Pendahuluan
…
Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu
melahirkan Kain
… (Kejadian 4:1)
Sejak
lahir hingga detik ketika membaca tulisan ini, kita semua tentu sudah memiliki
persepsi sendiri tentang bagaimana dunia ini berjalan.
Sadar
atau tidak sadar, kita membangun persepsi itu berdasarkan rupa-rupa informasi
yang kita peroleh, entah dari desas-desus yang kita dengar, obrolan populer
sehari-hari atau dapat pula terbentuk sendiri di dalam imajinasi kita tentang
suatu model kehidupan ideal yang kita impikan. [Baca Juga: Realitas Keberdosaan Seluruh Manusia. Klik disini.]
Tetapi
masalahnya, bagaimana jika anggapan, desas-desus, informasi populer dan daya imajinasi
yang kita miliki itu ternyata keliru? Bukankah hal itu dapat mengakibatkan kepercayaan
kita terhadap banyak hal di dunia ini menjadi keliru pula? Sudahkah kita
memeriksa apa yang menjadi dasar bagi kepercayaan kita? Atau jangan-jangan
selama ini kita hanya mempercayai saja segala sesuatu tanpa sungguh-sungguh
memikirkan dari mana datangnya kepercayaan itu?
Tulisan
di bawah ini mungkin akan mengubah cara pandang kita terhadap beberapa hal
mendasar dari eksistensi kita sebagai manusia. Semoga melaluinya kita dapat
menantang diri sendiri untuk membuat pilihan; apakah ingin terus dengan
kepercayaan yang dipegang selama ini, ataukah kita bersedia merangkul gagasan
yang diungkapkan oleh Alkitab?
Kemudian manusia
itu …
Kata
“kemudian” dalam ayat ini menjelaskan bahwa kisah Kain dan Habel adalah
kelanjutan dari kisah sebelumnya, yaitu kisah Adam dan Hawa, orang tua mereka.
Dan karena merupakan sebuah kelanjutan, maka sangat wajar jika kisah ini
memiliki keterkaitan yang erat dengan tema yang dibahas pada kisah Adam dan
Hawa tersebut.
Setelah
pasal 3 berbicara secara gamblang tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka
melalui pasal 4 ini kita akan melihat implikasi dari kejatuhan tersebut pada
keturunan umat manusia selanjutnya. Kita akan melihat bahwa kondisi keberdosaan
manusia tersebut, mau tidak mau telah memberi pengaruh buruk bagi relasi antara
manusia yang satu dengan manusia yang lain, serta telah merusak pula relasi
antara manusia dengan Sang Pencipta. Akibat dosa, keadaan dunia sudah tidak
sama lagi dengan saat ketika Sang Pencipta berkata “sungguh amat baik.” [Baca Juga: Mengapa di tanahku terjadi bencana? Klik disini.]
Mengapa
hal ini saya tekankan? Pertama, karena tidak sedikit orang yang masih
terkurung dalam paradigma “sungguh amat baik” sebagaimana pernah diucapkan oleh
Tuhan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Seolah-olah mereka masih sulit untuk
move on dari romantisme spiritual
yang melankolis, tanpa keinginan untuk melihat kenyataan bahwa dunia yang
“sungguh amat baik” itu sudah berubah secara drastis[1] sejak
peristiwa dalam Kejadian pasal 3.
Alasan kedua, karena
beberapa catatan yang diuraikan di dalam kisah Kain dan Habel, dicatat
berdasarkan sudut pandang orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa.[2]
Sehingga cara pandang mereka itu bisa saja sangat keliru dan kita perlu
berhati-hati dalam memahaminya.
Manusia itu bersetubuh
dengan Hawa isterinya
Istilah
yang dipakai untuk kata “bersetubuh” adalah Yada
yang artinya to know, atau mengetahui, atau bahkan lebih tepat jika
diterjemahkan ke dalam istilah “mengenal.”
