Sunday, August 6, 2023

Teologi Salib menurut pandangan Martin Luther

Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. (1 Korintus 1:18)

Teologi Salib menurut Martin Luther

Apa itu Teologi Salib?


Di dalam ajaran Kristen, yang dimaksud dengan Teologi Salib adalah sebuah pandangan teologis yang menitikberatkan pembahasannya pada arti penting dari salib Kristus. Dan Martin Luther, sebagai tokoh Reformasi Protestan pada abad ke-16, menempatkan teologi salib sebagai salah satu elemen kunci dalam pemahaman iman Kristen dan menyatakan bahwa salib merupakan inti pesan Injil.


Rekomendasi Buku:
"Yesus - Allah yang mengenal nama Anda"
Klik disini.

 

Apa yang dikatakan oleh Martin Luther ini memiliki kesejajaran dengan apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus. Paulus berkata: Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. (1 Kor 2:2)

Melalui ayat ini kita mendapat gambaran bahwa Rasul Paulus tidak memiliki materi pengajaran lain yang lebih penting untuk disampaikan, selain mengajarkan tentang Tuhan Yesus yang tersalib itu. Ini adalah topik yang paling penting melampaui topik pembicaraan lainnya.

Martin Luther juga melihat pemberitaan salib sebagai hal yang sangat penting untuk dibicarakan dan diajarkan kepada orang Kristen. Hal itu terjadi demikian, selain karena berita salib merupakan berita yang sentral di dalam kekristenan, disebabkan juga karena Martin Luther melihat bahwa orang Kristen masih lebih suka pada Teologi Kemuliaan ketimbang Teologi Salib.

 

Seperti apa yang bukan Teologi Salib?

 

Teologi Kemuliaan adalah suatu pandangan teologis yang mengedepankan kemuliaan-kemuliaan duniawi sebagai elemen utama yang diberitakan kepada dunia. Sebagai contoh: orang Kristen ingin memperkenalkan Kristus melalui profil gereja yang kuat secara finansial, kuat secara politik, memiliki jemaat yang terdiri dari pejabat, penguasa, ilmuwan yang highly educated, orang-orang berpengaruh, terkemuka dan disegani oleh masyarakat. Selain profil gereja yang seperti itu, orang Kristen yang menganut teologi kemuliaan juga berusaha tampil sukses secara finansial, memakai dan memiliki barang-barang bermerek, dan sangat jauh dari kesan kelemahan.

Bagi Luther model pemberitaan seperti itu, memiliki arah yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Alkitab yang menjadikan Salib Kristus sebagai sentral pemberitaannya. Dan apabila kita perhatikan bagaimana Alkitab sendiri memberitakan tentang Kristus, maka dapat dikatakan bahwa semenjak kelahiran, hingga kematian-Nya, Tuhan Yesus senantiasa membawa kisah Salib di dalam setiap langkah kehidupan-Nya.

 

Apa saja unsur-unsur yang dibicarakan dalam Teologi Salib?

 

Secara umum, atau secara garis besar sederhana, ada beberapa poin penting dalam pandangan teologi Salib Martin Luther:

1. Keadilan Allah dan Kasih Allah:

Luther menganggap Salib sebagai demonstrasi terbesar dari keadilan dan kasih Allah. Dalam kematian Kristus di kayu Salib, keadilan Allah terpenuhi karena dosa-dosa manusia dihukum dan dibayar sepenuhnya. Sementara itu, kasih Allah yang tak terbandingkan ditunjukkan dengan pemberian-Nya, yaitu Anak-Nya yang satu-satunya, untuk menebus dosa-dosa manusia.

2. Penebusan Dosa:

Luther percaya bahwa kematian Yesus Kristus di Salib adalah pembayaran penebusan untuk dosa-dosa manusia. Manusia, karena sifat dosanya, tidak dapat membebaskan diri mereka sendiri dari konsekuensi dosa. Kristus sebagai "Korban Allah" menggantikan manusia sebagai ganti penebusan dosa dan menghidupkan kembali hubungan manusia dengan Allah.

3. Sola Fide (Iman Saja):

Teologi Salib Luther berhubungan erat dengan prinsip Sola Fide atau "Iman Saja." Luther mengajarkan bahwa keselamatan manusia tidak diperoleh melalui perbuatan baik atau usaha manusia, tetapi melalui iman pribadi kepada Kristus sebagai Juruselamat penebus dosa. Ketika seseorang mempercayai bahwa Kristus telah membayar dosa-dosa mereka di Salib, keselamatan dan pengampunan diberikan oleh anugerah Allah melalui iman semata.

4. Perubahan Batiniah:

Luther juga menekankan pentingnya perubahan batiniah atau perubahan hati yang dialami oleh seseorang melalui iman dalam Kristus. Kematian Kristus di Salib mempengaruhi jiwa manusia, membawa pertobatan, dan mengubah arah hidup mereka untuk hidup dalam ketaatan dan pelayanan kepada Allah.

5. Pengenalan Diri:

Luther menekankan perlunya pengenalan diri sebagai dosa, kelemahan, dan keterbatasan manusia. Hanya ketika seseorang menyadari keadaan dosanya dan kebutuhan akan penyelamatan, mereka akan mencari pertolongan dan keselamatan melalui iman kepada Kristus yang mati dan bangkit.

 

Kendala dalam menghayati Teologi Salib

 

Bagi Luther, teologi Salib adalah hal yang tak terpisahkan dari pengajaran Alkitab. Ia menekankan bahwa gereja harus kembali ke dasar iman Kristen yang sejati, yaitu Yesus Kristus dan karyanya di kayu Salib. Seluruh ajaran dan praktik gerejawi harus dilihat melalui lensa salib, karena di sana terdapat titik puncak dari kasih dan keadilan Allah untuk menyelamatkan umat manusia.

