Thursday, December 18, 2008

Apakah kubur Yesus Kristus telah ditemukan?


Apakah kubur Yesus Kristus telah ditemukan
Apakah kubur Yesus Kristus telah ditemukan?

 
Versi Audio dapat didengakan melalui: Anchor atau Spotify

Pendahuluan: Sebuah pesan dari dalam kubur

Apakah kubur Tuhan kita Yesus Kristus telah ditemukan? Apakah berita penemuan kubur Yesus Kristus merupakan sebuah kebenaran? Ataukah berita penemuan kubur Yesus itu hanya sebuah hoax belaka? Suatu kisah isapan jempol yang dikarang oleh orang-orang yang ingin menyangkal kebenaran bahwa Yesus Kristus sungguh-sungguh bangkit. Tulisan berikut ini akan mencoba mengetengahkan berita penemuan kubur Yesus Kristus itu dan bagaimana kekristenan harus menerima, mencerna dan menanggapi berita tersebut? [Baca juga: Kesaksian sejarah sekuler tentang Yesus Kristus. Klik disini.]

 
Dapatkan Buku: Siapakah Yesus?.
 
Berita penemuan kubur yang disebut-sebut sebagai kubur Yesus telah menuai cukup banyak kontroversi di dunia beberapa waktu yang lalu. Memang persoalan tersebut seakan agak tenggelam akhir-akhir ini, namun bukan berarti keragu-raguan terhadap kebangkitan Yesus telah dapat diselesaikan begitu saja. Tidak kurang seorang James Cameron, sutradara film yang pernah sukses luar biasa melalui Titanic, pernah membuat sebuah naskah film tentang DNA Yesus yang ditemukan dalam sebuah kubur.

Kalangan Kristen tentu menolak berita tersebut, sementara orang-orang yang sejak semula menentang Kristus, dengan senang hati merangkul berita semacam ini.

Melengkapi sepak terjang Cameron, sebuah saluran televisi yang terkenal dengan kajian ilmiah seperti Discovery Channel, bekerja sama dengan Cameron untuk mengetengahkan temuan spektakuler dari sebuah kubur berisi tulang belulang yang  berasal dari sekitar 2000 tahun yang lalu. Acara yang membahas tentang The Talpiot Tomb itu, yaitu nama kubur yang diduga adalah kubur Yesus beserta keluarganya, ditayangkan secara resmi pada tanggal 4 Maret 2007.

Jika kemasan yang biasa dibawa oleh Cameron dalam bentuk film, dapat lebih mudah ditepis dan dimasukkan dalam kategori fiksi (terlepas dari perbuatan tidak etis yang dilakukannya pada masyarakat Kristen yang biasanya lebih memilih diam daripada protes keras), maka kemasan ilmiah yang diusung oleh Discovery Channel mau tidak mau memberi semacam legitimasi bahwa temuan ini adalah suatu kebenaran. Konsekuensinya, iman Kristen yang selama ini meyakini bahwa Yesus sudah bangkit dari kematian, tidak lain dan tidak bukan adalah kebohongan belaka.

Bagaimana kita harus mencerna dan memahami situasi seperti ini?

Ada banyak Yesus, namun hanya satu yang bergelar Kristus


Sebelum kita memutuskan apakah kubur Yesus Kristus telah ditemukan ataukah berita penemuan kubur itu merupakan kebohongan, maka kita perlu memahami kebenaran tentang siapakah Yesus Kristus itu? Ada banyak Yesus, tapi hanya satu Kristus. Itu sebabnya siapa saja dapat mengatakan bahwa mereka telah menemukan tulang-tulang di dalam kubur yang diberi nama Yesus, tanpa harus merujuk pada Yesus Kristus yang diberitakan oleh Alkitab. Tulisan ini akan menjelaskan bahwa nama Yesus adalah nama yang umum, namun Kristus adalah gelar yang unik. Sehingga di dalam sejarah hanya satu orang yang pantas disebut sebagai Yesus Kristus, yaitu Dia yang telah lahir di Betlehem, mati di Yerusalem, dikuburkan dalam sebuah kubur batu yang masih baru dan bangkit pada hari ketiga.

Ada banyak Yesus…

Orang yang mengatakan bahwa kubur Tuhan Yesus telah ditemukan harus memahami bahwa pada zaman ketika Yesus Kristus hidup, ada banyak orang yang mempunyai nama Yesus. Bagi orang Kristen sejak abad pertama sampai dengan abad ini, nama Yesus adalah nama yang sungguh berbeda. Nama itu begitu agung, suci serta tiada bandingnya. Dan memang demikianlah adanya bagi kita yang percaya kepada-Nya.

Akan tetapi harus diakui bahwa pada abad pertama, khususnya sebelum pekerjaan Yesus Kristus menjadi nyata bagi orang-orang di zaman itu, nama Yesus adalah nama yang cukup umum dipakai.

