Thursday, November 29, 2007

Firman Tuhan adalah Kebenaran – Bagian 2

OLeh: Izartirta

Pada tulisan terdahulu kita telah mempelajari beberapa pokok pikiran, yaitu:

  1. Kata-kata adalah suatu sarana komunikasi antar pribadi.
  2. Kata-kata adalah sarana yang pertama-tama dipakai Tuhan untuk berkomunikasi dengan kita. (Kemudian tiba saatnya Allah berkomunikasi dengan sarana yang jauh lebih dahsyat daripada kata-kata)
  3. Firman Tuhan atau kata-kata Allah adalah ekspresi dari pikiran, emosi dan kehendak Allah yang melaluinya kita dapat mengenal jati diri Allah sebagaimana yang Ia ingin agar kita ketahui.
  4. Tanpa Allah menyatakan diri-Nya melalui kata-kata, tidak mungkin kita mengenal Dia, mengerti rencana-Nya dan mengetahui karya-Nya.
  5. Allah yang terlebih dahulu berinisiatif untuk berkata-kata pada kita.

Dalam Yohanes 17:17 ada tertulis: “Firman-Mu adalah kebenaran.” Penting sekali bagi kita untuk memperhatikan kata predikat yang digunakan dalam kalimat tersebut, yaitu: “adalah.”

Firman Tuhan adalah kebenaran. Bunyi ayat itu bukanlah: Firman Tuhan menyerupai kebenaran. Atau, Firman Tuhan mirip sekali dengan kebenaran. Atau, Firman Tuhan mempunyai banyak kesamaan dengan kebenaran. Atau, Firman Tuhan hampir mencapai kebenaran. Atau, Firman Tuhan sedang berjalan menuju pada kebenaran. Atau bahkan, Firman Tuhan adalah jalan menuju kebenaran. Tidak demikian.

Yang tertulis adalah: “Firman Tuhan adalah kebenaran.” Artinya, antara Firman Tuhan dan kebenaran tidak ada jarak sama sekali. Firman Tuhan identik dengan kebenaran. Firman Tuhan = kebenaran.

Sebagai perbandingan, kita manusia tidak dapat diidentifikasikan sebagai kebenaran. Kita sedang mencari kebenaran, itu bisa. Kita sedang berada di jalan kebenaran, itu boleh juga. Kita mengatakan kebenaran, oke. Kita melakukan kebenaran, bisa diterima. Tetapi saya atau anda adalah kebenaran? Tidak mungkin.

Kita manusia adalah peta dan teladan Sang Kebenaran, oleh karena itulah di dalam diri kita selalu ada kehausan akan kebenaran. Kita tidak pernah puas dengan apa yang telah kita ketahui, kita selalu ingin mengetahui lebih dan kita selalu ingin mencari kebenaran di balik segala sesuatu. Kita tidak suka dibohongi, diberi informasi keliru atau ditipu. Sekalipun kita sendiri bukan kebenaran, tetapi kita senantiasa haus pada kebenaran. Contohnya atau ciri-cirinya?

Pada waktu kecil, kita selalu bertanya tentang segala sesuatu.[1] Kita selalu tertarik untuk mengetahui sesuatu yang baru. Dan sifat ini tentu tidak berhenti hanya pada usia dini saja[2] melainkan terus bertumbuh seiring dengan pertambahan usia. Akan tiba waktunya, mereka tidak lagi bertanya-tanya pada kita melainkan tertantang untuk mencari jawabannya sendiri. Mereka mulai suka menyelidiki segala sesuatu serta mencoba segala sesuatu. Jangan matikan hasrat mereka, awasi saja agar terhindar dari hal-hal yang dapat membahayakan mereka. Apa yang terjadi pada mereka di usia muda hanyalah suatu meterai kebenaran Firman Tuhan yang mengajarkan bahwa kita adalah peta dan teladan Allah.

