Eksposisi Yohanes 3:16 dan 18
Apakah yang dimaksud dengan "percaya" menurut Yohanes 3:16?
Orang Farisi percaya bahwa Mesias akan datang, tetapi apakah mereka akan diselamatkan?
Yohanes 3:16 adalah ayat yang sangat terkenal, tetapi apakah kita sudah benar-benar memahami ayat tersebut?
Mengapa Allah dapat mengasihi Yakub tetapi tega untuk membenci Esau? |
Perenungan dari Yohanes 3:16 dan 18
|
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya
yang tunggal. Supaya barangsiapa percaya, mendapat hidup kekal. Tetapi barangsiapa
tidak percaya, telah berada di bawah hukuman.
Begitu besarnya kasih Allah
Kekristenan adalah suatu sistem kepercayaan yang didasarkan
pada penyataan diri Allah sendiri. Tanpa adanya Allah yang menyatakan diri
kepada manusia, maka tidak ada kemungkinan bagi seorang manusia untuk dapat mengenal
siapa Dia.
Allah seperti apakah yang menyatakan diri-Nya kepada manusia? Salah satu ayat Alkitab yang paling terkenal di Alkitab, yaitu Yohanes 3:16 mengatakan bahwa Allah adalah Dia yang memiliki kasih yang sangat besar.
Buku: "3:16 - Angka Pengharapan"
Hal ini sewajarnya mendorong kita untuk merenung. Apabila
kita mengikuti Allah yang memiliki kasih sedemikian besar, apakah kita sendiri
sebagai pengikut-Nya juga telah menjadi seorang pribadi yang mampu mengasihi?
Memang betul, bahwa tidak ada di antara kita yang memiliki kasih
yang sempurna, Tetapi apakah setidaknya kita sendiri memiliki keinginan untuk
lebih mengasihi? Ataukah kita bahkan tidak terlalu memikirkan hal itu?
"Karena begitu besar kasih Allah..". ini
bukan hanya suatu statement yang kosong belaka. Ini bukan sekedar suatu ayat
untuk di afalkan dan ini juga bukan sekedar suatu pengetahuan teologi untuk
diajarkan di ruang-ruang kelas semata.
Ini adalah sebuah undangan. Yaitu undangan dari
Pencipta kita sendiri untuk menjalani hidup seperti Dia, yaitu hidup yang penuh
kasih.
Biarlah kita menaruh beban ini di dalam hati kita. Dan
biarlah kita bertekut lutut, berdoa dan memohon kepada Tuhan agar Dia
memampukan kita untuk lebih mengasihi lagi. Mengasihi Dia, dan juga mengasihi
sesama kita.
Dunia
yang dikasihi oleh Allah
Ada bagian Alkitab yang mengajarkan bahwa
Allah mengasihi dunia ini, seperti yang kita baca dalam Yohanes 3:16. Tetapi ada pula
bagian Alkitab yang mengajarkan bahwa kita tidak boleh menjadi serupa dengan
dunia (misalnya dalam Roma 12:2), bahkan ada pula perintah yang
jelas-jelas melarang kita untuk mengasihi dunia ini (misalnya dalam 1 Yoh 2:15)
Mengapa Alkitab terkesan begitu simpang siur
seperti ini? Apakah para penulis Alkitab seperti Yohanes ataupun Paulus adalah
orang-orang yang plin plan?
Jadi
sebetulnya, harus kita apakan dunia ini? Apakah harus kita benci? Ataukah harus kita
kasihi, sebagaimana Bapa juga mengasihi?
Dari persoalan ini kita sadar betapa
pentingnya membaca Alkitab secara keseluruhan sehingga kita dapat memahami
konteks yang sedang dibicarakan oleh para penulis Alkitab. Kita tidak dapat
mengambil satu ayat saja lalu memakainya untuk segala keadaan, segala kondisi,
segala situasi tanpa mencoba memahami apa yang dimaksud oleh ayat tersebut.
Di dalam Alkitab, kata “dunia” memiliki setidaknya
tiga pengertian:
Perngertian pertama dari kata "dunia":
“Dunia” berarti dunia material ciptaan Allah
yang dapat kita lihat, kita raba, kita rasakan dengan panca indera kita. Dalam
hal ini, dunia material adalah kontras dari dunia spiritual. Menurut kitab
Kejadian, dunia material ini harus kita kuasai dan taklukkan demi kemuliaan
Tuhan.
Pengertian kedua dari kata "dunia":
“Dunia” berarti keseluruhan ras manusia, sebagai
kontras dari sebagian kelompok manusia saja. Nikodemus mengira bahwa Allah
hanya mengasihi bangsa Israel saja, itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan bahwa sesungguhnya
Allah mengasihi dunia ini yaitu seluruh ras manusia yang telah Ia ciptakan,
entah itu orang Israel ataupun orang non-Israel.
Pengertian ketiga dari kata "dunia":
“Dunia” berarti semua prinsip, semua cara
berpikir, semua cara bekerja yang berlaku di dunia yang telah jatuh ke dalam
dosa. Dunia semacam inilah yang menurut Paulus dan Yohanes (dalam suratnya) harus
dihindarkan dan tidak boleh dikasihi.
Lalu Yohanes 3:16 memakai kata "dunia" menurut pengertian yang mana?
