Monday, September 30, 2013

Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan? - 2




Kisah perjumpaan Yesus dengan seorang pemuda yang kaya
Bagian 2

Oleh: Izar Tirta

Sumber bacaan:
Matius 19:16-26
Markus 10:17-27
Lukas 18:18-28

PENDAHULUAN
Pada bagian sebelumnya, kita sudah berkenalan dengan seorang pria muda yang memiliki karakteristik luarbiasa. Seorang pria yang sangat mungkin akan begitu diidamkan, diidolakan dan bahkan dijadikan panutan oleh banyak orang. Meskipun demikian, penulis Alkitab memaparkan peristiwa perjumpaan pemuda itu dengan Yesus justru bukan dengan maksud agar kita menjadikan dia panutan atas segala kelebihannya, melainkan agar kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang dia lakukan.

Kesalahan pemuda ini dapat kita ketahui dari setiap kritik dan teguran yang Yesus alamatkan kepada dirinya. Dan melalui tulisan ini, saya akan memaparkan apa makna kritik dan teguran Yesus tersebut. Agar melaluinya, kita pun dapat mengevaluasi diri kita sendiri dan menilai sejauh mana kritik dan teguran itu barangkali berhubungan dengan diri kita juga.




KRITIK DAN TEGURAN YESUS: APA DAN MENGAPA?

Guru yang baik

Pemuda kaya itu datang kepada Yesus dan mengajukan sebuah kalimat pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan yang kekal, yaitu kehidupan setelah kematian di sorga bersama dengan Tuhan. Ketiga penulis Injil mencatat pertanyaan tersebut demikian:

Matius (ayat 16):
Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?
Markus (ayat 17)
Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?
Lukas (ayat 18)
Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?

Jika kita melihat pertanyaan pemuda kaya itu dalam suatu kerangka perbandingan antara tiga Injil, maka kitab Matius nampaknya berbeda dengan Markus dan Lukas.

Sementara dalam Markus dan Lukas kata “baik” dialamatkan kepada Pribadi Sang Guru (Guru yang baik), Matius terlihat mencatat bahwa kata “baik” itu dialamatkan kepada jenis perbuatan (perbuatan baik). Lalu bagaimana kita harus memahami perbedaan catatan semacam ini?

Perbedaan yang muncul dalam terjemahan LAI itu diambil dari Alkitab Yunani Novum Testamentum Greek yang dipadukan dengan Alkitab Yunani versi Septuaginta. Manuskrip Alkitab semacam ini biasanya diberi singkatan BGT.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan tersebut mungkin sekali dikarenakan penyalin manuskrip BGT untuk Injil Matius tersebut ingin menekankan aspek perbuatan dari peristiwa itu, mengingat kitab Matius adalah kitab yang lebih kental dengan nuansa ke-Yahudi-annya dibandingkan dengan Markus dan Lukas. Meskipun demikian, seperti yang dapat kita baca sendiri dalam terjemahan LAI-nya, jawaban Yesus atas pertanyaan tersebut (di dalam Injil Matius), bukan mengarah pada perbuatan, melainkan pada Pribadi, “hanya Satu yang baik” kata Yesus.

Polemik semacam ini akan semakin tidak terasa jika kita membaca Matius 19:16 menurut Alkitab Yunani versi Byzantine[1] (BYZ), bahasa Yunani yang dipakai hampir sama antara Matius, Markus dan Lukas yaitu: Didaskale agate, ti agaton poieso, ina echo zoen aionion, terjemahan saya dari ayat ini bisa dilihat pada bagian bawah.

Selengkapnya perbandingan itu akan saya sajikan di bawah ini:
Matius (ayat 16):
Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? Didaskale agate, ti agaton poieso, ina echo zoen aionion (versi BYZ)

Markus (ayat 17)
Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?
Didaskale agate, ti poieso ina zoen aionion kleronomeso

Lukas (ayat 18)
Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?
Didaskale agate, ti poiesas zoen aionion kleronomeso

Saya kira dari sini cukup jelas, bahwa Matius pun mengalamatkan kata “baik” itu kepada Pribadi Sang Guru, yaitu Guru yang baik. Sehingga jika saya terjemahkan langsung pertanyaan pemuda itu dalam Injil Matius, menurut Alkitab Yunani versi BYZ tersebut, maka kalimatnya akan berbunyi seperti ini:
“Guru yang baik, perbuatan baik apakah yang kiranya[2] dapat aku lakukan, agar aku sekiranya[3] dapat terus memiliki hidup kekal?”