Pemberitaan seperti ini tentu saja berbeda dengan model pemberitaan yang  menjunjung tinggi kesuksesan, kekayaan, kemegahan, kepintaran dan kemuliaan gereja. Sebab semua itu justru memang dijunjung tinggi sebagai kemuliaan ala dunia, dan bukan kemuliaan melalui penderitaan salib seperti yang Tuhan Yesus perlihatkan dalam kehidupan-Nya.

Bagaimana mungkin orang dapat masuk ke dalam penghayatan tentang keadilan dan kasih Allah apabila yang dikedepankan adalah kekayaan materi, kesuksesan, kepintaran dan kekuatan sebuah gereja di dalam dunia ini? Berbicara tentang dosa manusia, adalah berbicara tentang kegagalan dan kerendahan manusia, bukan tentang betapa sukses dan terhormatnya seorang manusia atau sebuah gereja.

 

Teologi Salib di dalam kehidupan Tuhan Yesus sendiri.

 

Tuhan Yesus sendiri sejak kelahiran hingga kematian-Nya, senantiasa hidup di bawah bayang-bayang salib. Tuhan Yesus datang ke dalam dunia sebagai bayi, bukan sebagai penguasa yang sangat kuat. Dan kelahiran-Nya pun terjadi di antara orang miskin dan bahkan di dalam kandang binatang. Sama sekali bukan gambaran yang high-life dan elite dari seorang penguasa.

Ketika Tuhan Yesus beranjak dewasa, Ia tidak tinggal di Yerusalem, kota yang terkenal sejak jaman Daud, sebuah kota suci dimana Bait Allah berdiri. Tuhan Yesus justru tinggal di Nazareth, sebuah kota kecil yang bahkan tidak pernah dibicarakan satu kalipun di dalam Perjanjian Lama. Tuhan Yesus tidak memiliki kehidupan yang membuat orang berdecak kagum berdasarkan tempat tinggal-Nya atau status social-Nya, tetapi memilih hidup di dalam kerendahan dan kesederhanaan. Sangat bertolak belakang dengan orang Kristen atau gereja yang menganut Teologi Kemuliaan, yaitu orang yang ingin kelihatan hebat dan terpandang tadi.

Kehidupan keluarga Tuhan Yesus juga bukan sebuah kehidupan yang sempurna dalam ukuran dunia. Ayah-Nya yaitu Yusuf sudah meninggal semenjak Tuhan Yesus masih muda. Untuk seorang Pribadi yang memiliki kuasa melakukan mukjizat, Tuhan Yesus tidak melakukan mukjizat kesembuhan bagi ayah-Nya sendiri. Tuhan Yesus juga memiliki saudara-saudari yang tidak menerima Dia begitu saja. Alkitab mencatat bahwa saudara-saudari Tuhan Yesus sendiri menganggap Dia sebagai orang yang tidak waras. Injil Markus mencatat: Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka datang hendak mengambil Dia, sebab kata mereka Ia tidak waras lagi. (Markus 3:21)

Sudah cukup berat apabila orang lain yang bukan keluarga menyalahpahami kita, Tuhan Yesus bukan saja disalahpahami oleh orang lain, tetapi bahkan keluarga-Nya sendiri pun seperti tidak berpihak kepada Dia. Inilah jalan salib yang harus ditempuh oleh Tuhan Yesus sepanjang kehidupan-Nya.

Kematian di atas kayu salib adalah puncak dari Teologi Salib itu sendiri bagi Tuhan Yesus. Dia yang tidak berdosa justru harus mati dengan cara yang sangat memalukan dan sangat menyakitkan, demi menebus dosa manusia. Sebagai suatu peringatan akan betapa rendahnya dan betapa parahnya kondisi keberdosaan manusia hingga kehidupan seseorang Pribadi yang begitu baik dan suci pun harus ikut terseret ke dalam kehancuran.

 

Kesimpulan singkat dari Teologi Salib

 

Jadi bagaimana mungkin seseorang dapat memberitakan tentang Pribadi Allah yang seperti Yesus Kristus, melalui model pemberitaan yang isinya adalah kekayaan, kesuksesan, keberhasilan, kekuatan dan tepuk tangan dunia?

Berita Salib adalah berita tentang kemiskinan, kegagalan, ketidakmampuan, kelemahan dan penghakiman Ilahi. Tidak heran apabila sebagian besar manusia di dunia ini menganggap berita salib sebagai suatu kebodohan. Hanya orang-orang yang hatinya sudah diterangi oleh Roh Kudus saja yang mampu melihat berita salib sebagai kekuatan Allah yang menyelamatkan. Kiranya Tuhan memberkati kita, amin.

 

 

Tuesday, August 1, 2023

Natal: Mengapa Kita Masih Perlu Memikirkannya?

Natal: Mengapa Kita Masih Perlu Memikirkannya?


Kelahiran Yesus Kristus adalah peristiwa yang amat penting bagi hidup orang yang percaya kepada-Nya, karena melalui peristiwa tersebut kita melihat suatu bukti tentang betapa besarnya kasih Allah kepada dunia ini. Betapa tidak, melalui Natal kita melihat bagaimana Allah yang Mahakuasa rela untuk menjadi manusia demi menebus kita dari hukuman atas dosa-dosa yang kita lakukan.



Buku "Anda Tak Pernah Sendirian"
 
Sungguh ajaib jika Allah begitu menghargai manusia sementara secara menyedihkan kita sendiri sebagai manusia sering kali merasa sulit untuk menghargai orang lain yang pada dasarnya adalah sesama kita manusia. Melalui Natal kita ditegur, diajari, diberi teladan dan bahkan diberi jalan untuk kembali merenungkan makna hidup kita sebagai manusia. Melalui Natal kita juga diingatkan akan eksistensi Allah yang berdaulat, Allah yang hidup dan terutama Allah yang menyelamatkan dan memelihara kehidupan kita.

