Monday, October 21, 2013

Ketika unta masuk melalui lubang jarum

Tuhan Yesus pernah berkata:
Sekali lagi Aku berkata kepadamu, lebih mudah seekor unta masuk melalui lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah. (Matius 19:24)
 

Ketika unta masuk melalui lubang jarum
Ketika Unta Masuk Melalui Lobang Jarum


Dalam tulisan saya berjudul “Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan?”, telah dibahas sedikit tentang ungkapan Yesus mengenai seekor unta yang masuk melalui lubang jarum tersebut. Melalui tulisan kali ini, saya bermaksud mengajak kita semua untuk melihat lebih dalam lagi seputar persoalan tersebut.

Baca juga Artikel Berikutnya: Yesus Kristus adalah Tuhan atas seluruh bumi.

Ungkapan Yesus mengenai unta dan lubang jarum, memang memancing suatu tanda tanya besar, baik bagi gereja pada abad-abad permulaan, maupun bagi gereja pada saat ini. Berbagai komentar dan tafsiran telah dibuat demi suatu upaya untuk menjelaskan apa yang Yesus maksudkan dengan kata-kata-Nya tersebut. Meskipun demikian, di antara semua itu, ada dua tafsiran yang paling populer mengenai ungkapan Yesus ini, yaitu:
 
 
 
Buku "Glory Days - Menikmati Kehidupan Negeri Perjanjian"
 

Tafsiran Populer Pertama, pintu lubang jarum

Ada pendapat yang mengatakan bahwa lubang jarum yang dimaksud oleh Yesus dalam ungkapan tersebut sebenarnya adalah sebuah pintu kecil yang terdapat di gerbang sebuah kota. Konon dikatakan bahwa pintu kecil tersebut dibuat untuk para pengelana yang tiba di kota pada saat malam hari, yaitu ketika gerbang utama telah ditutup. Demi alasan keamanan, pintu tersebut sengaja dibuat dalam ukuran kecil. Sehingga ketika seekor unta hendak masuk melalui pintu tersebut, maka unta tersebut harus menunduk dan merayap serta harus melepaskan semua barang yang dibawanya. [Baca juga: Tanda-tanda anugerah sejati dari Allah. Klik disini.]

Dr. John Phillips, seorang cendekiawan Biblika yang sangat aktif menulis eksposisi Alkitab, mengungkapkan hal ini dalam bukunya berjudul Exploring the Gospel of Matthew. Phillips mengatakan:

“When the main gates were closed for the night, the merchant arriving late was forced to enter through the small postern gate. Usually he had to unload his camels so that they could get through.”[1]

Tafsiran semacam itu sebenarnya bukanlah suatu tafsiran baru. Gagasan tentang adanya sebuah pintu kecil di gerbang kota tersebut sudah muncul sejak abad ke 15. Beberapa ahli teologi bahkan mengatakan bahwa teori ini sudah ada sejak abad ke 9 M. Masalahnya bagi kita sekarang adalah, apakah teori tersebut  dapat atau layak kita terima?

Sepintas, gagasan tentang pintu kecil ini memang terasa cukup masuk akal. Ada kesan keindahan di dalamnya. Bagaimana seekor unta harus berlutut dan melepaskan bebannya untuk dapat memasuki pintu kecil itu, seolah mengisyaratkan adanya unsur kerendahan hati dan ke-berserah-an di dalam aktivitas tersebut.

Namun demikian, tafsiran semacam ini memiliki beberapa kelemahan yang boleh dikatakan fatal, yaitu:

Pertama, secara historis tidak ada pintu kecil semacam itu di gerbang kota pada masa Yesus melayani. Penelitian arkeologi yang berhubungan dengan pembuktian Alkitab pun tidak pernah menemukan pintu seperti itu. Jadi dengan kata lain, tafsiran tentang pintu tersebut pun pada dasarnya hanyalah isapan jempol belaka. Hanya terdengar indah di telinga, hanya memuaskan rasa ingin tahu sesaat, namun sama sekali tidak nyata. Itu hanya fiksi. Hampir tidak ada lagi teolog abad ini yang masih memegang gagasan tersebut dalam eksposisi mereka.