Ambillah satu contoh dari perkataan Pilatus misalnya, yaitu ketika dihadapan orang banyak ia bertanya: "Siapa yang kamu kehendaki kubebaskan bagimu, Yesus Barabas atau Yesus, yang disebut Kristus?" (Matius 27:17b)

Kita sering mendengar nama Barabas, bukan? Saya bahkan cukup sering mendengar orang keliru menyebut Barabas dengan Barnabas (teman sepelayanan rasul Paulus, perhatikan tambahan huruf “n” di tengah). Tapi saya kira sungguh jarang orang mengingat bahwa nama depan Barabas adalah Yesus. Jika berpikir tentang seseorang penjahat yang dibebaskan demi agar Yesus Kristus bisa disalibkan, maka nama Barabas-lah yang pertama-tama muncul di pikiran kita. Ia jarang kita sebut atau ingat dengan nama lengkapnya, Yesus Barabas.

Tidak mengherankan juga mengapa hal itu terjadi, karena pada faktanya tidak semua versi Alkitab mencantumkan nama Yesus Barabas. LAI mencantumkan nama itu, tetapi versi-versi lain Alkitab seperti NIV (New International Version) atau KJV (King James Version) tidak mencantumkannya. Ada sedikit polemik memang tentang sebutan Yesus di depan nama Barabas. Ada yang mengatakan bahwa itu memang nama depan Barabas seperti yang tertera pada teks aslinya, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa sebutan itu sengaja ditambahkan oleh penafsir atau penyalin yang terkemudian dengan tujuan untuk mengkontraskan Barabas, penjahat yang dibebaskan dari hukuman, dengan Yesus, Orang Benar yang dijatuhi hukuman demi orang lain.

Harus saya akui, ketika membaca teks Alkitab dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Yunani, saya tidak bisa menghindar dari nuansa keraguan terhadap ada atau tidaknya kata Yesus di depan nama Barabas. Dalam teks Yunani tersebut ada tertulis demikian: Tina delete apoluso humin [Iesoun ton] Barabban he Iesoun ton legomenon Christon

Para pakar manuskrip kuno memberi rating {C} untuk penggalan teks dari Matius 27 ini dan sesuai konsensus di kalangan ahli-ahli manuskrip, khususnya manuskrip Perjanjian Baru, rating {C} ini menunjukkan adanya suatu tingkat keragu-raguan yang diakibatkan sedikitnya kuantitas manuskrip lain yang mencantumkan istilah tersebut. Akan tetapi, meskipun tidak banyak manuskrip kuno yang mencantumkannya, istilah tersebut muncul pada beberapa manuskrip Alkitab (codex) yang cukup penting seperti versi Synaiticum Syria (yang disimpan di museum Paris) serta tulisan bapa gereja abad ke-2 bernama Origen. Origen hidup antara tahun 185 sampai 254 M sehingga tulisannya dapat dianggap memiliki keterandalan yang tinggi karena masih cukup dekat dengan peristiwa yang berkenaan dengan Yesus Kristus. Mungkin itulah sebabnya mengapa LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) akhirnya memutuskan untuk tetap mencantumkan nama tersebut dalam Alkitab Indonesia.

Selain Barabas, ada orang orang lain yang tercatat di Alkitab memiliki nama Yesus. Di kota Pafos yang terletak di pulau Siprus misalnya, ada seorang tukang sihir dan nabi palsu dari keturunan Yahudi yang bernama Bar-Yesus (Kisah Rasul 13:6). Berdasarkan tinjauan terhadap naskah aslinya, tidak ada keraguan mengenai nama ini dibandingkan dengan Yesus Barabas. Dalam teks aslinya jelas tertulis Bariesou

Dalam Kolose 4:11, muncul pula seorang lain bernama Yesus yang merupakan teman seperjalanan rasul Paulus. Dalam teks aslinya, kalimat tersebut tertulis demikian: Kai Iesous ho legomenos Ioustos yang secara harafiah saya terjemahkan menjadi: “Dan Yesus, dia yang dipanggil Yustos.

Ketika Paulus terjun di dalam pelayanan, Yesus Kristus telah naik ke sorga. Oleh karena itu, jelas Yesus yang dipanggil Yustos ini bukanlah Yesus Kristus melainkan Yesus yang lain.

Lagipula, fakta bahwa Yesus seringkali dikaitkan dengan sebutan tambahan seperti “orang Nazaret” atau bahkan “Kristus” cukup menjelaskan pada kita bahwa penulis Injil tidak ingin pembacanya keliru dengan Yesus-Yesus lain yang hidup pada masa itu.

Beberapa arkeolog Yahudi yang hidup sezaman dengan kita, juga mengakui bahwa nama Yesus adalah nama yang umum. Sebut saja Amos Kloner, dari Israeli Antiquities Authority, bersama rekannya sesama arkeolog bernama Joe Zias, mereka berdua ikut meneliti ke Talpiot, tempat makam itu berada. Namun mereka tidak setuju bahwa makam itu adalah makam yang pernah ditempati oleh Yesus Kristus dua ribu tahun yang lalu. Kloner mengatakan: “the names marked on the coffins were very common at the time.” (Amos Kloner, The Lost Tomb of Jesus: A Critical Look). Sementara Zias berpendapat: "hyped up film which is intellectually and scientifically dishonest."

