Sunday, July 25, 2021

Renungan dari Surat 2 Petrus 1:6

Apa yang dimaksud dengan penguasaan diri?
Apa yang dimaksud dengan ketekunan?
Apa yang dimaksud dengan kesalehan?



Oleh: Izar tirta


 

 Pendahuluan

Tulisan ini merupakan sebuah perenungan yang digali dari Surat 2 Petrus 1:6, sebagai kelanjutan dari perenungan atas ayat-ayat sebelumnya (klik disini). Di dalam perenungan sebelumnya kita sudah melihat bagaimana Rasul Petrus begitu serius di dalam mendorong jemaat agar berusaha menambahkan kepada iman mereka itu suatu kebajikan dan kepada kebajikan itu pengetahuan.


Di dalam renungan yang kita gali dari Surat 2 Petrus 1:6 ini kita akan melihat lebih jauh hal-hal lain yang perlu kita tambahkan kepada iman kita sebagai sesuatu konsekuensi yang wajar dari kehidupan kerohanian yang bertumbuh. Semoga melalui perenungan ini kita semakin mengenal isi hati Tuhan yang disampaikan melalui surat 2 Petrus ini. [Baca juga: Mengenal Tuhan lebih penting daripada kekayaan. Klik disini.]

 

Ayat Firman Tuhan

dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, (2 Petrus 1:6)

 

Mengapa pengetahuan perlu ditambah dengan penguasaan diri?

Di dalam ayat sebelumnya kita sudah merenungkan tentang betapa pentingnya menambahkan pengetahuan kepada kebajikan sehingga kebajikan yang dimiliki seseorang itu dapat didasarkan pada pengetahuan akan kebenaran.


Dalam ayat 6 ini, kita belajar bahwa pengetahuan pun masih perlu ditambahkan oleh kualitas lain, yaitu penguasaan diri. Memiliki pengetahuan adalah sesuatu yang baik, tetapi tanpa penguasaan diri maka pengetahuan pun bisa gagal memberi pertumbuhan kepada kehidupan rohani kita.

Apa yang dimaksud dengan penguasaan diri? Penguasaan diri artinya dapat menahan dari keinginan-keinginan yang ada di dalam hati kita. Ada kalanya, ketika kita menginginkan sesuatu yang baik terjadi, maka hal itu belum tentu terjadi. Logika kita bisa berontak, hati kita pun bisa resah karena hal tersebut. Itu sebabnya dibutuhkan suatu penguasaan diri.

Adakah contoh-contoh di dalam Alkitab tentang penguasaan diri? Tentu saja ada, bahkan banyak sekali. Namun dalam kesempatan yang terbatas ini saya hanya menyebutkan beberapa contoh saja dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Di dalam Perjanjian Lama kita membaca bagaimana Raja Daud pernah ingin membangun Bait bagi Yahwe. Di dalam bijaksana dan pengetahuan kita sebagai manusia tentu kita dapat menilai bahwa hal tersebut merupakan hal yang baik. Tetapi sebagaiaman kita juga tahu bahwa Yahwe ternyata menolak keinginan Daud tersebut. Terlepas dari alasan apa yang diberikan oleh Yahwe atas penolakan tersebut, dan kita tahu alasan itu pasti baik, tetap saja dibutuhkan suatu penguasaan diri untuk menerima keputusan Allah bagi seseorang. Apalagi ketika keputusan Allah itu berbeda dengan apa yang kita harapkan.

Di dalam Perjanjian Baru, kita juga melihat bahwa rasul Paulus juga pernah memohon agar Tuhan mencabut duri di dalam daging yang ia rasakan. Tetapi Tuhan Yesus menolak permintaan tersebut. Dan Paulus harus belajar menguasai diri terhadap keputusan Tuhan Yesus tersebut.

Orang yang banyak pengetahuan, tetapi kurang dalam penguasaan diri bisa jatuh ke dalam kecongkakan. Sehingga akhirnya pengetahuan itupun membawa dia ke dalam kejatuhan. Ada kalanya di dalam belas kasihan Tuhan, seorang manusia sengaja di beri kelemahan agar ia menjadi rendah hati dan tidak jatuh ke dalam kecongkakan.