Apa jawab Yesus terhadap pertanyaan si pemuda kaya ini?

Yesus bukan pertama-tama menjawab pertanyaan, melainkan Ia lebih dahulu mengkritik ungkapan yang dipakai pemuda itu: "Apakah sebabnya engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik.(Matius 19:17)

Sekali lagi saya harus katakan bahwa terjemahan Indonesia versi LAI yang anda baca di atas, sedikit berbeda dengan Alkitab Yunani versi BYZ yang saya pakai dan yang juga dipakai oleh Alkitab Inggris versi King James Version (KJV). Menurut Alkitab Yunani versi BYZ, jawaban Yesus adalah: Ti me legeis agaton, oudeis agatos, ei me eis, ho Teos Yang jika saya terjemahkan secara langsung akan berbunyi demikian:
Mengapa engkau memanggil-Ku baik, tidak ada satupun yang baik, kecuali satu, yaitu Tuhan. (Bandingkan terjemahan langsung Mat 19:17 saya ini dengan versi LAI terhadap Mar 10:18 & Luk 18:19)

Masalahnya sekarang adalah, mengapa Yesus harus mengajukan pertanyaan seperti itu? Apakah dengan demikian berarti Yesus tidak mau mengakui bahwa diri-Nya adalah Tuhan? Apakah dengan demikian berarti Yesus ingin mengatakan bahwa diri-Nya tidak baik?
Di manakah letak kesalahan pemuda kaya itu sehingga ia harus menerima kritik dan teguran? Lalu apa salahnya memuji seseorang dengan sebutan “Guru yang baik” ...??

Pertanyaan atau kritikan Yesus bukanlah berarti bahwa Ia tidak mau mengaku sebagai Tuhan, bukan pula berarti bahwa Ia menganggap diri-Nya tidak baik. Ia hanya mengatakan bahwa tidak ada satupun yang baik, kecuali Tuhan. Pernyataan Yesus ini:
-      Pertama, dimaksudkan untuk menguji si pemuda kaya, apakah dia mengatakan hal itu karena ia sudah tahu bahwa Yesus adalah Tuhan, ataukah hal itu ia katakan hanya sebagai suatu basa basi sosial belaka.
-     Kedua, mempunyai implikasi bahwa cara pandang manusia tentang kebaikan, berbeda dengan cara pandang Tuhan tentang kebaikan.

Untuk hal yang pertama, pemuda kaya itu agaknya tidak tahu bahwa Yesus adalah Tuhan yang sejati. Bagi pemuda ini, Yesus adalah seorang Guru, seorang tokoh religius yang ia harap dapat membantu dirinya untuk menemukan jalan keselamatan. Pemuda ini gagal mengenal Yesus sebagai Jalan Keselamatan itu sendiri, karena ketika kesempatan untuk mengikut Yesus ditawarkan padanya, ia menolak Yesus karena merasa harga yang harus dibayarkan terlalu mahal.

Untuk hal yang kedua, jelas sekali cara pandang manusia tentang kebaikan sangat berbeda dengan cara pandang Tuhan. Dan dalam hal ini, hanya cara pandang Tuhanlah yang dianggap mutlak benar oleh Yesus Kristus.

Manusia memandang kebaikan seseorang karena berbagai pengaruh dan motivasi:
-          Kebaikan hampir selalu kita definisikan sebagai segala sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan bagi kita.
-          Seseorang bisa kita sebut baik, ketika ia telah melakukan sesuatu yang menguntungkan kita. Jika merugikan, maka kita tentu urung menyebut orang itu baik.
-          Seseorang bisa kita sebut baik, ketika kita berharap ia akan melakukan sesuatu yang menguntungkan kita.
-          Jika seseorang berbuat sesuatu yang tidak baik, mencuri misalnya, maka pendapat orang lain terhadap dia dapat beragam. Bagi mereka yang belum pernah mencuri, maka orang tadi akan dinilai sangat buruk, tetapi bagi mereka yang selama ini diam-diam juga suka mencuri, maka tentu akan mempunyai penilaian yang tidak terlalu buruk terhadap orang yang mencuri itu. Standar kebaikan dan keburukan dapat berbeda, tergantung kondisi dari orang yang memberi penilaian.

