Sunday, August 6, 2023

Teologi Salib menurut pandangan Martin Luther

Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. (1 Korintus 1:18)

Teologi Salib menurut Martin Luther

Apa itu Teologi Salib?


Di dalam ajaran Kristen, yang dimaksud dengan Teologi Salib adalah sebuah pandangan teologis yang menitikberatkan pembahasannya pada arti penting dari salib Kristus. Dan Martin Luther, sebagai tokoh Reformasi Protestan pada abad ke-16, menempatkan teologi salib sebagai salah satu elemen kunci dalam pemahaman iman Kristen dan menyatakan bahwa salib merupakan inti pesan Injil.


Rekomendasi Buku:
"Yesus - Allah yang mengenal nama Anda"
Klik disini.

 

Apa yang dikatakan oleh Martin Luther ini memiliki kesejajaran dengan apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus. Paulus berkata: Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. (1 Kor 2:2)

Melalui ayat ini kita mendapat gambaran bahwa Rasul Paulus tidak memiliki materi pengajaran lain yang lebih penting untuk disampaikan, selain mengajarkan tentang Tuhan Yesus yang tersalib itu. Ini adalah topik yang paling penting melampaui topik pembicaraan lainnya.

Martin Luther juga melihat pemberitaan salib sebagai hal yang sangat penting untuk dibicarakan dan diajarkan kepada orang Kristen. Hal itu terjadi demikian, selain karena berita salib merupakan berita yang sentral di dalam kekristenan, disebabkan juga karena Martin Luther melihat bahwa orang Kristen masih lebih suka pada Teologi Kemuliaan ketimbang Teologi Salib.

 

Seperti apa yang bukan Teologi Salib?

 

Teologi Kemuliaan adalah suatu pandangan teologis yang mengedepankan kemuliaan-kemuliaan duniawi sebagai elemen utama yang diberitakan kepada dunia. Sebagai contoh: orang Kristen ingin memperkenalkan Kristus melalui profil gereja yang kuat secara finansial, kuat secara politik, memiliki jemaat yang terdiri dari pejabat, penguasa, ilmuwan yang highly educated, orang-orang berpengaruh, terkemuka dan disegani oleh masyarakat. Selain profil gereja yang seperti itu, orang Kristen yang menganut teologi kemuliaan juga berusaha tampil sukses secara finansial, memakai dan memiliki barang-barang bermerek, dan sangat jauh dari kesan kelemahan.

Bagi Luther model pemberitaan seperti itu, memiliki arah yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Alkitab yang menjadikan Salib Kristus sebagai sentral pemberitaannya. Dan apabila kita perhatikan bagaimana Alkitab sendiri memberitakan tentang Kristus, maka dapat dikatakan bahwa semenjak kelahiran, hingga kematian-Nya, Tuhan Yesus senantiasa membawa kisah Salib di dalam setiap langkah kehidupan-Nya.

 

Apa saja unsur-unsur yang dibicarakan dalam Teologi Salib?

 

Secara umum, atau secara garis besar sederhana, ada beberapa poin penting dalam pandangan teologi Salib Martin Luther:

1. Keadilan Allah dan Kasih Allah:

Luther menganggap Salib sebagai demonstrasi terbesar dari keadilan dan kasih Allah. Dalam kematian Kristus di kayu Salib, keadilan Allah terpenuhi karena dosa-dosa manusia dihukum dan dibayar sepenuhnya. Sementara itu, kasih Allah yang tak terbandingkan ditunjukkan dengan pemberian-Nya, yaitu Anak-Nya yang satu-satunya, untuk menebus dosa-dosa manusia.

2. Penebusan Dosa:

Luther percaya bahwa kematian Yesus Kristus di Salib adalah pembayaran penebusan untuk dosa-dosa manusia. Manusia, karena sifat dosanya, tidak dapat membebaskan diri mereka sendiri dari konsekuensi dosa. Kristus sebagai "Korban Allah" menggantikan manusia sebagai ganti penebusan dosa dan menghidupkan kembali hubungan manusia dengan Allah.