Kedua, istilah Yunani yang dipakai dalam ayat-ayat tersebut, sangat jelas berbicara tentang lubang yang terdapat pada jarum yang biasa dipakai untuk menjahit.

Injil Matius memakai istilah trupematos rafidos. Trupematos sendiri berarti lubang yang biasa terdapat pada jarum. Sedangkan rafidos berarti jarum. Sehingga trupematos rafidos secara harafiah dapat diterjemahkan menjadi “lubang jarum pada jarum.” Terdengar agak janggal memang, tapi yang ingin saya utarakan di sini adalah bahwa kedua kata itu telah saling memberi penekanan arti antara satu dengan lainnya.

Sementara itu, istilah yang dipakai Markus adalah tes trumalias tes rafidos. Seperti yang kita lihat, Markus malah memberi definite article pada kata “lubang jarum” & “jarum.” Dalam bahasa Ingris, istilah yang dipakai Markus itu dapat diterjemahkan menjadi “the hole of the needle.” Penambahan kata “the” dalam bahasa Inggris atau tes dalam bahasa Yunani memberi penekanan bahwa benda tersebut adalah benda yang sudah tertentu dan sudah diketahui lawan bicaranya.
 
Injil Lukas memakai istilah trumalias rafidos, hampir sama seperti Matius. Perbedaan terletak pada pemakaian kata benda neuter (oleh Matius) dan kata benda feminin (oleh Lukas). Dalam hal ini saya merasa wajar jika Lukas memakai bahasa Yunani yang lebih spesifik ketimbang Matius, mengingat Lukas memang adalah seorang Yunani, sementara Matius orang Yahudi. Lukas lahir di Antiokhia dan banyak mempelajari filsafat Yunani, ilmu sejarah dan ilmu kedokteran. Selain itu, Injil Lukas juga dikenal sebagai Injil yang ditulis dengan memakai kualitas bahasa Yunani yang paling tinggi serta lebih sulit ketimbang Matius, Markus maupun Yohanes.

Dalam manuskrip lain dari Alkitab Yunani untuk Injil Lukas, kata yang dipakai adalah Belones, yang berarti jarum yang digunakan untuk menjahit luka dalam suatu operasi medis. Menurut saya hal ini juga tidak mengherankan, mengingat profesi Lukas sebagai seorang dokter.

Dari ketiga Injil, jelas terlihat bahwa yang Yesus maksudkan memang adalah lubang yang terdapat pada jarum. Tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa kata “lubang jarum” tersebut mengacu pada pengertian yang berbeda.

Ketiga, gagasan tentang pintu lubang jarum itu tidak sejalan dengan ajaran tentang keselamatan yang terdapat di dalam bagian lain dari Alkitab. Seluruh Alkitab mengajarkan pada kita bahwa manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri dari hukuman dosa. Manusia hanya dapat diselamatkan oleh anugerah Allah melalui iman kepada Yesus Kristus. Siapapun yang membaca Alkitab dengan baik, seharusnya tidak mungkin melewatkan ajaran ini, yang menjadi salah satu core teaching dari Alkitab.

Jika gagasan tentang lubang jarum itu adalah sama seperti gerbang kecil yang mengharuskan unta melewatinya dengan cara menunduk, maka bukankah unta tersebut tetap bisa masuk dengan usahanya sendiri, walau sulit? Apakah dengan demikian Yesus ingin mengatakan bahwa manusia pun dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga dengan usahanya sendiri, walau sulit? Jika demikian, lalu bagaimana kita harus memahami kata-kata Yesus berikutnya: “bagi manusia tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin” ? Bukankah dalam pengertian tersebut, ada kesan bahwa bagi manusia pun hal itu mungkin saja terjadi?

Dari beberapa alasan di atas, pandangan populer yang mengatakan bahwa “lubang jarum” tersebut adalah sebuah pintu kecil atau gerbang kecil, jelas tidak dapat diterima.

Jika kita ingin menafsirkan Alkitab secara baik dan bertanggung jawab, maka tentu gagasan tentang adanya pintu lubang jarum ini harus kita hapuskan dari benak kita.