Yohanes
3:16 yang sangat populer itu, membicarakan dunia menurut pengertian
nomer 2 yang saya paparkan di atas. Menurut Tuhan Yesus, Allah mengasihi semua
orang melampaui suku, melampaui bangsa, ras dan kebudayaan.
Menurut Tuhan Yesus semua bangsa di bumi ini memiliki kesempatan yang sama untuk dikasihi oleh Bapa. Itulah sebabnya sebagai orang Kristen kita pun tidak sepatutnya memelihara sikap yang rasis di dalam hati kita.
Marilah kita mulai belajar mengasihi orang
lain, yang berbeda sekalipun dengan diri kita, sebab Bapa kita juga menaruh
kasih terhadap mereka. Apabila kita belum dapat mengasihi mereka di dalam
perbuatan, maka setidaknya marilah kita belajar untuk berdoa bagi mereka.
Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk
memiliki kasih yang demikian.
Sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal
Di bagian atas tadi, kita sudah merenungkan akan kasih Allah
yang begitu besar. Tetapi pernahkah kita membayangkan, seberapa besarkah
kasih-Nya itu? Apa bukti kongkrit dari kasih Allah yang sangat besar itu?
Sebetulnya, Allah tidak ada kewajiban untuk membuktikan
kasih-Nya pada kita. Pun dari sisi kita, tidak ada kepatutan sedikitpun untuk
mempertanyakan kasih-Nya itu. Sebab dari kenyataan bahwa Dia telah menciptakan
diri kita beserta segala sesuatu untuk dinikmati saja, sudah merupakan suatu
tanda dari kasih-Nya itu.
Tetapi Allah di dalam kasih-Nya yang begitu besar, ternyata
bahkan memberi bukti yang sangat kongkrit dan jauh lebih mulia lagi. Ia
memberikan Anak-Nya yang tunggal bagi kita. Jika kenyataan ini tidak dapat
menggetarkan hati kita, saya tidak tahu hal apa lagikah di dunia ini yang dapat
menggetarkan hati kita yang keras dan dingin ini?
Pernahkah kita berada di dalam situasi dimana kita harus
mengorbankan sesuatu yang berharga? Uang barangkali? Atau mobil? Atau terpaksa
menjual rumah demi melunasi hutang mungkin? Bagaimana jika kita terpaksa harus
melihat anak semata wayang kita mati, sebagai akibat dari hutang kita sendiri yang terlalu besar? Anggaplah
kita berhutang kepada seorang mafia, lalu ketika kita tidak mampu membayar
hutang itu, ia menembak mati anak kita. Apakah hati kita tidak akan hancur?
Sekarang, bagaimana jika kita harus kehilangan anak kita
satu-satunya, sebagai
akibat dari hutang orang lain? Bukankah
realita ini terlalu sulit untuk dibayangkan dapat terjadi pada diri kita?
Tetapi sementara kita sulit untuk sekedar membayangkannya, Allah
kita justru telah melakukannya bagi kita. Ia merelakan anak-Nya yang tunggal
mati, sebagai akibat dari hutang dosa kita yang tidak terperikan ini.
Kasih Allah terhadap dunia bukanlah kasih yang bersifat
emosional belaka. Kasih Allah kepada dunia ini adalah suatu kasih yang
kongkrit. Sebab di dalam kasih-Nya itu, Allah telah memberikan sesuatu kepada
dunia yang Ia kasihi itu.
Seringkali di dalam dunia kita yang telah jatuh ini, kasih
dimaknai sebagai perasaan yang dalam terhadap sesuatu, atau ucapan sangat indah
yang ditujukan kepada seseorang. Tetapi menurut Alkitab, kasih yang sejati
adalah kasih yang memberi.
Apakah Allah pernah mengatakan bahwa Ia mengasihi kita? Ya,
tentu, baca saja Yeremia 31:3 dan
kita tahu bahwa Yahwe pernah berkata-kata seperti itu. Apakah kasih Allah itu
adalah kasih yang mendalam? Ya, tentu, baca saja Efesus 3:18 dan kita akan tahu
bahwa kasih Allah adalah kasih yang mendalam.
Tetapi kasih Allah tidak hanya berhenti di dalam perkataan dan
emosi yang mendalam saja. Alkitab mengajarkan bahwa kasih Allah adalah kasih
yang memberi, kasih yang berkorban, bukan demi kepentingan diri-Nya sendiri,
tetapi demi kepentingan orang lain, yaitu kita orang-orang yang ditebus-Nya
ini.
Menurut prinsip Alkitab, kita belum benar-benar mengasihi, jika kita belum pernah memberi
sesuatu yang berharga kepada orang yang kita kasihi itu. Orang yang memberi, belum tentu
merupakan orang yang mengasihi, tetapi orang yang mengasihi, pasti akan
terdorong untuk memberi.
Kiranya Tuhan menolong kita untuk dapat lebih mengasihi Dia yang
terlebih dahulu telah mengasihi kita.
Supaya
barangsiapa percaya
Di atas sudah kita renungkan bahwa kasih Allah
ditujukan kepada semua ras manusia, bukan terbatas pada satu ras saja, atau
satu bangsa saja, seperti bangsa Israel misalnya, tetapi kepada semua bangsa,
semua ras, suku dan golongan. Ada kesan general
(umum) di dalam pesan seperti ini.
Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa semua
orang di dunia pada akhirnya akan diselamatkan. Injil Yohanes dengan jelas
mengajarkan bahwa ada orang-orang yang percaya dan ada pula orang yang tidak
percaya.
