Tuesday, November 26, 2019

Eksposisi Kejadian 4:1 : Kelahiran Kain


Kelahiran Kain



Pendahuluan

Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain(Kejadian 4:1)

Sejak lahir hingga detik ketika membaca tulisan ini, kita semua tentu sudah memiliki persepsi sendiri tentang bagaimana dunia ini berjalan.

Sadar atau tidak sadar, kita membangun persepsi itu berdasarkan rupa-rupa informasi yang kita peroleh, entah dari desas-desus yang kita dengar, obrolan populer sehari-hari atau dapat pula terbentuk sendiri di dalam imajinasi kita tentang suatu model kehidupan ideal yang kita impikan. [Baca Juga: Realitas Keberdosaan Seluruh Manusia. Klik disini.]

Tetapi masalahnya, bagaimana jika anggapan, desas-desus, informasi populer dan daya imajinasi yang kita miliki itu ternyata keliru? Bukankah hal itu dapat mengakibatkan kepercayaan kita terhadap banyak hal di dunia ini menjadi keliru pula? Sudahkah kita memeriksa apa yang menjadi dasar bagi kepercayaan kita? Atau jangan-jangan selama ini kita hanya mempercayai saja segala sesuatu tanpa sungguh-sungguh memikirkan dari mana datangnya kepercayaan itu?

Tulisan di bawah ini mungkin akan mengubah cara pandang kita terhadap beberapa hal mendasar dari eksistensi kita sebagai manusia. Semoga melaluinya kita dapat menantang diri sendiri untuk membuat pilihan; apakah ingin terus dengan kepercayaan yang dipegang selama ini, ataukah kita bersedia merangkul gagasan yang diungkapkan oleh Alkitab?

Kemudian manusia itu

Kata “kemudian” dalam ayat ini menjelaskan bahwa kisah Kain dan Habel adalah kelanjutan dari kisah sebelumnya, yaitu kisah Adam dan Hawa, orang tua mereka. Dan karena merupakan sebuah kelanjutan, maka sangat wajar jika kisah ini memiliki keterkaitan yang erat dengan tema yang dibahas pada kisah Adam dan Hawa tersebut.

Setelah pasal 3 berbicara secara gamblang tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka melalui pasal 4 ini kita akan melihat implikasi dari kejatuhan tersebut pada keturunan umat manusia selanjutnya. Kita akan melihat bahwa kondisi keberdosaan manusia tersebut, mau tidak mau telah memberi pengaruh buruk bagi relasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, serta telah merusak pula relasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Akibat dosa, keadaan dunia sudah tidak sama lagi dengan saat ketika Sang Pencipta berkata “sungguh amat baik.” [Baca Juga: Mengapa di tanahku terjadi bencana? Klik disini.]

Mengapa hal ini saya tekankan? Pertama, karena tidak sedikit orang yang masih terkurung dalam paradigma “sungguh amat baik” sebagaimana pernah diucapkan oleh Tuhan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Seolah-olah mereka masih sulit untuk move on dari romantisme spiritual yang melankolis, tanpa keinginan untuk melihat kenyataan bahwa dunia yang “sungguh amat baik” itu sudah berubah secara drastis[1] sejak peristiwa dalam Kejadian pasal 3.

Alasan kedua, karena beberapa catatan yang diuraikan di dalam kisah Kain dan Habel, dicatat berdasarkan sudut pandang orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa.[2] Sehingga cara pandang mereka itu bisa saja sangat keliru dan kita perlu berhati-hati dalam memahaminya.

Manusia itu bersetubuh dengan Hawa isterinya

Istilah yang dipakai untuk kata “bersetubuh” adalah Yada yang artinya to know, atau mengetahui, atau bahkan lebih tepat jika diterjemahkan ke dalam istilah “mengenal.”

