap Kain?
Apakah arti dari nama Kain?
Mengapa Hawa menyebut Kain seorang laki-laki?
Mengapa Hawa tidak menyebut Kain sebagai seorang anak laki-laki?
Apakah Alkitab mengajarkan tentang pengharapan kepada manusia?
Apakah kita boleh berharap kepada manusia?
Mengapa kita sering dikecewakan oleh sesama kita?
Mengapa orang tua bisa dikecewakan oleh anaknya sendiri?
Mengapa pacar kita melukai perasaan kita?
Apakah kita boleh berharap pada suami?
Apakah kita boleh berharap pada istri?
Apakah ajaran Alkitab mengenai pengharapan terhadap manusia?
Apakah warisan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya?
Apakah ajaran Alkitab tentang warisan dosa? Klik disini







[1] Dunia mengajarkan, jika kita cukup yakin, maka apa yang kita yakini itu akan menjadi kenyataan. Tetapi Alkitab mengajarkan, justru karena terlebih dulu ada sebuah kenyataan, maka keyakinan itu mempunyai dasar untuk berpijak. Dalam kekristenan yang dibangun di atas Alkitab, yang terpenting bukan seberapa besar keyakinan kita, melainkan di mana atau kepada siapa kita meletakkan keyakinan tersebut. Iman sebesar biji sesawi pun dapat berguna ketika iman itu diletakkan di atas Kristus, Batu Karang yang teguh itu.
[2] Secara umum masyarakat kita memang tidak lagi hidup dalam era kanibalisme ataupun gladiator. Kita tidak lagi hidup pada zaman dimana setiap perselisihan diselesaikan dengan perkelahian yang sadis berdarah-darah. Tetapi siapakah di antara kita yang dapat menyangkal bahwa dalam artian yang berbeda, kita masih sering memangsa sesama kita? Dalam artian yang tidak terlalu fisikal, bukankah kita senantiasa masih berperang antara satu sama lain? Perusahaan besar masih senantiasa ingin menaklukkan dan menelan perusahaan yang lebih kecil. Bangsa yang superpower masih senantiasa ingin menguasai bangsa lain yang lebih lemah. Jika tidak menguasai secara militer, maka setidaknya menguasai secara ekonomi. Dan tentu saja kita semua sadar bahwa walaupun Perang Dunia II telah lama berakhir, di berbagai belahan dunia masih saja terjadi peperangan demi peperangan yang merenggut banyak korban jiwa hingga saat ini. Dan kalau kita pikir bahwa kanibalisme dan gladiator adalah kisah masa lalu, maka mungkin kita perlu lebih banyak membaca lagi agar disadarkan bahwa praktek-praktek itu ternyata masih kerap terjadi di tengah dunia moden ini.
[3] Orang yang luput dari bencana besar, pasti lebih bersyukur daripada orang yang tidak pernah benar-benar merasakan ancaman dari suatu bencana yang besar.
[4] Kita akan membahas arti nama Kain serta perbandingannya dengan arti nama Habel dalam suatu tulisan yang terpisah.
[5] Menurut Alkitab, warisan pertama yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya adalah bibit dosa. Itu sebabnya setiap kita, baik sebagai orang tua, maupun sebagai anak, membutuhkan penebusan Yesus Kristus. Mencoba menyelesaikan masalah ini dengan jalan kesalehan agama, adalah suatu upaya menjaring angin.