Thursday, April 11, 2024

Bagaimana manusia diselamatkan oleh Tuhan?

 

Bagaimana manusia diselamatkan oleh Tuhan?

Kebutuhan manusia yang terbesar adalah diselamatkan dari kebinasaan karena murka Ilahi atas dosa-dosanya. Itu sebabnya di atas kayu salib, Tuhan Yesus berdoa: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."... (Lukas 23:34)

Tetapi kita kemudian bertanya, bagaimana manusia diselamatkan? Apakah kita akan benar-benar melihat Tuhan di angkasa yang mengulurkan tangan untuk menyelamatkan kita? Ataukah kita akan melihat semacam surat pengampunan yang turun dari sorga dengan dibubuhi tanda tangan dari Tuhan sendiri?

Tentu saja cara Tuhan menyelamatkan kita dari murka Ilahi bukanlah melalui cara-cara fantastik yang terlihat sangat spektakuler di dalam dunia jasmani seperti itu. Tuhan menyelamatkan kita pertama-tama dengan memberi kita suatu kelahiran baru yang bersifat spiritual. Tuhan Yesus pernah berkata pada Nikodemus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. 6 Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh." (Yohanes 3:5-6)

Semua manusia yang hidup di atas bumi saat ini adalah makhluk hidup yang dilahirkan secara jasmaniah oleh orang tua masing-masing yang juga memiliki sifat jasmaniah. Atau dalam bahasa Injil Yohanes, "yang dilahirkan dari daging adalah daging."

Tetapi disamping kelahiran jasmaniah tadi, Tuhan Yesus mengajarkan pula ada jenis kelahiran lain, yaitu kelahiran secara rohaniah atau spiritual. Dan, sekali lagi, menurut Tuhan Yesus, hanya Roh Kudus yang bisa melahirkan manusia secara rohaniah tersebut.

Kelahiran yang bersifat jasmaniah, dapat dilihat oleh mata jasmaniah. Tetapi kelahiran yang bersifat rohaniah, hanya dapat dilihat oleh mata rohaniah. Perubahan yang berkaitan dengan kelahiran rohaniah itu terjadi pertama-tama di dalam diri orang itu, yaitu ketika hatinya berubah, cara berpikirnya berubah, perasaannya berubah dan kehendaknya pun mengalami perubahan. Barulah kemudian perubahan itu merambah keluar dari diri seseorang dalam wujud, perkataan, tindakan atau perbuatan.

Sebagaimana proses kelahiran seorang bayi secara jasmaniah, yang dapat dikatakan tidak melibatkan peran aktif si bayi untuk memutuskan mau lahir ke dunia atau tidak, tidak bisa memutuskan mau lahir dimana, di tengah keluarga seperti apa, mau punya warna kulit, jenis rambut seperti apa, demikian pula orang yang dilahirkan oleh Roh Kudus. Mereka pasif dalam arti, tidak bisa melahirkan dirinya sendiri, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, dan bahkan tidak tahu kapan atau melalui peristiwa apa Tuhan akan melahirbarukan orang itu.

Kita hanya tahu seorang bayi sudah lahir dalam keadaan hidup ke dunia, ketika kita melihat ia bergerak-gerak dan menangis. Demikian pula kita tahu bahwa seseorang sudah lahir baru secara rohani ketika kita melihat gerakan hidup kerohanian yang semakin seirama dengan irama Tuhan, semakin satu emosi, satu kehendak dan satu pikiran dengan Tuhannya.

Berkaitan dengan peristiwa kelahiran baru, kita akan membahas dua istilah penting, yaitu monergisme dan sinergisme.

Antara monergisme dan sinergisme

Monergisme artinya suatu pekerjaan yang diupayakan hanya oleh satu pihak saja. Sedangkan sinergisme artinya suatu pekerjaan yang diupayakan oleh dua pihak atau lebih secara bersama-sama.

Dalam konteks karya keselamatan Allah bagi manusia, pertanyaannya adalah: Apakah manusia diselamatkan secara monergisme ataukah secara sinergisme?