Dapat kita lihat sekarang, ukuran kebaikan seorang manusia terhadap manusia lain, sangat mudah berubah, tergantung pada kondisi dan situasi. Situasiku jadi baik, engkau baik. Situasiku jadi buruk, engkau jahat (atau setidaknya, sudah tidak baik lagi). Sesederhana itu.

Di samping itu, kebaikan seorang manusia, kalau pun kita berhasil melakukannya, amat rapuh dan mudah berubah. Tidak setiap saat kita dapat melakukan perbuatan baik atau memilih apa yang baik. Kita jarang konsisten. Atau lebih tepatnya, kita tidak mampu untuk konsisten.

Dan Yesus ingin mengkoreksi pandangan pemuda ini. Yesus ingin pemuda ini tahu bahwa hanya Allah saja yang standar kebaikan-Nya bersifat mutlak, absolut, tidak pernah berubah, tidak pernah dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Sehingga dengan demikian hanya Dia-lah yang benar-benar pantas disebut baik.

Alkitab dipenuhi dengan kisah-kisah kebaikan Allah yang jika dipandang melalui kacamata kita sebagai manusia yang terbatas dan berdosa, maka yang nampak adalah gambaran-gambaran yang cukup membingungkan. Jika Allah itu baik dan penuh kasih, mengapa hidup ini penuh penderitaan? Atau, mengapa Allah mengasihi Yakub dan membenci Esau? Mengapa Allah menciptakan manusia hanya untuk kemudian membiarkan sebagian dari mereka masuk neraka? Jika Allah itu baik, mengapa Ia mengizinkan iblis menyiksa Ayub? Jika Allah itu baik, mengapa Ia merestui aksi pembantaian masal terhadap warga Kanaan oleh bangsa Israel? Jika Allah baik, mengapa Ia tidak mencegah Yudas bunuh diri setelah penyesalannya itu? Jika Allah itu baik, mengapa Alkitab mengajarkan bahwa hanya yang percaya pada Yesus Kristus saja yang akan diselamatkan?

Pertanyaan-pertanyaan di atas dan segudang pertanyaan lainnya tentang Allah, adalah ungkapan ketidakmengertian kita terhadap Pribadi Allah yang Mahabaik ini. Hanya setelah kita bersikukuh untuk percaya dan berusaha mengenal Dia secara mendalamlah, baru kita dapat mengerti mengapa Allah itu sangat pantas diberi predikat baik.

Tidak mudah memahami kebaikan Tuhan yang sejati. Butuh proses, butuh usaha, butuh perjuangan, butuh iman dan tentu saja butuh pertolongan dari Tuhan sendiri. Kebaikan Tuhan itu bersifat ontologis, objektif, ada para dirinya sendiri, tidak terpengaruh oleh pendapat orang lain.

Bagaimana dengan kebaikan manusia? Adakah ungkapan yang spesifik tentang kebaikan manusia? Yesus menepis gagasan tentang kebaikan manusia. “Tidak ada satupun yang baik” kata Yesus dalam Matius 19:17. Dan belakangan kita tahu bahwa Rasul Paulus pun berkata: "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. (Roma 3:10)

Berbeda dengan opini umum yang menganggap bahwa semua manusia pada dasarnya baik. Yesus justru memandang bahwa kita ini tidak baik.

Dan jika pemuda luarbiasa ini saja masih dianggap tidak baik oleh Tuhan, maka bagaimanakah peluang Anda dan saya? Dalam pandangan Alkitab, tidak ada manusia yang dapat disandingkan dengan Kebaikan, Kebenaran dan Kesucian Allah.

Menuruti segala perintah Tuhan

Respon Tuhan Yesus terhadap pertanyaan si pemuda: “perbuatan baik apakah yang kiranya dapat aku lakukan, agar aku sekiranya dapat terus memiliki hidup kekal?” adalah “jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup, turutilah segala perintah Allah." (Mat 19:17)

Sepintas jawaban Yesus ini memang persis sama dengan opini umum yang mengajarkan bahwa kalau kita berbuat baik, maka pasti masuk sorga. Atau lakukan semua perintah Allah, maka kita pasti diterima di sorga. Konsep semacam ini terasa sangat masuk akal bagi kita. Sejak kecil kita sudah belajar dari kehidupan ini bahwa kita harus berusaha melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Termasuk ketika kita sedang berbicara tentang urusan masuk sorga, kita merasa yakin bahwa cara yang harus ditempuh adalah dengan menuruti segala perintah Allah. Lalu, apa masalahnya?

