Wednesday, November 27, 2019

Eksposisi Kejadian 4:1 : Apakah semua orang itu pada dasarnya baik?

 
Apakah semua orang itu pada dasarnya baik?

 

… mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain;
maka kata perempuan itu: "Aku telah mendapat
seorang anak laki-laki dengan pertolongan TUHAN."… (Kejadian 4:1)


Semua orang pada dasarnya baik” – benarkah?

Jay Austin adalah seorang pria Amerika lulusan Georgetown University yang bekerja di the United States Department of Housing and Urban Development. Sejak tahun 2012, Jay menjalin asmara dengan seorang gadis yang kebetulan berasal dari almamater yang sama dengan Jay. Nama perempuan itu adalah Lauren Geoghegan. Lauren masih bekerja di bagian administrasi kampus ketika bertemu dengan Jay pertama kali.
 
[Baca juga: Apa tandanya seseorang sudah menerima anugerah dari Allah? Klik disini.]

Entah apa yang ada di dalam pikiran Jay dan Lauren, ketika mereka memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan mereka dan memulai sebuah pengalaman baru dalam hidup mereka. Bulan Juli 2017 adalah momen yang mereka pilih untuk meninggalkan kehidupan lama yang telah mereka kenal selama ini, lalu mulai bertualang dengan hanya mengendarai sepeda ke tempat-tempat yang belum pernah mereka jelajahi sebelumnya.

Jay dan Lauren sering mendokumentasikan pengalaman mereka dalam sebuah blog dan di bulan Desember 2017, pasangan yang sempat mencuri perhatian dunia ini dikabarkan telah tiba di Eropa. Dalam blog mereka, Jay dan Lauren sempat mengungkapkan latar belakang kepergian mereka, yaitu dalam rangka membuktikan bahwa “humans are kind” dan bahwa kejahatan atau evil, tidak lebih dari sebuah “make-believe concept” semata-mata.

Keyakinan tinggal keyakinan, seberapa pun kuatnya keyakinan seseorang terhadap sesuatu, tidak mengubah begitu saja realita dunia yang ada.[1] Pada tanggal 29 Juli 2018, ketika Jay, Lauren dan dua simpatisan pesepeda lain yang berasal dari Swiss dan Belanda sedang bersantai mengayuh sepeda mereka di daerah Tajikistan, sebuah mobil yang diisi oleh lima pria berpenampilan garang melewati iring-iringan sepeda mereka.

Pada awalnya, Jay dan Lauren tetap tenang ketika mobil itu berhenti di depan mereka. Mereka yakin bahwa semua manusia pada dasarnya adalah makhluk yang baik, dan bahwa kejahatan bukanlah suatu konsep yang riil. Tetapi keyakinan mereka itu agaknya tidak bertahan lama pada hari itu, mana kala kelima pria itu turun dari mobil, mengeluarkan pisau, parang dan senjata tajam lainnya sambil berjalan menghampiri mereka.

Tidak ada kata-kata, tidak ada dialog, bahkan Jay dan Lauren tidak sempat memohon belas kasihan pada lima pria itu. Satu persatu mereka roboh ke tanah, bersimbah darah setelah dihujam berkali-kali dengan senjata tajam. Mayat mereka berempat tergeletak di jalan tempat mereka dibunuh tanpa belas kasihan dan lima pria tersebut meninggalkan begitu saja tubuh-tubuh tak bernyawa itu karena tidak sudi berhubungan dengan apapun yang mereka anggap kafir.

Dua hari kemudian, The Islamic State atau yang lebih kita kenal sebagai ISIS mengeluarkan video rekaman untuk mengomentari peristiwa tersebut. Tanpa menyesal sedikitpun ISIS menyatakan bahwa merekalah yang melakukan hal itu karena mereka telah bersumpah untuk membunuh semua kaum non-believer yang mereka temui.

Berbeda dengan anggapan Jay dan Lauren, manusia sebetulnya bukan makhluk yang baik. Semua manusia telah jatuh ke dalam dosa dan mempunyai potensi untuk melukai atau bahkan mencelakakan sesamanya. Hanya karena anugerah Allah saja, dunia ini masih bisa berjalan tanpa setiap manusia berusaha memangsa manusia lainnya.[2]

Lauren sebetulnya bukan satu-satunya perempuan yang keliru dalam membuat perkiraan terhadap perilaku manusia. Perempuan pertama yang ada di dunia ini pun tidak luput dari kesalahan serupa.


Dan Kain pun lahir

Setelah dirundung duka karena mendapat hukuman dari Tuhan dan diusir dari Taman Eden, Hawa kini dapat merasa bersyukur kembali dengan adanya kehamilan dan terutama dengan lahirnya seorang anak laki-laki. Meskipun Hawa telah jatuh ke dalam dosa, namun di dalam anugerah Tuhan, Hawa masih bisa melihat kelahiran tersebut sebagai hadiah atau pertolongan dari TUHAN. Bagaimana pun sikap positif semacam ini patut kita acungi jempol bukan? [Baca juga: Kelahiran Kain. Klik disini.]

Pada saat itu, proses lahirnya seorang manusia dari dalam rahim seorang perempuan adalah hal yang sama sekali baru. Bagi Hawa peristiwa itu sangat mungkin benar-benar terasa bagaikan sebuah keajaiban. Sehingga Hawa menyadari bahwa tanpa pertolongan dari TUHAN atau Yahweh maka tidak mungkin dirinya yang telah jatuh ke dalam dosa itu dapat mengeluarkan atau menghasilkan atau seolah-olah “menciptakan” manusia yang baru. Ada rasa takjub dan kagum di dalam kalimat yang diucapkan oleh Hawa.