Berhubungan
seks di dalam konteks Alkitab bukan pertama-tama fokus berbicara tentang nafsu
antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana pikiran modern kita yang telah
rusak ini memahaminya. Seks di dalam Alkitab, terutama lebih menekankan pada aspek relasi yang intim dan mendalam.[3]
Sedemikian intim dan mendalam relasi tersebut sehingga pihak-pihak yang terlibat
di dalamnya memiliki pengenalan yang semakin baik akan satu sama lain melalui
hubungan seksual tersebut.[4]
Persetubuhan
adalah cara natural satu-satunya yang selama ini kita pahami sebagai proses
untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia.[5]
Sedemikian terbiasanya kita pada cara pandang seperti ini sehingga otak modern kita
sulit sekali untuk menerima kenyataan bahwa di dalam Alkitab, seks bukanlah
satu-satunya cara yang dipakai oleh Tuhan untuk menghadirkan seorang manusia ke
dalam dunia.
Dalam
Kejadian pasal 1 dan pasal 2, Alkitab memberitahukan kita bahwa Sang Pencipta
dapat menghadirkan manusia ke dalam dunia tanpa melewati proses hubungan seksual
dimana, di dalam aktivitas seperti itu, mutlak dibutuhkan kehadiran sosok pria
dan wanita.
Alkitab
mengajarkan bahwa sesungguhnya ada empat cara
yang telah dipakai Pencipta kita untuk menghadirkan
seorang manusia ke dalam dunia, yaitu:
-
Tanpa
pria, tanpa wanita, contohnya Adam.
-
Dengan
pria, tanpa wanita, contohnya Hawa.
-
Tanpa
pria, dengan wanita, contohnya Yesus Kristus.
-
Dengan
pria, dengan wanita, contohnya kita semua.
Dari
Alkitab kita belajar bahwa seks hanyalah satu di antara cara-cara lain yang
dapat dipakai oleh Yang Mahakuasa untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam
dunia. Seks bukan satu-satunya cara yang ada.
Betapa
kaya dan betapa agungnya Allah kita, bukan? Karya-Nya tidak dapat dibatasi oleh
pikiran kita yang terbatas. Selama ini kita beranggapan, bahwa seorang manusia
baru dapat hadir ke dunia apabila ada sosok ayah dan sosok seorang ibu. Tetapi
ternyata gagasan itu tidak sepenuhnya lengkap dan bukan merupakan suatu syarat
mutlak yang dapat membatasi kuasa Sang Ilahi. Yohanes Pembaptis, dalam keadaan
dipenuhi oleh Roh Kudus, bahkan pernah berkata: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi
Abraham dari batu-batu ini! (Lukas 3:8). Siapakah kita
manusia yang berhak mempertanyakan kemampuan Tuhan dan secara gegabah ingin
menghina serta membatasi kekuasaan-Nya?
Dunia ini yang begitu menentang ajaran Alkitab bahwa Yesus
Kristus adalah Anak Allah. Bagi para penentang itu, jika Yesus adalah Anak Allah[6] dan
Allah adalah Bapa-Nya, lantas siapakah yang telah menjadi ibu Yesus? Bagaimana
cara allah berhubungan seks dengan perempuan itu (siapapun dia) sehingga allah
bisa mempunyai seorang anak? Demikian orang dunia biasanya mengolok-olok kepercayaan
bahwa Yesus adalah Anak Allah.
Tetapi,
betapa absurd-nya pikiran seperti itu,
bukan?
Sikap
semacam itu adalah suatu gambaran dari sempitnya cara berpikir yang telah
dikurung oleh keyakinan bahwa allah tidak mungkin dapat berbuat apapun untuk
menghadirkan manusia kecuali melalui proses seksual semata-mata. Dalam pikiran
mereka, jika tidak ada seks maka bahkan allah sekalipun pasti akan kewalahan
dalam menangani urusan reproduksi manusia.
Namun
ironisnya, tidak sedikit sistem kepercayaan di dunia ini yang menerima kisah Adam dan Hawa, bahkan kisah ini tertulis pula dalam kitab yang diangap suci oleh para penganut
kepercayaan itu. Tetapi, bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Jika orang dapat mengakui
Adam dan Hawa, bukankah seharusnya mereka sadar bahwa seks bukanlah
satu-satunya proses yang dibutuhkan oleh Allah untuk menghadirkan seorang
manusia? Apakah mereka mau menentang gagasan yang tertulis di dalam kitab suci tersebut?
