Oleh: Izar Tirta
…
Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain…
(Kejadian
4:2)
Berbeda
dengan Kain yang kelahirannya dituturkan secara lebih lengkap, kelahiran Habel justru
dituturkan dengan cara yang singkat sekali. Seolah-olah orang tua Habel sedang menyampaikan
informasi sambil lalu yang tidak terlalu penting saja layaknya. Ada kesan bahwa
anak yang satu ini kurang diinginkan, sehingga kehadirannya tidak membangkitkan
suasana yang gegap gempita di dalam hati sang Ibu, dibandingkan waktu kakaknya
lahir. Bahkan untuk kelahiran yang kali ini, nama TUHAN sudah tidak lagi dibawa-bawa. Satu-satunya predikat yang
disandang Habel adalah bahwa ia disebut sebagai adik Kain. Itu saja.
Selain
itu, nama Habel[1] sendiri
mengandung makna yang cukup beragam. Namun sayang sekali, dari sekian makna
yang ada, semuanya dapat dikatakan kurang menarik atau mengandung arti yang
menyedihkan. Adapun beberapa makna yang terkandung di dalam nama Habel itu
adalah:
-
tindakan yang kosong (to act emptily),
-
sia-sia (vain),
-
nafas (breath). Dan istilah nafas yang
dimaksudkan di sini adalah suatu “keberadaan yang sangat singkat,” begitu
singkat dan cepat sirna sehingga bagaikan hembusan nafas saja layaknya.
Sehingga
secara keseluruhan pengertian dari nama Habel atau Hevel di dalam benak orang Yahudi adalah something very close to nothing, sesuatu yang hampir tidak ada arti
pentingnya sama sekali.
Tidak ada
penjelasan yang rinci dalam Alkitab mengenai alasan mengapa Hawa memberi nama kepada
adik Kain dengan istilah yang memiliki arti sedemikian menyedihkan itu. Tetapi fakta
ini semakin menguatkan dugaan kita bahwa bagi Hawa, kehadiran Habel[2]
ke dalam dunia bukanlah sesuatu yang terlalu diharapkannya.
Ada penafsir
yang menduga bahwa nama Habel diberikan karena kisah hidupnya yang memang sangat
menyedihkan. Habel mati terbunuh tanpa sempat memiliki keturunan, padahal ia
tidak salah apa-apa. Sungguh wajar jika orang menilai hidupnya begitu malang
dan sia-sia. Akan tetapi bagi saya, cara berpikir seperti ini kurang tepat,
sebab bagaimana mungkin orang tua Habel bisa mengetahui segala sesuatu yang
akan terjadi di masa mendatang? Sehingga ia bisa memberi nama yang sesuai
dengan nasib dari anak tersebut?
Tentu
saja seorang bayi diberi nama pada saat ia dilahirkan. Jika nama Habel
diberikan karena melihat segala sesuatu yang terjadi pada dirinya, maka
bukankah seolah-olah nama itu diberikan setelah yang bersangkutan sendiri
meninggal? Tentu saja cara berpikir seperti ini akan janggal sekali bukan?
Kejanggalan
semacam itu, pada akhirnya menimbulkan dugaan bahwa Habel sebetulnya bukanlah
tokoh yang sungguh-sungguh pernah hidup di dalam sejarah, melainkan hanyalah seorang
tokoh rekayasa, hasil imaginasi sang penulis Kitab Kejadian.
Saya pribadi,
yakin sekali bahwa Habel bukanlah tokoh
rekaan seorang penulis, melainkan nama dari seorang manusia yang
benar-benar pernah hidup di dunia. Keyakinan ini saya dasarkan pada fakta bahwa
Tuhan Yesus sendiri menganggap Habel sebagai
tokoh nyata yang ada di dalam sejarah. Dan bagi saya, perkataan Tuhan Yesus
ini saja sudah cukup,[3]
tidak perlu bukti yang lain.