Contoh lain yang dapat kita renungkan adalah dari pengalaman rasul Paulus. Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. (2 Korintus 12:7)

Penyataan-penyataan yang luar biasa mengacu pada suatu pengetahuan yang dimiliki oleh Paulus. Dan itu bukan merupakan pengetahuan yang biasa-biasa saja, melainkan pengetahuan yang sangat luar biasa, pengetahuan yang tidak dimiliki oleh sembarang manusia, kecuali jika manusia itu diberi kesempatan oleh Tuhan.

Tuhan Yesus tahu bahwa bahkan Rasul Paulus pun punya keterbatasan. Jika ia diberikan pengetahuan yang luar biasa sehingga bisa menyatakan hal-hal yang luarbiasa, maka Paulus memiiki kemungkinan untuk menjadi sombong atau meninggikan diri. Itu sebabnya Tuhan Yesus memberi suatu duri di dalam daging Paulus.

Kita tidak pernah tahu secara persis apa yang dimaksud dengan duri di dalam daging yang dialami oleh Paulus, tetapi satu hal yang kita tahu adalah bahwa alasan Tuhan Yesus mengapa Paulus diberi suatu duri dalam daging adalah “supaya jangan meninggikan diri.” Hal tersebut bahkan sampai disebutkan hingga dua kali di dalam satu kalimat, terdapat di awal kalimat dan juga di akhir kalimat. Sehingga dapat dikatakan bahwa Paulus ingian kita juga menaruh perhatian pada perkataan tersebut.

Duri di dalam daging adalah cara Tuhan menolong Paulus di dalam menguasai dirinya sehingga dengan segala pengetahuan dan pengalaman rohani yang sangat luar biasa bersama Tuhan, Paulus tidak jatuh ke dalam dosa kesombongan. Saya pikir hal ini sungguh-sungguh sejalan dengan apa yang Petrus katakan tentang menambahkan penguasaan diri kepada pengetahuan.

Kitab Amsal juga menulis: Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya. (Amsal 18:13)

Tidak ayal lagi, perkataan di dalam Amsal juga berbicara tentang arti penting dari penguasaan diri. Ada kalanya manusia terlalu berhasrat untuk memberi tahu orang lain, karena ia merasa lebih tahu dari lawan bicaranya. Hasratnya begitu besar untuk berbicara sampai tidak ada waktu untuk mendengar lebih dahulu. Dan ketika penguasaan diri itu tidak ada maka hal yang baik pun bisa menjadi buruk.

Memberijawab adalah suatu perbuatan yang baik. Tetapi jika pertanyaannya saja tidak didengarkan terlebih dahulu, berhubung orang itu tidak mampu untuk menguasai diri, maka memberijawab pun menjadi suatu kebodohan. Ini bukan berarti orang yang berpengetahuan itu mendadak jadi bodoh atau pengetahuannya mendadak hilang semua. Tidak demikian. Tetapi ini mengacu pada kebodohan spiritual, tanda dari orang-orang yang belum bertumbuh. Tanda dari orang-orang yang tidak bisa menguasai diri.

Penguasaan diri begitu penting sehingga perlu ditambahkan kepada pengetahuan kita. Di dalam Galatia 5:22, rasul Paulus juga menyebutkan bahwa salah satu karakter dari buah Roh adalah penguasaan diri.

 

Mengapa penguasaan diri perlu ditambah dengan ketekunan?

Penguasaan diri adalah suatu kualitas yang sangat baik, tetapi menurut Petrus penguasaan diri saja belum cukup, kita perlu menambahkan penguasa diri itu dengan karakter yang lain yaitu ketekunan.

Apa yang dimaksud dengan ketekunan? “Ketekunan” berbicara tentang durasi yang panjang. Ada suatu upaya terus menerus di dalam penguasaan diri kita. Atau dengan kata lain, ada godaan yang juga bersifat terus menerus terhadap kemampuan kita dalam menguasai diri.

Menjadi orang percaya memang bukan perkara yang bersifat “sekali untuk selamanya” saja. Tentu ada tempatnya untuk perkara-perkara seperti itu, akan tetapi jangan lupa bahwa sebagai orang percaya, kita juga diajar tentang perkara yang bersifat “terus menerus, yaitu suatu tindakan yang terjadi berkali-kali, ada suatu kontinuitas di dalamnya dan ada suatu upaya yang tidak putus-putusnya” dilakukan.