Hawa pasti tidak lupa, bagaimana Tuhan menghukum dirinya dengan rasa sakit bersalin yang sangat hebat. Pada era sebelum ditemukannya metode bedah untuk mengeluarkan bayi dari dalam kandungan, hampir semua proses kelahiran merupakan saat-saat menakutkan bagi seorang calon ibu. Nyawa seorang wanita sering dilukiskan sebagai telur yang berada di ujung tanduk ketika mereka meregang kesakitan oleh karena proses kelahiran sang bayi.

Itu sebabnya ketika Hawa dan sang bayi itu akhirnya dapat melewati proses kelahiran ini dengan selamat, ada ungkapan syukur yang begitu besar keluar dari hati Hawa atas kebaikan Tuhan yang masih bersedia menolong dirinya.[3]

Selain itu, ucapan syukur Hawa sangat mungkin berkaitan erat pula dengan cara Hawa menafsirkan ucapan Tuhan di Taman Eden. Tuhan pernah berkata:
Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan me-remukkan kepalamu, dan engkau akan meremuk-kan tumitnya." (Kej 3:15)
 
Sangat mungkin Hawa beranggapan bahwa Kain-lah anak yang akan menghancurkan kepala si ular itu. Tidak sedikitpun terbersit dalam benak wanita pertama ini, bahwa anak sulungnya itulah yang justru merupakan representasi dari keturunan si ular itu sendiri. [Baca juga: Apakah Allah pernah bermusuhan? Klik disini]

Dalam bahasa Ibrani perkataan Hawa adalah Qaniti ish et Yahweh.
Yang diterjemahkan: Aku telah mendapatkan seorang laki-laki dari Yahweh.

Tidak sedikit penafsir yang melihat keterkaitan antara Qaniti dalam kalimat ini dengan nama Kain sendiri, yang dalam bahasa aslinya tertulis Qayin. Sehingga mereka melihat bahwa nama Kain sendiri mengandung arti “mendapatkan” atau acquire dalam bahasa Inggris.

Di sisi lain, Gerhard Von Rad, pakar Perjanjian Lama, melihat bahwa nama Qayin itu sama artinya dengan tombak (spear), sebagaimana tertulis dalam 2 Sam 21:16 yang berbunyi: “Yisbi-Benob, yang termasuk keturunan raksasa--berat tombaknya tiga ratus syikal tembaga..” Kata tombak dalam ayat tersebut adalah qenow yang juga mirip dengan nama Kain.

Tetapi saya pribadi lebih setuju dengan orang-orang yang menafsirkan arti nama Kain sebagai “acquire” ketimbang “spear.” Karena saya melihat arti nama tersebut akan sangat kontras dengan arti dari nama Habel.[4] Namun pada kesempatan ini, kita akan lebih dulu memusatkan perhatian kita pada sosok Kain, bukan dari arti namanya, tetapi dari bagaimana Hawa mengekspresikan sikap hatinya atas kelahiran Kain tersebut.

Jika kita perhatikan dengan seksama kalimat Hawa di atas, maka kita akan dapati bahwa istilah yang dipakai oleh Hawa untuk menunjuk kepada Kain adalah ish “seorang laki-laki” (a man) bukan “anak laki-laki” (a boy) sebagaimana yang digunakan oleh LAI. Dalam bahasa Ibrani, istilah anak laki-laki seharusnya memakai istilah yeled.

Jika demikian, mengapa Hawa memakai istilah “seorang laki-laki” untuk menunjuk pada Kain yang saat itu masih bayi? Bukankah istilah “anak laki-laki” seharusnya lebih sesuai? Hal ini mungkin sekali karena Hawa melihat bayi itu bukan terutama dalam kondisinya sebagai bayi, melainkan dalam statusnya sebagai wakil dari umat manusia yang akan mengalahkan kuasa kejahatan itu. Di mata ibunya, Kain adalah pengharapan baru umat manusia, setelah kejatuhan Adam dan Hawa sendiri.

Kita lihat di sini, betapa besar Hawa telah berharap pada Kain, bukan? Tapi dalam keterbatasannya sebagai manusia, Hawa tidak benar-benar sadar betapa merusaknya sifat berdosa yang telah ia turunkan kepada putra pertamanya itu.[5] Sehingga untuk berharap kepada seorang manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, adalah sama saja dengan upaya untuk menjaring angin.


Jadi, kepada siapa kita harus berharap?

Manusia dapat saja menaruh suatu pengharapan yang besar di atas diri manusia yang lain. Namun dalam konteks dunia yang telah jatuh ke dalam dosa, kita tahu bahwa pengharapan kepada seorang manusia adalah sesuatu yang sangat keliru. Saya pikir Lauren akhirnya sempat sadar akan hal itu, walau sudah terlambat bagi dia untuk menceritakannya sendiri pada kita. Hawa juga belakangan tahu akan kekeliruannya tersebut.

Bagaimana dengan kita? Kita juga sebetulnya tidak kebal terhadap kesalahan semacam ini, bukan? Tanpa kita sadari, kita juga sering menaruh harapan pada orang-orang tertentu dalam hidup kita. Ada orang yang sangat berharap pada anaknya. Ada juga orang yang berharap pada pasangannya, atau orang tuanya. Ada orang yang berharap pada pendetanya, atau pimpinan perusahaannya, atau pemuka agama atau siapapun. Kisah Lauren dan kisah Hawa mengingatkan kita bahwa menaruh pengharapan kepada manusia, atau meletakkan keyakinan penuh pada makhluk yang sudah jatuh ke dalam dosa, adalah sesuatu yang sangat rentan terhadap kesalahan.