3. Sola Fide (Iman Saja):

Teologi Salib Luther berhubungan erat dengan prinsip Sola Fide atau "Iman Saja." Luther mengajarkan bahwa keselamatan manusia tidak diperoleh melalui perbuatan baik atau usaha manusia, tetapi melalui iman pribadi kepada Kristus sebagai Juruselamat penebus dosa. Ketika seseorang mempercayai bahwa Kristus telah membayar dosa-dosa mereka di Salib, keselamatan dan pengampunan diberikan oleh anugerah Allah melalui iman semata.

4. Perubahan Batiniah:

Luther juga menekankan pentingnya perubahan batiniah atau perubahan hati yang dialami oleh seseorang melalui iman dalam Kristus. Kematian Kristus di Salib mempengaruhi jiwa manusia, membawa pertobatan, dan mengubah arah hidup mereka untuk hidup dalam ketaatan dan pelayanan kepada Allah.

5. Pengenalan Diri:

Luther menekankan perlunya pengenalan diri sebagai dosa, kelemahan, dan keterbatasan manusia. Hanya ketika seseorang menyadari keadaan dosanya dan kebutuhan akan penyelamatan, mereka akan mencari pertolongan dan keselamatan melalui iman kepada Kristus yang mati dan bangkit.

 

Kendala dalam menghayati Teologi Salib

 

Bagi Luther, teologi Salib adalah hal yang tak terpisahkan dari pengajaran Alkitab. Ia menekankan bahwa gereja harus kembali ke dasar iman Kristen yang sejati, yaitu Yesus Kristus dan karyanya di kayu Salib. Seluruh ajaran dan praktik gerejawi harus dilihat melalui lensa salib, karena di sana terdapat titik puncak dari kasih dan keadilan Allah untuk menyelamatkan umat manusia.

Pemberitaan seperti ini tentu saja berbeda dengan model pemberitaan yang  menjunjung tinggi kesuksesan, kekayaan, kemegahan, kepintaran dan kemuliaan gereja. Sebab semua itu justru memang dijunjung tinggi sebagai kemuliaan ala dunia, dan bukan kemuliaan melalui penderitaan salib seperti yang Tuhan Yesus perlihatkan dalam kehidupan-Nya.

Bagaimana mungkin orang dapat masuk ke dalam penghayatan tentang keadilan dan kasih Allah apabila yang dikedepankan adalah kekayaan materi, kesuksesan, kepintaran dan kekuatan sebuah gereja di dalam dunia ini? Berbicara tentang dosa manusia, adalah berbicara tentang kegagalan dan kerendahan manusia, bukan tentang betapa sukses dan terhormatnya seorang manusia atau sebuah gereja.

 

Teologi Salib di dalam kehidupan Tuhan Yesus sendiri.

 

Tuhan Yesus sendiri sejak kelahiran hingga kematian-Nya, senantiasa hidup di bawah bayang-bayang salib. Tuhan Yesus datang ke dalam dunia sebagai bayi, bukan sebagai penguasa yang sangat kuat. Dan kelahiran-Nya pun terjadi di antara orang miskin dan bahkan di dalam kandang binatang. Sama sekali bukan gambaran yang high-life dan elite dari seorang penguasa.

Ketika Tuhan Yesus beranjak dewasa, Ia tidak tinggal di Yerusalem, kota yang terkenal sejak jaman Daud, sebuah kota suci dimana Bait Allah berdiri. Tuhan Yesus justru tinggal di Nazareth, sebuah kota kecil yang bahkan tidak pernah dibicarakan satu kalipun di dalam Perjanjian Lama. Tuhan Yesus tidak memiliki kehidupan yang membuat orang berdecak kagum berdasarkan tempat tinggal-Nya atau status social-Nya, tetapi memilih hidup di dalam kerendahan dan kesederhanaan. Sangat bertolak belakang dengan orang Kristen atau gereja yang menganut Teologi Kemuliaan, yaitu orang yang ingin kelihatan hebat dan terpandang tadi.