Ataukah mereka sebenarnya tidak sungguh-sungguh percaya pada isi kitab mereka sendiri? Atau mungkin mereka sendiri tidak pernah membacanya, tidak pernah
merenungkan apalagi memikirkan hal itu? Inilah yang saya sebut di bagian awal
tadi sebagai suatu sikap yang mempercayai sesuatu tanpa memiliki dasar bagi apa
yang dipercayainya itu. Seseorang bisa sangat fanatik pada apa yang mereka
percayai, sekalipun ia tidak sadar darimana dasar kepercayaannya itu berasal.
Sebagai pengikut Kristus, kita tidak dipanggil untuk mempercayai sesuatu yang tidak
memiliki dasar untuk dipercayai. Alkitab adalah Firman Tuhan yang disampaikan
kepada kita untuk menjadi dasar bagi kepercayaan kita. Kita tidak bisa mengaku
sebagai pengikut Yesus Kristus sambil pada saat yang bersamaan membangun
sendiri gambaran-gambaran tentang manusia, tentang Tuhan, tentang alam semesta atau
tentang apapun, tanpa memeriksa terlebih dahulu apa yang Alkitab katakan
mengenai hal tersebut. Sebab jika Yesus Kristus saja begitu mengagungkan
Alkitab, mengapa kita pikir bahwa kita boleh berbeda?
Ada
orang yang seakan terlihat seperti pengikut Yesus, tetapi orang itu lebih
mempercayai tradisi manusia (atau bahkan tradisi gereja) ketimbang Alkitab itu
sendiri. Ada pula orang yang sepertinya mengenal Kristus, tetapi lebih menyukai
penampakan-penampakan yang bersifat magis, ketimbang memahami ajaran Alkitab.
Tentu saja hal seperti itu tidak sesuai sama sekali dengan jalan pikiran Yesus
Kristus, para rasul dan para misionaris-Nya[7]
yang sejati.
Alkitab
melampaui imajinasi maupun tradisi kita. Alkitab melampaui perasaan dan juga
logika kita. Alkitab adalah Firman Tuhan, dasar yang kokoh bagi iman kepercayaan
kita.[8]
Perempuan itu
mengandung lalu melahirkan Kain
Persetubuhan
yang dicatat dalam Kejadian 4:1 ini adalah persetubuhan pertama yang dicatat
oleh Alkitab. Oleh karena itu, anak yang lahir sebagai hasil dari persetubuhan
tersebut adalah anak pertama yang dilahirkan di dalam dunia pasca kejatuhan ke dalam dosa. Sebelum
Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Alkitab tidak mencatat adanya seorang anak
atau sekelompok anak yang dilahirkan oleh pasangan pertama itu.
Dari
sini, kembali kita belajar satu prinsip Alkitabiah yang penting, yaitu bahwa semenjak lahir manusia sudah memiliki
bibit dosa di dalam dirinya. Kain adalah anak pertama Adam dan Hawa setelah
mereka jatuh ke dalam dosa. Dan ketika lahir Kain sudah membawa bibit dosa di
dalam dirinya yang ia peroleh dari orang tuanya tersebut. Oleh karena itu,
berdasarkan gagasan Alkitab yang kita baca ini, maka dapat kita simpulkan bahwa
semua orang di dunia ini pun adalah
orang yang berdosa, karena kita semua pun keturunan Adam dan Hawa.
Gagasan
seperti ini lagi-lagi berbeda dengan gagasan
populer yang ada di dalam masyarakat, maupun gagasan di dalam sistem
kepercayaan lain di luar Alkitab. Keyakinan di luar Alkitab mengajarkan bahwa
seorang bayi itu pada dasarnya adalah makhluk suci yang polos bersih, bagaikan
kertas putih tanpa noda.[9] Tetapi
Alkitab, melalui kisah Kain, mengajarkan bahwa dosa Adam dan Hawa bukan saja
turun kepada Kain, tetapi juga telah berkembang di dalam diri Kain menjadi
semakin mengerikan dan semakin berbahaya.
