Pendahuluan
Tulisan ini merupakan sebuah renungan yang diambil dari 2 Petrus 1:4. Melalui renungan ini kita mencoba menggali kekayaan rohani apa yang kiranya dapat menolong kita untuk semakin mengenal Pribadi Tuhan melalui perkataan-perkataan yang disampaikan-Nya, khususnya dalam hal ini mengenai janji-janji Tuhan dan tentang kemungkinan bagi manusia untuk mengambil bagian di dalam kodrat Ilahi. Kiranya melalui renungan dari 2 Petrus 1:4 ini kita semakin melihat dengan jelas apa yang menjadi isi hati Tuhan bagi kita.
Buku Teologi Sistematika: Sebuah pengantar Kepercayaan Kristen
Dalam tulisan terdahulu, saya juga telah membuat renungan yang diangkat dari ayat sebelumnya yaitu 2 Petrus 1:3 (klik disini), di mana dalam tulisan tersebut kita disadarkan akan panggilan untuk menjalani hidup yang saleh di hadapan Tuhan. [Baca juga: Apa yang dimaksud dengan kesalehan? Klik disini.]
Ayat Firman Tuhan
Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia. (2 Petrus 1:4)
Dengan jalan itu:
Rasul Petrus mengatakan “dengan jalan itu,” dan mungkin kita bertanya, “jalan mana yang dimaksudkan oleh Petrus di sini?” Jawabannya dapat kita lihat pada ayat sebelumnya, yaitu dengan jalan menganugerahkan segala sesuatu yang berguna untuk hidup saleh dan dengan jalan memanggil kita melalui panggilan yang mulia dan ajaib.
Sekali lagi di sini kita melihat bahwa anugerah dan panggilan Tuhan bukanlah merupakan kisah akhir dari kehidupan kita bersama Tuhan. Sebaliknya, semua itu barulah sebuah awal dari perjalanan kerohanian kita, sebuah pintu masuk ke dalam realita-realita lain yang Tuhan ingin berikan kepada kita.
Seperti yang dilukiskan dalam kisah bangsa Israel yang keluar dari tanah Mesir, berjalan di padang gurun, lalu masuk ke tanah Kanaan, demikian pula kita melihat kehidupan Kristen itu sebagai sebuah perjalanan. Ketika Tuhan memberi anugerah, ketika Tuhan memanggil kita, maka di situlah perjalanan kita bersama-sama dengan Tuhan dimulai hingga masuk ke dalam kekekalan nanti.
Ia telah menganugerahkan janji-janji yang berharga dan yang sangat besar:
Sekali lagi di sini kita melihat bahwa anugerah dan panggilan Tuhan bukanlah merupakan kisah akhir dari kehidupan kita bersama Tuhan. Sebaliknya, semua itu barulah sebuah awal dari perjalanan kerohanian kita, sebuah pintu masuk ke dalam realita-realita lain yang Tuhan ingin berikan kepada kita.
Seperti yang dilukiskan dalam kisah bangsa Israel yang keluar dari tanah Mesir, berjalan di padang gurun, lalu masuk ke tanah Kanaan, demikian pula kita melihat kehidupan Kristen itu sebagai sebuah perjalanan. Ketika Tuhan memberi anugerah, ketika Tuhan memanggil kita, maka di situlah perjalanan kita bersama-sama dengan Tuhan dimulai hingga masuk ke dalam kekekalan nanti.
Ia telah menganugerahkan janji-janji yang berharga dan yang sangat besar:
Melalui jalan anugerah dan panggilan sebagaimana yang kita singgung pada bagian sebelumnya, Tuhan ingin membawa kita kepada hal yang lebih besar lagi, yaitu janji-janji-Nya. Dan di sini Petrus mengingatkan kita bahwa janji Tuhan itu adalah janji yang berharga dan sangat besar. Lalu, janji apakah yang dimaksudkan oleh Petrus dalam bagian ini?
Berbicara tentang janji Tuhan, memang bisa banyak sekali hal yang dapat kita gali dan renungkan dari Alkitab, tetapi mungkin pada kesempatan ini, kita bisa melakukan pendekatan atas janji itu melalui konteks yang dekat, yaitu perkataan Petrus sendiri. Jika melihat pada konteks yang dekat, yaitu konteks yang sedang dibicarakan oleh Petrus sebelumnya, maka janji yang dimaksud di sini meliputi janji untuk memberi anugerah dan janji untuk memanggil kita. Inilah janji Tuhan yang nyata kepada kita.