Masalahnya adalah, perintah yang mana? Sampai sejauh mana kita harus menurutinya? Dan darimana kita tahu bahwa kita sudah berhasil menurutinya atau belum? Lalu jika kita kadang berhasil dan kadang gagal, apa konsekuensinya?

Banyak orang tanpa sadar telah terlalu memandang enteng syarat dari Yesus ini. Entah mengapa muncul perasaan bahwa menuruti segala perintah Allah tidak jauh lebih sulit daripada menyelesaikan soal-soal ujian seperti waktu di sekolah kita dulu. Sehingga secara gegabah timbul suatu keyakinan bahwa asalkan kita tidak pernah melakukan kejahatan yang besar dan nyata di dalam masyarakat, maka pastilah kita akan diterima di sorga.

Sayangnya, anggapan kita tentang hal tersebut ternyata sama sekali tidak sesuai dengan Alkitab. Karena terburu-buru dan cenderung melihat kalimat Yesus tersebut tanpa memperhatikan konteksnya, maka dengan mudah kita akan keliru dalam memahami alasan dan motivasi Yesus di balik kata-kata-Nya pada pemuda itu.

Pemuda itu juga keliru. Dari sejak semula bertemu Yesus, dia sudah punya konsep yang keliru tentang bagaimana cara untuk memperoleh hidup yang kekal di sorga. Sebagai seorang yang punya banyak harta, pemuda itu sudah terbiasa dengan konsep bahwa untuk memiliki sesuatu, ia harus melakukan hal-hal yang perlu agar dapat memiliki apa yang diinginkannya. Pemuda ini menyangka bahwa ia pun harus melakukan sesuatu perbuatan kebaikan agar dirinya dapat diterima oleh Allah di sorga kelak.

Dari pertanyaan pemuda ini, “perbuatan baik apakah yang kiranya dapat aku lakukan, agar aku sekiranya dapat terus memiliki hidup kekal?” tercermin suatu kenyataan, yaitu bahwa dia sendiri belum yakin apakah dirinya akan memiliki hidup yang kekal atau tidak. Dan bukan saja tidak yakin, tetapi ia bahkan merasa bahwa segala hal yang ia lakukan sejak masa mudanya, masih belum cukup untuk membawa dia kepada keselamatan. Something is still missing. Jiwanya terlihat masih terus mencari-cari cara serta mencari-cari jenis perbuatan lain yang sekiranya dapat menyelamatkan nyawanya jika kelak berhadapan dengan Allah yang Mahasuci. Itu sebabnya ia bertanya lagi pada Yesus: “Perintah yang mana?”

Jadi, di satu sisi si pemuda sudah merasa bahwa ia telah melakukan segala perintah Allah, tetapi di sisi lain ia tetap merasa bahwa jiwanya belum memiliki keselamatan.

Jawaban Yesus kemudian adalah "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta,  hormatilah ayahmu dan ibumu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 19:18,19). Apakah Anda ingat, dimana kita dapat menemukan kalimat-kalimat perintah semacam itu? Tentu saja, dalam 10 perintah Allah (Kel 20:2-17)

Jika kita perhatikan, 10 perintah Allah terbagi menjadi dua bagian besar.
Bagian pertama, terdiri dari:
1.       Jangan ada allah lain di hadapan-Ku
2.       Jangan membuat patung dan jangan sujud menyembah padanya
3.       Jangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan
4.       Ingat dan kuduskan hari Sabat.
Sedangkan bagian kedua, terdiri dari:
5.       Hormati ayah dan ibumu
6.       Jangan membunuh
7.       Jangan berzinah
8.       Jangan mencuri
9.       Jangan mengucapkan saksi dusta
10.   Jangan mengingini milik sesamamu.

Bagian pertama, yaitu perintah ke 1 sampai 4, memberi penekanan pada kasih terhadap Allah, sementara bagian kedua, yaitu perintah ke 5 sampai 10 menekankan pada kasih terhadap sesama.

Jika diperhatikan, perintah-perintah Allah yang Yesus sebutkan pada pemuda itu, hanya mencakup bagian kedua saja, yaitu yang menekankan pada kasih terhadap sesama. Yesus belum membahas bagian pertama, yaitu kasih terhadap Allah. Dan bagaimanakah tanggapan pemuda ini terhadap perintah-perintah yang berkenaan dengan kasih kepada sesama manusia itu?