Cukup
misterius memang, melihat Hawa memberi nama yang begitu buruk bagi anaknya yang
kedua itu. Namun di bawah ini saya coba menjabarkan beberapa dugaan yang mungkin menjadi latar belakang dari keadaan
tersebut:
Kemungkinan pertama
Hawa
kecewa terhadap Kain, yang setelah bertumbuh semakin dewasa ternyata tidak
memiliki karakter yang membanggakan seperti harapannya semula. Rupanya
kekecewaan itu begitu mendalam, sehingga kelahiran anak yang kedua tidak mampu
membuat dia bahagia.[4]
Kemungkinan kedua
Hawa
semakin merasakan kepedihan sebagai manusia yang dibuang dari Taman Eden. Efek dari
putusnya relasi antara manusia dengan Allah yang diungkapkan dengan cara
pengusiran dari Taman Eden, mulai membawa dampak yang sangat mengganggu
jiwanya. Ia mulai merasa tertekan oleh hidup ini. Kenangan akan Taman Eden yang
telah hilang itu, agaknya turut menambah beban psikologis yang dialaminya.
Kemungkinan ketiga
Peringatan
Allah kepada Adam dan Hawa bahwa mereka akan mati apabila memakan buah
terlarang itu, kini mulai masuk ke dalam kesadaran mereka. Bagi banyak orang
Kristen di zaman sekarang ini, ancaman kematian yang disampaikan oleh Tuhan
kepada Adam dan Hawa seolah-olah terlihat seperti ancaman kosong belaka. Sebab
setelah Adam dan Hawa memakan buah terlarang, mereka sepertinya tidak langsung
mati. Mereka masih bisa bicara, masih bisa berjalan, bahkan masih bisa bekerja serta
melahirkan keturunan. Lalu, mengapa Tuhan mengatakan tetapi pohon pengetahuan tentang
yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari
engkau memakannya, pastilah engkau mati."[5]…?
Ada yang
menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan mati dalam kalimat itu adalah mati
secara rohani, bukan secara fisik. Menurut saya, jawaban seperti ini cukup
masuk akal, namun masih kurang sesuai dengan apa yang mau disampaikan oleh
Alkitab. Sebab dengan menafsirkan seperti ini, kalimat Tuhan kepada Adam jadi
kehilangan nuansa totalitas dan sifat serius dari kematian itu. Jawaban semacam
ini hanya menekankan pada aspek spiritual manusia saja.
Ada pula yang
menafsirkan bahwa mereka memang akan mati, tetapi tidak segera mati, masih ada
waktu yang panjang sebelum mereka benar-benar mati. Jawaban seperti ini bagi
saya malah lebih tidak bisa diterima, karena Tuhan secara spesifik berkata bahwa
pada hari engkau memakannya, pasti engkau mati. Tidak ada indikasi bahwa
terdapat jeda waktu di antara peristiwa mati dan peristiwa memakan buah
terlarang. Lagipula, jawaban semacam ini hanya menekankan pada aspek fisikal
manusia saja. Masih kurang lengkap.
Oleh
karena itu, jawaban paling tepat yang
dapat saya terima untuk memahami arti “mati”
dari perkataan Tuhan kepada Adam dan Hawa adalah putusnya relasi antara manusia
dengan Tuhan. Dan Alkitab melukiskan hal itu melalui peristiwa diusirnya
Adam dan Hawa dari Taman Eden pada hari yang sama ketika mereka memakan buah
terlarang. Itulah kematian yang dialami oleh Adam dan Hawa menurut versi
Alkitab. Sebab jika hidup kekal adalah mengenal Allah, maka kehilangan
kesempatan untuk mengenal Allah pasti akan sama artinya dengan kematian kekal,
bukan?[6]
Aura
kematian, tidak ada lagi relasi dengan Allah, tidak ada lagi hubungan yang
harmonis dengan Adam, kepedihan dan kekosongan di dalam hati, adalah hal-hal
yang sangat mungkin memberi kontribusi terhadap keputus asaan dalam diri Hawa.
Tidak sulit membayangkan bahwa Adam dan Hawa menghabiskan sisa umur mereka
dengan masih saling menyalahkan satu sama lain atas Taman Eden yang hilang itu.