Dan Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa
hanya yang percaya kepada Sang Anak saja yang akan memperoleh hidup yang kekal.
Tetapi mungkin pertanyaan yang perlu kita renungkan sekarang adalah, apa yang
dimaksud dengan “percaya” dalam ayat ini?
Istilah Yunani yang dipakai untuk kata
“percaya” di dalam Yohanes 3:16 adalah pisteuon, yang merupakan sebuah kata kerja present participle active.
Present
participle active adalah kata kerja bentuk sekarang dan mengindikasikan
suatu kegiatan yang sedang berlangsung, dilakukan secara berulang-ulang, terus
menerus, kontinual.
Ada orang Kristen yang kalau ditanya, apakah
kamu yakin bahwa kamu diselamatkan? Maka dia menjawab: ya saya yakin. Darimana
kamu bisa yakin? Aku yakin karena dulu tahun 2000 (ini contoh saja) aku pernah
angkat tangan terima Yesus masuk ke dalam hati, maka aku yakin diselamatkan.
[
Baca juga: Seperti apakah iman yang sejati itu? Klik disini]
Dalam hal ini, saya tidak ingin buru-buru mengatakan
bahwa cara berpikir semacam itu salah. Tapi saya ingin mengajak kita melihat
kembali Yohanes
3:16 yang mengajarkan bahwa percaya kepada Yesus adalah berbicara
tentang kepercayaan kita pada saat ini. Percaya kepada Yesus adalah
sebuah kata
kerja present tense, bukan
past tense.
Mungkin dulu kita pikir kita sudah percaya,
pertanyaannya adalah apakah hari ini kita masih percaya?
Mungkin dulu kita pikir kita sudah menerima
Dia masuk ke dalam hati kita, pertanyaannya adalah, apakah Dia masih ada di dalam
hati kita sekarang ini?
Mungkin dulu kita pikir kita sudah bertobat,
pertanyaannya adalah apakah kita masih bertobat juga hari ini?
Kekristenan tidak dapat disederhanakan ke
dalam formula: terima
Yesus masuk dalam hati lalu tinggal tunggu mati dan kita akan pergi ke sorga.
Coba renungkan, jika kekristenan isinya hanya seperti ini saja, Tuhan tidak
mengirimkan 39 buku Perjanjian Lama dan 27 buku Perjanjian Baru untuk kita Baca,
bukan?
Kekristenan
adalah tentang hidup bersama Yesus hari lepas hari, berjalan bersama Dia
seumur hidup, menyangkal diri dan memikul salib-Nya setiap hari.
Kekristenan
adalah tentang present tense.
(Sekarang)
Bukan
past tense. (Dulu)
Bukan
future tense. (Nanti)
Tetapi present tense. Kita tahu bahwa dulu kita benar-benar percaya
pada Yesus, jika hingga hari inipun kita masih percaya.
Kita tahu bahwa dulu kita benar-benar terima
Dia di dalam hati, jika hingga hari inipun kita masih melihat Dia bertakhta di
dalam hati kita.
Kita tahu bahwa dulu kita benar-benar
bertobat, jika hingga hari inipun kita masih bertobat.
Salah seorang tokoh Reformasi Kristen yang
terkenal, yaitu John Calvin, pernah menjelaskan prinsip semacam ini dengan istilah
Perseverance of the Saints atau
ketekunan orang-orang kudus.
Perserverance
may be defined as that continuous operation of the Holy Spirit in the believer,
by which the work of divine grace that is begun in the heart, is continued and
brought to completion (Louis Berkhof, Systematic Theology, 607)
Keselamatan adalah sebuah anugerah. Dan kita
tahu bahwa kita sudah menerima anugerah itu, apabila di dalam diri kita muncul
suatu ketekunan di dalam mengikut Tuhan.
Kekristenan
bukan: karena aku tekun maka aku terima anugerah.
Kerkristenan
adalah: karena aku telah menerima anugerah, maka tanda bahwa aku sudah
terima anugerah adalah aku kini punya kekuatan untuk bertekun.
Keselamatan adalah sebuah hidup yang baru. Dan
kita tahu bahwa kita telah menerima hidup yang baru itu, apabila di dalam diri
kita ada suatu pertumbuhan di dalam kerohanian.
Orang yang mengaku pernah terima Yesus di masa
lampau, tetapi setelah itu tidak lagi memperhatikan jalan hidupnya bersama
Tuhan, tidak lagi tekun mengikut Dia, tidak ada kerinduan untuk mendengar suara
Dia, tidak ada kerinduan untuk taat, tidak muncul suatu kebencian atau
kegelisahan terhadap dosa, tidak berminat sama sekali untuk sangkal diri memikul
salib, sangat wajar bagi orang itu untuk mulai berpikir, apakah sebenarnya aku sudah percaya kepada
Dia yang diberitakan oleh Yohanes 3:16 itu? Atau jangan-jangan
selama ini aku cuma berfantasi saja tentang ayat itu atau berfantasi saja tentang
Dia?
Ingatlah..
Pisteuon adalah
sebuah
present tense…
Kiranya Tuhan berbelas kasihan menolong kita
untuk percaya kepada Dia yang telah dikaruniakan Allah Bapa bagi penebusan
dosa-dosa kita.