Anugerah dan panggilan bukanlah suatu peristiwa yang hanya memiliki aspek sekali untuk selamanya saja. Tetapi anugerah dan panggilan Tuhan memiliki pula aspek repetisi atau pengulangan. Artinya, janganlah kita memahami konsep “anugerah dan panggilan” itu semata-mata dengan menggunakan kosa kata “sudah atau belum” saja seperti “sudah mendapat anugerah atau belum mendapat anugerah” atau “sudah mendapat panggilan dari Tuhan atau belum mendapat panggilan,” sedemikian rupa sehingga kalau seseorang merasa sudah mendapat anugerah, maka setelah itu dia merasa tidak perlu lagi merenungkan janji Tuhan akan anugerah. Atau jika seseorang merasa sudah mengikuti panggilan Tuhan, maka setelah itu dia tidak perlu lagi peka terhadap panggilan Tuhan selanjutnya. Tidak demikian.
Baik anugerah, maupun panggilan Tuhan adalah sesuatu yang bisa terus menerus berulang-ulang terjadi di dalam hidup kita. Anugerah Tuhan itu selalu baru setiap hari dan kita boleh menantikan janji Tuhan di dalam memberikan anugerah-Nya. Panggilan Tuhan juga senantiasa baru setiap hari, sehingga kita pun boleh menantikan janji Tuhan yang memanggil kita hari lepas hari.
Siapakah di antara kita yang merasa dirinya sudah sedemikian sempurna sehingga tidak lagi memerlukan anugerah yang baru setiap hari? Pengampunan yang baru, kasih karunia yang baru, pelukan yang baru, semangat yang baru, encouragement yang baru dari Tuhan? Semua itu kita butuhkan karena kita ini begitu lemah dan berdosa miskin dan telanjang, bagaikan seorang pengemis di hadapan Tuhan.
Kita sering jatuh, patah semangat, hilang fokus, hambar, terluka, gagal dan rupa-rupa hal negatif lainnya. Di satu sisi kita mungkin sadar akan hal itu, tetapi di sisi lain kita sendiri agaknya tidak atau kurang menantikan janji anugerah Tuhan yang datang dari hari ke sehari? Terlalu sering kita berpikir bahwa anugerah Tuhan itu seperti sesuatu yang statis, sesuatu yang pernah diterima di waktu yang lampau dan seolah tidak ada hubungannya lagi dengan hari ini. Namun jika pandangan kita tentang anugerah adalah seperti demikian, maka tentu tidak mengherankan apabila kita sering merasa lemah, kurang bersemangat dan seperti tidak ada tenaga lagi di dalam kehidupan kita. Aktivitas kita mungkin saja masih sangat banyak, tetapi hati kita menjadi kering, kosong, hambar dan kehilangan sukacita yang berlimpah-limpah karena anugerah Tuhan yang hidup itu telah kehilangan relevansi yang nyata di dalam hidup kita sehari-hari.
Dan siapakah di antara kita yang merasa dirinya sudah sedemikian tahu akan arah hidup ini sehingga tidak lagi memerlukan panggilan Tuhan yang baru setiap hari? Ketika berpikir tentang istilah “panggilan” kita pikir maksudnya adalah panggilan sekali seumur hidup untuk masuk Kristen saja, sehingga kita lupa bahwa kita masih harus terus menantikan dan mencari panggilan demi panggilan yang Tuhan alamatkan kepada kita hari lepas hari.
Anugerah dan panggilan Tuhan adalah sesuatu yang dinamis dan senantiasa relevan di dalam hidup kita. Oleh sebab itu, semoga melalui surat Petrus ini, kita boleh kembali diingatkan untuk menantikan dengan tekun anugerah Tuhan dan panggilan-Nya itu, dari hari lepas ke sehari sebab memang itulah janji Tuhan kepada kita.
Masalahnya bagi manusia adalah, janji anugerah dan janji panggilan Tuhan mungkin seringkali kalah menarik dibandingkan dengan janji kekayaan, janji kesuksesan, janji kesehatan, janji kenaikan pangkat, janji return on investment, janji ketenaran, janji penerimaan dan janji-janji lain yang ditawarkan dunia ini. Yang menjadi persoalan sebetulnya bukanlah karena Tuhan lamban dalam memberi anugerah-Nya atau lambat dalam menyatakan panggilan-Nya, melainkan karena kita sendiri kurang berminat pada janji Tuhan tersebut. Kita kurang bergairah mengejar kepenuhan anugerah dan penggenapan janji Tuhan itu. Kita lebih banyak memusatkan pikiran kita pada janji-janji yang ditawarkan oleh dunia ini. Karena kita pikir janji yang ditawarkan oleh dunia itu lebih konkret, lebih nyata, lebih cepat dinikmati ketimbang janji Tuhan yang kadang terdengar terlalu abstrak itu.