Untuk menjawab hal ini, sebenarnya dapat dikatakan bahwa kita tidak bisa membuang begitu saja konsep yang satu dan semata-mata membuang konsep yang lain, sebab dalam konteks keselamatan manusia kedua konsep tersebut sama pentingnya untuk diperhatikan.

Kapankah konsep monergisme berlaku dalam proses keselamatan kita?

Kita dapat mengatakan bahwa manusia diselamatkan secara monergisme pada saat kita belum dilahirbarukan oleh Roh Kudus. Sebab tanpa adanya sebuah kelahiran baru, maka di hadapan Tuhan pada dasarnya kita ini adalah mati, yaitu terputusnya hubungan atau relasi dengan Allah.

Secara Alkitabiah, ketika manusia tidak memiliki relasi lagi dengan Tuhan, maka manusia itu disebut telah mati di hadapan Tuhan. Sekalipun orang itu masih bernafas, masih sehat, masih bisa bekerja dan berkarya, orang tersebut tetap dikategorikan sebagai orang mati, ketika hubungan yang baik dengan Tuhan terputus. 

Darimana kita tahu konsep mati menurut Alkitab, seperti yang saya jabarkan di atas? Dari kisah Adam dan Hawa. Pada hari Adam dan Hawa memakan buah terlarang, mereka pada hari itu juga mereka disebut telah mati, yaitu diusir dari Taman Eden, dari hadapan Tuhan. Secara fisik Adam dan Hawa masih hidup, masih sehat, masih bisa bekerja. Satu-satunya indikasi bahwa mereka disebut sudah mati adalah bahwa mereka terusir dari hadapan Allah.

Orang yang mati, tentu tidak bisa hidup kembali dengan sendirinya. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi mereka untuk dapat berespon terhadap panggilan Allah. Dalam keadaan seperti inilah, Tuhan perlu memberi kehidupan baru kepada manusia. Sehingga kita lihat disini bahwa Tuhan berperan secara aktif, memberi, menghidupkan, menganugerahkan, melahirbarukan manusia. Sementara manusia, dalam hal ini berperan secara pasif, yaitu menerima, dihidupkan, dianugerahkan, dilahirbarukan dan seterusnya. Tidak ada peran atau perbuatan apapun yang diperlukan oleh Tuhan dari sisi manusia di dalam peristiwa kelahiran baru ini. Semuanya adalah karena dasar anugerah semata-mata. Dan konsep kepasifan manusia ini dapat dibandingkan pula dengan kelahiran jasmaniah seorang bayi. Semua yang terjadi adalah akibat tindakan atau perbuatan orang lain, bukan tindakan si bayi tersebut.

Melalui konteks sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam paragraf-paragraf di atas, kita mendapat suatu konsep ajaran bahwa manusia diselamatkan secara monergisme. Dimana Allah yang aktif bertindak, sedangkan manusia bersifat pasif sehubungan dengan ketidakmampuannya untuk bertindak (manusia dalam keadaan mati).

Konsep ajaran seperti monergisme ini hanya dapat kita temukan di dalam Alkitab. Semua ajaran lain tentang keselamatan manusia, selalu diawali dari inisiatif manusia untuk membeli perkenanan Allah melalui amal ibadah, berbuat kebajikan, memberi sedekah dan lain sebagainya. Mereka yang tidak belajar dari Alkitab tidak pernah mengerti bahwa manusia tidak akan mampu membeli perkenanan Allah. Manusia adalah makhluk berdosa sedangkan Allah adalah Dia yangbMahasuci. Apa yang bisa dilakukan manusia yang kotor untuk membuat Allah yang mahasuci mau menerima perbuatan baik orang itu sebagai semacam tiket masuk ke sorga? Jawabannya adalah tidak ada perbuatan apapun yang manusia bisa lakukan untuk membayar hutang dosa dan untuk membeli perkenanan Allah.

Perlu ada inisiatif dari Allah untuk memulai sebuah pekerjaan baik, yaitu karya keselamatan yang dikerjakan di dalam Yesus Kristus dan kemudian diberikan sebagai anugerah, suatu pemberian cuma-cuma bagi orang-orang yang tidak layak tersebut.