Kehidupan keluarga Tuhan Yesus juga bukan sebuah kehidupan yang sempurna dalam ukuran dunia. Ayah-Nya yaitu Yusuf sudah meninggal semenjak Tuhan Yesus masih muda. Untuk seorang Pribadi yang memiliki kuasa melakukan mukjizat, Tuhan Yesus tidak melakukan mukjizat kesembuhan bagi ayah-Nya sendiri. Tuhan Yesus juga memiliki saudara-saudari yang tidak menerima Dia begitu saja. Alkitab mencatat bahwa saudara-saudari Tuhan Yesus sendiri menganggap Dia sebagai orang yang tidak waras. Injil Markus mencatat: Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka datang hendak mengambil Dia, sebab kata mereka Ia tidak waras lagi. (Markus 3:21)

Sudah cukup berat apabila orang lain yang bukan keluarga menyalahpahami kita, Tuhan Yesus bukan saja disalahpahami oleh orang lain, tetapi bahkan keluarga-Nya sendiri pun seperti tidak berpihak kepada Dia. Inilah jalan salib yang harus ditempuh oleh Tuhan Yesus sepanjang kehidupan-Nya.

Kematian di atas kayu salib adalah puncak dari Teologi Salib itu sendiri bagi Tuhan Yesus. Dia yang tidak berdosa justru harus mati dengan cara yang sangat memalukan dan sangat menyakitkan, demi menebus dosa manusia. Sebagai suatu peringatan akan betapa rendahnya dan betapa parahnya kondisi keberdosaan manusia hingga kehidupan seseorang Pribadi yang begitu baik dan suci pun harus ikut terseret ke dalam kehancuran.

 

Kesimpulan singkat dari Teologi Salib

 

Jadi bagaimana mungkin seseorang dapat memberitakan tentang Pribadi Allah yang seperti Yesus Kristus, melalui model pemberitaan yang isinya adalah kekayaan, kesuksesan, keberhasilan, kekuatan dan tepuk tangan dunia?

Berita Salib adalah berita tentang kemiskinan, kegagalan, ketidakmampuan, kelemahan dan penghakiman Ilahi. Tidak heran apabila sebagian besar manusia di dunia ini menganggap berita salib sebagai suatu kebodohan. Hanya orang-orang yang hatinya sudah diterangi oleh Roh Kudus saja yang mampu melihat berita salib sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan. Kiranya Tuhan memberkati kita, amin.

 

 

Tuesday, August 1, 2023

Natal: Mengapa Kita Masih Perlu Memikirkannya?

Natal: Mengapa Kita Masih Perlu Memikirkannya?


Kelahiran Yesus Kristus adalah peristiwa yang amat penting bagi hidup orang yang percaya kepada-Nya, karena melalui peristiwa tersebut kita melihat suatu bukti tentang betapa besarnya kasih Allah kepada dunia ini. Betapa tidak, melalui Natal kita melihat bagaimana Allah yang Mahakuasa rela untuk menjadi manusia demi menebus kita dari hukuman atas dosa-dosa yang kita lakukan.



Buku "Anda Tak Pernah Sendirian"
 
Sungguh ajaib jika Allah begitu menghargai manusia sementara secara menyedihkan kita sendiri sebagai manusia sering kali merasa sulit untuk menghargai orang lain yang pada dasarnya adalah sesama kita manusia. Melalui Natal kita ditegur, diajari, diberi teladan dan bahkan diberi jalan untuk kembali merenungkan makna hidup kita sebagai manusia. Melalui Natal kita juga diingatkan akan eksistensi Allah yang berdaulat, Allah yang hidup dan terutama Allah yang menyelamatkan dan memelihara kehidupan kita.

Meskipun demikian, tidak semua orang di dunia ini melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang yang sama. Tidak semua orang menghargai apa yang telah dilakukan Allah melalui peristiwa Natal ini. Tidak sedikit pula yang tidak mempercayai peristiwa kelahiran Yesus itu sebagai suatu peristiwa Ilahi yang bermakna penting bagi manusia. Untuk beberapa kelompok manusia, gagasan bahwa Allah menjadi manusia dan masuk ke dalam lintasan sejarah bukanlah sesuatu yang harus dipahami secara harafiah. Mereka menganggap peristiwa tersebut tidak lebih dari mitos belaka.

Rudolf Bultmann adalah satu di antara sekian banyak orang yang menganggap bahwa kelahiran Yesus adalah sebuah mitos. Dalam tulisan-tulisannya, Bultmann menyatakan bahwa di dalam Perjanjian Baru memang banyak terdapat mitos. Yang dimaksud Bultmann dengan mitos adalah upaya-upaya manusia untuk mengekpresikan keadaan “dunia yang lain” dengan dunia yang kita kenal sekarang ini.