Tafsiran Populer Kedua, bukan unta melainkan tali tambang

Ada pendapat pula yang dikemukakan oleh seorang Doktor sekaligus Uskup dari sebuah gereja di Alexandria Mesir pada abad 5 Masehi bernama Cyril. Ia mengatakan bahwa Alkitab yang kita miliki sekarang telah keliru menyalin dari manuskrip aslinya. Seharusnya kata yang dipakai adalah kamilos yang berarti tali tambang dan bukan kamelos yang berarti unta.

Gagasan ini juga tidak dapat lagi kita terima, karena sampai sekarang tidak ada bukti bahwa terdapat manuskrip asli yang menggunakan kata kamilos. Baik Matius, Markus maupun Lukas semua memakai kata kamelos yang berarti unta.

Lagipula, apa yang ingin dicapai oleh gagasan tali tambang ini? Apakah berarti bahwa tali tambang itu harus dikupas satu persatu agar bisa masuk ke dalam lubang jarum? Gagasan ini sama saja kelirunya dengan gagasan tentang gerbang kecil di tembok kota yang tadi sudah kita bahas.

SEBUAH UNGKAPAN  TENTANG SUATU KEMUSTAHILAN
Upaya-upaya untuk menjelaskan arti dari ungkapan “unta dan lubang jarum” dengan memakai gambaran tentang “pintu kecil” atau pun “tali tambang,” sebenarnya justru merupakan bukti kegagalan kita dalam melihat inti pesan dari Yesus tentang seberapa besar peluang yang dimiliki seorang manusia untuk masuk ke dalam kerajaan sorga.

Istilah yang senada dengan “unta melewati lubang jarum” ini sebenarnya muncul pula dalam puisi-puisi Persia kuno dan Babylonian Talmud.[2] Hanya saja, dalam literatur-literatur tersebut, hewan yang dipakai bukanlah unta melainkan seekor gajah. Dalam traktat Berakoth yang terdapat pada kumpulan Babylonian Talmud misalnya, terdapat ungkapan:

... a man is never shown a date palm of gold, or an elephant going through the eye of a needle.[3]

Melalui ungkapan itu, seorang Rabi Yahudi ingin mengajarkan bahwa sebuah mimpi dapat menunjukkan hal-hal terdalam yang ada pada pikiran manusia. Dan sebuah pikiran yang sehat biasanya tidak pernah berkhayal tentang hal-hal yang mustahil seperti “a date palm of gold” ataupun “an elephant going through the eye of a needle.” Perhatikan bahwa ungkapan “gajah masuk lubang jarum” disandingkan dengan “sebuah pohon kurma emas.” Bagi audience pada masa itu, dua ungkapan itu jelas ditangkap sebagai ungkapan kemustahilan. Mereka tidak perlu lagi berpikir, apakah “lubang jarum” dalam istilah itu mengacu pada sebuah pintu? Ataukah “pohon kurma emas” itu berarti sesuatu yang lain daripada sebuah pohon kurma yang terbuat dari emas?

Literatur-literatur kuno tersebut, telah semakin memperkuat dugaan kita bahwa kata-kata Yesus mengenai “unta melewati lubang jarum” itu sebenarnya mengacu pada suatu kemustahilan. Bagi seorang manusia yang berdosa, entah ia dikaruniai harta yang berlimpah atau pun tidak, adalah mustahil untuk masuk ke dalam kerajaan sorga.

Yesus mamakai kata “unta” dan bukan “gajah,” karena mungkin sekali unta adalah binatang mamalia paling besar yang dapat dengan mudah ditemui oleh para pendengar Yesus ketika itu, ketimbang seekor gajah. Sedangkan lubang jarum adalah lubang paling kecil yang sehari-hari dapat mereka temui. Ketika Yesus mengatakan bahwa “lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum” sebenarnya Yesus ingin mengatakan bahwa hal itu mustahil untuk dikerjakan oleh seorang manusia. Jika yang “lebih mudah” saja sudah mustahil, lalu bagaimana dengan yang “sukar sekali”?[4] Jawabnya adalah sungguh amat mustahil bagi manusia.