Meskipun demikian, tidak semua orang di dunia ini melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang yang sama. Tidak semua orang menghargai apa yang telah dilakukan Allah melalui peristiwa Natal ini. Tidak sedikit pula yang tidak mempercayai peristiwa kelahiran Yesus itu sebagai suatu peristiwa Ilahi yang bermakna penting bagi manusia. Untuk beberapa kelompok manusia, gagasan bahwa Allah menjadi manusia dan masuk ke dalam lintasan sejarah bukanlah sesuatu yang harus dipahami secara harafiah. Mereka menganggap peristiwa tersebut tidak lebih dari mitos belaka.

Rudolf Bultmann adalah satu di antara sekian banyak orang yang menganggap bahwa kelahiran Yesus adalah sebuah mitos. Dalam tulisan-tulisannya, Bultmann menyatakan bahwa di dalam Perjanjian Baru memang banyak terdapat mitos. Yang dimaksud Bultmann dengan mitos adalah upaya-upaya manusia untuk mengekpresikan keadaan “dunia yang lain” dengan dunia yang kita kenal sekarang ini.

Bagi orang seperti Bultmann dan juga orang-orang yang setuju dengan jalan pikirannya kisah-kisah di dalam Alkitab tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Tulisan-tulisan para nabi dan rasul tidak perlu dianggap sebagai suatu tulisan yang memiliki semacam otoritas ke-Ilahi-an karena pada dasarnya tulisan-tulisan semacam itu hanyalah suatu ekspresi budaya yang tumbuh dan berkembang karena adanya pengaruh budaya lain. Sebagai contoh, Bultmann menganggap bahwa tradisi Alkitab Kristen amat dipengaruhi oleh tradisi Helenisme dan Gnostisisme, jadi menurutnya tulisan dalam Alkitab bukanlah suatu pekerjaan Ilahi untuk manusia.

Pemikiran semacam Bultmann ini bukanlah sesuatu yang terjadi dan hanya berlaku di masa lalu melainkan juga masih hidup di tengah-tengah masyarakat pada masa sekarang ini. Bentuknya memang berbeda namun semangat yang ditularkannya tetap sama yaitu menyangkali otoritas Ilahi dalam apapun yang dikatakan oleh Alkitab, termasuk dalam hal ini kelahiran Yesus Kristus.

Lalu ada lagi kelompok lain yang kelihatan lebih baik dari kelompok pertama, yaitu mereka yang mengakui bahwa Yesus memang pernah lahir di dalam sejarah namun mereka menyangkali arti penting kelahiran Yesus tersebut. Biasanya kelompok semacam ini adalah kelompok yang terdiri dari para penganut paham rasionalisme, yaitu suatu paham yang menempatkan rasio manusia sebagai otoritas tertinggi dari kebenaran. Menurut mereka rasio atau daya pikir manusia adalah penentu bagi segala sesuatu yang disebut benar atau salah.

Bagi kaum rasionalis ini, apa yang Yesus katakan atau sampaikan bukanlah sesuatu yang baru. Yesus hanya mengutarakan sesuatu yang pada dasarnya memang benar secara logika sehingga tanpa Yesus pun umat manusia dapat menemukan kebenaran itu melalui pertolongan rasio mereka.

Dengan pola pikir atau cara pandang seperti ini tentu amat sulit untuk mengharapkan kaum rasionalis ini dapat menghargai kelahiran Yesus Kristus sebagai sesuatu yang bermakna amat penting bagi umat manusia. Orang-orang semacam ini mungkin mengakui kelahiran Yesus di dalam sejarah, mereka bahkan bisa turut bersuka cita di dalam kegembiraan Natal akan tetapi mereka tidak akan pernah melihat bahwa Natal mempunyai makna yang begitu vital bagi manusia.

Sebagai orang Kristen kita tentu merasa heran mengapa orang-orang seperti yang dicontohkan dalam paragraf-paragraf tadi bisa begitu mengecilkan arti kelahiran Yesus Kristus sementara kita sendiri melihat betapa Natal adalah suatu peristiwa yang begitu luarbiasa bukan?

Tetapi benarkah kita sendiri pun telah melihat Natal sebagai suatu peristiwa yang begitu luarbiasa? Atau adakah rutinitas perayaan Natal dan pengaruh gegap gempita lingkungan dunia kita telah turut menggeser makna Natal itu sendiri? Sejauh mana kita mengenal kisah Natal sebagaimana Alkitab menceritakannya? Sejauh mana kita telah belajar dari detil-detil cerita yang luarbiasa itu? Ataukah karena sudah terlampau sering mendengar khotbah tentang Natal, sensitivitas kita terhadap cerita itu sudah jauh berkurang? Salah satu keterbatasan kita dalam mencerna suatu peristiwa yang sudah terlalu biasa adalah; kita mulai kehilangan makna dari peristiwa tersebut.

Jika kita secara sepintas melihat kondisi sekarang ini, kita tahu bahwa tidak sedikit golongan masyarakat yang ikut bergembira di hari Natal. Bagi kita orang Kristen, fakta ini mungkin cukup menggembirakan karena kita dapat menduga bahwa pengenalan manusia akan Yesus Kristus sudah semakin luas diterima. Akan tetapi jika kita melihat lebih jauh lagi maka kita mungkin baru menyadari bahwa Natal yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya berbeda dengan pesan Natal yang sesungguhnya.

Berbicara tentang Natal, terus terang saja, bagi saya susah-susah gampang. Saya ingin merasa gampang dan ingin membuatnya menjadi gampang karena setidaknya sebagai orang Kristen kita pada umumnya sudah cukup sering mendengar kisah yang agung ini.