Jadi, kapankah konsep monergisme berlaku dalam peristiwa keselamatan kita? Waktu Tuhan melahirbarukan diri kita ke dalam kerajaan-Nya. Kita yang tadinya mati, kini diberi kehidupan baru. Kita yang tadinya tinggal di alam maut, kini dipindahkan ke dalam dunia orang hidup dimana Tuhan Yesus menjadi Raja.

Kapankah konsep sinergisme berlaku dalam proses keselamatan kita?

Sinergisme artinya ada kerjasama dari dua belah pihak. Ini peristiwa susulan yang terjadi segera konsep monergisme tadi terjadi. Mengapa harus ada dua konsep ini bekerja bersama-sama? Sebab keselamatan kita yang menyeluruh itu, ada aspek satu kali (one time action), tetapi ada aspek repetisi atau berkelanjutannya juga (continously). Ada aspek sudah, tetapi ada aspek belumnya juga. Ada aspek diberi kehidupan, lalu ada aspek menjalankan kehidupan yang telah diberikan itu. Ada aspek keselamatan, ada aspek mengerjakan keselamatan itu sendiri.

Model karya keselamatan yang seperti inilah yang sering keliru dipahami oleh manusia, sebagai akibat mereka tidak membaca Alkitab. Sehingga manusia sering jatuh kepada gagasan ekstrim yang tidak diajarkan oleh Alkitab.

Ketika Alkitab mengajarkan bahwa kita diselamatkan oleh anugerah; manusia malah berpikir bahwa keselamatan adalah sesuatu yang bisa dikejar melalui perbuatan baik, amal ibadah, sedekah dan puasa. Tentu saja pikiran manusia salah, Alkitablah yang benar.

Ketika Alkitab mengajarkan bahwa kita tetap harus mengerjakan keselamatan yang sudah diberi oleh Tuhan, ketika Alkitab mengajarkan bahwa kita harus menghasilkan buah, harus taat pada perintah Tuhan; manusia malah berpikir bahwa yang terpenting sudah pernah mengaku percaya, setelah itu tidak ada lagi aturan yang mengikat, tidak ada lagi tanggungjawab, tidak ada lagi tuntutan apa-apa. Tentu saja pikiran manusia salah, Alkitablah yang benar.

Pertanyaan kita sekarang adalah, bagaimana model kerjasama antara Tuhan dan manusia yang sudah diselamatkan?

Konsep sinergisme yang kita dapatkan dari prinsip Alkitab adalah bahwa di satu sisi Allah sepenuhnya memberi anugerah kepada manusia, sementara di sisi lain, manusia juga sepenuhnya bertanggungjawab untuk mengerjakan keselamatan yang dianugerahkan itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa konsep sinerginya bukan 50:50, melainkan 100:100 dalam arti saling mengisi sepenuhnya.

Konsep seperti ini bukan hal yang asing di dalam pemikiran Kristen. Kita belajar bahwa Alkitab yang kita miliki adalah kumpulan kitab yang 100% ditulis oleh Allah, tetapi juga 100% ditulis oleh manusia. Atau ketika kita bicara tentang dwi natur Kristus, kita juga menerima sifat Pribadi Tuhan Yesus sebagai 100% Allah dan 100% Manusia.

Sinergisme dapat kita temukan di dalam karya keselamatan, yaitu ketika keselamatan dipahami sebagai 100% karya Roh Kudus, tetapi juga 100% merupakan respon manusia. Ketika dikatakan bahwa "barangsiapa percaya, tidak binasa" maka kita tahu bukan Roh Kudus yang percaya kepada Tuhan Yesus, melainkan manusialah yang harus percaya kepada-Nya.

Sinergisme dapat kita temukan juga di dalam kehidupan Kristen melalui proses pengudusan, yaitu bahwa di satu sisi Tuhan bekerja untuk menguduskan kita, tetapi di dalam proses itu, manusia pun di sisi lain juga bertanggungjawab untuk menjaga kekudusan hidupnya di hadapan Tuhan.