Pendapat serupa dikemukakan juga oleh William Dever, seorang arkeolog lain yang telah hampir lima puluh tahun menghabiskan hidupnya dalam berbagai ekskavasi di padang gurun Timur Tengah. Kepada Washington Post, Dever mengatakan: “I just think it's a shame the way this story is being hyped and manipulated.” Lalu ia melanjutkan dengan kalimat yang serupa dengan Kloner: "All of the names [contained in the tomb] are common." (William Dever, Washington Post, 28 Feb 2007)

Dan bukan pada abad ini saja, para ahli sudah menyadari fakta ini. Dr Edward Robbinson yang hidup pada abad 19 juga mengatakan: Jesus was not an uncommon name among the Jews, dalam bukunya yang ditulis pada tahun 1833.[1]

Kata “Yesus” merupakan sebuah nama, persis seperti setiap kita yang diberi nama oleh orang tua kita ketika dilahirkan. Nama Yesus adalah bentuk Yunani dari nama Yosua atau Yeshua dalam bahasa Ibrani. Sedangkan nama Yeshua sendiri adalah bentuk pendek dari Yehoshua yang artinya YHWH is salvation” (TUHAN adalah Penyelamat). Oleh karena itu, arti nama Yesus pun dikonotasikan sebagai “TUHAN adalah Penyelamat.”

Sekalipun pada awal abad pertama nama itu pada faktanya umum dipakai oleh orang Yahudi, namun seperti yang dilaporkan oleh I.H. Marshal PhD, seorang Professor ahli Exegesis Perjanjian Baru dari Universitas Aberdeen, nama itu lenyap dari peredaran setelah abad pertama. Marshal berpendapat bahwa hal ini terjadi karena bagi orang Kristen, nama itu sudah bukan menjadi nama yang biasa lagi, melainkan nama Juruselamat mereka yang amat mereka hormati. Tidak ada orang Kristen yang berani memakai nama itu untuk nama anak-anak mereka.

Sedangkan bagi orang Yahudi, juga menurut Marshal, mereka tidak mau memakai nama Yesus karena mereka merasa (maaf) “jijik” dengan nama itu karena nama tersebut mengingatkan mereka pada seseorang yang telah mempermalukan diri mereka serta menjadi batu sandungan bagi keyakinan iman mereka.

Pada masa kini, kita bisa mendengar bahwa nama Yesus sering pula dipakai oleh banyak orang di berbagai belahan dunia, khususnya oleh orang Kristen (atau yang merasa dirinya Kristen atau yang entah mengapa tertarik dengan budaya Kristen, walau mungkin tidak benar-benar paham, apa artinya menjadi Kristen. Atau bahkan pula oleh mereka yang sengaja ingin menyamakan dirinya dengan Yesus Kristus). Sebut saja beberapa contoh seperti Jesus Jones seorang pentolan grup band aliran keras. Atau José Luis de Jesús Miranda, seorang pendiri lembaga pelayanan Creciendo en Gracia yang mengaku bahwa hidup dan ajarannya lebih tinggi dari hidup dan ajaran Yesus Orang Nazaret.

Oleh karena itu, apabila kita bertanya apakah kubur Yesus Kristus telah ditemukan? Maka jawabannya mungkin saja memang telah ditemukan kuburan milik seseorang bernama Yesus, tetapi pasti bukan Yesus yang diberitakan oleh Alkitab sebagai Tuhan dan Juruselamat itu. Sebab Yesus yang diberitakan oleh Alkitab adalah Yesus yang mati di kayu salib namun bangkit kembali dari kematian pada hari yang ketiga. Yesus yang diberitakan oleh Alkitab pasti tidak mungkin tetap tinggal di dalam kuburan itu, seperti yang dipaksakan oleh orang-orang yang tidak percaya kepada-Nya.

… namun hanya satu yang bergelar Kristus

Orang yang mengaku percaya bahwa kuburan Yesus Kristus telah ditemukan beserta tulang belulang-Nya adalah orang yang menolak kebenaran berita Alkitab tentang Yesus. Orang-orang semacam itu bahkan tidak mengerti bahwa apa makna dari istilah "Kristus." Berbeda dengan kata “Yesus” yang merupakan sebuah nama, “Kristus” bukanlah sebuah nama, melainkan sebuah gelar. Misalnya Presiden Abraham Lincoln, Abraham Lincoln adalah namanya, namun Presiden adalah gelar yang sedang dijabatnya. Gelar bisa diperoleh karena jabatan pekerjaan seperti Presiden atau Pendeta atau Guru Injil atau Majelis atau Direktur. Tapi bisa juga diperoleh melalui pendidikan seperti PhD, Dr, SH, SE dan lain-lain.

Seseorang bisa diangkat atau dinobatkan menjadi seorang pendeta oleh jemaat atau sinode, demi menjalankan suatu fungsi tertentu atau karena telah mencapai prestasi tertentu. Tetapi untuk menyandang gelar PhD, anda harus buktikan terlebih dulu ketrampilan akademis yang memadai. Tidak ada orang yang diangkat menjadi PhD tanpa proses pendidikan yang sesuai untuk seorang PhD.