Maksudnya begini, mungkin di dalam suatu peristiwa kita berhasil menguasai diri, tetapi hendaklah kita berhati-hati sebab cobaan terhadap penguasaan diri kita itu bukan hanya satu kali saja terjadi lalu untuk selamanya tidak terjadi lagi. Cobaan atas penguasaan diri kita akan berlangsung secara terus menerus, berulang-ulang kali terjadi di sepanjang kehidupan kita. Itu sebabnya mengapa Petrus mengajarkan kepada kita untuk menambahkan penguasaan diri kita dengan suatu ketekunan.

Prinsip semacam ini dapat pula kita temukan di dalam arti dari kata “percaya.” Orang Kristen tidak diajar untuk percaya sekali saja setelah itu tidak perlu lagi memikirkan apakah ia sedang percaya, masih percaya atau pernah percaya dan seterusnya. Pengertian percaya di dalam Alkitab tidak seperti itu. Jika kita perhatikan, istilah percaya dalam Yohanes 3:16 memakai bentuk “sekarang” atau “present tense” [Baca juga: Arti kata percaya di dalam Yohanes 3:16. Klik disini]

Artinya, orang Kristen harus senantiasa melihat dan memperhatikan apakah ia sampai sekarang masih terus menerus percaya, ataukah sekedar pernah percaya, tetapi setelah itu tidak dipikirkan lagi? “Percaya” di dalam ajaran Alkitab bukan tentang pernah ambil keputusan ikut Yesus Kristus pada 10 tahun yang lalu saja, tetapi tentang apakah sampai sekarang pun kita masih tetap menjalani kehidupan sebagai orang yang percaya pada-Nya? Jangan lupa, menurut Yohanes 3:16, iman orang Kristen itu bukan dinyatakan dalam bentuk lampau, tetapi dalam bentuk sekarang (present tense).

Di dalam bagian lain, Yohanes juga mencatat bahwa Tuhan Yesus memerintahkan orang percaya untuk “tetap tinggal” (Yoh 15:4). Perhatikan kata-kata tersebut, dan kita akan mendapati nuansa kontinuitas di dalamnya. Ini bukan tentang tinggal di dalam Yesus sekali untuk selamanya setelah itu tidak ada lagi yang harus diperhatikan. Ini lebih menekankan pada aspek upaya yang terus menerus untuk ada di dalam Tuhan Yesus. Dan bukan tidak mungkin bagi orang yang merasa dirinya Kristen, ternyata sekarang ini hidupnya sudah tidak tinggal lagi di dalam Kristus, melainkan sudah jauh meninggalkan Dia.

Jika kita memahami istilah tinggal di dalam Tuhan Yesus semata-mata  dari aspek satu kali untuk selamanya, maka untuk apa Tuhan Yesus memberi semacam peringatan kepada orang Kristen untuk tetap tinggal di dalam Dia? Bukankah perkataan Tuhan Yesus ini menjadi seperti perkataan yang tidak ada artinya belaka? Justru perkataan Tuhan Yesus menjadi suatu peringatan yang sangat berarti bagi kita, apabila memang ada kemungkinan bagi orang Kristen untuk tidak tetap tinggal di dalam Dia, meninggalkan Dia, sehingga selama hidupnya tidak pernah berbuah dan pada akhir hidupnya ia dibuang ke dalam api.

 

Mengapa ketekunan perlu ditambah dengan kesalehan?

Di dalam bagian sebelumnya kita sudah melihat apa arti dari ketekunan serta mengapa ketekunan itu penting. Di dalam bagian ini kita melihat bahwa ketekunan pun perlu ditambahkan dengan nilai yang lain lagi, yaitu kesalehan. Mengapa ketekunan perlu ditambahkan dengan kesalehan?

Kita perlu menambahkan ketekunan dan kesalehan sebab kita tahu bahwa pada awalnya kita akan merasa berat sekali di dalam menekuni sesuatu. Akan tetapi dengan berjalannya waktu, jika kita setia, maka ketekunan itu perlahan-lahan akan berubah menjadi kerelaan. Oleh karena itu kita membutuhkan kekuatan lain agar kita dapat setia di dalam ketekunan. Dan kekuatan lain itu muncul dari kesalehan.