Barangkali kita dapat pula memahami sinergisme di dalam kerangka hubungan antara kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia (The Sovereignty of God and the Freedom of the will), dimana di satu sisi Allah menetapkan apa yang menjadi kehendak-Nya sedangkan di sisi lain manusia juga bertanggungjawab untuk menyelaraskan kehendak bebasnya dengan ketetapan Ilahi. Meskipun Allah 100% berdaulat, manusia juga diberi 100% ruang untuk menjalankan kehendaknya.


Apa itu orang benar? 

Orang benar adalah orang yang bisa melihat kebenaran Tuhan melalui Injil.Lalu berhenti mempertanyakan kebenaran Tuhan. Orang yang memojokkan dan menghakimi Tuhan pasti bukan orang benar. Orang yang hidup oleh iman, berarti orang itu sadar bahwa Ia tidak benar. Lalu hidup dengan setia bergantung pada kesetiaan Tuhan. Kalau kita belum apa-apa sudah merasa diri sebagai orang benar. Maka ironisnya pada saat itu kita bukan lagi disebut orang benar. 

Ketika kita berdoa agar orang menerima Tuhan Yesus, Maka maksudnya adalah kita minta tolong agar Tuhan tidak mengeraskan hati orang itu. Keselamatan orang itu bukan tergantung pada doa kita. Bukan tergantung pada dirinya sendiri yang tidak mengeraskan hati. Hanya Tuhan yang bisa mengubah hati yang keras, menjadi lembut untuk menerima Injil. Hanya Tuhan yang tahu berapa panjangnya mata rantai yang harus dilalui seseorang sebelum akhirnya ia diselamatkan. Mungkin Tuhan menetapkan ada 13 penginjil lebih dulu baru orang itu selamat. Siapa tahu kita ini baru orang ke 6 atau ke 7, sehingga ketika Injil disampaikan, orang itu tidak berespon. Tetapi belum tentu memang dia tidak akan berespon selamanya. Ada orang yang baik tetapi tidak percaya. Sedangkan ada juga orang yang kelihatannya jahat tetapi ia bisa percaya. Inipun hanya Tuhan yang tahu, karena orang yang kelihatannya baik mungkin saja dimata Tuhan ternyata dia itu sombong. Dan orang yang kelihatannya jahat, ternyata di tangan Tuhan memiliki hati yang gembur Sehingga ia bisa dibentuk dan akhirnya siap menerima anugerah Tuhan. Salah satu aspek yang penting dari Injil adalah kehidupan orang Kristen yang berpadanan dengan Injil. Sebab banyak orang di dunia ini yang merasa kecewa atas perbuatan kita, bukan atas iman kita. Orang yang sudah percaya, seharusnya ada kegelisahan ketika orang itu tidak hidup di dalam kebenaran. Orang yang bisa hidup tenang di dalam dosa., mungkin sekali ia sebetulnya belum menjadi orang percaya.

Tuesday, April 2, 2024

Tantangan yang dihadapi Rasul Paulus di dalam jemaat Roma


Tantangan yang dihadapi Paulus di Roma

Mengapa Paulus menulis surat kepada jemaat Roma? 

Kita tahu bahwa setiap penulis Penjanjian Baru tergerak untuk menyampaikan sesuatu kepada jemaat, karena mereka melihat ada persoalan di dalam jemaat.

Para rasul menyampaikan ajaran kepada jemaat bukan karena mereka terlalu banyak waktu luang sehingga mencoba mengisi waktu dengan mengajar. Para rasul juga bukan mengajar karena mereka ingin mendapatkan uang. Para rasul itu mengajar dan menulis surat kepada jemaat karena mereka mengasihi Tuhan dan mereka melihat bahwa jemaat yang dikasihi Tuhan itu sedang membutuhkan pertolongan, agar mereka tidak sesat dan pada akhirnya meninggalkan Tuhan.

Jemaat Roma yang berasal dari keturunan Yahudi merasa kecewa melihat sikap Tuhan yang seolah-olah lebih memberkati orang Kristen yang bukan berasal dari keturunan Yahudi seperti orang Romawi dan orang Yunani misalnya.