Memperoleh
hidup kekal
Alkitab menjanjikan, barangsiapa percaya
kepada Anak tunggal Allah, maka orang itu tidak binasa melainkan beroleh hidup
yang kekal. Ini adalah suatu janji yang besar. Ini adalah janji yang sewajarnya
dapat menarik perhatian kita. Apalagi jika kita tahu bahwa bagi orang lain yang
memutuskan untuk tidak percaya, bukan saja tidak akan memperoleh hidup kekal,
tetapi mereka itu akan mengalami siksaan yang kekal.
Betapa kontrasnya, betapa jomplang, betapa bertolak belakangnya kondisi yang dialami oleh
seseorang sebagai akibat dari kepercayaannya kepada Sang Anak Allah itu.
Alkitab tidak mengatakan barang siapa percaya akan
mendapat hidup yang kekal.
Tetapi barangsiapa tidak percaya, akan mendapat
hidup yang
biasa-biasa saja.Alkitab tidak berkata barang siapa percaya
dapat hidup kekal.
Lalu barangsiapa tidak percaya, dapat
hidup yang
kurang sempurna atau kurang maksimal.Alkitab juga tidak berkata barangsiapa percaya
dapat hidup kekal.
Dan bagi yang tidak percaya hanya mendapat
umur yang panjang,
tetapi tidak kekal.Tidak demikian…
Perbedaan antara yang percaya dan yang tidak
percaya ternyata
tidaklah sekecil itu.
Perbedaan antara yang percaya dan yang tidak
percaya adalah antara mereka yang mendapat hidup kekal dan mereka yang mendapat
kebinasaan kekal. Betapa jauh berbeda dan betapa amat mengerikan perbedaan
tersebut, bukan?
Oleh karena itu kita dapat menyimpulkan,
betapa berharganya dan betapa mahalnya karunia iman keselamatan yang Tuhan
telah berikan kepada orang percaya itu, bukan? Itu sebabnya, kekristenan tidak pernah
mengajarkan sebuah konsep yang disebut sebagai cheap grace (anugerah murahan).
Jika
cheap
maka pasti itu bukan
grace.
Dan jika itu adalah
grace yang sejati, maka pasti hal itu tidak
cheap.
Sebab untuk memberikan
grace kepada kita, Bapa telah membayar harga yang sangat-sangat
mahal.
Jadi pilihannya adalah apakah ada
grace (kasih karunia) atau tidak ada
grace sama sekali.
Entah percaya, atau tidak percaya.
Entah hidup baru, atau tidak ada hidup baru.
Entah bertumbuh atau tidak bertumbuh sama
sekali… alias mati.
[
Baca juga: Orang Kristen harus bertumbuh atau mati. Klik disini]
Tidak ada kondisi yang berada tepat di tengah-tengahnya
secara stabil.
Percaya sih
engga, tetapi tidak percaya juga
engga.
Aku sih tidak benci sama Yesus, tetapi percaya
Dia sebagai Tuhan juga aku
ogah..
Kita tahu, tidak ada yang seperti itu di dalam
ajaran kekristenan yang sejati..
Bahkan orang yang suam-suam kuku pun akan
dimuntahkan oleh Tuhan Yesus
(Wahyu 3:16)Di bagian atas tadi, saya sudah memaparkan bahwa
orang yang berpikir bahwa dahulu kala pernah menerima Yesus, tetapi ternyata
dalam hidupnya tidak ada relasi dengan Kristus, sangat mungkin sebetulnya
memang belum mengalami kelahiran yang baru. Sebab kelahiran yang baru bukan
datang tanpa tanda-tanda.
Alkitab memang tidak mengajarkan bahwa setelah
lahir baru maka seorang manusia mendadak menjadi sempurna semua, pasti tidak.
Akan tetapi Alkitab mengajarkan bahwa orang yang telah memiliki hidup yang
baru, bukan tanpa disertai oleh tanda-tanda kelahiran yang baru tersebut.
[
Baca juga: Tujuan akhir kehidupan Kristiani. Klik disini]
Kita akan membicarakan secara lebih khusus
mengenai tanda-tanda orang percaya dalam tulisan-tulisan mendatang, tetapi
dalam kesempatan ini yang ingin saya tekankan adalah betapa besarnya anugerah
iman yang Tuhan telah berikan kepada kita.
Kita sering berpikir bahwa hadiah atau berkat
dari Tuhan itu adalah ketika tadinya tidak ada pekerjaan sekarang ada
pekerjaan, atau tadinya jalan kaki sekarang naik mobil, tadinya masih ngontrak
rumah sekarang punya rumah sendiri.
[
Baca juga: Apakah kekayaan dan kesuksesan adalah tanda diberkati Allah? Klik disini]
Tentu tidak ada yang salah melihat semua itu
sebagai berkat, itu memang berkat, dan kita tentu harus bersyukur atas pemberian
Tuhan yang demikian. Tetapi apakah kita menyadari bahwa berkat anugerah terbesar
yang Tuhan berikan kepada kita yang sesungguhnya … adalah iman kita kepada-Nya?
Mungkin ada orang yang jadi kecewa… yaah..
cuma iman toh? Padahal aku inginnya mobil, misalnya.. Tetapi pernahkah kita bertanya kepada diri
sendiri, mengapa aku bisa percaya? Sementara teman-temanku yang lain sulit
sekali untuk percaya? Kita tidak menjadi percaya karena kekuatan kita sendiri,
melainkan karena Allah berkenan memberikan iman itu kepada kita. Inilah
pemberian yang luar biasa besar bagi hidup kita.