Akan tetapi ingin bilang gampang juga ternyata tidak mudah, mengapa? Karena pada dasarnya kita melihat di dunia ini bagaimana Natal (yang kita pikir gampang itu) ternyata telah begitu sering berada di dalam arah yang menyimpang. Misalnya, materialisasi dan sekularisasi seperti yang amat marak dibicarakan sebagai ancaman bagi Natal yang sesungguhnya. Bagi kita orang Kristen yang (barangkali) sudah dewasa, ancaman ini (sekali lagi “barangkali”) tidak terlalu menakutkan, akan tetapi bagaimana dengan generasi penerus kita? Jika pesan Natal (yang terkesan itu-itu saja) tidak kita kumandangkan dengan lantang, tegas dan sesuai ajaran Alkitab maka boleh dipastikan bahwa semangat dan ajaran Natal (sebagaimana Alkitab ingin kita melihatnya) akan luntur di abad-abad mendatang dalam diri anak cucu kita. Kita tentu tidak ingin ini terjadi bukan?

Alasan lain untuk tidak mengatakan Natal sebagai sesuatu yang gampang adalah ketika menyadari keterbatasan dan kegagalan kita (yang begitu seringnya) dalam mengaplikasikan apa yang telah kita renungkan di dalam Natal. Coba saja anda renungkan satu pertanyaan pribadi ini? Sudah berapa Natal berlalu dalam hidup anda sebagai orang percaya? Adakah dengan bertambahnya tahun anda bisa dengan yakin mengakui bahwa anda sudah semakin maju di dalam iman, kasih dan karakter anda? Bukankah kita sama-sama sering merasa maju hari ini, lalu mundur lagi minggu depan, kita merasa berhasil bulan ini lalu blunder lagi bulan depan, lalu maju lagi dan maju lagi dan kemudian mundur lagi dan mundur lagi demikian seterusnya. Jika kemajuan kita sebagai orang Kristen ditentukan semata-mata dari seberapa lama kita telah menjadi orang Kristen atau seberapa banyak usia kita maka kita boleh memastikan bahwa orang-orang yang sudah lama menjadi orang Kristen dan sudah lebih banyak umurnya pasti memiliki kemajuan yang lebih pesat di dalam kerohanian, tetapi apa benar begitu? Nyatanya tidak. Yang masih muda bergumul dengan masalah kerohanian, yang sudah senior usianya pun bergumul dengan persoalan yang sama. Artinya, sampai kapanpun pada dasarnya kita, siapapun orangnya, tetap masih membutuhkan pesan Natal bagi hidup kita. Jadi, tentu adalah penting untuk sekali lagi merenungkan Natal dengan berbagai persoalan serta ajaran yang ada di dalamnya.

Semoga melalui tulisan singkat ini, kita kembali diingatkan bahwa Natal pada dasarnya adalah moment atau suatu batu loncatan untuk mengenal Pribadi Yesus sebagaimana Alkitab bercerita tentang Dia. Berbicara tentang Natal, bukanlah berhenti pada perayaan Natal itu sendiri (yang mana biasanya sebagai panitia Natal kita menjadi amat sibuk sekali dengan segala tetek-bengek seremonial dan rapat-rapat yang melelahkan). Berbicara tentang Natal juga bukanlah berpusat pada Sinterklas atau model pohon terang apa yang akan kita pasang tahun ini. Berbicara tentang Natal, tidak lain dan tidak bukan adalah berbicara tentang Yesus Kristus dan signifikansi (arti penting) kelahiran-Nya bagi umat manusia serta bagaimana respon kita terhadap Dia. Selamat Natal, kiranya Tuhan memberkati kita semua.

Catatan:
Tulisan ini diambil dari buku yang saya tulis pada waktu Natal tahun 2007, berjudul “Christmas Salad”¬ - Bab satu: Pendahuluan. (Oleh: Izar Tirta)

Sunday, June 4, 2023

Lalu Yesus mengambil roti dan ikan itu (Yohanes 6:11)


 

Dalam tulisan-tulisan sebelumnya kita sudah merenungkan tentang lima roti dan dua ikan yang dipersembahkan kepada Tuhan Yesus. Meskipun pemberian itu begitu minim dan boleh dikatakan tidak berarti, tetapi Tuhan kita mengambil persembahan tersebut.

 

Buku "Siapakah Yesus?- Mengenal Dia Secara Berbeda"
Klik disini.

Berbahagialah orang yang persembahannya diambil oleh Tuhan, sebab Alkitab mencatat tidak semua persembahan manusia pasti diambil-Nya. Perhatikan bahwa istilah yang dipakai adalah “Yesus mengambil,” bukan “Yesus menerima.” Sekilas hampir tidak ada perbedaan di antara kedua pengertian tersebut, tetapi yang ingin ditekankan oleh Yohanes adalah bahwa Tuhan Yesus tidak berada di posisi yang menerima secara pasif saja ketika diberi sesuatu, melainkan secara aktif memutuskan untuk mengambil persembahan itu.

Tidak jarang manusia berpikir bahwa Tuhan pasti menerima apapun yang diberikan kepada-Nya, seakan-akan Dia begitu pasif dan tidak punya pilihan untuk menolak. Bahkan ada pula orang yang melihat Tuhan sebagai pengemis yang suka meminta-minta kepada manusia. Mereka pikir Tuhan begitu kekurangan, sehingga membutuhkan sesuatu dari manusia. Mereka pikir Tuhan begitu miskin sehingga perlu disumbang oleh manusia. Tuhan begitu lemah dan kesepian sehingga manusia harus menyembah dan menyanyi bagi Dia. Betapa kelirunya cara berpikir semacam itu.