Mari kita perhatikan nasihat nabi Yesaya yang berkata demikian:
Jangan berharap pada manusia, sebab ia tidak lebih dari pada embusan nafas, dan sebagai apakah ia dapat dianggap? (Yesaya 2:22)

Dan biarlah raja Daud menutup pembahasan kita kali ini dengan sebuah nasihat:
Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!  (Mazmur 131:3)

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita dengan keberanian untuk senantiasa hanya berharap kepada Dia. Bersambung ke "Makna kelahiran Habel" (klik disini)

Beberapa pertanyaan untuk direnungkan:
Apakah pesan yang kita dapat dari kelahiran Kain? Klik disini
Apakah semua orang pada dasarnya baik?
Apakah ajaran dunia tentang iman dan kepercayaan?
Apakah ajaran Alkitab tentang iman dan kepercayaan? Klik disini
Mengapa manusia sering melukai sesamanya?
Mengapa kebaikan manusia tidak dapat dipercayai?
Mengapa kesalehan manusia tidak dapat diandalkan?
Apakah kanibalisme dan gladiator masih ada hingga sekarang?
Mengapa Hawa merasa bahagia dengan kelahiran Kain?
Apakah pandangan Hawa terhadap Kain?
Apakah arti dari nama Kain?
Mengapa Hawa menyebut Kain seorang laki-laki?
Mengapa Hawa tidak menyebut Kain sebagai seorang anak laki-laki?
Apakah Alkitab mengajarkan tentang pengharapan kepada manusia?
Apakah kita boleh berharap kepada manusia?
Mengapa kita sering dikecewakan oleh sesama kita?
Mengapa orang tua bisa dikecewakan oleh anaknya sendiri?
Mengapa pacar kita melukai perasaan kita?
Apakah kita boleh berharap pada suami?
Apakah kita boleh berharap pada istri?
Apakah ajaran Alkitab mengenai pengharapan terhadap manusia?
Apakah warisan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya?
Apakah ajaran Alkitab tentang warisan dosa? Klik disini







[1] Dunia mengajarkan, jika kita cukup yakin, maka apa yang kita yakini itu akan menjadi kenyataan. Tetapi Alkitab mengajarkan, justru karena terlebih dulu ada sebuah kenyataan, maka keyakinan itu mempunyai dasar untuk berpijak. Dalam kekristenan yang dibangun di atas Alkitab, yang terpenting bukan seberapa besar keyakinan kita, melainkan di mana atau kepada siapa kita meletakkan keyakinan tersebut. Iman sebesar biji sesawi pun dapat berguna ketika iman itu diletakkan di atas Kristus, Batu Karang yang teguh itu.
[2] Secara umum masyarakat kita memang tidak lagi hidup dalam era kanibalisme ataupun gladiator. Kita tidak lagi hidup pada zaman dimana setiap perselisihan diselesaikan dengan perkelahian yang sadis berdarah-darah. Tetapi siapakah di antara kita yang dapat menyangkal bahwa dalam artian yang berbeda, kita masih sering memangsa sesama kita? Dalam artian yang tidak terlalu fisikal, bukankah kita senantiasa masih berperang antara satu sama lain? Perusahaan besar masih senantiasa ingin menaklukkan dan menelan perusahaan yang lebih kecil. Bangsa yang superpower masih senantiasa ingin menguasai bangsa lain yang lebih lemah. Jika tidak menguasai secara militer, maka setidaknya menguasai secara ekonomi. Dan tentu saja kita semua sadar bahwa walaupun Perang Dunia II telah lama berakhir, di berbagai belahan dunia masih saja terjadi peperangan demi peperangan yang merenggut banyak korban jiwa hingga saat ini. Dan kalau kita pikir bahwa kanibalisme dan gladiator adalah kisah masa lalu, maka mungkin kita perlu lebih banyak membaca lagi agar disadarkan bahwa praktek-praktek itu ternyata masih kerap terjadi di tengah dunia moden ini.
[3] Orang yang luput dari bencana besar, pasti lebih bersyukur daripada orang yang tidak pernah benar-benar merasakan ancaman dari suatu bencana yang besar.
[4] Kita akan membahas arti nama Kain serta perbandingannya dengan arti nama Habel dalam suatu tulisan yang terpisah.
[5] Menurut Alkitab, warisan pertama yang diturunkan oleh orang tua kepada anaknya adalah bibit dosa. Itu sebabnya setiap kita, baik sebagai orang tua, maupun sebagai anak, membutuhkan penebusan Yesus Kristus. Mencoba menyelesaikan masalah ini dengan jalan kesalehan agama, adalah suatu upaya menjaring angin.

Tuesday, November 26, 2019

Eksposisi Kejadian 4:1 : Kelahiran Kain


Kelahiran Kain



Pendahuluan

Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain(Kejadian 4:1)

Sejak lahir hingga detik ketika membaca tulisan ini, kita semua tentu sudah memiliki persepsi sendiri tentang bagaimana dunia ini berjalan.

Sadar atau tidak sadar, kita membangun persepsi itu berdasarkan rupa-rupa informasi yang kita peroleh, entah dari desas-desus yang kita dengar, obrolan populer sehari-hari atau dapat pula terbentuk sendiri di dalam imajinasi kita tentang suatu model kehidupan ideal yang kita impikan. [Baca Juga: Realitas Keberdosaan Seluruh Manusia. Klik disini.]

Tetapi masalahnya, bagaimana jika anggapan, desas-desus, informasi populer dan daya imajinasi yang kita miliki itu ternyata keliru? Bukankah hal itu dapat mengakibatkan kepercayaan kita terhadap banyak hal di dunia ini menjadi keliru pula? Sudahkah kita memeriksa apa yang menjadi dasar bagi kepercayaan kita? Atau jangan-jangan selama ini kita hanya mempercayai saja segala sesuatu tanpa sungguh-sungguh memikirkan dari mana datangnya kepercayaan itu?

Tulisan di bawah ini mungkin akan mengubah cara pandang kita terhadap beberapa hal mendasar dari eksistensi kita sebagai manusia. Semoga melaluinya kita dapat menantang diri sendiri untuk membuat pilihan; apakah ingin terus dengan kepercayaan yang dipegang selama ini, ataukah kita bersedia merangkul gagasan yang diungkapkan oleh Alkitab?