Apa yang dimaskud dengan kesalehan? Di dalam pemahaman Alkitab, kesalehan tidak mungkin dilepaskan dari pengenalan akan Pribadi Allah itu sendiri. Tanpa adanya suatu pengenalan, maka segala sesuatu yang kelihatannya seperti kesalehan itu sebenarnya bukan sungguh-sungguh kesalehan melainkan hanya ritual dan bahkan hanya kepura-puraan belaka.

Keselahen yang sejati lahir dari cinta kasih kepada Tuhan. Orang yang mengenal Tuhan tahu bahwa dirinya dikasihi. Dan orang yang tahu bahwa dirinya dikasihi oleh Allah, akan terdorong untuk membalas cinta kasih Allah itu. Dan cinta kasih kepada Allah inilah yang kemudian melahirkan kesalehan.

Jika seseorang sudah belajar untuk mengasihi Allah, maka apa yang semula berat seperti ketekunan misalnya, lama-kelamaan bukan lagi menjadi sesuatu yang berat, tetapi menjadi sesuatu yang dapat kita lakukan dengan sukacita, mengapa? Karena kita melakukannya di dalam pengenalan akan Allah dan kita melakukannya bukan karena terpaksa melainkan karena kita mengasihi Dia.

Tuhan Yesus pernah berkata: Kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan (Matius 11:30). Bagaimana kita bisa memahami perkataan seperti ini apabila pada kenyataannya Tuhan Yesus juga meminta kita untuk menyangkal diri dan memikul salib? Dimana letak rasa enak dan ringan dari suatu penyangkalan diri dan perintah memikul salib? Jawabannya adalah karena kasih.

Orang yang mengasihi Tuhan Yesus akan melihat segala perintah Tuhan itu sebagai sesuatu yang enak dan ringan, bukan sebagai sesuatu yang tidak enak dan berat. Kita tahu bahwa tidak ada seorang pun di antara kita yang sudah sempurna di dalam kasih yang seperti ini, tetapi kita tahu bahwa Tuhan sanggup mengerjakan hal itu di dalam diri kita. Kasih Tuhan kepada kita dan kasih kita kepada Tuhan itu kuncinya sehingga sekalipun kita bertekun di dalam penyangkalan diri dan memikul salib maka ketekunan itu bukan ketekunan yang terpaksa, melainkan ketekunan yang timbul dari hati yang rela.

 

Kesimpulan

Betapa dalamnya iman Kristen yang sejati itu jika kita membaca penuturan Petrus di dalam Suratnya ini. Iman Kristen itu bukan sekedar dinyatakan dalam seruan di medsos “aku percaya, amin, haleluya, puji Tuhan” dan jargon-jargon kekristenan lainnya. Sangat menggelikan jika kita berpikir bahwa kita adalah orang yang beriman semata-mata karena kita ini berani mengucapkan kata amin di medsos. Apalagi jika dijadikan semacam perlombaan untuk mencapai target angka tertentu, 500 ucapan atau 1000 ucapan amin misalnya. Ini sungguh-sungguh merupakan cara yang sangat absurd di dalam menyatakan iman kita. Iman Kristen yang sejati menurut Alkitab, justru tidak dinyatakan dengan cara-cara seperti itu.

Biarlah kita dengan hati yang tenang dan tekun mempelajari baik-baik Firman Tuhan dan merenungkannya. Biarlah melalui perenungan itu kita boleh mendapat pengenalan akan Pribadi Allah yang Agung itu untuk menggantikan gambaran-gambaran yang dangkal dari iman Kristen yang selama ini kita hidupi dan pamerkan di dalam medsos manapun.

Biarlah kita bertumbuh di dalam iman kita dengan menambahkan kepada iman itu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri dan kepada penguasaan diri ketekunan dan kepada ketekunan itu kesalehan. Kalimat ini belum selesai karena Rasul Petrus masih menambahkan lagi dengan karakter-karakter yang lain, namun kita akan membahas hal itu di dalam tulisan-tulisan mendatang. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita.

Baca juga:

Apa yang dimaksud dengan iman? Klik disini
Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan. Klik disini
Bersaksi di dalam kuasa Roh Kudus. Klik disini.
Sebuah perenungan terhadap janji Tuhan. Klik disini
Memahami kerangka Surat 2 Petrus. Klik disini