Berhubungan seks di dalam konteks Alkitab bukan pertama-tama fokus berbicara tentang nafsu antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana pikiran modern kita yang telah rusak ini memahaminya. Seks di dalam Alkitab, terutama lebih menekankan pada aspek relasi yang intim dan mendalam.[3] Sedemikian intim dan mendalam relasi tersebut sehingga pihak-pihak yang terlibat di dalamnya memiliki pengenalan yang semakin baik akan satu sama lain melalui hubungan seksual tersebut.[4]

Persetubuhan adalah cara natural satu-satunya yang selama ini kita pahami sebagai proses untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia.[5] Sedemikian terbiasanya kita pada cara pandang seperti ini sehingga otak modern kita sulit sekali untuk menerima kenyataan bahwa di dalam Alkitab, seks bukanlah satu-satunya cara yang dipakai oleh Tuhan untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia.

Dalam Kejadian pasal 1 dan pasal 2, Alkitab memberitahukan kita bahwa Sang Pencipta dapat menghadirkan manusia ke dalam dunia tanpa melewati proses hubungan seksual dimana, di dalam aktivitas seperti itu, mutlak dibutuhkan kehadiran sosok pria dan wanita.

Alkitab mengajarkan bahwa sesungguhnya ada empat cara yang telah dipakai Pencipta kita untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia, yaitu:
  1. Tanpa pria, tanpa wanita, contohnya Adam.
  2. Dengan pria, tanpa wanita, contohnya Hawa.
  3. Tanpa pria, dengan wanita, contohnya Yesus Kristus.
  4. Dengan pria, dengan wanita, contohnya kita semua.
Dari Alkitab kita belajar bahwa seks hanyalah satu di antara cara-cara lain yang dapat dipakai oleh Yang Mahakuasa untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia. Seks bukan satu-satunya cara yang ada.

Betapa kaya dan betapa agungnya Allah kita, bukan? Karya-Nya tidak dapat dibatasi oleh pikiran kita yang terbatas. Selama ini kita beranggapan, bahwa seorang manusia baru dapat hadir ke dunia apabila ada sosok ayah dan sosok seorang ibu. Tetapi ternyata gagasan itu tidak sepenuhnya lengkap dan bukan merupakan suatu syarat mutlak yang dapat membatasi kuasa Sang Ilahi. Yohanes Pembaptis, dalam keadaan dipenuhi oleh Roh Kudus, bahkan pernah berkata: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! (Lukas 3:8). Siapakah kita manusia yang berhak mempertanyakan kemampuan Tuhan dan secara gegabah ingin menghina serta membatasi kekuasaan-Nya?

Dunia ini yang begitu menentang ajaran Alkitab bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah. Bagi para penentang itu, jika Yesus adalah Anak Allah[6] dan Allah adalah Bapa-Nya, lantas siapakah yang telah menjadi ibu Yesus? Bagaimana cara allah berhubungan seks dengan perempuan itu (siapapun dia) sehingga allah bisa mempunyai seorang anak? Demikian orang dunia biasanya mengolok-olok kepercayaan bahwa Yesus adalah Anak Allah.

Tetapi, betapa absurd-nya pikiran seperti itu, bukan?

Sikap semacam itu adalah suatu gambaran dari sempitnya cara berpikir yang telah dikurung oleh keyakinan bahwa allah tidak mungkin dapat berbuat apapun untuk menghadirkan manusia kecuali melalui proses seksual semata-mata. Dalam pikiran mereka, jika tidak ada seks maka bahkan allah sekalipun pasti akan kewalahan dalam menangani urusan reproduksi manusia.