Kemudian manusia itu

Kata “kemudian” dalam ayat ini menjelaskan bahwa kisah Kain dan Habel adalah kelanjutan dari kisah sebelumnya, yaitu kisah Adam dan Hawa, orang tua mereka. Dan karena merupakan sebuah kelanjutan, maka sangat wajar jika kisah ini memiliki keterkaitan yang erat dengan tema yang dibahas pada kisah Adam dan Hawa tersebut.

Setelah pasal 3 berbicara secara gamblang tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka melalui pasal 4 ini kita akan melihat implikasi dari kejatuhan tersebut pada keturunan umat manusia selanjutnya. Kita akan melihat bahwa kondisi keberdosaan manusia tersebut, mau tidak mau telah memberi pengaruh buruk bagi relasi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, serta telah merusak pula relasi antara manusia dengan Sang Pencipta. Akibat dosa, keadaan dunia sudah tidak sama lagi dengan saat ketika Sang Pencipta berkata “sungguh amat baik.” [Baca Juga: Mengapa di tanahku terjadi bencana? Klik disini.]

Mengapa hal ini saya tekankan? Pertama, karena tidak sedikit orang yang masih terkurung dalam paradigma “sungguh amat baik” sebagaimana pernah diucapkan oleh Tuhan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Seolah-olah mereka masih sulit untuk move on dari romantisme spiritual yang melankolis, tanpa keinginan untuk melihat kenyataan bahwa dunia yang “sungguh amat baik” itu sudah berubah secara drastis[1] sejak peristiwa dalam Kejadian pasal 3.

Alasan kedua, karena beberapa catatan yang diuraikan di dalam kisah Kain dan Habel, dicatat berdasarkan sudut pandang orang-orang yang telah jatuh ke dalam dosa.[2] Sehingga cara pandang mereka itu bisa saja sangat keliru dan kita perlu berhati-hati dalam memahaminya.

Manusia itu bersetubuh dengan Hawa isterinya

Istilah yang dipakai untuk kata “bersetubuh” adalah Yada yang artinya to know, atau mengetahui, atau bahkan lebih tepat jika diterjemahkan ke dalam istilah “mengenal.”

Berhubungan seks di dalam konteks Alkitab bukan pertama-tama fokus berbicara tentang nafsu antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana pikiran modern kita yang telah rusak ini memahaminya. Seks di dalam Alkitab, terutama lebih menekankan pada aspek relasi yang intim dan mendalam.[3] Sedemikian intim dan mendalam relasi tersebut sehingga pihak-pihak yang terlibat di dalamnya memiliki pengenalan yang semakin baik akan satu sama lain melalui hubungan seksual tersebut.[4]

Persetubuhan adalah cara natural satu-satunya yang selama ini kita pahami sebagai proses untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia.[5] Sedemikian terbiasanya kita pada cara pandang seperti ini sehingga otak modern kita sulit sekali untuk menerima kenyataan bahwa di dalam Alkitab, seks bukanlah satu-satunya cara yang dipakai oleh Tuhan untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia.

Dalam Kejadian pasal 1 dan pasal 2, Alkitab memberitahukan kita bahwa Sang Pencipta dapat menghadirkan manusia ke dalam dunia tanpa melewati proses hubungan seksual dimana, di dalam aktivitas seperti itu, mutlak dibutuhkan kehadiran sosok pria dan wanita.

Alkitab mengajarkan bahwa sesungguhnya ada empat cara yang telah dipakai Pencipta kita untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia, yaitu:
  1. Tanpa pria, tanpa wanita, contohnya Adam.
  2. Dengan pria, tanpa wanita, contohnya Hawa.
  3. Tanpa pria, dengan wanita, contohnya Yesus Kristus.
  4. Dengan pria, dengan wanita, contohnya kita semua.
Dari Alkitab kita belajar bahwa seks hanyalah satu di antara cara-cara lain yang dapat dipakai oleh Yang Mahakuasa untuk menghadirkan seorang manusia ke dalam dunia. Seks bukan satu-satunya cara yang ada.

Betapa kaya dan betapa agungnya Allah kita, bukan? Karya-Nya tidak dapat dibatasi oleh pikiran kita yang terbatas. Selama ini kita beranggapan, bahwa seorang manusia baru dapat hadir ke dunia apabila ada sosok ayah dan sosok seorang ibu. Tetapi ternyata gagasan itu tidak sepenuhnya lengkap dan bukan merupakan suatu syarat mutlak yang dapat membatasi kuasa Sang Ilahi. Yohanes Pembaptis, dalam keadaan dipenuhi oleh Roh Kudus, bahkan pernah berkata: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! (Lukas 3:8). Siapakah kita manusia yang berhak mempertanyakan kemampuan Tuhan dan secara gegabah ingin menghina serta membatasi kekuasaan-Nya?

Dunia ini yang begitu menentang ajaran Alkitab bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah. Bagi para penentang itu, jika Yesus adalah Anak Allah[6] dan Allah adalah Bapa-Nya, lantas siapakah yang telah menjadi ibu Yesus? Bagaimana cara allah berhubungan seks dengan perempuan itu (siapapun dia) sehingga allah bisa mempunyai seorang anak? Demikian orang dunia biasanya mengolok-olok kepercayaan bahwa Yesus adalah Anak Allah.

Tetapi, betapa absurd-nya pikiran seperti itu, bukan?

Sikap semacam itu adalah suatu gambaran dari sempitnya cara berpikir yang telah dikurung oleh keyakinan bahwa allah tidak mungkin dapat berbuat apapun untuk menghadirkan manusia kecuali melalui proses seksual semata-mata. Dalam pikiran mereka, jika tidak ada seks maka bahkan allah sekalipun pasti akan kewalahan dalam menangani urusan reproduksi manusia.