Sebagai perbandingan, Kristus adalah juga gelar yang bukan diperoleh karena pendidikan melainkan suatu gelar yang diberikan sebagai jabatan pekerjaan atau lebih tepatnya, peranan. Lalu apa bedanya gelar Kristus dengan gelar-gelar lain yang diperoleh melalui suatu penobatan?

Bedanya adalah bahwa di dunia ini ada banyak orang yang dinobatkan atau diangkat menjadi Presiden, ada banyak Pendeta, Direktur, Guru Besar yang diangkat atau dinobatkan demi fungsi-fungsi tertentu dan tujuan-tujuan tertentu, tetapi di dunia ini hanya ada satu Orang yang boleh dan mampu menyandang gelar sebagai Kristus, yaitu Yesus orang Nazaret.

Hanya Yesus itulah, yang telah mati bagi manusia, yang bisa menyandang gelar sebagai Kristus. Hanya Yesus itu yang benar-benar pantas menyandang gelar ini. Tidak ada satu manusia pun yang mampu dan pantas menyandang gelar tersebut. Bedanya lagi, gelar Kristus bukan semata-mata diberikan oleh manusia, melainkan diberikan langsung oleh Allah.

Istilah “Kristus” adalah juga istilah dari bahasa Yunani christós yang artinya “Dia Yang Diurapi.” Dalam zaman Perjanjian Lama, pengurapan diberikan baik kepada benda maupun kepada manusia untuk memegang jabatan tertentu. Dengan dilakukan pengurapan, berarti benda atau orang itu ditandai kesuciannya atau kekhususannya bagi Allah. Karena kita sedang berbicara tentang Yesus, maka kita langsung saja membahas tentang pengurapan yang diberikan pada manusia dan mengesampingkan uraian tentang pengurapan terhadap benda-benda

Dalam Perjanjian Lama, hanya ada tiga jabatan yang diberikan pengurapan dari Allah yaitu, raja (Hak 9:8; 2 Sam2:4), imam besar (Kel 28:41) dan nabi (1 Raj 19:16). Dan dalam Perjanjian Lama tidak pernah disebutkan bahwa ketiga gelar itu disandang sekaligus oleh satu orang manusia. Daud yang dikenal sebagai raja Israel yang paling agung pun, tidak pernah menyandang gelar itu sekaligus dalam hidupnya.

Hanya Yesus orang Nazaret-lah yang menyandang ketiga gelar itu sekaligus. Yesus adalah Raja artinya Ia memegang kuasa untuk memerintah. Yesus adalah Imam, artinya Ia menjadi wakil manusia untuk datang kepada Allah dengan membawa korban keselamatan. Kitab Ibrani mengatakan bahwa tidak seperti imam lainnya yang membawa persembahan setiap tahun dengan darah binatang, Yesus adalah Imam Agung yang sebagai wakil umat manusia datang menghadap Allah dengan mempersembahkan darah-Nya sendiri. Yesus adalah Nabi, karena Ia adalah Pribadi yang datang untuk menyampaikan segala amanat, pesan dan perintah dari Allah untuk manusia.

Seorang pendeta Buddha yang sangat dihormati bernama Daisetz Teitaro Suzuki mengajarkan bahwa setiap orang yang mencapai suatu tingkat kerohanian yang tinggi, mempunyai kemungkinan untuk menjadi Kristus. Suzuki mengajarkan:

“The doctrine of causes and effects awakens in man the inner power which makes him to be himself and transforms him into his own creator with responsibilities and obligations. In other words, the doctrine of causes and effects liberates man from the ruling power of person God, dogmas and theology. Once liberated, man would understand that he has to be responsible for all the consequences of his own psychological states and volitional actions and should not look for any salvation outside himself.”

Sekalipun Suzuki beberapa kali mengutip Alkitab, namun dapat dipastikan bahwa Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa kita dapat menjadi mesias (kristus) bagi diri sendiri. Alkitab tidak pernah menyebutkan satu orang pun di dunia ini sebagai Kristus kecuali Yesus orang Nazaret. Dan orang Kristen, sebagaimanapun salehnya, tidak mungkin kelak akan menjadi Kristus. Kristus adalah gelar yang unik, satu-satunya di dalam sejarah.

Akhir kata

Nama Yesus akan terus bergema di dunia ini, entah melalui mulut orang-orang yang percaya kepada-Nya, maupun dari mulut orang yang membenci-Nya. Tidak ada satu manusia yang begitu dicintai sekaligus begitu dibenci dan sering disalahpahami selain Dia. Coba saja anda renungkan, ada berapa banyakkah buku atau film yang membicarakan hal-hal yang buruk tentang Siddharta Gautama, Sai Baba, Vishnu dan pendiri agama lainnya? Pernahkah ada yang berani (atau paling tidak sekedar meluangkan waktu) untuk mengolok-olok kedatangan Batara Vishnu dalam wujud berbagai manusia (entah itu Sri Rama, Sri Kresna, Arjuna Sasrabahu atau entah apalagi) sebagai sesuatu pernyataan iman yang primitif, tidak berdasar logika, tidak historis dan oleh karenanya tidak layak untuk dipercaya? Dapat dikatakan hampir tidak ada. Semua orang menerima begitu saja hal-hal demikian tanpa repot-repot mempertentangkannya.