Namun ironisnya, tidak sedikit sistem kepercayaan di dunia ini yang menerima kisah Adam dan Hawa, bahkan kisah ini tertulis pula dalam kitab yang diangap suci oleh para penganut kepercayaan itu. Tetapi, bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Jika orang dapat mengakui Adam dan Hawa, bukankah seharusnya mereka sadar bahwa seks bukanlah satu-satunya proses yang dibutuhkan oleh Allah untuk menghadirkan seorang manusia? Apakah mereka mau menentang gagasan yang tertulis di dalam kitab suci tersebut? Ataukah mereka sebenarnya tidak sungguh-sungguh percaya pada isi kitab mereka sendiri? Atau mungkin mereka sendiri tidak pernah membacanya, tidak pernah merenungkan apalagi memikirkan hal itu? Inilah yang saya sebut di bagian awal tadi sebagai suatu sikap yang mempercayai sesuatu tanpa memiliki dasar bagi apa yang dipercayainya itu. Seseorang bisa sangat fanatik pada apa yang mereka percayai, sekalipun ia tidak sadar darimana dasar kepercayaannya itu berasal.

Sebagai pengikut Kristus, kita tidak dipanggil untuk mempercayai sesuatu yang tidak memiliki dasar untuk dipercayai. Alkitab adalah Firman Tuhan yang disampaikan kepada kita untuk menjadi dasar bagi kepercayaan kita. Kita tidak bisa mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus sambil pada saat yang bersamaan membangun sendiri gambaran-gambaran tentang manusia, tentang Tuhan, tentang alam semesta atau tentang apapun, tanpa memeriksa terlebih dahulu apa yang Alkitab katakan mengenai hal tersebut. Sebab jika Yesus Kristus saja begitu mengagungkan Alkitab, mengapa kita pikir bahwa kita boleh berbeda?

Ada orang yang seakan terlihat seperti pengikut Yesus, tetapi orang itu lebih mempercayai tradisi manusia (atau bahkan tradisi gereja) ketimbang Alkitab itu sendiri. Ada pula orang yang sepertinya mengenal Kristus, tetapi lebih menyukai penampakan-penampakan yang bersifat magis, ketimbang memahami ajaran Alkitab. Tentu saja hal seperti itu tidak sesuai sama sekali dengan jalan pikiran Yesus Kristus, para rasul dan para misionaris-Nya[7] yang sejati.

Alkitab melampaui imajinasi maupun tradisi kita. Alkitab melampaui perasaan dan juga logika kita. Alkitab adalah Firman Tuhan, dasar yang kokoh bagi iman kepercayaan kita.[8]

Perempuan itu mengandung lalu melahirkan Kain

Persetubuhan yang dicatat dalam Kejadian 4:1 ini adalah persetubuhan pertama yang dicatat oleh Alkitab. Oleh karena itu, anak yang lahir sebagai hasil dari persetubuhan tersebut adalah anak pertama yang dilahirkan di dalam dunia pasca kejatuhan ke dalam dosa. Sebelum Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Alkitab tidak mencatat adanya seorang anak atau sekelompok anak yang dilahirkan oleh pasangan pertama itu.

Dari sini, kembali kita belajar satu prinsip Alkitabiah yang penting, yaitu bahwa semenjak lahir manusia sudah memiliki bibit dosa di dalam dirinya. Kain adalah anak pertama Adam dan Hawa setelah mereka jatuh ke dalam dosa. Dan ketika lahir Kain sudah membawa bibit dosa di dalam dirinya yang ia peroleh dari orang tuanya tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan gagasan Alkitab yang kita baca ini, maka dapat kita simpulkan bahwa semua orang di dunia ini pun adalah orang yang berdosa, karena kita semua pun keturunan Adam dan Hawa.

Gagasan seperti ini lagi-lagi berbeda dengan gagasan populer yang ada di dalam masyarakat, maupun gagasan di dalam sistem kepercayaan lain di luar Alkitab. Keyakinan di luar Alkitab mengajarkan bahwa seorang bayi itu pada dasarnya adalah makhluk suci yang polos bersih, bagaikan kertas putih tanpa noda.[9] Tetapi Alkitab, melalui kisah Kain, mengajarkan bahwa dosa Adam dan Hawa bukan saja turun kepada Kain, tetapi juga telah berkembang di dalam diri Kain menjadi semakin mengerikan dan semakin berbahaya.
 