Meskipun mustahil bagi manusia, tidak demikian bagi Allah. Allah mampu membawa seseorang untuk masuk ke dalam kerajaan sorga, yaitu melalui pengorbanan Yesus Kristus di atas kayu salib. Dan tentu saja tidak mudah bagi Yesus untuk mengorbankan diri-Nya bagi Anda dan saya. Darah yang Ia cucurkan bukanlah special effect khas film-film Hollywood. Darah yang Ia cucurkan adalah darah yang nyata, dari luka yang nyata dan yang telah membawa Yesus pada kematian yang nyata. Tidak ada yang mudah dan tidak ada yang murah bagi Yesus untuk membawa Anda dan saya yang penuh dosa ini untuk boleh datang ke hadirat Allah kelak.

Jauh lebih mudah bagi Yesus untuk secara ajaib memasukkan unta melewati lubang jarum. Seajaib Ia telah berjalan di atas air. Seajaib Ia telah mengubah air menjadi anggur. Seajaib Ia telah membuat lima roti dan dua ikan untuk konsumsi ribuan orang. Mengapa dikatakan “jauh lebih mudah?” Sebab tidak ada peristiwa berdarah di dalam segala keajaiban seperti itu. Tetapi untuk membawa masuk orang yang penuh dosa seperti saya misalnya, Yesus harus berdarah-darah, bahkan mati secara mengenaskan.

Kerajaan sorga tidak diperoleh melalui perbuatan baik atau karena menuruti 10 Perintah Allah, Kerajaan sorga diterima sebagai suatu anugerah dari Allah kepada setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka.

Kiranya melalui pembahasan ini, kita kembali diingatkan akan ketidakmampuan serta ketidaklayakan kita di hadapan Tuhan. Hanya Yesus Kristus yang mampu melayakkan kita, karena hanya Dialah yang telah mati bagi dosa kita dan yang telah bangkit untuk memberi kita hidup yang kekal. Bagi Dia, bukan hal yang mustahil untuk menyelamatkan diri kita dari hukuman dosa. Masalahnya adalah, bersediakah kita menjadikan Dia sebagai satu-satunya Juruselamat dan satu-satunya Tuhan dalam hidup kita?

Tuhan memberkati.

Kalung Salib Multilayer. Klik disini.

 

Free Download tulisan ini

Baca juga:

Pengantar Surat 2 Petrus. Klik disini
Mengenal Tuhan itu lebih penting daripada kekayaan. Klik disini


[1] John Phillips, Exploring The Gospel of Matthew (Kregel: Grand Rapids Michigan, 1999), p 386.
[2] Kumpulan teks atau traktat yang ditulis oleh para Rabi Yahudi.
[3] Tract Berakoth of Babylonian Talmud, folio 55b, verse 39.
[4] Ungkapan “sukar sekali” muncul pada Matius 19:23, yaitu satu kalimat sebelum “unta dan lubang jarum” ini. Jika Tuhan berkenan, saya akan memperdalam bahasan tentang ungkapan “sukar sekali” tersebut dalam suatu tulisan tersendiri, yaitu ketika membicarakan tema-tema seperti “orang kaya dan orang yang miskin di hadapan Tuhan” (Matius 5:3)

Thursday, October 10, 2013

Jika demikian, siapakah yang dapat diselamatkan? - 3




Kisah perjumpaan Yesus dengan seorang pemuda yang kaya
Bagian 3

Oleh: Izar Tirta

Sumber bacaan:
Matius 19:16-26
Markus 10:17-27
Lukas 18:18-28

PENDAHULUAN
Saya mengawali tulisan ini dengan kata “berkat” untuk memperlihatkan kepada kita semua, bahwa banyaknya berkat yang dimiliki oleh seseorang tidaklah serta merta identik dengan perkenanan Tuhan terhadap diri orang itu. Pemuda yang mendatangi Yesus memiliki segala berkat yang kita impikan dalam hidup, namun gagal mendapatkan sumber dari berkat itu sendiri, yaitu Pribadi Yesus Kristus.

Pada bagian ke tiga ini, saya akan coba paparkan apa implikasi dari kata-kata yang Yesus sampaikan pada pemimpin muda yang kaya itu.