Tetapi jika janji anugerah dan panggilan hidup sehari-hari saja sudah terdengar abstrak dan kehilangan relevansi di dalam hidup kita, lalu bagaimana kita dapat memahami janji Tuhan di dalam konteks yang lebih luas?
Untuk konteks janji Tuhan yang lebih luas, saya ingin mengajak kita melihat perkataan Tuhan yang terdapat pada Kitab Yeremia, yaitu 31 Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikianlah firman TUHAN, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda, 32 bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa mereka keluar dari tanah Mesir; perjanjian-Ku itu telah mereka ingkari, meskipun Aku menjadi tuan yang berkuasa atas mereka, demikianlah firman TUHAN. 33 Tetapi beginilah perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku. 34 Dan tidak usah lagi orang mengajar sesamanya atau mengajar saudaranya dengan mengatakan: Kenallah TUHAN! Sebab mereka semua, besar kecil, akan mengenal Aku, demikianlah firman TUHAN, sebab Aku akan mengampuni kesalahan mereka dan tidak lagi mengingat dosa mereka." (Yeremia 31:31-34)
Mungkin saat ini kita belum akan menggali secara lebih terperinci ayat-ayat dalam Yeremia tersebut, tetapi kalau kita mau bicara janji Tuhan maka inilah janji yang berharga dan besar itu, yaitu “Tuhan mau menjadi Allah kita, dan Tuhan mau agar kita menjadi umat-Nya.” Tetapi sekali lagi, masalahnya apakah manusia tertarik dengan janji seperti ini? Apakah kita bisa melihat janji semacam ini sebagai sesuatu yang konkret dan relevan dalam situasi hidup sehari-hari? Apakah kita sadar apa konsekuensi dari “Yahwe menjadi Allah kita, dan kita menjadi umat-Nya” tersebut?
Ada orang yang berpikir bahwa dia percaya pada kalimat yang diucapkan oleh Yeremia tersebut, tetapi di dalam kehidupan sehari-harinya ia tetap lebih percaya pada diri sendiri, lebih percaya pada uang, lebih percaya pada koneksi, lebih percaya pada penerimaan orang lain, lebih percaya pada filosofi dunia, lebih percaya pada tradisi, lebih percaya pada perkataan manusia ketimbang perkataan Tuhan. Ada pula orang yang mengira bahwa dia suka dengan janji Tuhan, tetapi di dalam hidupnya tidak ada ketertarikan pada ibadah, tidak ada ketertarikan untuk membaca, menggali dan merenungkan Firman. Apakah hal-hal yang seperti demikian dapat dikatakan sebagai orang yang telah menerima janji yang diucapkan Tuhan melalui Yeremia tadi?
Janji Tuhan begitu besar, sangat besar bahkan. Janji Tuhan begitu berharga, sangat berharga sekali. Tetapi apakah kita akan menikmati janji itu atau tidak, sangat bergantung dari bagaimana kita berespon terhadap janji-janji itu. Jika kita tidak tertarik, maka apa yang berharga dan sangat besar itupun tidak pernah kita miliki dan tidak akan pernah mengubah apapun di dalam kehidupan kita.
Supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat Ilahi:
Rasul Petrus berkata: “Supaya olehnya,” yaitu supaya oleh janji-janji Tuhan itu, “kita boleh mengambil bagian dalam kodrat Ilahi.”
Dengan kata lain, menurut Rasul Petrus, seseorang tidak serta merta dapat mengambil bagian di dalam kodrat Ilahi tanpa terlebih dahulu menerima, mengalami dan menghayati janji-janji Tuhan tersebut. Sekali lagi ini bukan sesuatu yang take it for granted, Tuhan memanggil kita untuk boleh mengambil bagian dalam kodrat Ilahi, tetapi jika manusia tidak peduli pada panggilan itu, tidak menantikan panggilan itu, tidak melihat panggilan Tuhan sebagai sesuatu yang besar dan sangat berharga, maka bagaimana mungkin seseorang akhirnya menerima bagian di dalam kodrat Ilahi seperti yang dikatakan oleh Petrus?
Prinsip semacam ini mirip sekali dengan pengampunan yang Tuhan berikan. Meskipun Tuhan memberikan anugerah pengampunan kepada manusia, tetapi pengampunan itu sendiri baru efektif apabila dari sisi manusia timbul suatu pertobatan. Jika kita dapat memahami prinsip bahwa “tanpa pertobatan, tidak mungkin ada pengampunan,” maka kitapun dapat memahami prinsip bahwa “tanpa adanya penghayatan dan respon terhadap janji-janji Ilahi, maka bagaimana mungkin ada kesempatan bagi seseorang untuk mengambil bagian dalam kodrat Ilahi?”