Namun ironisnya, tidak sedikit sistem kepercayaan di dunia ini yang menerima kisah Adam dan Hawa, bahkan kisah ini tertulis pula dalam kitab yang diangap suci oleh para penganut kepercayaan itu. Tetapi, bagaimana hal seperti ini bisa terjadi? Jika orang dapat mengakui Adam dan Hawa, bukankah seharusnya mereka sadar bahwa seks bukanlah satu-satunya proses yang dibutuhkan oleh Allah untuk menghadirkan seorang manusia? Apakah mereka mau menentang gagasan yang tertulis di dalam kitab suci tersebut? Ataukah mereka sebenarnya tidak sungguh-sungguh percaya pada isi kitab mereka sendiri? Atau mungkin mereka sendiri tidak pernah membacanya, tidak pernah merenungkan apalagi memikirkan hal itu? Inilah yang saya sebut di bagian awal tadi sebagai suatu sikap yang mempercayai sesuatu tanpa memiliki dasar bagi apa yang dipercayainya itu. Seseorang bisa sangat fanatik pada apa yang mereka percayai, sekalipun ia tidak sadar darimana dasar kepercayaannya itu berasal.

Sebagai pengikut Kristus, kita tidak dipanggil untuk mempercayai sesuatu yang tidak memiliki dasar untuk dipercayai. Alkitab adalah Firman Tuhan yang disampaikan kepada kita untuk menjadi dasar bagi kepercayaan kita. Kita tidak bisa mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus sambil pada saat yang bersamaan membangun sendiri gambaran-gambaran tentang manusia, tentang Tuhan, tentang alam semesta atau tentang apapun, tanpa memeriksa terlebih dahulu apa yang Alkitab katakan mengenai hal tersebut. Sebab jika Yesus Kristus saja begitu mengagungkan Alkitab, mengapa kita pikir bahwa kita boleh berbeda?

Ada orang yang seakan terlihat seperti pengikut Yesus, tetapi orang itu lebih mempercayai tradisi manusia (atau bahkan tradisi gereja) ketimbang Alkitab itu sendiri. Ada pula orang yang sepertinya mengenal Kristus, tetapi lebih menyukai penampakan-penampakan yang bersifat magis, ketimbang memahami ajaran Alkitab. Tentu saja hal seperti itu tidak sesuai sama sekali dengan jalan pikiran Yesus Kristus, para rasul dan para misionaris-Nya[7] yang sejati.

Alkitab melampaui imajinasi maupun tradisi kita. Alkitab melampaui perasaan dan juga logika kita. Alkitab adalah Firman Tuhan, dasar yang kokoh bagi iman kepercayaan kita.[8]

Perempuan itu mengandung lalu melahirkan Kain

Persetubuhan yang dicatat dalam Kejadian 4:1 ini adalah persetubuhan pertama yang dicatat oleh Alkitab. Oleh karena itu, anak yang lahir sebagai hasil dari persetubuhan tersebut adalah anak pertama yang dilahirkan di dalam dunia pasca kejatuhan ke dalam dosa. Sebelum Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Alkitab tidak mencatat adanya seorang anak atau sekelompok anak yang dilahirkan oleh pasangan pertama itu.

Dari sini, kembali kita belajar satu prinsip Alkitabiah yang penting, yaitu bahwa semenjak lahir manusia sudah memiliki bibit dosa di dalam dirinya. Kain adalah anak pertama Adam dan Hawa setelah mereka jatuh ke dalam dosa. Dan ketika lahir Kain sudah membawa bibit dosa di dalam dirinya yang ia peroleh dari orang tuanya tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan gagasan Alkitab yang kita baca ini, maka dapat kita simpulkan bahwa semua orang di dunia ini pun adalah orang yang berdosa, karena kita semua pun keturunan Adam dan Hawa.

Gagasan seperti ini lagi-lagi berbeda dengan gagasan populer yang ada di dalam masyarakat, maupun gagasan di dalam sistem kepercayaan lain di luar Alkitab. Keyakinan di luar Alkitab mengajarkan bahwa seorang bayi itu pada dasarnya adalah makhluk suci yang polos bersih, bagaikan kertas putih tanpa noda.[9] Tetapi Alkitab, melalui kisah Kain, mengajarkan bahwa dosa Adam dan Hawa bukan saja turun kepada Kain, tetapi juga telah berkembang di dalam diri Kain menjadi semakin mengerikan dan semakin berbahaya.
 
Bukan hanya kitab Kejadian yang mencatat gagasan seperti ini. Raja Daud di dalam salah satu nyanyian Mazmur yang ditulisnya, juga mengaku: Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku. (Mazmur 51:5)

Raja Daud memiliki perspektif yang jelas mengenai seperti apakah manusia itu. Dengan rendah hati, Daud mengaku bahwa sejak masih di dalam peranakan pun, dia sudah terhitung di antara orang-orang yang bersalah di hadapan Tuhan. Sejak masih di dalam kandungan ibunya pun, ia telah ternoda oleh dosa-dosa manusia. Bagaimana hal seperti ini dapat terjadi? Bukankah Daud belum berbuat apa-apa ketika masih di dalam kandungan ibunya?

Daud memang belum melakukan kesalahan apapun semasa ia berada di dalam kandungan, tetapi Daud tahu bahwa sebagai keturunan Adam dan Hawa yang telah jatuh ke dalam dosa, ia sudah membawa bibit dosa itu di dalam dirinya. Janin Daud adalah hasil pertemuan sperma dan ovum dari manusia-manusia yang juga sudah jatuh ke dalam dosa, itu sebabnya ia juga diperhitungkan sebagai orang berdosa. Bukankah penuturan Daud ini sejalan dengan apa yang diutarakan dalam kisah Kain yang sedang kita bahas?