Implikasi Dari Kata-Kata Yesus Kepada Sang Pemimpin Muda Kaya

Tidak ada seorangpun yang baik

Yesus telah mengatakan kepada pemuda kaya itu bahwa tidak ada seorang pun yang baik. Artinya, segala perbuatan yang selama ini kita anggap baik ternyata masih belum cukup untuk mencapai standar yang di tetapkan oleh Allah melalui Tuhan Yesus.

Hal ini sejalan dengan pengakuan nabi Yesaya yang berkata:
Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor (Yesaya 64:6). Istilah Ibrani yang dipakai oleh Yesaya untuk “kain kotor” dalam ayat itu  adalah ukebeged iddim yang artinya kain untuk wanita yang sedang haid, semacam pembalut wanita dalam istilah kita sekarang.

Sebagai seorang nabi, Yesaya mempunyai perspektif yang jelas mengenai kesalehan manusia di hadapan Allah yang Mahasuci. Ia tidak menyombongkan diri di hadapan Allah. Ia tidak berani membanggakan segala perbuatannya yang menurut ukuran manusia sungguh luar biasa. Melainkan dengan jujur Yesaya mengakui bahwa yang namanya kesalehan manusia di hadapan Allah sama najisnya atau sama menjijikkannya dengan kain pembalut wanita yang sedang menstruasi.

Kebaikan seorang manusia, sangatlah indah bagi manusia itu sendiri, juga indah bagi orang lain yang menerima kebaikan itu, tetapi masih sangat jauh dari memadai jika diperhadapkan pada kesucian Allah.

Yesus pun tanpa ragu dan khawatir sedikit pun akan kehilangan calon pengikut potensial, mengatakan apa yang harus dikatakan: oudeis agatos, “tidak ada seorangpun yang baik.” Singkat, padat, jujur, apa adanya, walau barangkali sedikit menyakitkan di telinga kita.

Alkitab selalu mencatat dengan jujur segala sesuatu yang penting untuk kita ketahui. Alkitab tidak ditulis untuk menyampaikan berita yang manis dan enak di dengar, melainkan untuk mengatakan kebenaran dan kejujuran tentang kondisi manusia di hadapan Allah.

Selama ini, kita mungkin sudah selalu berusaha melakukan banyak kebaikan hingga kita percaya bahwa diri kita ini baik-baik saja, persis seperti si pemimpin muda yang kaya raya itu ketika datang menemui Yesus. Tetapi biarlah Alkitab hari ini juga mengingatkan kita semua, yaitu Anda dan saya, bahwa kita ini adalah makhluk yang bermasalah, tidak baik, serta tidak layak di hadapan Tuhan.

Mencoba menyogok Tuhan dengan segala perbuatan baik kita demi untuk membuat diri kita diterima di sisi-Nya kelak, pada dasarnya hanyalah mimpi di siang bolong.

Biarlah segala kritik dan teguran Yesus pada pemuda kaya itu, bergema juga di dalam jiwa kita setiap hari. Agar kita dapat menjalani hidup dengan lebih rendah hati serta penuh dengan sikap yang menundukkan diri di hadapan Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kita.

Tidak ada seorang pun yang berhasil

Yesus sama sekali tidak berniat untuk menurunkan standar kesempurnaan yang Ia miliki. Yesus tidak keliru ketika berkata bahwa manusia bisa memiliki hidup jika melakukan segala perintah Allah. Sebab perintah Allah itu benar dan suci adanya.

Yang jadi masalah adalah, tidak ada seorang pun yang akan mampu untuk melakukan segala perintah Allah yang begitu sempurna, begitu suci dan begitu agung.

Hanya kesombongan kitalah yang seringkali membuat kita merasa mampu melakukan perintah Tuhan dengan kekuatan kita sendiri. Manusia telah menilai dirinya sendiri terlalu tinggi, dan terlalu menganggap sepele ketetapan-ketetapan Allah.

Pemuda kaya itu dengan penuh percaya diri merasa telah mampu melakukan perintah ke 5 sampai ke 10 dari Sepuluh Perintah Allah. Sampai Yesus menantangnya melakukan sesuatu yang radikal untuk membuktikan keberhasilan si pemuda dalam memenuhi standar Allah mengenai kasih kepada sesama. Dan kita tahu, akhirnya si pemuda pun kedapatan gagal.