Dengan penuh keyakinan, ia berkata: "Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku, apa lagi yang masih kurang?"

Sampai di sini, kita kembali melihat suatu kekeliruan fatal dari pemuda ini, yaitu dia terlalu memandang enteng 10 perintah Allah dan terlalu memandang tinggi dirinya sendiri. Dia merasa mampu memenuhi standar yang Allah tetapkan bagi manusia untuk memperoleh keselamatan. Padahal sebagai manusia yang berdosa, jangankan kita mampu mencapai secara sempurna standar itu, untuk disebut baik pun, menurut Yesus kita ini tidak layak.

Banyak orang di dunia ini yang sama seperti pemuda kaya tersebut, yaitu sudah merasa cukup suci, cukup mampu, cukup rohani, cukup bijaksana dan perasaan serba kecukupan lainnya yang pada gilirannya membuat kita merasa bahwa dengan segala kecukupan ini kita bisa mencapai hadirat Allah dengan kekuatan serta kesucian kita sendiri. Di mata Yesus, anggapan semacam ini adalah kekeliruan fatal...!

Tidak ada satu orangpun yang dapat memenuhi standar yang Allah tetapkan. Tidak ada satu orangpun yang dapat melaksanakan dengan sempurna 10 perintah yang Allah telah berikan.

Di dalam sejarah umat manusia, sejak dari Adam hingga bayi terakhir yang lahir pada detik Anda membaca tulisan ini, hanya ada satu manusia yang mampu memenuhi standar dalam 10 perintah Allah itu, namanya adalah Yesus, Dia orang Yahudi dan mempunyai gelar Kristus. Tidak ada lagi yang lain.

Pemuda kaya itu tidak menyadari bahwa 10 perintah Allah adalah sesuatu yang memiliki tuntutan sangat tinggi. Tidak semudah seperti yang ia bayangkan. Pemuda kaya itu juga tidak menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang telah jatuh ke dalam dosa sehingga tidak mungkin mampu memenuhi tuntutan yang ada dalam 10 perintah Allah.

Ketika Yesus meminta dia melakukan perintah ke 5 sampai ke 10 dari Taurat, pemuda itu mengatakan bahwa ia telah melakukan hal tersebut sejak ia masih muda remaja. Seolah-olah ia ingin mengatakan bahwa dirinya sanggup dan mampu mengasihi sesama manusia secara sempurna.

Demi menyadarkan pemuda kaya itu dari kekeliruannya, Yesus meminta dia untuk melakukan sesuatu yang di luar dugaan. Yesus meminta pemuda itu menjual seluruh hartanya dan memberikan uang hasil penjualan itu kepada orang miskin. Yesus meminta pemuda sombong rohani ini untuk membuktikan kemampuannya dalam mengasihi sesama manusia sebagaimana yang telah ia gembar-gemborkan sebelumnya.

Dalam bahasa sehari-hari, seolah Yesus ingin berkata: “Oke, jika kamu pikir bahwa mengasihi sesama manusia adalah hal yang mudah, coba lakukan ini; jual semua hartamu, lalu berikan hasilnya pada sesama yang engkau kasihi itu. Tidak usahlah sampai mengorbankan nyawamu bagi orang lain, cukup korbankan seluruh hartamu saja. Mau?”

Hasil akhirnya, kita sama-sama sudah tahu, pemuda itu menolak untuk menuruti anjuran Yesus dan memilih untuk pergi. Permintaan Yesus yang radikal itu akhirnya mau tidak mau membongkar isi hati si pemuda yang sebenarnya. Jika sebelumnya ia menganggap dirinya sudah mampu melaksanakan perintah mengasihi sesama, kini ia disadarkan bahwa dirinya sama sekali belum mampu mengasihi sesama sesuai dengan standar yang Allah tetapkan. Jika tadinya kita pikir orang semacam ini adalah orang yang God-centered (berpusat pada Allah), sekarang kita tahu bahwa dia ternyata adalah seorang yang self-centered (berpusat pada diri sendiri).

Yesus meminta pemuda kaya itu mengikut Dia dengan maksud agar pemuda itu mengerti bahwa memiliki hidup yang kekal bukanlah perkara melakukan suatu perbuatan baik, melainkan dengan mengikut Yesus dan menjadikan Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat. Sebab hanya dengan mengikut Yesus-lah seseorang dapat memperoleh anugerah hidup yang kekal itu.