Meskipun Yesus Kristus telah mati di kayu
salib, tetapi jika Allah tidak memberikan anugerah iman kepada kita, maka kita
pun tetap tidak diselamatkan, bukan? Kita tentu tidak berpikir bahwa mentang-mentang Yesus telah mati di
salib, maka semua orang lalu akan diselamatkan, gak peduli apakah dia percaya
atau tidak percaya, bukan?
Berkat dalam bentuk mobil, mungkin dapat
menolong kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara lebih cepat (dan
lebih nyaman), tetapi tidak bisa memindahkan kita dari alam maut kepada hidup
yang kekal. Uang seberapa banyakpun, meski datangnya dari Tuhan, tidak mungkin
memindahkan kita dari status dimurkai menjadi status diampuni. Hanya anugerah
iman ini yang menolong kita pindah, dari kebinasaan kekal menuju kepada
kehidupan kekal.
Mobil masih bisa dibeli (atau kredit dulu
tidak apa jika memang perlu), tetapi tidak ada uang seberapa banyakpun yang
dapat digunakan untuk membeli iman. Sebab iman adalah anugerah cuma-cuma dari
Bapa kita, yang telah dibayar oleh Bapa dengan darah Anak-Nya yang tunggal.
Mari bersyukur kepada Tuhan, yang telah
berbelas kasihan kepada kita, dengan memberikan kesempatan dan kemampuan untuk
percaya kepada-Nya. Dan mari, tetaplah kerjakan keselamatan kita dengan takut
dan gentar (Filipi
2:12). Soli Deo Gloria.
Barangsiapa tidak percaya
Pada
umumnya kita menganggap bahwa yang dimaksud dengan orang yang tidak percaya
adalah orang-orang lain yang ada di luar sana, entah mereka yang punya
keyakinan berbeda, entah mereka yang atheis,
tidak pernah baca Alkitab, tidak pernah datang ke gereja dan seterusnya.. dan
seterusnya..
Tentu
ada benarnya juga pandangan seperti itu, orang-orang semacam demikian memang
biasanya termasuk kelompok orang yang tidak percaya. Tetapi kalau kita baca
Alkitab lebih teliti dan lebih lengkap, ternyata persoalannya tidaklah selalu sesederhana
itu.
Orang
Farisi dan para ahli Taurat, bukan kelompok manusia yang tidak pernah baca
Alkitab, sebaliknya, mereka justru tergolong ahli di dalam pengetahuan tentang
Alkitab. Orang Farisi dan ahli Taurat bukan orang yang tidak percaya akan
adanya seorang Mesias, yaitu Dia yang diurapi dan Dia yang dijanjikan oleh
Allah.
Tetapi
ironisnya, waktu Yesus Kristus datang ke dunia, justru kelompok Farisi dan ahli
Taurat inilah yang paling gigih berjuang untuk melenyapkan Tuhan kita. Sebetulnya,
apa sih persoalan mereka?
Persoalan
mereka adalah, sekalipun mereka percaya akan adanya seorang Mesias, tetapi
mereka terlanjur membangun sendiri konsep tentang Mesias itu seperti apa. Bagi
mereka, Mesias itu adalah orang yang akan menjadi raja di Israel, Mesias adalah
sosok yang akan membebaskan mereka dari penjajahan Romawi dan akan
mengembalikan kejayaan dan kemakmuran kerajaan Israel sama seperti zaman nenek
moyang mereka, yaitu Daud dan Salomo.
Itu
sebabnya, ketika Yesus datang ke dalam kehidupan orang Farisi, dengan sosok-Nya
yang sederhana, datang dari desa kecil bernama Nazareth (desa ini tidak
tercatat sama sekali di PL), anak tukang kayu pula, gak punya militer, masuk Yerusalem pun dengan naik keledai, sudah
begitu suka menentang mereka, menjungkirbalikan meja dagangan mereka di Bait
Suci, menegor mereka sebagai keturunan iblis, mencuri simpati orang-orang
Yahudi pula…
Orang
Farisi jadi kesal dan mulai kebakaran
jenggot. “Wah.. wah.. wah… apa-apaan ini? Kita ini kan keturunan Abraham.
Kita yang pantas duduk di kursi Musa. Tapi orang ini bilang iblislah bapak kita. Kurang ajar banget! Ini pasti bukan Mesias! Ini biang rusuh namanya, mari kita lenyapkan saja orang kayak gini, daripada bikin posisi kita
jadi susah.!”
Ada
bahaya yang luar biasa besar jika kita membangun sendiri konsep kita tentang Mesias
tanpa membuka hati dan membiarkan Sang Mesias memperkenalkan jatidiri-Nya yang
sejati melalui Firman-Nya. Siapa bilang orang sekedar
percaya bahwa ada Mesias saja, otomatis pasti diselamatkan? Orang
Farisi percaya kok pada Mesias.
Tetapi orang Farisi tidak diselamatkan karena mereka hanya mau menerima Mesias
yang cocok dengan kriteria mereka saja, mereka tidak mau percaya kepada Mesias
sejati yang tidak segan-segan menelanjangi kebobrokan mereka selama ini.
Bagaimana
dengan kita? Mungkin selama ini kita pikir kita sudah percaya Yesus, tetapi
coba renungkan, Yesus macam apa yang kita percayai? Yesus yang selalu memeluk?
Yesus yang selalu menyembuhkan? Yesus yang selalu kirim uang kalau kita lagi butuh?