Rasul Petrus bukan satu-satunya penulis Alkitab yang memakai konsep “mengambil bagian dalam kodrat Ilahi.” Konsep semacam ini dapat kita temukan pula di dalam tulisan Rasul Yohanes, misalnya dalam Yohanes 14:12. Ataupun dalam tulisan Rasul Paulus, misalnya Roma 8:29, 2 Korintus 3:18.
Bahkan konsep semacam ini dapat kita temukan pula di dalam tulisan Lukas. Dalam tulisan pertamanya (Injil Lukas), ia menjelaskan tentang kelahiran, kehidupan dan kematian Yesus Kristus. Lalu pada tulisan keduanya (Kisah Rasul) ia menjelaskan bagaimana komunitas orang percaya itu lahir dalam peristiwa Pentakosta, lalu semakin bertumbuh, beberapa menderita dan bahkan mati, sama seperti Yesus Kristus. Bahkan ucapan Yesus Kristus di atas kayu salib pun muncul kembali di dalam ucapan Stefanus. Sehingga melalui semuanya itu, pembaca tulisan Lukas dapat melihat bahwa apa yang terjadi pada Yesus Kristus, terjadi pula pada para murid-Nya.
“Berpartisipasi dalam kodrat Ilahi” adalah hal yang wajar akan terjadi di dalam diri orang percaya. Tuhan menyelamatkan manusia, agar manusia dapat berpartisipasi di dalam kodrat Ilahi. Kita akan menjadi serupa dengan Kristus, di dalam kekudusan-Nya, di dalam karakter, di dalam cara berpikir, cara merasa dan cara bertindak. Inilah yang boleh kita harapkan dari Tuhan yang memberi janji itu.
Dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia:
Hawa nafsu dunia adalah sebuah kekuatan yang besar di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa ini. Ini adalah default setting dari dunia kita semenjak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Setiap manusia tidak berada dalam kondisi netral, juga bukan dalam kondisi yang sempurna atau suci.
Menurut Alkitab, setiap manusia justru sedang ada di dalam kondisi yang dikuasai oleh hawa nafsu duniawi. Dan kuasa yang membinasakan itu jauh lebih besar daripada kekuatan manusia untuk melawannya, sehingga tanpa Tuhan sendiri bertindak memberi anugerah, memanggil manusia untuk hidup saleh dan mengambil bagian di dalam kodrat Ilahi, maka tidak ada seorang pun yang akan luput dari nafsu yang membinasakan tersebut.
Ketika Tuhan mengizinkan kita ikut berpartisipasi dalam kodrat Ilahi, maka kita juga akan diluputkan atau dikeluarkan dari keadaan kita yang semula, yaitu keadaan yang membinasakan tersebut. Kita akan diubahkan oleh Tuhan, dari status dan kondisi yang membawa pada kebinasaan itu, menuju pada suatu hidup yang baru.
Kesimpulan
Melalui Surat 2 Petrus 1:4 ini (dan juga ayat 3 melalui tulisan sebelumnya), kita belajar tentang rencana Allah dalam menyelamatkan manusia secara lebih terperinci. Kita dapat melihat tindakan apa saja yang telah dilakukan Allah bagi manusia, yaitu memberi anugerah yang cukup untuk manusia dapat menjalani hidup saleh dan memanggil manusia untuk ambil bagian di dalam kodrat Ilahi-Nya, sehingga manusia boleh terluput dari nafsu dunia yang membinasakan. Tanpa perbuatan Allah yang besar dan berharga ini, manusia tidak mempunyai kemungkinan untuk luput dari kebinasaan.
Satu hal yang penting untuk direnungkan selain perbuatan Allah adalah, respon manusia itu sendiri. Sebab seperti yang sudah saya sebutkan di atas, anugerah pengampunan tidak akan efektif bagi orang yang tidak bertobat dan anugerah panggilan untuk berpartisipasi dalam kodrat Ilahi pun tidak akan ada gunanya jika manusia tidak peduli pada panggilan itu.
Kiranya Tuhan memberi kita kepekaan untuk berespon dengan benar dan untuk menghargai karya serta janji Allah yang sangat berharga dan sangat besar ini. Amin. (Oleh: Izar Tirta)
Renungan dari Surat 2 Petrus 1:3. Klik disini
Renungan dari Surat 2 Petrus 1:5. Klik disini
Mengapa Yesus Kristus harus menjadi Manusia? Klik disini
Jika Tuhan memanggilmu apakah engkau siap? Klik disini
Jika Tuhan memanggilmu apakah engkau siap? Klik disini