Mengapa jemaat Roma yang keturunan Yahudi itu merasa kecewa? Mereka merasa kecewa sebab melihat jumlah mereka yang semakin menyusut, kalah dibandingkan dengan jumlah jemaat Kristen yang non-Yahudi tadi. Orang Kristen Yahudi yang sebelumnya mayoritas, kini menjadi minoritas sebagai akibat dari diusirnya mereka dari Roma oleh Kaisar Klaudius (Kis 18:2).

Dalam anggapan mereka, bukankah orang Yahudi adalah bangsa pilihan Allah, dan bukankah sebagai orang Kristen pun mereka adalah umat pilihan Allah juga? Mereka melihat diri mereka sangat istimewa, bangsa pilihan Allah dan umat pilihan Allah sekaligus. Di atas bumi tidak ada golongan manusia yang begitu istimewa seperti ini, bukan?

Oleh karena itu, mereka kemudian bertanya-tanya, mengapa mereka harus mengalami kondisi yang agak memalukan seperti itu? Mengapa Tuhan menambah jumlah orang Kristen dari keturunan lain, tetapi membiarkan orang Kristen keturunan Yahudi malah menyusut dan jadi minoritas di Roma? Mengapa Tuhan bersikap pilih-pilih kasih seperti ini?

Demi mengajar jemaat Yahudi yang seperti inilah Paulus menulis surat Roma, agar jemaat di tempat itu berhenti menyalahkan Tuhan dan kembali melihat segala sesuatu dari perspektif yang benar, yaitu perspektif Tuhan semata-mata. Jemaat Kristen Yahudi di Roma harus melihat siapakah Kristus, siapakah diri mereka dan siapakah orang Kristen lain di hadapan Tuhan. Sehingga dengan demikian mereka bisa berhenti melihat diri sendiri terlalu istimewa hingga meremehkan orang lain dan bahkan sampai berani menyalahkan Tuhan pula.

Merasa istimewa dan merasa lebih baik daripada orang lain

Jemaat Yahudi di Roma merasa lebih istimewa karena mereka mempunyai Taurat, sementara bangsa-bangsa lain tidak. Taurat yang sesungguhnya merupakan pemberian yang berharga dari Tuhan, kini disalah mengerti oleh orang Yahudi sebagai suatu identity marker, yang membuat mereka seolah lebih istimewa dari bangsa lain.

Atas kekeliruan itu, rasul Paulus memberi penjelasan bahwa Taurat memang berharga sebab Taurat adalah Firman Tuhan, dan bahwa bangsa Israel pun adalah orang yang berharga di mata Tuhan sebab kepada bangsa inilah Tuhan telah mempercayakan Firman-Nya.

Akan tetapi bangsa Israel seharusnya sadar, bahwa Taurat itu diberikan dengan tujuan untuk dibaca, diajarkan kepada orang lain dan untuk ditaati. Taurat tidak dimaksudkan untuk dipakai sebagai alat kebanggaan, apalagi sampai menjadi sarana untuk menjelek-jelekkan orang lain yang tidak menerima Taurat. Seharusnya, jika bangsa Israel sadar bahwa hanya kepada mereka Taurat telah diberikan, maka mereka juga sadar akan tanggungjawab untuk mengajar bangsa lain, memperkenalkan siapakah Tuhan yang sejati kepada bangsa lain.

Seharusnya bangsa Israel sadar bahwa keistimewaan mereka bukan terletak pada diri mereka sendiri, melainkan terletak pada Pribadi Tuhan yang mau memilih bangsa ini sebagai alat untuk memperkenalkan Diri-Nya pada dunia. Seharusnya bangsa Israel menerima status itu sebagai tanggungjawab yang harus dipikul. Sepatutnya bangsa Israel menjadi rendah hati di hadapan Tuhan, bukan malah menjadi sombong seperti itu.

Semua orang adalah orang berdosa di hadapan Tuhan

Di hadapan Tuhan, orang yang tidak diberikan Hukum Taurat, adalah orang berdosa, sebab kepada mereka telah diberikan hati nurani. Mereka bersalah karena sekalipun nurani mereka tahu apa yang benar dan apa yang salah, mereka telah memilih apa yang salah dan apa yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.