Kosa kata paradise lost dan forbiden fruit sangat mungkin kerap kali
muncul dalam setiap pertengkaran di antara mereka berdua. Dalam suasana yang
terpuruk dan tidak bahagia inilah, Habel dilahirkan.
Dari
kemungkinan-kemungkinan yang saya jabarkan di atas, rasanya kita mulai mendapat
semacam gambaran tentang mengapa Hawa memberi nama anaknya dengan sebutan
“kesia-siaan,” istilah yang something
close to nothing itu.
Kontras dengan kehidupan Kain yang sukses,[7]
Habel betul-betul adalah gambaran dari orang yang kehidupannya sangat tidak
beruntung. Hidupnya dapat dikatakan relatif singkat.[8]
Ia dibunuh walau tidak salah apa-apa. Jangankan keturunan, istri pun dia tidak
punya. Dan apakah yang ia tinggalkan setelah kematiannya?
Meskipun
demikian, paradigma kehidupan Habel rupanya merupakan suatu paradigma yang juga
dihidupi oleh Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita. Meskipun tidak
memiliki kemiripan yang sangat terperinci antara kehidupan Habel dan kehidupan
Yesus, tetapi dari sudut pandang dunia, gaya hidup Yesus pun dapat dikategorikan
sebagai gaya hidup orang bodoh yang sarat dengan kegagalan dan kesia-siaan.
Ketika manusia
pada umumnya cenderung siap mengorbankan orang lain demi menyelamatkan diri sendiri
dari bencana, Yesus justru bersedia mati demi menyelamatkan orang lain, meskipun
diri-Nya sendiri tidak bersalah.
Ketika
semua pakar human resources modern
mencari bakat-bakat terbaik, kandidat paling berpengaruh dan orang-orang yang
penting untuk mencapai kemajuan sebuah organisasi, Yesus justru memilih beberapa
nelayan kampung yang miskin dan sederhana untuk dijadikan para pengikut-Nya.
Ketika
semua orang senantiasa berusaha memasarkan citra dirinya, atau produknya atau
apapun yang mereka miliki demi mendapatkan suatu keuntungan, Yesus memilih
untuk menghilang dari tengah-tengah orang banyak dan memilih suatu
ketersembunyian, pada saat nama-Nya justru mulai mendapat perhatian dari orang
banyak. Benar-benar suatu gaya hidup yang aneh dari sudut pandang dunia dan
terlihat sangat kontraproduktif dibandingkan dengan imaginasi banyak pihak
mengenai sosok orang penting pada umumnya.
Dan
ketika semua orang berharap Ia menjadi Mesias yang gagah perkasa serta mampu
mengusir tentara Romawi dari wilayah keturunan Abraham, Yesus justru memilih datang
sambil menunggangi seekor keledai. Sungguh suatu tindakan yang membuat kita
semua heran, geleng-geleng kepala sambil bertanya-tanya: Inikah sosok Raja di
atas segala raja itu? Ataukah sebenarnya Dia ini hanya seorang pelawak belaka? Lelucon
macam apakah yang coba dibawakan oleh Orang ini? Secara penampilan, Yesus adalah
sosok yang jauh dari kesan gagah atau keren
sehingga kita kagum melihat Dia.[9]
Jalan
hidup Yesus adalah jalan hidup kesia-siaan jika dilihat dari sudut pandang
dunia yang mengagungkan materi dan prestasi ini. Bahkan pemberitaan tentang salib Kristus, terdengar bagai suatu kebodohan besar bagi
dunia kita ini.[10]
Jalan kesia-siaan, siapakah yang
berminat untuk menelusurinya? Habel adalah sosok mula-mula dari
kesia-siaan itu, tetapi bukan Habel saja sebetulnya yang ingin diperlihatkan
oleh Alkitab, melainkan Dia, yaitu sosok
Habel yang berikutnya, Dia adalah anak
Adam yang selanjutnya, yaitu Yesus Kristus Tuhan dan Juruselamat kita.