Jika kita berpikir bahwa Daud mungkin sedang melamun ketika ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa, rasul Paulus justru tidak berpikir demikian. Sebaliknya rasul Paulus setuju dengan jalan pikiran raja Daud itu. Paulus yang hidup 1000 tahun setelah Daud, mengutip kata-kata sang raja ketika ia menulis dalam suratnya: Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. (Roma 3:10)

Dan bukan hanya Paulus yang berpendapat seperti itu, tetapi Tuhan Yesus sendiri pun mengatakan: Tak seorangpun yang baik selain dari pada Allah saja. (Markus 10:18)[10]

Tidak dapat dipungkiri lagi, bukan? Ada suatu keseragaman dalam cara berpikir dari tokoh-tokoh Alkitab tentang kondisi keberdosaan manusia, mulai dari Adam, Hawa, lalu Kain dan seterusnya hingga kepada kita semua saat ini. Kegagalan kita dalam memahami hal mendasar ini, niscaya akan membawa kita pada kegagalan dalam memahami signifikansi kematian Kristus di kayu salib.

Menentukan pilihan

Setelah membaca kisah Kain, mendengar penuturan raja Daud, memperhatikan pendapat Paulus serta menyimak komentar Kristus, apakah kita masih berencana untuk memiliki gagasan yang berbeda dengan mereka semua?

Pilihan ada di tangan kita masing-masing, kita boleh setuju, boleh pula tidak suka pada gagasan tersebut. Kekristenan tidak pernah memaksa seseorang untuk menganut ini atau menganut itu. Siapakah yang berkata bahwa kita tidak bisa memilih untuk menentang Paulus, atau menentang Kristus sekalipun? Tentu saja bisa, tetapi biarlah kita senantiasa ingat, bahwa setiap pilihan pasti ada konsekuensi yang akan mengikutinya.

Pandangan Alkitab berkata: karena manusia secara intrinsik sudah berdosa, maka manusia pasti akan melakukan perbuatan dosa.

Tetapi pandangan dunia berkata: hanya ketika seseorang melakukan perbuatan dosa sajalah, maka orang itu baru dapat disebut berdosa.

Setelah membaca tulisan ini dan melihat berbagai perbedaan pandangan antara Alkitab dan apapun yang ada di luar Alkitab, apakah kita masih ingin mengatakan bahwa semua sistem kepercayaan itu pada dasarnya sama saja? Kecuali jika kita memang buta atau memiliki problem yang akut di dalam proses berpikir, maka sudah pasti kita akan berkesimpulan bahwa semua kepercayaan itu pada dasarnya tidak mungkin sama, bukan?

Apabila kita menolak gagasan yang diutarakan oleh Kitab Kejadian, Mazmur Daud, Injil Yesus Kristus dan surat Paulus tentang kondisi keberdosaan yang hakiki di dalam diri manusia, maka mau tidak mau kita juga harus menolak gagasan bahwa kematian Yesus Kristus di atas kayu salib adalah suatu penebusan yang mutlak bagi keselamatan kita. Mengapa? Karena semua gagasan itu disampaikan oleh Alkitab yang sama sebagai satu kesatuan message. Kita tidak bisa menerima yang satu tetapi menolak yang lain.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk memilih apa yang benar.
Tuhan memberkati. (Oleh: izar tirta)

Beberapa pertanyaan untuk direnungkan:
Apa saja yang kita pelajari dari eksposisi Kejadian 4:1 ini?
Apa hubungan antara kisah Adam dan kisah Kain?
Mengapa Tuhan berkata sungguh amat baik, padahal hidup ini penuh penderitaan?
Apa yang dimaksud dengan Adam bersetubuh dengan Hawa?
Bagaimana Alkitab melihat hubungan seksual?
Bagaimana cara Allah atau Tuhan menciptakan manusia?
Bagaimana cara Allah atau Tuhan menghadirkan manusia ke dalam dunia?
Ada 4 cara Tuhan menghadirkan manusia ke dalam dunia, apa sajakah?
Pembahasan tentang Allah menjadikan anak dari batu.
Bagaimana pandangan Kristen terhadap inseminasi buatan?
Bagaimana memahami Yesus sebagai Anak Allah?
Jika Allah adalah Bapa dan Yesus adalah Anak, lalu siapakah ibu-Nya?
Siapakah manusia pertama yang lahir dari perempuan?
Kisah kelahiran Kain.
Apakah semua orang pada dasarnya baik? Klik disini
Apakah bayi-bayi memiliki dosa?
Bagaimana pandangan Alkitab tentang bayi?
Mengapa Daud mengaku bersalah sejak ada dalam kandungan? Klik disini
Apakah perbedaan antara pandangan Alkitab dan pandangan dunia tentang dosa?
Apakah alasan Tuhan Yesus rela menjadi Manusia? Klik disini






[1] Saya sudah membahas ini dalam tulisan berjudul “Mengapa di tanahku terjadi bencana?”
[2] Terutama dari sudut pandang Hawa dan juga sudut pandang Kain.
[3] Walau bukan berarti Alkitab mengesampingkan sama sekali aspek fisikal dari aktivitas tersebut.
[4] Bahkan Alkitab memakai istilah Yada pula untuk mengungkapkan bagaimana Allah mengenal kita.
[5] Dengan majunya ilmu kedokteran, manusia dapat melakukan inseminasi buatan (artificial insemination). Namun bahkan dalam proses yang diberi label artificial ini pun, tetap dibutuhkan persatuan antara sel sperma dan sel telur wanita untuk menghasilkan janin yang baru. Sehingga sekalipun proses ini tidak melibatkan aktivitas seksual, namun persetubuhan dalam level sel tetap harus terjadi, dan tetap harus ada laki-laki dan perempuan sebagai penyedia sel sperma dan sel telur tersebut.
[6] Status Yesus sebagai Anak Allah tidak ada hubungan sama sekali dengan peristiwa seksual. Yesus diperanakkan secara spiritual oleh Bapa di dalam kekekalan, melampaui ruang dan waktu. Sebagai Anak, Yesus senantiasa menunjukkan sikap yang taat serta submissive kepada Bapa-Nya.
[7] Kita sudah membahas hal ini ketika membicarakan tentang Lukas 1:1-4. Mulai dari kisah William Carey hingga catatan sejarawan sekuler atas peristiwa yang berhubungan dengan Yesus Kristus.
[8] Lihat dan renungkan Efesus 2:20 serta Yohanes 17:17 sebagai dasar bagi kalimat yang saya sebutkan ini.
[9] Keadaan ini kadang dikaitkan pula dengan istilah “tabula rasa”
[10] Kita sudah membahas hal ini ketika mempelajari kisah perjumpaan Tuhan Yesus dengan pemimpin muda yang kaya itu. 