Dari sejak kitab Kejadian, Alkitab sudah mengajarkan bahwa Allah adalah Dia yang menyediakan kebutuhan manusia. Bahkan semua ciptaan pun diberikan kepada manusia untuk dikelola, dinikmati dan dimanfaatkan. Tanpa Allah yang terlebih dulu memberikan sesuatu pada manusia, maka manusia tidak mungkin dapat mempersembahkan apapun kepada-Nya.

Pesan seperti ini juga jelas kita baca dalam peristiwa perjumpaan antara Tuhan Yesus dan Petrus di tepi danau. Bukan suatu kebetulan jika Alkitab mencatat bahwa para murid tidak punya lauk pauk (biasanya berupa sepotong ikan) apapun untuk ditawarkan kepada Tuhan Yesus. Baru setelah Tuhan mendatangkan ikan dalam jumlah yang sangat besar, mereka dapat mempersembahkan ikan kepada-Nya untuk dinikmati bersama.

Sebagaimana terjadi di bukit sebelum kebangkitan, demikian pula terjadi di tepi danau setelah kebangkitan, Yesus maju… mengambil … dan memberikannya kepada mereka (Yohanes 21:13). Alkitab dengan konsisten mengatakan bahwa Tuhan Yesus adalah Dia yang berdaulat untuk mengambil, atau tidak mengambil pemberian manusia.

Apabila Tuhan mengambil sesuatu yang kita persembahkan, maka kedaulatan ada di tangan Tuhan, bukan di dalam kehendak manusia. Alkitab mencatat beberapa peristiwa ketika Tuhan tidak bersedia mengambil pemberian manusia.

Contoh yang paling awal dapat kita baca dalam peristiwa Kain dan Habel. Dalam tulisan tentang Kain dan Habel, saya sudah menguraikan panjang lebar mengapa Tuhan mengambil persembahan Habel tetapi menolak persembahan Kain. Jika kita berpikir bahwa Tuhan hanya secara pasif menerima apapun yang dipersembahkan oleh manusia, maka kita harus ingat bahwa Alkitab justru mengajarkan tentang Tuhan yang dapat menolak pemberian manusia.

Raja Daud pun pernah ditolak, ketika ia ingin membangun Bait Allah bagi Tuhan. Gambaran seperti ini cukup kontras dengan pemikiran orang Kristen pada umumnya, bukan? Secara umum kita membayangkan apabila ada orang yang banyak uang, datang dengan niat untuk membangun gereja, maka sudah pasti Tuhan akan senang. Tapi Alkitab mengajarkan bahwa hal yang demikian tidaklah selalu terjadi (1 Raja-raja 8:19).

Tuhan tidak terkesima dengan kedudukan seseorang, meskipun Daud adalah raja. Tuhan tidak terkesima pada kekuatan financial seseorang, walaupun Daud kaya raya. Bahkan sekalipun Daud adalah orang percaya, tidak otomatis Tuhan mau mengambil sesuatu dari dia. Keputusan selalu ada di tangan Tuhan, bukan manusia. Jika itu bisa terjadi pada Daud, siapa yang berani mengatakan bahwa hal yang demikian tidak akan terjadi pada kita?

Meskipun bangsa Israel adalah bangsa pilihan Allah, tetapi Yeremia mencatat perkataan Tuhan: “Sekalipun mereka berpuasa, Aku tidak akan mendengarkan seruan mereka; sekalipun mereka mempersembahkan korban bakaran dan korban sajian, Aku tidak akan berkenan kepada mereka.” (Yeremia 14:12, Yesaya 1:11 juga mencatat hal seperti ini).

Dalam kaitan dengan penolakan Tuhan, barangkali Matius pasal 7 adalah catatan yang paling mengerikan. Di mana sekelompok orang datang ke hadapan Tuhan membawa segala macam prestasi dan pencapaian mereka di dalam melayani Tuhan, tetapi mereka ditolak. Dalam peristiwa Daud, pemberiannya ditolak, tetapi orangnya diterima. Dalam Matius 7, pemberian mereka ditolak, orangnya pun ditolak. Menakutkan, bukan?

Tentu jauh lebih mudah bagi kita untuk mencerna tema yang populer seperti Allah yang menerima, Allah yang membuka tangan, Allah yang menyambut dan lain sebagainya. Tidak harus salah memikirkan sosok Allah yang seperti itu. Dan topik semacam itu pasti akan sejuk di telinga dan hangat di dalam hati. Tetapi Alkitab kita tidak selalu mengatakan hal yang seperti itu. Alkitab juga mengajarkan tentang Tuhan yang berdaulat, Tuhan yang punya hak untuk menerima atau menolak manusia, untuk mendatangi atau meninggalkan, untuk memilih atau membiarkan, untuk mengambil atau melemparkan.

Alkitab tidak ditulis supaya telinga kita jadi sejuk dan hati kita jadi hangat. Alkitab ditulis untuk membawa kita masuk ke dalam pengenalan akan Allah yang sejati, melalui pertobatan yang juga sejati.

Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan memberitakan Injil kepada seorang yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus. Waktu yang saya pakai untuk menjelaskan Alkitab dan memperkenalkan Kristus kepada dia satu orang saja, jauh lebih lama dari waktu yang biasa saya pakai untuk berbicara dari mimbar. Tetapi pada akhir pembicaraan dia hanya berkata: “Penjelasan Bapak sangat clear dan masuk akal. Tetapi saya tetap belum mau memutuskan.”

Manusia suka berpikir bahwa kedaulatan ada di tangannya. Manusia sering mengira bahwa pilihan ada di dalam genggamannya. Tergantung dia apakah mau terima Tuhan atau tidak. Tergantung keputusannya apakah mau menerima Tuhan Yesus atau menolak Dia. Seolah-olah Tuhan sedang mengemis cinta dan kita manusialah yang berkuasa untuk mau berbagi cinta ataukah tidak. Tuhan yang berharap, kita yang membuat keputusan. Ini sangat sangat keliru dan amat berbeda dengan apa yang Alkitab gambarkan.