Jika boleh saya summary-kan kembali, kritik Yesus kepada pemuda kaya itu adalah:
-          Pertama, karena ia mengira bahwa manusia itu baik, padahal hanya Allah saja yang memiliki kebaikan absolut. Di hadapan Tuhan, tidak ada manusia yang baik.
-          Kedua, karena ia mengira bahwa keselamatan atau kehidupan kekal di sorga adalah sesuatu yang dapat diperoleh melalui perbuatan baik. Padahal hanya anugerah kebaikan Allah melalui penebusan Yesus Kristus sajalah hal itu dapat kita terima.
-          Ketiga, karena ia mengira bahwa menuruti perintah Tuhan adalah hal yang mudah dilakukan. Padahal tanpa penebusan dari Yesus dan pertolongan dari Roh Kudus, kita tidak akan mungkin mampu mencapai standar yang Allah tetapkan.
-          Keempat, karena ia lebih memilih hartanya, agamanya, comfort zone-nya, ketimbang Pribadi Yesus Kristus. Padahal justru Pribadi Yesus itulah satu-satunya yang mampu menyelamatkan, bukan agama, bukan perbuatan, bukan apapun.

Setelah pemuda itu pergi, Yesus mengemukakan sebuah perbandingan yang sangat terkenal yaitu jauh lebih mudah bagi seekor unta untuk masuk melalui lubang jarum daripada seorang yang kaya masuk ke dalam kerajaan sorga. Tidak sedikit orang yang menafsir bahwa lubang jarum dalam ungkapan ini adalah sebuah pintu kecil di gerbang Israel yang mengharuskan unta melepaskan beban dan merayap untuk dapat masuk. Namun tafsiran semacam ini tidaklah tepat serta tidak memiliki dukungan historis dan arkeologis yang memadai. Arti dari ungkapan ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu bahwa mustahil bagi manusia untuk masuk ke dalam kerajaan sorga dengan kemampuannya sendiri. Sama mustahilnya jika ada seekor unta yang ingin melewati sebuah lubang jarum. Meskipun demikian, apa yang mustahil bagi manusia, tidak bagi Allah.[4]

Orang kaya yang dimaksudkan oleh Yesus dalam ungkapan tersebut tidaklah harus ditafsirkan sebagai orang yang memiliki banyak harta. Orang yang kaya dalam ungkapan ini adalah orang yang merasa cukup mampu untuk masuk ke sorga dengan usaha dan kebaikan dirinya sendiri. Seorang yang miskin harta pun, jika merasa bahwa dirinya mampu masuk ke dalam sorga melalui kesalehan diri serta perbuatannya, dapat masuk dalam kategori orang yang kaya di dalam ungkapan unta dan lubang jarum ini.

Kiranya sampai di sini kita sudah memiliki cukup banyak bahan untuk direnungkan, sebelum kita beranjak kepada step berikutnya, yaitu impilikasi dari ajaran Yesus ini serta aplikasinya. Saya akan membahas hal itu di dalam tulisan berikutnya. Tuhan memberkati.

Bersambung...


[1] Alkitab Yunani yang menggunakan Byzantine text berasal dari manuskrip yang jumlahnya paling besar yang ditemukan dari abad-abad awal kekristenan. Jenis text ini dipakai oleh Greek Ortodox Church dan juga oleh Alkitab bahasa Inggris King James Version. Munculnya perbedaan antara BYZ dan BGT (dan juga versi2 lainnya) disebabkan karena manuskrip sumbernya pun berbeda. Meskipun begitu, perbedaan tersebut tidak terlalu menggangu ajaran-ajaran mendasar di dalam Alkitab.
[2] Saya menterjemahkan “kiranya dapat aku lakukan” karena bahasa aslinya yaitu “poieso,” disajikan dalam bentuk kata kerja, subjunctive, aorist, aktif. Sebagaimana kita tahu, subjunctive adalah mood yang menunjukkan keragu-raguan.
[3] “sekiranya dapat terus memiliki” dalam bahasa aslinya adalah “echo” yang merupakan kata kerja, subjunctive, present, aktif. Kalimat ini juga memiliki mood keragu-raguan.
[4] Saya membuat tulisan secara tersendiri mengenai tema ini dengan judul Ketika unta masuk melalui lubang jarum.”