Bukan
hanya kitab Kejadian yang mencatat gagasan seperti ini. Raja Daud di dalam
salah satu nyanyian Mazmur yang ditulisnya, juga mengaku: Sesungguhnya,
dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. (Mazmur 51:5)
Raja
Daud memiliki perspektif yang jelas mengenai seperti apakah manusia itu. Dengan
rendah hati, Daud mengaku bahwa sejak masih di dalam peranakan pun, dia sudah
terhitung di antara orang-orang yang bersalah di hadapan Tuhan. Sejak masih di
dalam kandungan ibunya pun, ia telah ternoda oleh dosa-dosa manusia. Bagaimana
hal seperti ini dapat terjadi? Bukankah Daud belum berbuat apa-apa ketika masih
di dalam kandungan ibunya?
Daud
memang belum melakukan kesalahan apapun semasa ia berada di dalam kandungan,
tetapi Daud tahu bahwa sebagai keturunan Adam dan Hawa yang telah jatuh ke
dalam dosa, ia sudah membawa bibit dosa itu di dalam dirinya. Janin Daud adalah
hasil pertemuan sperma dan ovum dari manusia-manusia yang juga sudah jatuh ke
dalam dosa, itu sebabnya ia juga diperhitungkan sebagai orang berdosa. Bukankah
penuturan Daud ini sejalan dengan apa yang
diutarakan dalam kisah Kain yang sedang kita bahas?
Jika
kita berpikir bahwa Daud mungkin sedang melamun ketika ia mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang berdosa, rasul Paulus justru tidak berpikir
demikian. Sebaliknya rasul Paulus setuju
dengan jalan pikiran raja Daud itu. Paulus yang hidup 1000 tahun setelah
Daud, mengutip kata-kata sang raja ketika ia menulis dalam suratnya: Tidak ada yang
benar, seorangpun tidak. (Roma 3:10)
Dan
bukan hanya Paulus yang berpendapat seperti itu, tetapi Tuhan Yesus sendiri pun
mengatakan: Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. (Markus 10:18)[10]
Tidak
dapat dipungkiri lagi, bukan? Ada suatu keseragaman dalam cara berpikir dari
tokoh-tokoh Alkitab tentang kondisi keberdosaan manusia, mulai dari Adam, Hawa,
lalu Kain dan seterusnya hingga kepada kita semua saat ini. Kegagalan kita
dalam memahami hal mendasar ini, niscaya akan membawa kita pada kegagalan dalam
memahami signifikansi kematian Kristus di kayu salib.
Menentukan pilihan
Setelah
membaca kisah Kain, mendengar penuturan raja Daud, memperhatikan pendapat
Paulus serta menyimak komentar Kristus, apakah kita masih berencana untuk
memiliki gagasan yang berbeda dengan mereka semua?
Pilihan
ada di tangan kita masing-masing, kita boleh setuju, boleh pula tidak suka pada
gagasan tersebut. Kekristenan tidak pernah memaksa seseorang untuk menganut ini
atau menganut itu. Siapakah yang berkata bahwa kita tidak bisa memilih untuk
menentang Paulus, atau menentang Kristus sekalipun? Tentu saja bisa, tetapi
biarlah kita senantiasa ingat, bahwa setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang
akan mengikutinya.
Pandangan
Alkitab berkata:
karena manusia secara intrinsik sudah berdosa, maka manusia pasti akan
melakukan perbuatan dosa.
Tetapi
pandangan dunia berkata: hanya ketika seseorang melakukan perbuatan dosa
sajalah, maka orang itu baru dapat disebut berdosa.
Setelah
membaca tulisan ini dan melihat berbagai
perbedaan pandangan antara Alkitab dan apapun yang ada di luar Alkitab,
apakah kita masih ingin mengatakan bahwa semua sistem kepercayaan itu pada
dasarnya sama saja? Kecuali jika kita memang buta atau memiliki problem yang
akut di dalam proses berpikir, maka sudah pasti kita akan berkesimpulan bahwa
semua kepercayaan itu pada dasarnya tidak mungkin sama, bukan?