Yesus yang selalu berbicara lembut? Yesus yang selalu cinta damai? Yesus yang
selalu meluputkan kita dari persoalan? Yesus macam apa?
Alkitab
memang mengajarkan bahwa Yesus adalah Pribadi yang penuh kelembutan, Ia bisa mengasihi
seorang perempuan dari Samaria. Ia bisa mengampuni seorang wanita yang kedapatan
berzinah. Yesus bersedia menerima kembali Petrus yang telah mengkhianati-Nya.
Yesus masih mau memakai Paulus si pembunuh kejam itu sebagai rasul-Nya. Apakah
Yesus berhati baik, penuh kelembutan dan penuh pengampunan? Ya, tentu saja!
Tidak ada keraguan sedikitpun tentang hal itu.
Tetapi
di balik kelembutan-Nya, Alkitab juga mencatat Yesus yang datang mengobrak-abrik meja-meja di pelataran
Bait Allah. Bagaimana jika Dia datang lalu menjungkirbalikkan kehidupan kita
yang tidak berkenan di hati-Nya? Apakah kita masih mau percaya kepada-Nya?
Yesus
yang penuh kasih itu, adalah Yesus yang membentak Petrus dengan perkataan keras:
Enyahlah iblis!. Bagaimana jika suatu hari Ia berbicara keras pada kita:
Enyahlah kamu hai para pecinta uang. Enyahlah kamu hai pengajar palsu! Enyahlah
kamu hai pemalas! Apakah kita akan bertobat? Atau justru pergi meninggalkan Dia
karena tersinggung?
Yesus
yang berkhotbah panjang lebar di atas bukit itu, menolak berbicara sepatah katapun
kepada Herodes, walaupun Herodes menanyakan sesuatu kepada-Nya. Bagaimana jika
suatu hari kita berdoa kepada-Nya dan Dia diam saja seribu bahasa? Apakah kita
masih akan menaruh kepercayaan pada-Nya? Apakah kita akan introspeksi, bersabar
dan tetap menantikan Dia?
Yesus
yang hatinya penuh kedamaian itu, adalah Dia yang pernah berkata: “Aku datang
bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Bagaimana jika pedang
itu datang ke dalam keluarga kita, memisahkan kita yang percaya dari anggota
keluarga kita yang tidak percaya? Masihkah kita akan tetap memilih Dia
ketimbang keluarga kita?
Yesus
yang mencintai kita dengan kasih yang kekal itu, adalah Dia yang juga pernah
berkata: “Barangsiapa
Ku-kasihi, dia akan Ku-tegor dan Ku-hajar.” Tidak sulit membaca
kalimat seperti ini. Yang sulit adalah kalau tegoran itu diarahkan kepada diri
kita. Apa yang akan kita lakukan? Bertobat? Atau malah tersinggung dan kecewa
pada-Nya?
Mungkin
kita sering membayangkan Yesus sebagai Sang Penyembuh segala penyakit. Tetapi
pernahkah kita memikirkan, mengapa dari sejumlah besar orang sakit di kolam Betesda
itu, hanya satu saja yang Ia sembuhkan? Bukankah Dia punya kuasa? Mengapa hanya
satu orang yang disembuhkan? Apa ini gak
keterlaluan namanya?
Bagimana
jika aku juga ada di situ, terbaring sakit dan lemah tetapi Dia seperti
melewatkanku begitu saja? Ketika Covid menyerang, bukan hanya orang tidak
percaya yang jadi korban. Anak-anak Tuhan pun banyak yang terkena dampaknya dan
bahkan meninggal. “Mengapa Engkau menyelamatkan orang lain dari penyakit tetapi
tidak menyelamatkan keluargaku oh Yesus?” keluarga dari korban bisa saja
bertanya seperti ini.
Ada
saatnya Yesus mengirimkan malaikat untuk mengeluarkan Petrus dari penjara,
tetapi ada saatnya pula, ketika Tuhan seolah diam saja ketika Petrus digiring
oleh tentara Romawi untuk disalibkan. Ada saatnya Paulus luput dari berbagai
bencana, tetapi ada pula waktunya ketika Tuhan tidak menahan pedang Romawi memenggal
kepala Paulus.
Yesus
macam apakah yang kita imani hari ini?
Apakah
kita hanya mau Yesus yang memeluk, tetapi menolak Yesus yang menegor?
Apakah
kita hanya mau Yesus ketika Ia memberi kita kelepasan, tetapi menolak Dia
ketika persoalan kita tidak kunjung selesai?
Kita
tidak bisa menerima Yesus dalam gambaran yang sepotong-sepotong, sebab jika
demikian, jangan-jangan pada akhirnya kita pun jatuh ke dalam kesalahan fatal yang
dihidupi oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat itu.
Sebetulnya,
pemahaman orang Farisi tentang Mesias tidak sepenuhnya keliru. Sebab kita tahu
bahwa Mesias memang adalah raja yang berkuasa. Tetapi karena orang Farisi
menolak sosok Mesias sejati sebagaimana ditunjukkan oleh Yesus. Pada akhirnya,
mereka gagal mengenal keseluruhan Pribadi Sang Mesias yang sejati itu.