Kita manusia tidak pernah merasa cukup belajar sesuatu sampai pada tingkat tertentu saja, melainkan mau terus belajar seumur hidup kita. Dari SD, kita lanjutkan ke SMP, lalu di SMU lalu masuk Perguruan Tinggi. Tidak cukup sampai S1, kita ingin ke S2, S3 atau apapun tingkat tertinggi yang masih mungkin dicapai. Atau, jikapun gelar akademis berhenti di satu tingkat, S1 misalnya, karena alasan biaya atau kesibukan atau lainnya, kita tetap tidak berhenti untuk mempelajari sesuatu. Bangku sekolah bukanlah akhir dari proses belajar tetapi justru tahap yang awal sekali. Kelak kita masuk dalam dunia pekerjaan atau usaha yang juga membuat kita terus berhasrat untuk mempelajari atau mengetahui sesuatu. Andrias Harifa mengatakan: Belajar adalah manusiawi. Dia benar, tapi mungkin belum lengkap sekali. Mengapa kita belajar? Karena dalam diri kita masing-masing ada kapasitas untuk dipuaskan oleh kebenaran.

Kita manusia mungkin akan berhenti dari proses belajar secara formal di sekolah, pada umumnya kita memang demikian, tetapi bukan berarti hasrat kita pada kebenaran berhenti. Buktinya? Setiap pagi kita mencari surat kabar atau majalah atau mendengar berita di televisi dan radio. Kita melakukan hal itu, karena sifat kita yang selalu ingin mengetahui kebenaran apa yang sedang terjadi saat ini. Beberapa waktu yang lalu saya berusaha untuk menonton pertandingan Brasil melawan Perancis, tapi sayang sekali baru beberapa saat menonton saya tertidur. Esoknya, saya penasaran sekali untuk mencari berita tentang apa yang terjadi semalam. Dan tidak cukup mengetahui siapa yang menang dan berapa skornya, saya juga penasaran mengetahui komentar orang-orang tentang permainan tersebut. Demikianlah kita manusia, selalu haus untuk mencari tahu tentang segala sesuatu, apa saja sampai segala kebenarannya menjadi jelas.

Sampai dengan hari ini, sudah berapa banyak buku yang anda baca? Puluhan, ratusan atau bahkan ribuan? Sampai kapan anda akan terus begitu? Mengapa demikian? Kita tidak mungkin berhenti membaca buku (kecuali jika anda memang benci sekali membaca dan lebih suka menonton). Tidak peduli sudah berapa ribu buku yang anda pegang (cuma pegang, belum tentu dibaca lho) anda akan terus tertarik jika muncul buku baru. Sifat kebenaran dalam diri anda tidak akan mengizinkan anda untuk berhenti berburu kebenaran dan terus mengupas kebenaran di dalamnya.

Tidak peduli sudah berapa lama suatu kejadian berlangsung, kita manusia masih saja suka mencari kebenaran di masa yang berbeda. Sementara beberapa orang tertarik untuk mencari kebenaran di masa depan, beberapa orang tersedot perhatiannya untuk mempelajari sejarah-sejarah kuno. Kita membaca buku-buku yang ditulis ribuan tahun lalu, kita menggali kerangka dinosaurus dan seolah meminta dia bercerita tentang apa yang terjadi pada dirinya di masa lalu. Kita memandang bintang dan mencoba membuat perhitungan tentang apa yang mungkin akan terjadi di masa depan. Kita menganalisa segala sesuatu mulai dari angka-angka matematika, harga saham, kesukaan lawan jenis sampai peta kekuatan kesebelasan yang terlibat dalam World Cup. Kita ingin tahu berapa prosenkah jumlah orang Kristen di Indonesia, kita ingin tahu apakah sebaiknya invest di saham atau deposito ataukah emas, kita ingin tahu apakah dengan bunga mawar ataukah dengan coklat si dia akan jatuh hati dan kita ingin tahu apakah Zidane atau Del Piero yang akan keluar lapangan sambil ketawa-ketiwi. (Paling tidak ketika tulisan ini dibuat, saya belum tahu).