Bukan hanya kitab Kejadian yang mencatat gagasan seperti ini. Raja Daud di dalam salah satu nyanyian Mazmur yang ditulisnya, juga mengaku: Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. (Mazmur 51:5)

Raja Daud memiliki perspektif yang jelas mengenai seperti apakah manusia itu. Dengan rendah hati, Daud mengaku bahwa sejak masih di dalam peranakan pun, dia sudah terhitung di antara orang-orang yang bersalah di hadapan Tuhan. Sejak masih di dalam kandungan ibunya pun, ia telah ternoda oleh dosa-dosa manusia. Bagaimana hal seperti ini dapat terjadi? Bukankah Daud belum berbuat apa-apa ketika masih di dalam kandungan ibunya?

Daud memang belum melakukan kesalahan apapun semasa ia berada di dalam kandungan, tetapi Daud tahu bahwa sebagai keturunan Adam dan Hawa yang telah jatuh ke dalam dosa, ia sudah membawa bibit dosa itu di dalam dirinya. Janin Daud adalah hasil pertemuan sperma dan ovum dari manusia-manusia yang juga sudah jatuh ke dalam dosa, itu sebabnya ia juga diperhitungkan sebagai orang berdosa. Bukankah penuturan Daud ini sejalan dengan apa yang diutarakan dalam kisah Kain yang sedang kita bahas?

Jika kita berpikir bahwa Daud mungkin sedang melamun ketika ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa, rasul Paulus justru tidak berpikir demikian. Sebaliknya rasul Paulus setuju dengan jalan pikiran raja Daud itu. Paulus yang hidup 1000 tahun setelah Daud, mengutip kata-kata sang raja ketika ia menulis dalam suratnya: Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. (Roma 3:10)

Dan bukan hanya Paulus yang berpendapat seperti itu, tetapi Tuhan Yesus sendiri pun mengatakan: Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. (Markus 10:18)[10]

Tidak dapat dipungkiri lagi, bukan? Ada suatu keseragaman dalam cara berpikir dari tokoh-tokoh Alkitab tentang kondisi keberdosaan manusia, mulai dari Adam, Hawa, lalu Kain dan seterusnya hingga kepada kita semua saat ini. Kegagalan kita dalam memahami hal mendasar ini, niscaya akan membawa kita pada kegagalan dalam memahami signifikansi kematian Kristus di kayu salib.

Menentukan pilihan

Setelah membaca kisah Kain, mendengar penuturan raja Daud, memperhatikan pendapat Paulus serta menyimak komentar Kristus, apakah kita masih berencana untuk memiliki gagasan yang berbeda dengan mereka semua?

Pilihan ada di tangan kita masing-masing, kita boleh setuju, boleh pula tidak suka pada gagasan tersebut. Kekristenan tidak pernah memaksa seseorang untuk menganut ini atau menganut itu. Siapakah yang berkata bahwa kita tidak bisa memilih untuk menentang Paulus, atau menentang Kristus sekalipun? Tentu saja bisa, tetapi biarlah kita senantiasa ingat, bahwa setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang akan mengikutinya.

Pandangan Alkitab berkata: karena manusia secara intrinsik sudah berdosa, maka manusia pasti akan melakukan perbuatan dosa.

Tetapi pandangan dunia berkata: hanya ketika seseorang melakukan perbuatan dosa sajalah, maka orang itu baru dapat disebut berdosa.

Setelah membaca tulisan ini dan melihat berbagai perbedaan pandangan antara Alkitab dan apapun yang ada di luar Alkitab, apakah kita masih ingin mengatakan bahwa semua sistem kepercayaan itu pada dasarnya sama saja? Kecuali jika kita memang buta atau memiliki problem yang akut di dalam proses berpikir, maka sudah pasti kita akan berkesimpulan bahwa semua kepercayaan itu pada dasarnya tidak mungkin sama, bukan?