Mudah
sekali bagi kita untuk menilai orang dari kepercayaan lain sebagai orang yang
tidak percaya, sebab mereka memang jelas-jelas bukan orang yang percaya kepada
Yesus. Tetapi alangkah baiknya jika kita memakai kesempatan ini untuk bertanya
pada diri sendiri: “Apakah sesungguhnya aku sendiri sudah percaya kepada Mesias
sejati sesuai dengan yang diberitakan oleh Alkitab itu? Ataukah selama ini aku
hanya menciptakan saja gambaran tentang Mesias yang sebetulnya berbeda dengan apa
yang diberitakan oleh Alkitab?”
Kiranya
Allah sumber segala anugerah berbelas kasihan menolong kita untuk mengenal Kristus
yang sejati itu.
Telah berada di bawah
hukuman
Charles
Templeton adalah salah seorang penginjil besar yang pernah dimiliki oleh dunia
kekristenan. Ia sering pergi melakukan KKR ke berbagai tempat bersama senior
sekaligus sahabatnya, yaitu Pdt Billy Graham. Dan karena kedekatannya itulah,
banyak orang lalu menganggap bahwa Templeton ini suatu saat akan menjadi the next Billy Graham bagi dunia
kekristenan. Sungguh suatu kondisi yang sangat menggembirakan bagi kita semua,
bukan?
Akan
tetapi dalam perjalanan kerohaniannya, setelah kira-kira 20 tahun berkhotbah di
mana-mana dan bahkan setelah menyelesaikan studi teologinya di Princeton Theological Seminary, Templeton
tiba-tiba berbalik arah. Ia tidak mau lagi menjadi pengikut Kristus, dan memutuskan
untuk menjadi atheist hingga akhir
hayatnya. Salah satu karya tulis Templeton yang terkenal adalah sebuah buku yang
berjudul “Farewell to God”
(Perpisahan dengan Tuhan).
Dunia
kekristenan cukup terguncang akibat peristiwa ini dan banyak orang penasaran serta
bertanya-tanya; apa yang telah terjadi dengan seorang Charles Templeton?
Dalam
sebuah wawancara yang dilakukan oleh Lee Strobel, seorang jurnalis Kristen,
Templeton mengungkapkan alasan mengapa ia akhirnya meninggalkan Yesus Kristus
untuk selamanya. Dan jika dapat saya simpulkan dari beberapa kutipan wawancara
yang saya baca, keputusan Templeton pergi dari Yesus adalah disebabkan oleh dua
hal utama: problem of evil dan reliability of the Bible (Masalah
Kejahatan dan Masalah Keterandalan Alkitab)
Problem of evil (Mengapa ada kejahatan/bencana di
dunia ini?)
Pada
suatu hari Templeton melihat sampul majalah LIFE yang memasang foto dari
seorang wanita berkulit hitam yang sedang menggendong mayat bayi sambil matanya
menengadah ke atas langit. Bayi itu dikabarkan mati kehausan karena daerah
tempat tinggal mereka tidak turun hujan untuk jangka waktu yang lama.
Templeton
sangat terpukul sekaligus marah melihat foto tersebut. Ia marah terutama kepada
Tuhan. Dalam pikiran Templeton: “Tuhan macam apakah yang ada di atas sana, yang
tega sekali membiarkan seorang bayi mati kehausan, padahal dengan mudahnya
Tuhan Yang Mahakuasa itu dapat menurunkan hujan?”
Reliability of the Bible: (apakah
Alkitab dapat dipercaya/diandalkan?)
Templeton
merasa sangat-sangat terganggu dengan kisah Kejadian pasal 1 mengenai
penciptaan langit dan bumi. Menurut Templeton, kisah itu sangat bodoh, sangat
aneh, tidak masuk akal dan tidak patut dipercayai. Templeton jauh lebih mudah
menerima Teori Darwin yang menurutnya jauh lebih masuk akal ketimbang kisah
tentang Allah yang kelihatannya agak malas dan mudah lelah sehingga membutuhkan
istirahat pada hari ke 7 setelah menciptakan langit dan bumi.
Persoalan
yang diajukan oleh Templeton sebetulnya tidak terlalu sulit untuk dijawab,
apabila kita telah mengenal Allah kita secara pribadi. Mengapa ada orang yang
menolak kebaikan Allah yang begitu besar, hanya demi kesalahpahaman yang
sedemikian kecil seperti ini? Mengapa ia tidak belajar Alkitab dengan sungguh-sungguh
sehingga bisa memahami jawaban atas persoalan-persoalan semacam itu?
Dari
peristiwa ini, kita semakin disadarkan, betapa besar perbedaan antara orang
yang sudah dilahirbarukan dengan orang yang masih hidup di dalam kegelapan. Apa
yang bagi kita sangat jelas karena ada terang Tuhan yang menyinari, ternyata
bagi orang lain, seperti Charles Templeton misalnya, bisa sangat gelap sehingga
ia tidak dapat melihat apa-apa selain kegelapan dunia dan kejahatan Allah
(menurut pandangan dia).
Problem of evil atau problem of goodness? Seharusnya
kita tidak perlu dibingungkan oleh pertanyaan:
mengapa di dunia ini ada
kejahatan?Pertanyaan
yang lebih wajar untuk diajukan adalah:
mengapa di dunia ini masih ada
kebaikan? Dunia
tempat kita tinggal memang sudah dalam keadaan yang terhukum atau terkutuk oleh
Tuhan sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Ini adalah kondisi normal (default setting) dari dunia kita setelah
kejatuhan tersebut. Apa yang dapat kita harapkan dari dunia yang terkutuk ini
selain daripada kepedihan, kejahatan, bencana, kekacauan, kematian, kelaparan,
ketidakadilan, kesepian, kekecewaan, sakit penyakit, perang dan segala macam
keburukan lainnya?