Alkitab mengajarkan bahwa bukan manusia yang memutuskan untuk menerima Tuhan, tetapi Tuhan yang memutuskan untuk mau menerima atau tidak menerima seorang manusia. Kedaulatan selalu ada di tangan Tuhan. Orang yang menolak Kristus, pada dasarnya adalah orang yang telah dibuang oleh Sang Bapa.

Oleh karena itu…

Sebagai manusia hendaklah kita senantiasa memelihara rasa takut dan gentar di hadapan Tuhan. Ketika kita memberi persembahan kepada Tuhan, janganlah kita berpikir seperti orang berjiwa kolonial, yang memberi dari posisi di atas kepada orang yang posisinya di bawah. Yang mengalirkan berkat dari orang yang berkecukupan kepada orang yang berkekurangan. Yang menjadi semacam hero bagi orang-orang malang yang tak berdaya. Alkitab tidak pernah mengajarkan hal seperti ini.

Ketika kita datang membawa persembahan, kita adalah orang bawah, tidak peduli berapa kayanya, betapa pintarnya, betapa penuh talentanya, kita tetap adalah orang bawah, yang menyerahkan kembali segala sesuatu yang pernah dititipkan oleh Dia Yang Di atas sana. Adalah keputusan Tuhan, untuk menerima atau menolak apa yang kita persembahkan. Jangan pikir mentang-mentang kita ini kaya atau pintar maka Tuhan merasa semacam ada kebutuhan untuk memakai kita dalam melayani Dia. Kalau Tuhan mau pakai, Dia akan ambil, kalau Dia tidak mau pakai maka Dia tidak akan mengambil, meskipun kita berikan.

Perhatikan bahwa dalam peristiwa di bukit ini, jika Tuhan Yesus tidak mengambil roti dan ikan yang dipersembahkan kepada-Nya, maka roti tetaplah roti dan ikan tetaplah ikan, yang hanya bisa mencukupi kebutuhan orang yang membawanya. Baru setelah Tuhan mengambil roti itu, maka segalanya menjadi indah.

Dan perlu kita garis bawahi pula, sampai kisah itu berakhir dan beralih ke kisah lain, tidak ada satu kali pun Alkitab mencatat, siapa nama anak yang membawa roti dan ikan tadi. Seperti itu pulalah seharusnya pelayanan kita di hadapan Tuhan, stay humble, stay hidden, stay unnoticed, and yet being a bless for others and giving glory to the Lord. Dapatkah kita memiliki hati seperti ini? Kiranya Tuhan berbelaskasihan menolong kita yang lemah dan cenderung besar kepala ini. Amin.

Wednesday, May 24, 2023

Apa yang dimaksud dengan pemberitaan tentang salib?


Salib merupakan lambang atau simbol yang sangat penting di dalam iman Kristen. Sebab seluruh Alkitab bercerita atau menuju pada puncak cerita yang berpusat pada Yesus Kristus. Dan puncak dari kehidupan Tuhan Yesus sendiri adalah ketika Ia dipermuliakan di atas kayu salib. Sebagai orang Kristen kita tidak seharusnya berhenti pada budaya memakai simbol-simbol salib saja, entah sebagai kalung atau sebagai hiasan dinding rumah. Tanpa mencoba untuk mengerti lebih dalam arti dari salib, dan bahkan mengikuti panggilan Tuhan Yesus pada kita untuk turut memikul salib bersama Dia.

 

Buku "Dukacita Sengsara Tuhan Kita Yesus Kristus"
Klik disini.

Di dalam sejarah, Tuhan Yesus bukan satu-satunya orang yang pernah disalibkan. Bahkan pada hari yang sama ketika Tuhan disalibkan, ada dua orang lain yang juga disalibkan bersama dengan Dia. Tetapi hanya Yesus Kristus, Tuhan kita sajalah, satu-satunya Pribadi yang disalibkan bukan karena Ia bersalah, tetapi karena Ia menebus kesalahan orang lain. Ada arti yang berbeda di balik peristiwa penyaliban Tuhan Yesus yang tidak dimiliki oleh siapapun di sepanjang sejarah dunia.

Di dalam kehidupan dan pengajaran-Nya, baik sebelum maupun setelah disalibkan, Tuhan Yesus meminta murid-Nya dan semua orang yang mau menjadi murid-Nya, untuk turut memikul salib seperti Dia. Tuhan Yesus berkata: Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku. (Matius 10:38).

Ayat yang diambil dari Injil Matius di atas, sungguh suatu perkataan yang serius serta tidak dapat dianggap remeh, bukan? Kalimat Tuhan Yesus tidak memberikan banyak pilihan bagi manusia untuk dikatakan layak atau tidak layak di hadapan-Nya. Tentu saja hal ini bukan berarti keselamatan kita didasarkan pada keberhasilan dari usaha kita dalam memikul salib. Kalimat Tuhan Yesus ini seharusnya dimengerti sebagai tanda kesejatian iman, yaitu hal apakah yang seharusnya ada di dalam diri seseorang yang sudah diselamatkan. Memikul salib, dalam hal ini, adalah tanda dari anugerah sejati yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Ciri dari orang yang sudah diselamatkan adalah kerelaannya untuk menerima dan memikul salib yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Berita salib memiliki kedekatan dengan penderitaan, kesulitan dan bahkan kematian. Dalam tulisan singkat ini kita mencoba merenungkan apakah saja yang dapat kita kategorikan sebagai memikul salib Kristus dan hal apa saja yang bukan merupakan salib, sekalipun di dalamnya ada penderitaan.