Tetapi bagaimana dengan Yesus? Media massa seperti berlomba-lomba untuk mengemukakan cerita-cerita yang bertujuan untuk mendiskreditkan Dia. Cerita-cerita tentang Dia, dicap sebagai pernyataan iman yang primitif (oleh karena itu tidak terlalu cocok untuk zaman teknologi maju seperti sekarang ini), perbuatan-perbuatan Dia terus dikecam sebagai perbuatan yang anti-logika (oleh karena itu tidak perlu ditanggapi secara serius), riwayat hidup-Nya terus dipertanyakan tentang ke-absah-an historisnya (oleh karena itu siapa saja bebas membuat cerita-cerita aneh tentang Dia) dan masih banyak lagi cara-cara lainnya.

Ada pula orang yang kehabisan akal untuk mencerca Yesus begitu rupa sampai memakai kemasan ilmiah semacam: “Telah Ditemukan DNA Yesus Kristus.” Tetapi, bagaimana mungkin mereka dapat memastikan bahwa DNA yang ditemukan itu adalah DNA Yesus Kristus jika kita bahkan tidak pernah memiliki DNA asli-Nya sebagai pembanding? Terus terang, bagi saya Jurassic Park saja masih terasa lebih masuk akal daripada berita tersebut.

Yesus Kristus adalah Manusia, tetapi Dia bukan Manusia sembarangan, sebab Dia adalah Allah yang menjadi Manusia. Memang ada banyak orang bernama Yesus, tetapi Yesus yang disembah oleh orang-orang yang percaya pada ajaran Alkitab adalah Yesus yang bergelar Kristus. Dan tidak ada satu orang di dunia ini yang memiliki gelar Kristus, selain Yesus Orang Nazaret itu. Kehadiran-Nya pun bukan suatu kebetulan di dalam sejarah. Ada ribuan tahun sejarah manusia yang harus terjadi sebagai pendahuluan untuk memperkenalkan sosok Kristus ini. Siapakah tokoh sejarah, baik dulu maupun sekarang yang bisa menandingi Dia?

Ketika pada saat ini kita mengaku percaya kepada Dia, kita tidak diharapkan untuk memiliki suatu pengakuan yang kosong atau iman yang buta. Alkitab meminta kita untuk memeriksa iman kita dan menyandarkan iman itu pada objek (sasaran) yang jelas dan pasti, yaitu Yesus Kristus. Alkitab sama sekali tidak menghargai iman yang buta, sebab dengan hati kita percaya namun dengan akal budi kita mengerti. Anselmus mengatakan fides quaerens intellectum yang artinya biarlah iman memimpin pengertian kita. Iman memimpin, tetapi pengertian berjalan dibelakangnya untuk memastikan agar iman tidak salah arah. Namun pengertian pun tidak selamanya dapat mencapai finalisasi, oleh karena itu iman yang harus memimpinnya. Suatu kerjasama yang sangat indah antara iman dan pengertian. Hilangkan yang satu, maka yang lain tidak akan berfungsi dengan semestinya.

Semoga melalui tulisan singkat ini, keyakinan kita pada Yesus Kristus dapat semakin diperkaya. Tuhan memberkati.

Baca juga:
Mengapa Yesus Kristus harus menjadi Manusia? Klik disini. 
Mengenal Tuhan lebih penting daripada kekayaan. Klik disini 
 



[1] Loan Stack ed., A Dictionary of the Holly Bible - For General Use in the study of the Scripture (New York: American Tract Society, 1859), p 228.

Sunday, November 16, 2008

Pada mulanya adalah Firman (Yoh 1:1)

Oleh: Izar Tirta

Kalau saya diminta untuk melukiskan Allah sebagaimana saya mengenal Dia, saya mungkin akan bicarakan tentang kebaikan-Nya. Betapa tidak, selama ini saya telah belajar untuk mengenal diri saya sendiri dan dalam pencarian itu saya menemukan bahwa pada dasarnya saya bukanlah orang yang layak di hadapan Allah, tetapi demi semua kekurangan itu, saya juga menemukan bahwa Tuhan telah bersedia untuk menebus saya, bahkan tanpa saya memintanya terlebih dahulu. Ini sesuatu yang, bukan tidak masuk akal melainkan, melampaui akal.

Saya membayangkan Yohanes, salah seorang murid Yesus, yang ketika tulisan tersebut ia buat sudah dalam usia yang tua. Apa yang Yohanes pikirkan jika ia harus melukiskan tentang Allah yang ia kenal secara pribadi dan bahkan pernah ia sentuh dengan tangannya sendiri? Kata-kata apa yang akan ia pakai untuk memulai ceritanya?