Monday, November 25, 2019

Mengapa di tanahku terjadi bencana: dampak dosa manusia terhadap bumi dan alam semesta

Pandangan Alkitab tentang bencana



… maka terkutuklah tanah karena engkau;
… semak dan rumput duri …
… yang akan dihasilkannya bagimu, (Kej 3:17,18)

Jatuhnya manusia ke dalam dosa membawa implikasi yang sangat serius bukan saja bagi manusia itu sendiri, tetapi juga bagi seluruh alam semesta. “Terkutuklah tanah karena engkau,” kata Tuhan kepada Adam. Dan semenjak itu, dunia bukan lagi senantiasa menjadi rumah yang aman bagi manusia. Bencana kekeringan, banjir, gunung meletus, taufan hingga tsunami adalah beberapa contoh kecil dari wajah alam yang tidak lagi bersedia untuk menjadi sahabat manusia. Dosa telah merusak relasi manusia dengan alam sekitarnya. [Baca juga: Yesus adalah Tuhan atas seluruh bumi. Klik disini.]

Alam yang semula ditetapkan oleh Tuhan untuk dikuasai  oleh manusia, kini justru menunjukkan taringnya dan siap menantang manusia manapun yang ingin mencoba kekuatan yang dimilikinya. Pesan yang disampaikan oleh Alkitab cukup jelas, ketika manusia memberontak kepada Allah, maka alampun memberontak kepada manusia, tidak ingin dikuasai lagi.[1] Hanya karena anugerah Tuhan sajalah, maka aktivitas keseharian sebagian besar umat manusia masih terpelihara dari hari ke sehari, hingga saat ini. Berkat kebaikan Tuhan sajalah alam masih menahan kegeramannya terhadap dosa-dosa manusia.

Namun keadaan yang relatif terkendali ini tidak akan selamanya berlangsung seperti itu. Coba perhatikan perkataan Petrus berikut ini: hari Tuhan akan tiba seperti pencuri. Pada hari itu langit akan lenyap dengan gemuruh yang dahsyat dan unsur-unsur dunia akan hangus dalam nyala api, dan bumi dan segala yang ada di atasnya akan hilang lenyap. (2 Petrus 3:10).

Dari tulisan Petrus, kita tahu bahwa pada suatu hari, akan tiba saatnya, dimana semua bencana alam yang pernah kita lihat hari ini, tidak akan ada artinya lagi jika dibandingkan dengan gemuruh yang dahsyat itu. Pada hari Tuhan, yaitu hari dimana Tuhan hadir di dalam segala kemuliaan dan dalam murka-Nya yang kudus, seluruh alam semesta akan melepaskan segala kekuatannya tanpa ditahan-tahan lagi oleh Sang Pencipta. Dan ketika hal itu terjadi, maka tidak akan ada teknologi atau sistem kapital sebesar apapun yang dapat menahan daya hancur yang teramat dahsyat itu. [Baca juga: Makna Hari Tuhan. Klik disini.]

Kita sering disuguhi film-film bertema apocalyptic oleh Hollywood di mana selalu ada segelintir umat manusia yang berhasil selamat dari bencana. Untuk memberi kesan bahwa bagaimana pun hancurnya dunia, manusia selalu akan menjadi pemenang. Betapa pun buruknya situasi, selalu dapat diatasi oleh manusia. Bahkan tindakan Thanos yang menyebabkan lenyapnya separuh umat manusia pun, dapat dicarikan jalan keluarnya, dapat di-reverse, dikembalikan ke situasi semula.

Tetapi tentu saja, itu semua hanya film belaka. Kita boleh saja terhibur oleh segala keseruan kisah yang ada di dalamnya, tetapi hendaklah kita jangan sampai lupa, bahwa bagaimana pun juga itu hanyalah film.

Apabila hari Tuhan yang disebutkan oleh rasul Petrus itu terjadi, maka dapat dipastikan tak ada seorangpun yang akan bertahan. Zefanya, seorang nabi dari era Perjanjian Lama yang melayani Tuhan di wilayah kerajaan Selatan, pernah berkata: ..hari TUHAN pahit, pahlawan pun akan menangis. (Zefanya 1:14).

Tidak akan ada hero yang muncul pada hari Tuhan, apalagi seorang superhero. Semua orang, bahkan pahlawan pun akan menangis pada hari yang getir itu. Hari di mana Tuhan meluapkan murka-Nya pada manusia yang berdosa.

Ketika Zefanya menulis kalimat tersebut, yang ia maksudkan adalah hari dimana Yerusalem dihancurkan oleh Babilonia. Dari sejarah kita tahu, bahwa kehancuran yang terjadi pada zaman Zefanya itu belum bersifat menyeluruh. Masih ada orang-orang yang tersisa dan berhasil selamat pada hari tersebut.

Tetapi apa yang dilukiskan oleh rasul Petrus, jauh lebih mengerikan dari apa yang dilihat oleh Zefanya. Karena menurut Petrus, pada hari itu Tuhan tidak lagi memakai bangsa Babilonia untuk menghukum Israel yang berdosa. Pada hari itu, Tuhan akan memakai seluruh alam semesta untuk menghukum seluruh umat manusia yang berdosa.

Jika di zaman Zefanya saja, para pahlawan akan menangis. Bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi di zaman yang disebutkan oleh Petrus ini?