Pertanyaan
yang harus kita ajukan bukanlah: mengapa ada bayi yang mati kehausan?
Pertanyaan
yang sewajarnya kita ajukan adalah: mengapa ada bayi di dunia ini yang masih
bisa bertumbuh sehat?
Orang
yang bertanya mengapa ada bayi yang mati kehausan, cenderung akan menyalahkan Tuhan.
Tetapi
orang yang bertanya mengapa ada bayi yang masih bisa bertumbuh sehat, akan lebih
mudah untuk bersyukur kepada Tuhan.
Cara
kita mempertanyakan kehidupan, cukup menggambarkan seperti apa kondisi
kerohanian kita di hadapan Allah.
Seorang
bapa gereja yang sangat berpengaruh, yaitu
Agustinus,
suatu kali pernah ditanya:
Mengapa bapak percaya kepada
Allah yang bisa mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau? Allah macam apa itu,
yang tega-teganya membenci Esau?
Pertanyaan
semacam ini diajukan bukan karena orang yang bertanya itu kepingin tahu atau
ingin sekali mengenal Allah. Orang yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan
semacam ini biasanya hanya bermaksud men-diskreditkan karakter Allah dan
menjadikan hal itu sebagai alasan bagi dia untuk tidak mau datang dan percaya
kepada-Nya.
Agustinus segera menjawab:Sebetulnya
saya sendiri tidak heran mengapa Allah membenci Esau.
Yang
justru membuat saya heran adalah, mengapa Allah bisa mengasihi Yakub?
Hanya
orang-orang yang hatinya telah diterangi oleh pengenalan akan Kristus melalui
Alkitab yang dapat melihat keadaan dunia ini dari sudut pandang yang benar.
Agustinus tidak ayal lagi adalah seorang tokoh Kristen yang sangat memahami
Alkitab, sehingga jawaban yang disampaikan pun sesuai dengan isi hati Tuhan
yang tertuang di dalam Alkitab tersebut.
Dunia
kita adalah dunia yang telah berada dibawah hukuman Ilahi. Jadi kalau ada
seorang bayi yang mati kehausan seperti yang dilihat oleh Templeton, seharusnya
ia tidak menyalahkan Tuhan. Seharusnya ia mempertanyakan dirinya sendiri, sudah
berapa banyak bayi di dunia ini yang ia tolong? Seharusnya ia mempertanyakan
karakter manusia, mengapa manusia begitu dingin hatinya sehingga gagal menolong
begitu banyak manusia yang juga terkena bencana kekeringan di berbagai tempat?
Seharusnya ia menelpon majalah Life dan bertanya apa yang dilakukan oleh
fotografer majalah tersebut setelah mengambil gambar si ibu yang malang? Apakah
ia sudah memberi minum? Agar ibunya tidak turut mati?
Segala
kekacauan di dunia ini bukan pertama-tama diciptakan oleh Allah. Sebab pada
mulanya Allah menciptakan segala sesuatu itu dalam keadaan baik. Manusialah
yang memberontak, dan kita manusialah yang kemudian menerima konsekuensinya.
Manusia
yang mempersalahkan Tuhan atas segala kerusakan di alam semesta ini tidak ayal
lagi adalah orang-orang yang belum ditebus, atau mungkin pula dia adalah orang
yang sudah ditebus namun karena kelemahannya ia jatuh kembali ke dalam dosa.
Jika kita mengenal seseorang yang demikian, biarlah kita berdoa untuk dia agar
ia tidak tenggelam semakin jauh di dalam kesalahannya tersebut.
Biarlah
kita mengingat perkataan Tuhan Yesus terhadap dunia yang tidak percaya ini:
Dan inilah hukuman itu:
Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan
dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Orang-orang
seperti Templeton, yang menyalahkan Tuhan atas kekacauan dunia ini, tidak punya
alasan lagi untuk berdalih (mempersalahkan Tuhan) sebab terang telah datang ke
dalam dunia. Yesus sudah melakukan sesuatu untuk dunia yang hancur dan kehausan
ini. Yang jadi persoalan adalah manusia lebih menyukai kegelapan hati mereka
daripada terang Firman Kristus, sebab jauh di dalam lubuk hati mereka yang
gelap itu, mereka memang mencintai kejahatan, bukan mencari kebenaran. Mereka
hanya pura-pura bertanya dimanakah Tuhan? Sebab jika Tuhan akhirnya menyatakan
diripun, mereka tetap tidak mau datang kepada-Nya. Mereka hanya pura-pura
bertanya: apa kehendak Tuhan? Sebab jika Tuhan menyatakan kehendak-Nya pun,
mereka tetap tidak mau taat.
Berbahagialah
kita yang oleh kebaikan Allah boleh tetap percaya kepada kasih dan kuasa
Kristus melalui berita Injil, sekalipun saat ini kita masih tinggal di dalam
dunia yang telah berada di bawah hukuman Allah karena dosa.
Kiranya
Tuhan menolong kita menemukan orang-orang yang masih hidup di dalam kegelapan
itu, untuk kemudian dibawa keluar menuju terang Kristus yang sangat mulia itu
melalui Injil yang membebaskan. Amin.