Beberapa contoh dari penderitaan yang merupakan salib dari Tuhan

Contoh Penderitaan Salib yang Pertama

Ketika seseorang merelakan diri mengalami kematian, demi berkorban bagi orang lain, karena hal itu diinginkan oleh Tuhan, meskipun kita sendiri tidak mudah menanggungnya dan meskipun kita sendiri punya pilihan untuk pergi dari situasi tersebut.

Orang seperti ini memusatkan hidupnya pada keinginan dan rencana Tuhan, bukan keinginan dan rencananya pribadi. Tuhan Yesus adalah contoh yang sempurna dari orang yang memikul salib yang diberikan Allah Bapa kepada-Nya. Meskipun tidak ada kewajiban bagi-Nya untuk mati bagi orang lain, yaitu dalam rangka menebus manusia, Tuhan Yesus merelakan hati-Nya untuk menerima konsekuensi dari perbuatan dosa yang dilakukan oleh manusia tersebut. Dengan rela Ia memikul salib bahkan hingga mengalami kematian di atas kayu salib. Hal ini dilakukan karena sudah menjadi kehendak dari Sang Bapa untuk menyelamatkan dunia. 

Alkitab memberi kesaksian mengenai begitu besarnya kasih Allah kepada dunia ini, sehingga setelah jatuh ke dalam dosa pun Allah Bapa tidak bersegera untuk memusnahkannya. Sebaliknya, Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal untuk mati menebus dosa manusia. Dan sebagai Anak yang diutus oleh Bapa untuk menebus dosa, Tuhan Yesus rela menanggung segala penderitaan tersebut.

Memikul salib seperti ini merupakan kejadian yang dialami oleh Tuhan Yesus dan para martir. Tidak semua orang Kristen diberi anugerah untuk sampai pada titii ini di dalam kehidupan mereka.


Contoh Penderitaan Salib yang Kedua

Ketika seseorang harus menangung kehidupan yang sulit, semata-mata karena ia mau setia mengikuti pimpinan Tuhan

Dalam arti yang sempit, berita salib memang berisi tentang peristiwa yang secara spesifik dialami oleh Tuhan Yesus di atas bukit Golgota. Ketika paku-paku menembusi tangan dan kaki-Nya, ketika mahkota duri ditancapkan pada kepala-Nya, ketika Tuhan tergantung selama berjam-jam dalam penderitaan hingga ajal-Nya tiba, pada saat itulah peristiwa penyaliban sedang berlangsung. 

Tetapi dalam arti yang luas, berita salib adalah tentang keseluruhan hidup Tuhan Yesus dari sejak lahir sebagai  bayi hingga menemui kematian di atas salib. Sebab sejak bayipun Tuhan Yesus sudah menanggung perendahan serta senantiasa ada di bawah bayang-bayang kematian.

Sekalipun Tuhan Yesus bisa saja datang ke dunia dalam keadaan sudah dewasa, tetapi kita tahu bahwa Tuhan Yesus memilih untuk menjadi bayi. Berita salib dalam arti yang luas adalah suatu kerelaan untuk menanggalkan segala kekuatan dan membiarkan diri sendiri dalam keadaan yang rapuh, lemah, mudah diserang, mudah disakiti, mudah disalahpahami.

Berita salib dakam arti luas adalah ketika seseorang merelakan hatinya untuk dipimpin Tuhan masuk ke dalam kehidupan yang sulit, tidak semarak, tidak ideal, disalapahami, namun tetap melakukan panggilan Tuhan itu dengan setia.

Tuhan Yesus menanggalkan segala kemuliaan-Nya sebagai Pencipta dan menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai milik yang tidak harus dipertahankan. Dengan rela Ia memberi diri dipimpin oleh Roh Kudus untuk masuk ke dalam rahim Maria dan dilahirkan sebagai bayi manusia.

Dalam keadaan-Nya sebagai bayi, tentu saja Tuhan Yesus sangat rapuh. Ia membiarkan Bapa-Nya yang memutuskan bagi Dia tentang apa yang harus terjadi. Lahir di kandang, di tengah keluarga yang miskin, di bawah ancaman pembunuhan Herodes, dilarikan ke Mesir, bertumbuh di sebuah desa kecil yang miskin dan bekerja dengan tangan-Nya sebagai tukang kayu. Perendahan hidup secara sosial di hadapan semua orang adalah salah satu aspek dari berita salib, dan hal ini mungkin justru lebih dekat dengan kehidupan kita sehari-hari.

Tidak semua orang Kristen diberi anugerah untuk menjadi martir, tetapi anugerah perendahan seperti yang harus dijalani oleh Tuhan Yesus sesungguhnya dapat terjadi pada siapa saja.

Secara insting yang berdosa, kita cenderung untuk lebih ingin dipermuliakan, disegani, dikagumi, diterima, dihormati oleh lain, tetapi jika kita melihat kepada Kristus, kita akan mendapati bahwa kehidupan Tuhan Yesus selama di dunia itu jauh dari kesan dipermuliakan, disegani dan dikagumi tadi. 

Hanya segelintir orang saja yang menemukan kemuliaan yang sejatu yang ada di dalam diri Yesus Kristus. Jauh lebih banyak orang yang salah paham, tidak suka dan bahkan sangat membenci Tuhan Yesus. Serangan dan sikap tidak percaya itu datang dari berbagai kalangan, mulai dari orang Farisi, ahli Taurat, pemerintah, masyarakat Yahudi, bahkan kaum keluarga-Nya sendiri pun tidak percaya pada-Nya dan menganggap diri-Ny tidak waras. Bukankah hal ini menyakitkan?