Sepuluh Perintah Allah sama sekali tidak sesederhana seperti apa yang terlihat. Ambil satu contoh saja, “Jangan membunuh,”  kita selalu berpikir “asalkan aku tidak pernah melenyapkan nyawa seseorang dengan sengaja, pasti aku belum pernah melanggar perintah “jangan membunuh” tersebut. Tetapi apakah perintah “jangan membunuh” itu ternyata memang sesederhana itu?

Mari kita lihat bagaimana Yesus Kristus sendiri memberi penjelasan terhadap kata-kata “Jangan membunuh” tersebut: Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala. (Matius 5:21-22)

Jika demikian, siapakah di antara kita yang masih yakin pasti terbebas dari dosa pembunuhan? Betapa berbedanya cara pandang kita dan cara pandang Yesus mengenai suatu pembunuhan, bukan? Kita membuat tafsiran sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan pembunuhan, lalu menjalani hidup dengan nurani yang tenang karena mengira diri kita tidak pernah melanggar perintah tersebut. Sampai kita tiba-tiba berhadapan dengan Yesus Kristus dan mendapati diri kita harus dihukum karena kedapatan bersalah di hadapan Tuhan. Rasanya, sangat tidak bijaksana jika kita terus bertahan dengan pengertian diri sendiri, bukan? Semoga melalui kisah ini kita mulai tergugah untuk mencari tahu, apa sebenarnya yang Yesus inginkan.

JIKA DEMIKIAN SIAPAKAH YANG DAPAT DISELAMATKAN?
Para murid Yesus tercatat sangat terkejut mendengar Dia berkata “orang yang kaya akan sulit sekali masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat 19:23). Mengapa mereka terkejut? Padahal mereka sendiri bukan orang kaya? Mereka terkejut karena, seperti kita, para murid Yesus juga berpikir bahwa pemimpin muda yang kaya itu telah memiliki begitu banyak berkat, sehingga bagaimana mungkin orang seperti itu tidak diterima dalam Kerajaan Sorga? Jika orang seperti itu saja tidak diterima, lalu bagaimana dengan orang yang lain? Jika dia saja tidak dapat diselamatkan, lalu siapakah yang dapat diselamatkan?

Hanya melalui Yesus, seseorang dapat memperoleh hidup
Ajakan Yesus kepada pemimpin muda yang kaya itu untuk menjual hartanya bukanlah syarat untuk diselamatkan. Mari kita lihat kembali apa yang Yesus katakan: berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." (Matius 19:21)

“Menjual segala miliknya,” adalah respon Yesus atas pernyataan pemuda kaya itu bahwa ia telah melaksanakan Perintah Allah sejak masa mudanya (masa remajanya). Melalui kata-kata itu, Yesus ingin pemuda kaya ini sadar bahwa pada dasarnya ia masih jauh dari berhasil.

“Datanglah kemari dan ikutlah Aku” adalah respon Yesus atas pertanyaan mengenai bagaimana cara seseorang untuk dapat memperoleh hidup. Yesus ingin mengajarkan pada pemuda itu, bahwa untuk memperoleh Kerajaan Sorga, seseorang tidak mungkin menempuhnya dengan cara melakukan perbuatan baik. Untuk memperoleh Kerajaan Sorga, seseorang harus percaya dan mengikut Yesus. Pada kesempatan lain, Yesus pernah berkata: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yohanes 14:6). Yesus terlihat sangat konsisten dengan konsep jalan keselamatan seperti ini.

“Datanglah kemari dan ikutlah Aku” kata Yesus memberi penawaran. Istilah Yunani untuk “Ikutlah Aku” dalam ayat itu adalah  akoloutei moi. Istilah ini muncul  beberapa kali dalam ucapan Yesus , yaitu kepada Matius sendiri, kepada Filipus, kepada Petrus dan kepada beberapa orang lain yang diajak Yesus untuk menjadi murid-Nya. Orang-orang itu, yang diajak Yesus untuk menjadi murid, menerima tawaran Yesus. Dan kepada orang-orang ini, Yesus pernah berkata: “bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di sorga.” (Lukas 10:20).