Bagi orang seperti Bultmann dan juga orang-orang yang setuju dengan jalan pikirannya kisah-kisah di dalam Alkitab tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Tulisan-tulisan para nabi dan rasul tidak perlu dianggap sebagai suatu tulisan yang memiliki semacam otoritas ke-Ilahi-an karena pada dasarnya tulisan-tulisan semacam itu hanyalah suatu ekspresi budaya yang tumbuh dan berkembang karena adanya pengaruh budaya lain. Sebagai contoh, Bultmann menganggap bahwa tradisi Alkitab Kristen amat dipengaruhi oleh tradisi Helenisme dan Gnostisisme, jadi menurutnya tulisan dalam Alkitab bukanlah suatu pekerjaan Ilahi untuk manusia.

Pemikiran semacam Bultmann ini bukanlah sesuatu yang terjadi dan hanya berlaku di masa lalu melainkan juga masih hidup di tengah-tengah masyarakat pada masa sekarang ini. Bentuknya memang berbeda namun semangat yang ditularkannya tetap sama yaitu menyangkali otoritas Ilahi dalam apapun yang dikatakan oleh Alkitab, termasuk dalam hal ini kelahiran Yesus Kristus.

Lalu ada lagi kelompok lain yang kelihatan lebih baik dari kelompok pertama, yaitu mereka yang mengakui bahwa Yesus memang pernah lahir di dalam sejarah namun mereka menyangkali arti penting kelahiran Yesus tersebut. Biasanya kelompok semacam ini adalah kelompok yang terdiri dari para penganut paham rasionalisme, yaitu suatu paham yang menempatkan rasio manusia sebagai otoritas tertinggi dari kebenaran. Menurut mereka rasio atau daya pikir manusia adalah penentu bagi segala sesuatu yang disebut benar atau salah.

Bagi kaum rasionalis ini, apa yang Yesus katakan atau sampaikan bukanlah sesuatu yang baru. Yesus hanya mengutarakan sesuatu yang pada dasarnya memang benar secara logika sehingga tanpa Yesus pun umat manusia dapat menemukan kebenaran itu melalui pertolongan rasio mereka.

Dengan pola pikir atau cara pandang seperti ini tentu amat sulit untuk mengharapkan kaum rasionalis ini dapat menghargai kelahiran Yesus Kristus sebagai sesuatu yang bermakna amat penting bagi umat manusia. Orang-orang semacam ini mungkin mengakui kelahiran Yesus di dalam sejarah, mereka bahkan bisa turut bersuka cita di dalam kegembiraan Natal akan tetapi mereka tidak akan pernah melihat bahwa Natal mempunyai makna yang begitu vital bagi manusia.

Sebagai orang Kristen kita tentu merasa heran mengapa orang-orang seperti yang dicontohkan dalam paragraf-paragraf tadi bisa begitu mengecilkan arti kelahiran Yesus Kristus sementara kita sendiri melihat betapa Natal adalah suatu peristiwa yang begitu luarbiasa bukan?

Tetapi benarkah kita sendiri pun telah melihat Natal sebagai suatu peristiwa yang begitu luarbiasa? Atau adakah rutinitas perayaan Natal dan pengaruh gegap gempita lingkungan dunia kita telah turut menggeser makna Natal itu sendiri? Sejauh mana kita mengenal kisah Natal sebagaimana Alkitab menceritakannya? Sejauh mana kita telah belajar dari detil-detil cerita yang luarbiasa itu? Ataukah karena sudah terlampau sering mendengar khotbah tentang Natal, sensitivitas kita terhadap cerita itu sudah jauh berkurang? Salah satu keterbatasan kita dalam mencerna suatu peristiwa yang sudah terlalu biasa adalah; kita mulai kehilangan makna dari peristiwa tersebut.

Jika kita secara sepintas melihat kondisi sekarang ini, kita tahu bahwa tidak sedikit golongan masyarakat yang ikut bergembira di hari Natal. Bagi kita orang Kristen, fakta ini mungkin cukup menggembirakan karena kita dapat menduga bahwa pengenalan manusia akan Yesus Kristus sudah semakin luas diterima. Akan tetapi jika kita melihat lebih jauh lagi maka kita mungkin baru menyadari bahwa Natal yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya berbeda dengan pesan Natal yang sesungguhnya.