Apabila kita menolak gagasan yang diutarakan oleh Kitab Kejadian, Mazmur Daud, Injil Yesus Kristus dan surat Paulus tentang kondisi keberdosaan yang hakiki di dalam diri manusia, maka mau tidak mau kita juga harus menolak gagasan bahwa kematian Yesus Kristus di atas kayu salib adalah suatu penebusan yang mutlak bagi keselamatan kita. Mengapa? Karena semua gagasan itu disampaikan oleh Alkitab yang sama sebagai satu kesatuan message. Kita tidak bisa menerima yang satu tetapi menolak yang lain.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk memilih apa yang benar.
Tuhan memberkati. (Oleh: izar tirta)

Beberapa pertanyaan untuk direnungkan:
Apa saja yang kita pelajari dari eksposisi Kejadian 4:1 ini?
Apa hubungan antara kisah Adam dan kisah Kain?
Mengapa Tuhan berkata sungguh amat baik, padahal hidup ini penuh penderitaan?
Apa yang dimaksud dengan Adam bersetubuh dengan Hawa?
Bagaimana Alkitab melihat hubungan seksual?
Bagaimana cara Allah atau Tuhan menciptakan manusia?
Bagaimana cara Allah atau Tuhan menghadirkan manusia ke dalam dunia?
Ada 4 cara Tuhan menghadirkan manusia ke dalam dunia, apa sajakah?
Pembahasan tentang Allah menjadikan anak dari batu.
Bagaimana pandangan Kristen terhadap inseminasi buatan?
Bagaimana memahami Yesus sebagai Anak Allah?
Jika Allah adalah Bapa dan Yesus adalah Anak, lalu siapakah ibu-Nya?
Siapakah manusia pertama yang lahir dari perempuan?
Kisah kelahiran Kain.
Apakah semua orang pada dasarnya baik? Klik disini
Apakah bayi-bayi memiliki dosa?
Bagaimana pandangan Alkitab tentang bayi?
Mengapa Daud mengaku bersalah sejak ada dalam kandungan? Klik disini
Apakah perbedaan antara pandangan Alkitab dan pandangan dunia tentang dosa?
Apakah alasan Tuhan Yesus rela menjadi Manusia? Klik disini






[1] Saya sudah membahas ini dalam tulisan berjudul “Mengapa di tanahku terjadi bencana?”
[2] Terutama dari sudut pandang Hawa dan juga sudut pandang Kain.
[3] Walau bukan berarti Alkitab mengesampingkan sama sekali aspek fisikal dari aktivitas tersebut.
[4] Bahkan Alkitab memakai istilah Yada pula untuk mengungkapkan bagaimana Allah mengenal kita.
[5] Dengan majunya ilmu kedokteran, manusia dapat melakukan inseminasi buatan (artificial insemination). Namun bahkan dalam proses yang diberi label artificial ini pun, tetap dibutuhkan persatuan antara sel sperma dan sel telur wanita untuk menghasilkan janin yang baru. Sehingga sekalipun proses ini tidak melibatkan aktivitas seksual, namun persetubuhan dalam level sel tetap harus terjadi, dan tetap harus ada laki-laki dan perempuan sebagai penyedia sel sperma dan sel telur tersebut.
[6] Status Yesus sebagai Anak Allah tidak ada hubungan sama sekali dengan peristiwa seksual. Yesus diperanakkan secara spiritual oleh Bapa di dalam kekekalan, melampaui ruang dan waktu. Sebagai Anak, Yesus senantiasa menunjukkan sikap yang taat serta submissive kepada Bapa-Nya.
[7] Kita sudah membahas hal ini ketika membicarakan tentang Lukas 1:1-4. Mulai dari kisah William Carey hingga catatan sejarawan sekuler atas peristiwa yang berhubungan dengan Yesus Kristus.
[8] Lihat dan renungkan Efesus 2:20 serta Yohanes 17:17 sebagai dasar bagi kalimat yang saya sebutkan ini.
[9] Keadaan ini kadang dikaitkan pula dengan istilah “tabula rasa”
[10] Kita sudah membahas hal ini ketika mempelajari kisah perjumpaan Tuhan Yesus dengan pemimpin muda yang kaya itu.