Baca selengkapnya klik di sini

Tag pencarian:
Yesus Kristus adalah Firman
Penjelasan sederhana Yohanes 1:1
Apa arti sederhana dari Pada mulanya adalah Firman?
Apa arti dari kata Firman?
Apa yang dimaksud dengan kata-kata?
Logos atau Firman.
Kata-kata siapakah yang harus aku dengarkan?
Tulisan Rasul Yohanes
Injil Yesus Kristus menurut Yohanes
Perjanjian Baru
Firman telah menjadi Manusia

Monday, August 18, 2008

“Pada mulanya”

Oleh: Novizar Tirta

Mantan PM Inggris Margareth Thatcher konon pernah mengatakan: “Permulaan yang baik adalah separuh dari pekerjaan.” Apapun yang mungkin ada di dalam pikiran beliau ketika mencetuskan kalimat tersebut, jelas sekali bahwa bagi beliau suatu permulaan adalah sesuatu yang penting sekali. Atau jika boleh saya ubah dan simpulkan sedikit kalimat beliau: “Permulaan dari segala sesuatu, memainkan peran yang penting sekali bagi langkah-langkah berikutnya.” Atau, “Suatu permulaan memberi pengaruh yang signifikan bagi pekerjaan yang sedang dan terus dilakukan.”

Namun rupanya bukan hanya Mrs Thatcher yang tertarik pada suatu permulaan, Plato dan Aristoteles, dua filsuf Yunani yang penting dalam sejarah, juga memikirkan tentang arti pentingnya suatu permulaan. Mereka berdua telah mengembangkan suatu model argumentasi yang dalam dunia filsafat dikenal sebagai “First Cause Arguments.”

Plato (427- 347 SM) meyakini bahwa di dalam alam semesta ini ada suatu kebijaksanaan dan kecerdasan yang paling tinggi dan paling utama (supreme wisdom and intelligence) yang ia sebut sebagai “demiurge.” Dan di dalam karya monumental Plato yang berjudul “Timaeus” itu, disebutkan bahwa “demiurge” ini juga bertindak sebagai pencipta atau “creator.

Aristoteles, yang hidup tahun 384 – 322 SM, juga memiliki gagasan yang hampir serupa. Bagi Aristoteles alam semesta ini membutuhkan hadirnya suatu sosok yang menjadi Primus Motor atau Prime Mover atau dalam istilah yang sangat terkenal disebut sebagai “The Unmoved Mover” (Sang penggerak yang tidak digerakkan oleh apapun – terj. bebas dari saya)

Logika Aristoteles, yang tertuang dalam karyanya “Metaphysics,” melihat bahwa jika sesuatu benda dapat bergerak maka tentu ada sesuatu (atau seseorang) yang menggerakkannya. Akan tetapi, keadaan tersebut secara logika tidak mungkin dapat berlangsung selamanya. Apa maksudnya? Untuk mudahnya, saya coba beri gambaran sederhana dari apa yang dipikirkan oleh Aristoteles, yaitu seperti ini: Jika benda A bergerak karena benda B, dan benda B bergerak karena benda C, lalu benda C bergerak karena benda D dan seterusnya, maka tentu harus ada suatu titik di mana terdapat sang penggerak yang tidak bergerak. Sang penggerak ini, pada dirinya sendiri, tidak digerakkan oleh apapun. Ia bertindak sebagai penggerak mula-mula yang tidak membutuhkan apapun selain dirinya sendiri untuk mengerakkan segala sesuatu. The unmoved mover milik Aristoteles ini adalah sumber dari segala gerakan yang terjadi di alam semesta.

Aristoteles, terlepas dari apakah ia mengidentifikasikan sang penggerak yang tidak bergerak ini sebagai Tuhan atau bukan, menyimpulkan bahwa secara logika kehadiran sosok Primus Motor itu adalah mutlak. Tidak bisa tidak.

Lalu sekarang, bagaimana kita harus menanggapi gagasan dari para filsuf ini? Bagi saya, tidak ada jalan lain yang lebih tepat selain mengajak kita semua untuk melihat pada apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai hal ini.

Alkitab juga mengajarkan bahwa permulaan segala sesuatu adalah penting sekali. Kitab pertama dari Alkitab yaitu kitab Kejadian memulai tulisannya dengan kata-kata: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. (Kejadian 1:1)

Kata yang dipakai dalam Kejadian 1 ayat 1 tersebut (yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai “Pada mulanya”) adalah tyviÞarEB (Bürë´šît) yang artinya beginning (permulaan) atau starting point (titik mula).

Untuk melengkapi kita dengan pengertian yang lebih dalam dari konsep tersebut, saya ingin mengajak kita untuk melihat pada Perjanjian Baru. Di dalam Perjanjian Baru, konsep ini pun muncul berulang kali dan yang paling serupa dengan cara pengungkapan dalam Kejadian 1:1 adalah Injil Yesus Kristus menurut Yohanes, yaitu: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yoh 1:1)

Dalam bahasa aslinya, yaitu Yunani, ayat tersebut berbunyi:

VEn avrch/| h=n o` lo,goj( kai. o` lo,goj h=n pro.j to.n qeo,n( kai. qeo.j h=n o` lo,gojÅ

Melihat pada ayat dalam bahasa Yunani di atas, kita tahu bahwa kata yang dipakai untuk “Pada mulanya” adalah avrch/| (arche), dari kata mana kita kemudian mengenal istilah archeology. Adapun beberapa pengertian yang terkandung di dalam kata avrch (kata benda, datif, feminin, tunggal) ini adalah: permulaan (beginning), asal usul (origin), prinsip-prinsip dasar (elementary principles), sebab yang mula-mula (first cause), hukum atau aturan (rule), otoritas (authority), resmi (official) dan beberapa pengertian lain yang merupakan derivatif dari pengertian-pengertian tadi.