“Mengapa di tanahku terjadi bencana?” tanya Ebiet G.Ade di dalam salah satu lagunya. Saya pikir, seandainya saja penyanyi kondang di era awal ’80-an itu merenungkan Firman Tuhan dengan baik, maka ia tentu tidak perlu repot-repot bertanya kepada rumput yang bergoyang, bukan?

Dari Alkitab kita tahu, bahwa alam bukan satu-satunya pihak yang dirugikan, seluruh makhluk ciptaan Tuhan yang lain pun ikut menanggung akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa ini. Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Rasul Paulus menulis: “ Karena seluruh makhluk telah ditaklukkan kepada kesia-siaan, ….sampai sekarang segala makhluk sama-sama mengeluh(Roma 8:20 dan 22). Baik alam, maupun makhluk lain yang diciptakan oleh Tuhan, sama-sama merasakan dampak buruk akibat pemberontakan manusia kepada Tuhan. Gara-gara kita, mereka ikut dikutuk.

Jika alam dan hewan-hewan yang tidak turut memberontak kepada Tuhan saja terkena efek negatif dari dosa manusia, apalagi kita manusia, bukan?

Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa problem dosa adalah problem yang berskala kosmik. Problem dosa, bukan cuma persoalan karena kita kedapatan suka mencuri, berzinah, lupa ibadah, bicara kasar kepada sesama, malas bekerja, rakus, cinta uang dan lain sebagainya. Itu semua memang adalah dosa, tetapi semua itu hanyalah suatu fenomena belaka, belum merupakan inti persoalan yang sebenarnya. The root of the evil and the fruit of sin, itulah persoalan utama yang harus diselesaikan oleh manusia.

Jika problem dosa adalah tercemarnya eksistensi kosmos secara menyeluruh akibat pemberontakan manusia kepada Sang Pencipta, maka bagaimana mungkin persoalan sebesar ini bisa diselesaikan hanya dengan puasa (yang kadang-kadang kita lakukan sekedar untuk pamer saja di depan orang lain, dan itupun suka bolong-bolong juga), atau sedekah (yang cuma ala kadarnya, sekedar untuk tidak dicap pelit oleh teman-teman kita), rajin ibadah (yang kadang-kadang juga suka melamun, tidur atau main hape di tempat ibadah), bicara baik-baik kepada sesama (padahal dalam hati kita benci sekali sama orang itu), suka menolong tetangga (supaya orang lain menilai kita sebagai orang baik), rajin menghafal kitab suci (supaya orang lain mengira kita ini jagoan di bidang rohani, padahal kita juga tidak ngerti apa yang kita baca), suka memberi uang (supaya orang lain tahu bahwa kita lebih sukses secara ekonomi daripada orang yang diberi uang), memakai baju-baju keagamaan (supaya kelihatan seperti orang saleh) dan lain sebagainya?

Bagaimana mungkin cara-cara kebaikan kita yang sangat hina seperti ini bisa memperbaiki persoalan kosmik yang sedemikian besar?

Jawabannya, memang tidak bisa. Yesaya bahkan menganggap semua daftar perbuatan di atas itu tidak pantas disebut sebagai kebaikan sama sekali. Sambil berseru Yesaya berkata segala kesalehan kami seperti kain kotor. Kemudian dengan sedih ia melanjutkan, kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin ... Tidak seperti kita, Yesaya dapat memberi penilaian yang akurat terhadap dirinya sendiri dan berani jujur untuk mengakui hal itu.[2]

Hanya orang yang tidak memperhatikan ajaran Alkitab saja, yang merasa cukup percaya diri bahwa suatu hari ia akan datang sendirian, berhadapan muka dengan muka di depan Sang Pencipta sambil mengira bahwa dirinya sudah cukup pantas untuk hidup berdampingan dengan Dia Yang Mahasuci lagipula Mahamulia itu.

Jika tanah yang hanya bisa terdiam, tidak luput dari kutukan Tuhan, mungkinkah manusia akan terluput?

Manusia memang tidak akan terluput dari kutukan Tuhan. Itulah sebabnya Yesus Kristus harus datang sebagai Manusia untuk menerima kutukan itu. Ia mati di atas kayu salib dan dikuburkan. Pada hari ketiga Ia bangkit dari kematian dan sebelum naik ke sorga, Yesus Kristus berpesan: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. (Markus 16:15-16) Karena di dalam Kristus sajalah, seluruh alam semesta ini ditebus dan dikembalikan kepada sifatnya yang mulia.

Kiranya Roh Kudus menolong kita untuk percaya, supaya kita tahan berdiri di hadapan Anak Manusia. (Lukas 21:36)

Tuhan memberkati. (Oleh: Izar Tirta)

Pertanyaan untuk direnungkan:
Mengapa tanah dikutuk Tuhan?
Apa dampak kutukan Tuhan terhadap tanah?
Apakah bumi kita memang telah dikutuk oleh Tuhan? Klik disini
Tanggung jawab orang Kristen terhadap alam semesta. Klik disini
Apakah AKHIR ZAMAN itu sudah dekat? Klik disini
Eksposisi Kejadian 3:17,18
Penjelasan 2 Petrus 3:10. Klik disini
Penjelasan Zefanya 1:14
Penjelasan Roma 8:10
Mengapa puasa, ibadah & perbuatan baik tidak bisa menyelamatkan? Klik disini
Aspek kosmis dari dosa manusia.
Apakah inti persoalan dosa manusia?
Mengapa Yesus harus mati? Klik disini
Apakah pesan penting Yesus sebelum naik ke sorga? Klik disini




[1] Di dalam sejarah, hanya ada seorang Manusia yang dengan penuh kuasa pernah menghardik alam yang sedang mengamuk dan alam itu pun tunduk terdiam seketika di hadapan-Nya. Nama Orang itu adalah Yesus.
[2] Dikutip dari Yesaya 64:6. Saya sudah pernah membahas hal ini dalam tulisan tentang pertemuan antara Tuhan Yesus dengan pemimpin muda yang kaya raya itu.