Demikianlah kita manusia yang bagaikan “kerasukan” terus dihantam oleh dahaga keingintahuan yang seolah tak berujung. Waktu dan tempat tidak pernah dapat membatasi hasrat manusia. Betapa luarbiasanya potensi yang Tuhan tanamkan pada diri manusia. Potensi sebesar ini tidak mungkin ditemukan dalam makhluk apapun di bumi kecuali manusia.[3]

Meskipun demikian, tetap ada jarak antara manusia dengan kebenaran. Manusia bukanlah kebenaran itu sendiri. Contohnya? Ketika kecil, anda berkata :”Kalau sudah besar nanti saya mau jadi pilot.” Nyatanya setelah dewasa anda tidak menjadi pilot. Anda mungkin pernah berkata: “Saya akan ke gereja besok pagi.” Nyatanya, jangankan ke gereja pagi-pagi, bangunpun tidak. Dulu orang berharap: “Kalau si Anu yang jadi Presiden, kita pasti makmur.” Nyatanya? Dulu ada seorang pemimpin muda yang luar biasa hebatnya. Orang menyebut dia sebagai Alexander Agung. Ia mempunyai visi yang besar terhadap kerajaannya dan terus menaklukkan berbagai bangsa untuk memenuhi visi tersebut. Nyatanya, ia mati muda dan kerajaannya segera hancur terpecah-pecah begitu ia tidak ada lagi. Apa yang diekspresikan oleh manusia bukanlah kebenaran mutlak.

Di dalam Alkitab hanya ada empat hal yang diidentikkan sebagai kebenaran mutlak. Pertama tentunya adalah Allah Bapa. Tuhan Yesus di dalam Yohanes Pasal 4 menyuruh kita menyembah Dia dalam kebenaran karena Dialah sumber dari segala kebenaran bahkan Dialah kebenaran itu sendiri. Kedua adalah Yesus Kristus seperti yang secara tegas dikatakan dalam Yohanes 14:6. Ketiga adalah Roh Kudus (1 Yoh 5:6). Dan keempat adalah Firman Tuhan (Yoh 17:17). Tidak ada lagi yang lain.

Jika kita lihat poin-poin di atas, kita tahu bahwa hanya Allah yang dapat diidentikkan sebagai kebenaran mutlak. Bapa, Yesus dan Roh Kudus jelas adalah kesatuan karena masing-masing adalah tiga Pribadi Allah Tritunggal. Sedangkan Firman Tuhan jelas dapat diidentikkan dengan kebenaran karena Firman[4] tidak lain adalah ekspresi dari pikiran, emosi, kehendak dan jati diri dari Allah Tritunggal. Mengapa demikian? Sebab ada beberapa sifat atribusi (atribute) atau dapat pula dikatakan kualitas yang harus dimiliki oleh suatu Pribadi untuk dapat dikatakan sebagai kebenaran mutlak, yaitu: mahatahu, mahakuasa, mahakudus dan kekal.[5]

Mahatahu

Kita manusia bukanlah makhluk yang mahatahu. Bahkan dapat dikatakan pengetahuan kita terhadap keseluruhan realitas di alam semesta hanya sedikit saja. Jangankan untuk mengetahui sesuatu yang ada di luar diri kita, sesuatu yang nyata-nyata ada di dalam diri kita pun belum tentu kita mengetahuinya. Dari segi fisik misalnya, kita tidak senantiasa segera mengetahui apa yang terjadi pada tubuh kita ketika suatu penyakit menyerang. Bahkan dokter yang diperlengkapi dengan teknik dan keterampilan dalam memeriksa pun tidak jarang keliru dalam mendiagnosa suatu penyakit. Dari segi spiritual atau kehidupan batiniah bahkan jauh lebih rumit lagi, ada terlalu banyak hal yang kita sendiri tidak mengerti mengapa kita melakukan atau memikirkan atau merasakan sesuatu. Apalagi jika berbicara tentang realitas spiritual yang ada di luar diri kita. Singkatnya, kita manusia sungguh-sungguh terbatas dalam pengetahuan. Kita sama sekali jauh dari sifat mahatahu, mendekati pun tidak.[6] Hanya manusia yang terlalu sombong dan tegar tengkuk saja yang merasa dirinya mengetahui segala sesuatu sehingga berusaha menggantikan posisi Allah.