Tetapi disisi lain, bangsa Yahudi sebagai bangsa yang punya Taurat, juga merupakan bangsa yang berdosa, sebab sekalipun mereka memiliki Taurat, mereka ternyata tidak taat pada Taurat itu. Oleh karena itu, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi semua sama-sama berdosa di hadapan Tuhan.

Inilah yang disebut sebagai universal unrighteousness atau universal sinfulness. Tidak ada seorang pun yang benar, sehingga tidak ada satu orang pun yang pantas mempertanyakan keadilan Tuhan. Sebab mempertanyakan tindakan Tuhan sama saja seperti mau menjadi hakim atas Tuhan. Sehingga seharusnya orang itu adalah sama benar atau bahkan lebih benar dari Tuhan. Faktanya, orang-orang seperti itu justru semakin berdosa di hadapan Tuhan.

Karena semua orang telah berdosa, dan sedang kehilangan kemuliaan Allah, maka semua orang pada dasarnya layak mendapat hukuman dari Tuhan. Bangsa Israel tidak patut merasa menjadi orang benar, sebab orang yang benar tidak akan mempertanyakan Tuhan, apalagi sampai menuduh Tuhan telah berlaku tidak adil. Orang yang benar seharusnya bersikap setia dan bergantung pada kesetiaan Tuhan.

Kesetiaan Tuhan dinyatakan melalui Injil-Nya.

Apa itu kesetiaan Tuhan? Kesetiaan Tuhan pada manusia yang berdosa adalah injil. Atas keberdosaan manusia, Tuhan akan memperlihatkan keadilan-Nya. Tetapi keadilan Tuhan dalam hal ini adalah Injil, dan bukan hukuman. Di dalam Injil itu nyata kebenaran Allah. Meskipun manusia tidak adil, berdosa, tetap Tuhan berkenan menyatakan kebenaran-Nya yaitu Injil baik bagi orang yang punya Taurat, maupun yang tidak punya Taurat.

Jadi Injil itu bukan hanya tentang jawaban bagi orang yang tidak yakin akan keselamatannya. Luther memang sempat bergumul di dalam keyakinan apakah Tuhan akan menyelamatkan atau tidak. Lalu kitab Roma ini membuat ia yakin. Tetapi aspek yang diliput oleh Roma ini jauh lebih luas dari sekedar menolong orang seperti Luther.

Tidak semua orang bergumul tentang hal yang sama, yaitu kekurangyakinan akan keselamatan. Orang Kristen berpikir bahwa cuma mereka yang punya keyakinan keselamatan, sedangkan orang di luar Kristen dianggap tidak ada keyakinan akan keselamatan. Tetapi Paulus sebelum menjadi pengikut Kristus, bukan orang yang tidak yakin akan keselamatan. Paulus justru sangat yakin pada kepercayaannya, makanya ia mencoba membasmi orang Kristen. Setelah berjumpa Kristus, Paulus yang yakin itu dibuat ragu-ragu lebih dahulu. Setelah itu barulah ia diberi keyakinan yang baru.

Paulus orang yang punya keyakinan yang kuat, hanya saja sebelumnya ia salah arah. Injil datang kepada Paulus untuk mengubah keyakinannya dari yang salah ke arah yang benar. Tantangan  yang dihadapi Paulus di jemaat Roma adalah jemaat yang sangat dikuasai oleh perasaan self righteousness dan self pride yang tinggi. Sikap semacam ini membuat manusia tidak akan mengerti Injil.

Kita bisa saja merasa atau mengaku diri sebagai orang Kristen, tetapi tanpa adanya pertobatan dari self pride yang seperti ini, bagaimana kita bisa mengerti Injil keselamatan Kristus yang sejati? Kita akan menjadi orang yang sulit mengampuni, sehingga tidak mungkin bagi orang seperti itu dapat menghayati pengampunan dari Allah. Bagi orang yang self righteous, justru orang lainlah yang harus bertobat karena mereka terlihat selalu salah. Dan apabila sudah seperti ini, maka akan berakibat, orang Kristen itupun pasti akan sulit untuk bertobat.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita dari jeratan self righteous seperti ini. Amin.