Pemuda itu menolak tawaran Yesus dan kita tidak pernah lagi mendengar tentang dia. Dan kita bahkan tidak pernah diberitahu siapa nama pemimpin muda yang kaya itu.

Hanya melalui Roh Kudus, seseorang dapat mengikut Yesus Kristus
Terhadap keterkejutan para murid, Yesus berkata: "Bagi manusia hal ini tidak mungkin, tetapi bagi Allah segala sesuatu mungkin." (Matius 19:26). Mengapa bisa demikian? Dan bagaimana caranya?

Roh Kudus adalah Pribadi Ketiga dari Allah Tritunggal yang menolong seseorang untuk percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka. Dengan usaha sendiri, manusia tidak mungkin masuk ke dalam kerajaan Sorga, tetapi bagi Allah seorang manusia bisa masuk ke dalam kerajaan Sorga melalui pertolongan Roh Kudus.

Jadi siapakah yang dapat diselamatkan? Yang diselamatkan adalah setiap orang yang mau percaya kepada Yesus, sebagaimana ada tertulis: Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yohanes 3:16)

REFLEKSI
Bagi diri sendiri

Membaca kisah perjumpaan Yesus dan pemuda kaya itu, membuat saya bersyukur sekaligus khawatir. Bersyukur karena keselamatan saya tidak lagi tergantung pada keberadaan diri saya yang tidak pernah luput dari kesalahan dan dosa ini, melainkan pada karya keselamatan yang Yesus telah kerjakan bagi saya. Saya bersyukur bahwa Yesus Kristus telah mengambil suatu bagian yang begitu penting dalam hidup saya, dan yang tidak mungkin mampu saya kerjakan sendiri. Di dalam Yesus, saya punya harapan. Di dalam diri saya sendiri, saya tidak punya harapan.

Tetapi di sisi lain saya juga diam-diam merasa khawatir, bahwa kepastian keselamatan yang Yesus berikan itu, pada akhirnya telah saya salah gunakan. Saya khawatir bahwa keyakinan saya pada kepastian keselamatan itu pada gilirannya justru membuat saya menjadi ceroboh, sombong secara rohani, dan kurang introspeksi, persis seperti yang dilakukan oleh pemuda tersebut.

Saya jadi ingin selalu mengingat kata-kata John Calvin mengenai pandangan pribadinya terhadap ajaran kepastian keselamatan yang terdapat dalam Alkitab. Calvin berkata: “If I stand on my feet, I feel trembling. But If I’m on my knees, I feel secure.” (kalimat ini dikutip dari khotbah Dr. Stephen Tong)

Kepastian keselamatan bukanlah tiket untuk berbuat seenaknya, bukan juga tiket untuk membuat saya merasa lebih baik dari orang lain. Kepastian keselamatan adalah suatu peringatan tentang betapa tidak mampunya diri saya dalam memenuhi tuntutan Allah, betapa bangkrutnya kerohanian saya, serta betapa hinanya jiwa saya, sehingga Yesus Kristus harus mati bagi saya demi memastikan keselamatan itu.

Bagi gereja

Pada masa ini, banyak orang Kristen yang begitu mendambakan berkat, tetapi enggan untuk sungguh-sungguh mengenal Pribadi Yesus Kristus. Sebab untuk mengenal Pribadi Yesus Kristus, seseorang mau tidak mau harus mempelajari Alkitab terlebih dahulu. Meminta berkat dan menerima berkat, adalah hal yang mudah dan menyenangkan. Sebaliknya, mempelajari Alkitab adalah hal yang tidak menyenangkan bagi banyak orang. Dan kita tahu, secara naluri kita pasti akan memilih perbuatan yang menyenangkan ketimbang yang tidak, bukan?