Apabila
kita menolak gagasan yang diutarakan oleh Kitab Kejadian, Mazmur Daud, Injil
Yesus Kristus dan surat Paulus tentang kondisi keberdosaan yang hakiki di dalam
diri manusia, maka mau tidak mau kita juga harus menolak gagasan bahwa kematian Yesus Kristus di atas kayu salib adalah
suatu penebusan yang mutlak bagi keselamatan kita. Mengapa? Karena semua
gagasan itu disampaikan oleh Alkitab yang sama sebagai satu kesatuan message. Kita tidak bisa menerima yang
satu tetapi menolak yang lain.
Kiranya
Tuhan Yesus menolong kita untuk memilih apa yang benar.
Tuhan
memberkati. (Oleh: izar tirta)
Beberapa pertanyaan untuk direnungkan:
Apa saja yang kita pelajari dari eksposisi
Kejadian 4:1 ini?
Apa hubungan
antara kisah Adam dan kisah Kain?
Mengapa
Tuhan berkata sungguh amat baik, padahal hidup ini penuh penderitaan?
Apa
yang dimaksud dengan Adam bersetubuh dengan Hawa?
Bagaimana
Alkitab melihat hubungan seksual?
Bagaimana
cara Allah atau Tuhan menciptakan manusia?
Bagaimana
cara Allah atau Tuhan menghadirkan manusia ke dalam dunia?
Ada 4 cara Tuhan menghadirkan manusia ke dalam dunia, apa sajakah?
Pembahasan
tentang Allah menjadikan anak dari batu.
Bagaimana
pandangan Kristen terhadap inseminasi buatan?
Bagaimana
memahami Yesus sebagai Anak Allah?
Jika
Allah adalah Bapa dan Yesus adalah Anak, lalu siapakah ibu-Nya?
Siapakah
manusia pertama yang lahir dari perempuan?
Kisah
kelahiran Kain.
Apakah semua orang pada dasarnya baik? Klik disini
Apakah
bayi-bayi memiliki dosa?
Bagaimana
pandangan Alkitab tentang bayi?
Mengapa
Daud mengaku bersalah sejak ada dalam kandungan? Klik disini
Apakah
perbedaan antara pandangan Alkitab dan pandangan dunia tentang dosa?
Apakah alasan Tuhan Yesus rela menjadi Manusia? Klik disini
[1]
Saya sudah membahas ini dalam tulisan berjudul “Mengapa di tanahku terjadi
bencana?”
[2]
Terutama dari sudut pandang Hawa dan juga
sudut pandang Kain.
[3]
Walau bukan berarti Alkitab mengesampingkan sama sekali aspek fisikal dari
aktivitas tersebut.
[4]
Bahkan Alkitab memakai istilah Yada pula untuk mengungkapkan bagaimana
Allah mengenal kita.
[5]
Dengan majunya ilmu kedokteran, manusia dapat melakukan inseminasi buatan (artificial insemination). Namun bahkan
dalam proses yang diberi label artificial
ini pun, tetap dibutuhkan persatuan antara sel sperma dan sel telur wanita
untuk menghasilkan janin yang baru. Sehingga sekalipun proses ini tidak
melibatkan aktivitas seksual, namun persetubuhan dalam level sel tetap harus
terjadi, dan tetap harus ada laki-laki dan perempuan sebagai penyedia sel
sperma dan sel telur tersebut.
[6]
Status Yesus sebagai Anak Allah tidak ada
hubungan sama sekali dengan peristiwa seksual. Yesus diperanakkan secara
spiritual oleh Bapa di dalam kekekalan, melampaui ruang dan waktu. Sebagai
Anak, Yesus senantiasa menunjukkan sikap yang taat serta submissive kepada Bapa-Nya.
[7] Kita
sudah membahas hal ini ketika membicarakan tentang Lukas 1:1-4. Mulai dari kisah William Carey hingga catatan
sejarawan sekuler atas peristiwa yang berhubungan dengan Yesus Kristus.
[8]
Lihat dan renungkan Efesus 2:20
serta Yohanes 17:17 sebagai dasar
bagi kalimat yang saya sebutkan ini.
[9]
Keadaan ini kadang dikaitkan pula dengan istilah “tabula rasa”
[10]
Kita sudah membahas hal ini ketika mempelajari kisah perjumpaan Tuhan Yesus
dengan pemimpin muda yang kaya itu.