Jika kita bandingkan antara pola pikir para filsuf, seperti Plato dan Aristoteles, dengan pola pikir Alkitab, kita dapat menemukan adanya persamaan, di samping tentunya juga perbedaan-perbedaan.

Persamaan yang dengan jelas terlihat adalah mengenai terdapatnya konsep “pada mulanya” baik dari sudut pandang Alkitab maupun dari sudut pandang Filsafat. Seringkali kita mendekati Alkitab dengan perasaan “Ya sudah kita beriman saja, tidak usah berpikir yang macam-macam karena berbicara tentang iman dan Alkitab kita tidak perlu memakai logika. Logika adalah untuk orang pintar yang mau memakai otaknya, sedangkan iman adalah untuk orang yang tidak suka berpikir, terima saja, percayai saja, habis perkara”

Akan tetapi kini sadarkah kita bahwa bukan hanya Alkitab yang mengajari kita untuk melihat pada apa yang menjadi “pada mulanya,” melainkan para filsufpun menyadari bahwa hal tersebut penting secara logika?

Apa (atau siapa) yang menjadi “pada mulanya” dalam hidup anda?

Mengacu pada pengertian dari kata avrch yang saya jabarkan di atas, pertanyaan tadi dapat berbunyi seperti ini:

Apa (atau siapa) yang menjadi asal usul dari segala sesuatu menurut pandangan anda?

Apa (atau siapa) yang menjadi prinsip dasar (elementary principle) bagi hidup anda?

Apa (atau siapa) yang menjadi pembuat hukum atau aturan bagi hidup anda?

Apa (atau siapa) yang memegang otoritas dalam hidup anda?

Mari kita lihat beberapa contoh alternatif jawaban:

Jika misalnya anda setuju bahwa asal usul (origin) manusia adalah kera, seperti yang dicetuskan oleh Charles Darwin, maka saya katakan marilah kita berbuat sekehendak hati kita, karena sebagai keturunan kera kita tidak memiliki landasan moral apapun dari segala perbuatan kita. Jika hari ini kita memilih seorang wanita untuk dinikahi (dan disetubuhi) lalu keesokan harinya kita mengambil wanita lain (milik keturunan kera lainnya) untuk dinikahi (dan tentu saja disetubuhi) maka sepatutnya tidak ada seorang pun yang boleh keberatan pada perbuatan tersebut karena sebagai keturunan kera, apakah moral itu? Apakah yang harus menjadi dasar untuk menyebut sebuah perbuatan benar atau salah? Darimana datangnya perasaan bahwa persetubuhan yang ini benar sedangkan persetubuhan yang itu salah? Bukankah perbuatan yang salah di suatu tempat, dapat menjadi benar di tempat lain atau pada kebudayaan lain? Lalu dimana patokannya?

Atau contoh kedua, jika misalnya anda memiliki prinsip dasar (elementary principle) bahwa uang adalah segala-galanya, maka dapat dipastikan bahwa hidup anda akan dipusatkan pada pencarian uang semata-mata. Dan dapat dipastikan pula bahwa cara anda menilai segala sesuatu pun tentunya semata dari sudut pandang menguntungkan atau merugikan secara ekonomi. Oleh karena itu, bagi orang yang berpandangan semacam ini, tentu sah-sah saja menjalankan bisnis apapun, entah itu menjual panci untuk memasak atau menjual anak-anak di bawah umur untuk santapan kaum paedophilia, sejauh hal tersebut menghasilkan uang yang banyak. Tentu tidak menjadi soal, bagi orang yang berprinsip semacam ini, untuk mengambil uang yang semula diperuntukkan bagi korban bencana alam lalu memakainya untuk membeli berbagai barang mewah untuk keperluan pribadi. Mengapa? Karena elementary principle yang dianut orang-orang ini adalah uang. Repotnya adalah jika anda bertemu dengan orang lain yang berpandangan serupa dan merasa yakin bahwa ia boleh merampas harta benda anda juga bagi dirinya. Lalu sekali lagi, dimana patokannya?

Contoh ketiga adalah jika misalnya anda percaya bahwa pemilik otoritas (authority) hidup ini adalah diri anda sendiri, maka anda bebas menentukan tindakan mana yang benar dan tindakan mana yang salah. Anda boleh berbuat apapun sesuka hati, karena anda sendirilah otoritas utama itu. Anda boleh membunuh orang lain yang menjengkelkan anda, karena toh anda yang memegang keputusan bukan? Anda dengan perasaan tenang boleh membom rumah ibadah orang lain karena sekali lagi andalah yang memegang keputusan, bukan? Namun tentunya anda juga harus siap menerima kenyataan bahwa orang lain pun dapat saja merasa bahwa diri mereka masing-masinglah yang memegang otoritas. Dan jangan bosan jika saya bertanya lagi, dimana patokannya?