Berbicara tentang Natal, terus terang saja, bagi saya susah-susah gampang. Saya ingin merasa gampang dan ingin membuatnya menjadi gampang karena setidaknya sebagai orang Kristen kita pada umumnya sudah cukup sering mendengar kisah yang agung ini.

Akan tetapi ingin bilang gampang juga ternyata tidak mudah, mengapa? Karena pada dasarnya kita melihat di dunia ini bagaimana Natal (yang kita pikir gampang itu) ternyata telah begitu sering berada di dalam arah yang menyimpang. Misalnya, materialisasi dan sekularisasi seperti yang amat marak dibicarakan sebagai ancaman bagi Natal yang sesungguhnya. Bagi kita orang Kristen yang (barangkali) sudah dewasa, ancaman ini (sekali lagi “barangkali”) tidak terlalu menakutkan, akan tetapi bagaimana dengan generasi penerus kita? Jika pesan Natal (yang terkesan itu-itu saja) tidak kita kumandangkan dengan lantang, tegas dan sesuai ajaran Alkitab maka boleh dipastikan bahwa semangat dan ajaran Natal (sebagaimana Alkitab ingin kita melihatnya) akan luntur di abad-abad mendatang dalam diri anak cucu kita. Kita tentu tidak ingin ini terjadi bukan?

Alasan lain untuk tidak mengatakan Natal sebagai sesuatu yang gampang adalah ketika menyadari keterbatasan dan kegagalan kita (yang begitu seringnya) dalam mengaplikasikan apa yang telah kita renungkan di dalam Natal. Coba saja anda renungkan satu pertanyaan pribadi ini? Sudah berapa Natal berlalu dalam hidup anda sebagai orang percaya? Adakah dengan bertambahnya tahun anda bisa dengan yakin mengakui bahwa anda sudah semakin maju di dalam iman, kasih dan karakter anda? Bukankah kita sama-sama sering merasa maju hari ini, lalu mundur lagi minggu depan, kita merasa berhasil bulan ini lalu blunder lagi bulan depan, lalu maju lagi dan maju lagi dan kemudian mundur lagi dan mundur lagi demikian seterusnya. Jika kemajuan kita sebagai orang Kristen ditentukan semata-mata dari seberapa lama kita telah menjadi orang Kristen atau seberapa banyak usia kita maka kita boleh memastikan bahwa orang-orang yang sudah lama menjadi orang Kristen dan sudah lebih banyak umurnya pasti memiliki kemajuan yang lebih pesat di dalam kerohanian, tetapi apa benar begitu? Nyatanya tidak. Yang masih muda bergumul dengan masalah kerohanian, yang sudah senior usianya pun bergumul dengan persoalan yang sama. Artinya, sampai kapanpun pada dasarnya kita, siapapun orangnya, tetap masih membutuhkan pesan Natal bagi hidup kita. Jadi, tentu adalah penting untuk sekali lagi merenungkan Natal dengan berbagai persoalan serta ajaran yang ada di dalamnya.

Semoga melalui tulisan singkat ini, kita kembali diingatkan bahwa Natal pada dasarnya adalah moment atau suatu batu loncatan untuk mengenal Pribadi Yesus sebagaimana Alkitab bercerita tentang Dia. Berbicara tentang Natal, bukanlah berhenti pada perayaan Natal itu sendiri (yang mana biasanya sebagai panitia Natal kita menjadi amat sibuk sekali dengan segala tetek-bengek seremonial dan rapat-rapat yang melelahkan). Berbicara tentang Natal juga bukanlah berpusat pada Sinterklas atau model pohon terang apa yang akan kita pasang tahun ini. Berbicara tentang Natal, tidak lain dan tidak bukan adalah berbicara tentang Yesus Kristus dan signifikansi (arti penting) kelahiran-Nya bagi umat manusia serta bagaimana respon kita terhadap Dia. Selamat Natal, kiranya Tuhan memberkati kita semua.

Catatan:
Tulisan ini diambil dari buku yang saya tulis pada waktu Natal tahun 2007, berjudul “Christmas Salad”¬ - Bab satu: Pendahuluan. (Oleh: Izar Tirta)