Karena kita ini tidak mahatahu, maka kata-kata kita pun sangat mudah melenceng dari kebenaran. Ada jarak antara kata-kata kita dengan kebenaran. Ingatkah anda pada peristiwa-peristiwa ketika perkataan anda ternyata keliru, tidak seperti yang diucapkan, karena adanya faktor-faktor di luar pengetahuan kita yang terjadi diluar perhitungan?

Hal semacam ini tidak berlaku bagi Firman Tuhan. Karena Firman Tuhan adalah ekspresi dari Allah Tritunggal yang Mahatahu, maka segala ucapan yang ada di dalamnya tidak mungkin tidak benar. Allah yang Mahatahu artinya Allah yang memiliki pengetahuan yang sempurna, lengkap dan melampaui segala jaman. Tidak ada sesuatu yang ada dari segala yang ada yang tidak diketahui oleh Allah. Tidak seperti kita yang sering gagal bahkan untuk mengenali diri sendiri, Allah memiliki pengetahuan yang lengkap tentang diri-Nya.

Jemaat sekalian, kita akan meneruskan pembahasan tersebut dalam tulisan mendatang. Tuhan memberkati .



[1] Saya tahu persis hal ini karena paling tidak kedua anak saya berkelakuan demikian. Mereka terus menyerbu orang tuanya dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti. Lalu saya juga menerima laporan serupa dari orangtua-orangtua yang saya kenal. Dan saya juga bertanya pada orang tua saya, apakah dulu saya demikian. Walaupun belum semua orang yang saya kenal pernah saya tanyakan mengenai hal ini, tapi saya yakin bahwa memang inilah natur dari anak-anak balita. Bagaimana menurut anda?

[2] Kecuali jika mereka sering dicela atau dimarahi karena terlalu banyak bertanya. Saya menghimbau untuk para orang tua muda seperti saya untuk jangan sekali-kali mematikan rasa ingin tahu anak-anak kecil. Jawablah semua pertanyaan mereka sebaik dan semampu anda. Itu tekad saya dan itu yang kami lakukan pada anak kami. Tentu saja untuk itu kita juga sedikit banyak dituntut untuk terus belajar mengerti banyak hal dan belajar untuk menerangkan segala sesuatu pada mereka. Lakukan apa saja, pokoknya jangan biarkan rasa ingin tahu mereka mati karena kemalasan kita.

[3] Padahal ini baru pokok pikiran yang kecil saja dari keseluruhan makna manusia yang dicipta menurut peta dan teladan Allah.

[4] Dalam tulisan ini saya masih membedakan antara Yesus sebagai Pribadi dengan Firman Tuhan. Kelak akan kita bahas pula mengapa Yesus pun disebut sebagai Firman (Logos).

[5] Tentu saja atribute Allah bukan hanya terbatas pada empat sifat tersebut, tetapi setidaknya empat sifat inilah yang secara langsung terlihat paling jelas berhubungan dengan sifat kebenaran mutlak.

[6] Itu sebabnya Alkitab berkata: Orang bebal berkata dalam hatinya “Tidak ada Allah” (Mzm 14:1). Karena bagaimana mungkin manusia mengatakan kata-kata seperti itu, sementara dalam keterbatasan pengetahuannya manusia tidak mungkin mampu membuktikan ketiadaan Allah? Jadi orang semacam itu sudah menyimpulkan sesuatu yang tidak diketahuinya dengan pasti, tidak heran ia disebut bebal.