Ketiga contoh ini sengaja saya angkat untuk memperlihatkan pada anda bahwa jawaban dari pertanyaan “Apa (atau siapa) yang menjadi “pada mulanya” dalam hidup kita?” amatlah menentukan sikap hidup kita dan cara bagaimana kita akan menjalani kehidupan sehari-hari. Saya pribadi tidak setuju dengan gagasan yang saya munculkan dalam contoh-contoh tersebut, namun saya melihat bahwa gagasan-gagasan semacam itu cukup populer dianut oleh masyarakat dari berbagai lapisan. Ada pula yang secara prinsip tidak setuju dengan gagasan itu, tetapi secara praktis sehari-hari mereka menjalankan juga prinsip-prinsip tersebut.

Plato dan Aristoteles sudah cukup baik ketika mereka menyadari bahwa konsep “pada mulanya” ini adalah konsep yang sangat penting, namun bagi saya, mereka belum lengkap dalam pemikiran tersebut. Plato dan Aristoteles dalam keterbatasan mereka tidak mampu menjelaskan tentang apakah atau siapakah sang “supreme wisdom” (menurut Plato) atau sang “unmoved mover” (menurut Aristoteles) tersebut. Sejujurnya, saya pun tidak akan dapat, tetapi saya tahu siapa yang bisa; yaitu Allah sendiri melalui Alkitab-Nya.

Alkitab mengajar dan memperkenalkan pada kita bahwa subjek yang menjadi titik perhatian dari konsep “pada mulanya” ini tidak lain adalah Pribadi Allah sendiri.

“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. (Kejadian 1:1)

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.” (Yoh 1:1)

Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru sama-sama menyerukan bahwa Allah adalah permulaan dari segala sesuatu. Jika saya boleh meminjam alur logika Aristoteles dalam kasus ini, maka dapat saya simpulkan bahwa hadirnya sosok Allah dalam alam semesta ini adalah mutlak benar secara logika. Memang Aristoteles tidak memakai istilah Allah, tetapi ia bersikeras bahwa Sosok yang satu ini (siapapun Dia) harus ada, secara logika, demi menjawab fakta-fakta kehidupan yang dilihat oleh Aristoteles (yaitu dalam kasus dia adalah mengenai adanya gerakan).

Implikasi dari apa yang saya katakan ini adalah bahwa kaum atheist yang mengatakan bahwa Allah tidak ada, telah sungguh-sungguh bersikap tidak ilmiah. Atau dalam kata-kata yang lain dapat saya simpulkan: “Dibutuhkan iman yang jauh lebih besar untuk menyimpulkan bahwa Allah tidak ada (seperti yang dilakukan oleh kaum atheist) daripada menyimpulkan bahwa Allah ada.”

Jika sudah begini, lalu siapakah yang telah bersikap lebih tidak masuk akal, kaum percaya (believer) ataukah kaum atheis? Jelas sekali, kaum atheis telah bertindak (atau berpikir) secara tidak masuk akal, tidak konsisten dan semata-mata mengandalkan keyakinan mereka bahwa Allah tidak ada. Dan bukankah ini adalah ironi yang memalukan jika mereka (kaum atheist) yang seringkali memandang kaum percaya (believer) sebagai orang bodoh yang tidak memaki otaknya, justru mereka sendiri ternyata lebih mengandalkan hidup mereka pada iman yang buta (bahwa Allah tidak ada).

Itu sebabnya tidaklah berlebihan, saya kira, jika Alkitab memberi cap yang memalukan bagi kaum atheis, dengan mengatakan:

Orang bebal berkata dalam hatinya: "Tidak ada Allah." (Mazmur 14:1).

Itu benar. Mereka, kaum atheis adalah bebal, itulah kesimpulan ilmiahnya, dan sekaligus itulah pernyataan Alkitabiahnya, apa lagi yang dapat kita katakan?

Sering kita menemukan bahwa orang-orang atheis adalah orang-orang yang senang membangga-banggakan logikanya, atau ilmu pengetahuannya, atau teknologinya. Mereka mengesampingkan Allah sampai pada titik ketiadaan. Namun sekarang, kiranya melalui tulisan sederhana ini kita dapat melihat persoalan tersebut dari sudut pandang yang tepat.

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita.

Catatan:

Tulisan ini masih jauh dari selesai, karena masih ada begitu banyak hal yang dapat kita bahas dari konsep “pada mulanya” yang diajarkan oleh Alkitab ini. Dalam tulisan-tulisan mendatang saya akan coba mengajak kita semua untuk mengeksplorasi lebih jauh konsep ini dan mencoba melihat perbandingan-perbandingan antara konsep Alkitabiah dengan konsep filsafat serta dengan gagasan sosial yang sedang berkembang pada masyarakat dewasa ini.