Sebagaimana
Alkitab melukiskan bahwa setelah kematian Habel, muncul keturunan lain
pengganti Habel yang mulai memanggil nama TUHAN,[11]
demikian pula Alkitab mengajarkan pada kita bahwa hanya setelah kematian dan
kebangkitan Kristus Yesus di salib itulah, maka muncul pula keturunan lain yang
mulai mengenal Allah yang sejati, yaitu orang-orang yang diperanakkan bukan dari
darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang
laki-laki, melainkan dari Allah.[12]
Adanya penggambaran secara pararel seperti itu, memberi kesan yang sangat kuat
bahwa kedua kisah ini memang saling berhubungan satu sama lain.
Kisah Habel bukan kisah sembarangan, ia adalah kisah pendahuluan dari
hadirnya kisah Kristus. Memang gambaran pendahuluan ini belum lengkap sifatnya,[13]
hanya berupa bayang-bayang yang masih samar. Tetapi melalui kisah Habel ini,
setidaknya kita sudah diberi suatu
pengharapan bahwa sekalipun Adam dan Hawa melahirkan keturunan yang sangat
jahat seperti Kain, tetapi di dalam anugerah-Nya, Allah kita telah menghadirkan
pula cikal bakal keturunan manusia yang kelak akan menghancurkan kepala si ular
itu sekali untuk selama-lamanya.
Kiranya Tuhan memberkati kita.
Kata kunci:
Kelahiran Habel
Apakah arti dari nama Habel?
Makna kelahiran Habel bagi kita
Siapakah yang memberi nama Habel?
Apakah Habel merupakan tokoh yang nyata di dalam sejarah?
Apakah nama Habel diberikan setelah kematiannya?
Mengapa Habel diberi nama Vanity?
Mengapa Habel diberi nama kesia-siaan?
Apakah ada persamaan antara kisah Habel dengan kisah Yesus Kristus?
[1]
Dalam bahasa Ibrani nama Habel di tulis ‘lb,h,’
yang sebetulnya lebih tepat jika dibaca Hevel bukan Habel
[2]
Dalam tulisan ini, kita tetap memakai istilah Habel sesuai LAI, bukan Hevel sebagaimana dituliskan dalam
aksara Ibrani. Sementara dalam bahasa Inggris, istilah yang dipakai adalah
Abel, diambil dari bahasa Yunani Abel yang terdapat dalam Alkitab versi
Septuaginta.
[3]
Matius 23:35
[4] Saya
tidak setuju dengan beberapa penafsir yang mengatakan bahwa Kain dan Habel
adalah saudara kembar. Sebab bagaimana mungkin seorang ibu bisa menamai anak
yang lahir hampir bersamaan, tetapi dengan respon atau sikap hati yang sangat
bertolak belakang seperti itu? Jauh lebih masuk akal dan wajar apabila kita
mengasumsikan bahwa ada jeda waktu yang tidak sedikit di antara kedua peristiwa
kelahiran tersebut.
[5]
Kejadian 2:17
[6] Silahkan merenungkan Matius 7:23 dan Yohanes 17:3,
yang menjadi dasar bagi kalimat yang saya tulis.
[7]
Bahkan setelah Kain membunuh Habel, ia masih tinggal di dunia cukup lama dan menghasilkan
banyak keturunan yang mampu mengukir sejumlah prestasi. Kehidupan
Kain adalah gambaran dari kehidupan sukses yang diidamkan banyak orang di dunia.
[8]
Alkitab tidak mengindikasikan bahwa Habel memiliki usia yang panjang.
[9] Yesaya 53:2
[10] 1
Kor 1:18
[11]
Kej 4:26
[12]
Yoh 1:13
[13]
Kisah Habel tidak menuturkan adanya kisah kebangkitan seperti Kristus. Meskipun
demikian, di dalam kematiannya, Habel masih bisa berkomunikasi dengan Tuhan
sehingga sekalipun sudah mati relasi antara Habel dan Tuhan masih tetap ada. Di
sisi lain, Kain yang digambarkan secara fisik masih hidup, justru sudah tidak
berkomunikasi lagi dengan Tuhan. Menurut Alkitab, kehidupan yang sesungguhnya
adalah relasi dengan Tuhan, sementara kematian yang sesungguhnya adalah
terputusnya relasi itu.