Keadaan ini diperparah pula oleh kecenderungan yang tidak bertanggungjawab dari beberapa gereja masa kini. Demi menjaring jemaat sebanyak mungkin, gereja-gereja tertentu seakan-akan ingin “menjual” bahkan jika memungkinkan “mengobral” berkat. Tidak sedikit gereja yang begitu menekankan pada berkat Tuhan, entah itu berkat kesembuhan, kesuksesan, kekayaan dan berkat-berkat lainnya yang, tentu saja, sangat mudah menjaring minat masyarakat. Sementara di sisi lain, eksposisi terhadap Alkitab justru ditinggalkan. Padahal jika kita kembali pada kisah Yesus dan pemuda kaya itu, kita akan melihat bahwa mengenal Yesus Kristus jauh lebih penting daripada memperoleh berkat-berkat-Nya. Pribadi Yesus Kristus bahkan lebih penting daripada mukjizat-Nya. Jika dalam Perjanjian Baru kita melihat seorang pemuda yang lebih mementingkan berkat ketimbang Pribadi Yesus, maka pada Perjanjian Lama kita akan melihat sebuah bangsa yang tidak kunjung percaya pada Yahwe, sekalipun mukjizat terjadi setiap hari di depan mata mereka.

Berkat dan mukjizat, dua kata yang sangat menyenangkan untuk didengar, apalagi untuk dialami. Tetapi Alkitab telah mengajarkan pada kita bahwa baik berkat maupun mukjizat, sama-sama tidak menjamin seseorang dapat mengenal Allah yang sejati. Ada begitu banyak orang yang menerima berkat dan mengalami mukjizat di dalam Alkitab, tetapi berakhir dengan kegagalan dalam mengenal Yesus dan memperoleh keselamatan. Beberapa bahkan diusir secara tegas oleh Yesus sendiri. Singkatnya, seseorang yang mengalami mukjizat dan menerima berkat dari Tuhan, belum tentu orang itu akan diselamatkan. Alkitab punya banyak contoh untuk kasus-kasus semacam ini.

Jadi jika sekarang muncul kecenderungan gereja-gereja tertentu untuk, di satu sisi mengabaikan pentingnya eksposisi Alkitab yang sangat membantu kita untuk mengenal Pribadi Allah Tritunggal, sementara di sisi lain justru begitu menekankan pada ajaran tentang berkat, mukjizat dan kebaikan humanisme, apakah menurut Anda semangat gereja semacam itu sedang berjalan di dalam arah yang sesuai dengan keinginan Tuhan??

AKHIR KATA
Sungguh menyedihkan melihat ada begitu banyak orang yang menolak tawaran Yesus untuk mengikut Dia.

Banyak orang seperti pemimpin muda yang kaya itu, sudah terlanjur nyaman dengan konsepnya sendiri tentang Tuhan, sudah terlanjur nyaman dengan berkat-berkat yang Tuhan berikan, sehingga ketika akhirnya bertemu dengan Pribadi Tuhan, mereka tidak suka pada-Nya dan lebih memilih untuk tinggal di dalam zona nyamannya, di dalam berkatnya dan di dalam konsepnya sendiri, walaupun konsep itu keliru jika ditinjau dari sudut pandang Alkitab.

Hanya karena seseorang kelihatan saleh dan kelihatan suka dengan hal-hal yang rohani, bukan berarti bahwa orang itu memang sedang mencari kehendak Allah. Sebab mungkin saja ketika Allah akhirnya menyatakan diri-Nya dan kehendak-Nya, orang itu tidak akan menyukai Dia dan tidak akan mau menerima-Nya. Pemimpin muda yang kaya ini adalah contoh yang tepat untuk kasus tersebut.

Kiranya melalui eksposisi sederhana ini, kita boleh belajar hal-hal yang berharga dari peristiwa perjumpaan Yesus Kristus dan pemimpin muda yang kaya raya itu.

Kiranya melalui penuturan yang jauh dari sempurna ini, kita semakin mengenal kesempurnaan Pribadi Yesus Kristus yang selalu membuka tangan-Nya untuk siapa saja yang mau datang dan membangun hubungan dengan-Nya. Bukalah Alkitab, bacalah dan pelajarilah, karena hanya melalui Alkitab-lah kita dapat belajar mengenal Yesus Kristus, sebagaimana Ia mau dikenal.

Tuhan memberkati.