Tuhan Yesus tidak pernah berbuat jahat kepada siapapun. Hati-Nya penuh kasih, sabar dan selalu ingin membawa orang kepada jalan yang benar. Fakta bahwa Dia ternyata sangat dibenci dan tidak dipercayai oleh sebagian besar masyarakat, pasti sangat menyakitkan bagi perasaan Tuhan Yesus. Tetapi Tuhan Yesus rela menerima semua kepedihan itu sebagai jalan hidup yang telah ditetapkan oleh Sang Bapa.

Tuhan Yesus tidak pernah memberontak kepada Bapa-Nya. Apapun yang ditetapkan oleh Bapa, Tuhan Yesus siap untuk melakukan, dan dalam definisi yang cukup luas, kita dapat katakan bahwa inilah jalan salib yang harus ditempuh oleh Tuhan Yesus dalam rangka menyelamatkan manusia. Kematian di bukit Golgota adalah satu moment di antara sekian banyak moment dalam kehidupan Tuhan Yesus, yang menghasilkan suatu penderitaan salib bagi-Nya.

Dan justru penderitaan salib seperti inilah yang jauh lebih dekat dengan kehidupan kita sekarang. Sebab sebagai orang modern, mungkin membayangkan bahwa diri kita akan disalibkan sama seperti Kristus atau sama seperti para rasul, rasanya agak mustahil akan terjadi, sebab sistem hukum yang berlaku masa kini jelas berbeda dengan masa lalu. Dapat dikatakan, tidak ada lagi negara, apalagi negara maju dimana sistem peradilannya sudah jauh lebih baik, yang masih menerapkan hukuman salib untuk sarana menghukum seseorang.

Tetapi untuk setia menerima keputusan dan panggilan Tuhan di dalam hidup kita, sekalipun panggilan itu membawa pada kesulitan dan panggilan itu tidak sama dengan cita-cita kita, maka hal seperti ini jelas merupakan suatu jenis salib yang dapat dialami dan dipikul oleh setiap orang percaya dari di segala tempat, di segala waktu.


Contoh Penderitaan Salib yang Ketiga

Ketika seseorang memperkenalkan Tuhan kepada dunia bukan dengan cara-cara dunia, yaitu kemegahan, kekayaan dan kekuatan dunia, tetapi melalui pengorbanan, kesetiaan, kelemahan dan penderitaan.

Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk memperkenalkan Tuhan Yesus kepada dunia dan alangkah baiknya jika kita berusaha setia terhadap panggilan ini. Akan tetapi di dalam praktiknya, tidak jarang orang Kristen justru menyampaikan pesan yang berlawanan dengan pesan salib itu sendiri.

Di mana pesan atau berita salib itu bicara tentang penderitaan, pengorbanan, perendahan dan kesetiaan dalam mengikuti panggilan Ilahi sekalipun panggilan itu sangat berat. Orang Kristen justru mencoba memperkenalkan Kristus melalui institusi gereja yang organisasinya kuat, yang keuangannya kaya, yang banyak didukung oleh orang-orang penting di dalam masyarakat, yang hamba Tuhannya dari kalangan berpendidikan tinggi dari universitas bergengsi dengan kepandaian dalam berorasi tingkat tinggi dan kecakapan dalam ilmu berkomunikasi serta jago dalam bersilat lidah, yang jemaatnya makmur, yang jemaatnya selalu kelihatan ceria, sukacita, banyak pesta, tidak mengenal sakit penyakit, tidak ada kemalangan dan jauh dari penderitaan.

Model pemberitaan Injil seperti ini pernah muncul ketika Injil Kemakmuran (Prosperity Gospel) mulai dikenal di kalangan gereja-gereja tertentu. Menurut para penganut dan para pengajar Injil Kemakmuran, kita tidak boleh kelihatan lemah, sakit dan miskin di mata dunia. Sebab jika dunia melihat kita dalam kondisi yang seperti itu maka kita akan ditertawakan dan dunia tidak tertarik untuk menjadi orang Kristen.

Itu sebabnya para penganut Injil Kemakmuran sangat menekankan pada mukjizat kesembuhan dan berkat-berkat kekayaan. Kepada dunia diberitakan bahwa Tuhan Yesus adalah Sang Penyembuh, tidak ada yang sakit di dalam komunitas Kristen karena sakit penyakit adalah gambaran dari kelemahan. Setiap penyakit akan disembuhkan melalui mukjizat-Nya yang ajaib.

Selain itu kepada dunia juga diberitakan bahwa Tuhan Yesus siap membalas berkali-kali lipat siapapun yang rela memberi persembahan kepada gereja. Sehingga tidak mungkin ada orang yang miskin ekonominya di kalangan gereja. Sebab jika seorang jemaat memberi 100, Tuhan Yesus akan balas memberkati jadi 1000. Maka berikan 1000, agar Tuhan Yesus balas 10.000. Jika urutan ini diteruskan, maka otomatis jemaat tadi makin lama akan makin kaya, karena mereka akan dibalas berlipat-lipat ganda dengan kekayaan oleh Tuhan Yesus.

Tentu saja ajaran Injil Kemakmuran tadi adalah keliru dan sama sekali berbeda dengan apa yang Alkitab ajarkan.

Sekalipun Tuhan Yesus mampu menyembuhkan orang sakit, tetapi Tuhan Yesus tidak ingin orang mengenal Dia sebagai Mesias yang pekerjaan-Nya adalah menyembuhkan orang. Apabila kita membaca Injil Markus, jelas sekali terlihat bahwa Tuhan Yesus melarang orang memberitakan Diri-Nya sebagai pembuat Mukjizat. Yang Tuhan Yesus inginkan adalah orang mengenal Dia sebagai Mesias yang menderita dan mati di kayu salib, bukan Mesias celebrity yang bisa membuat keajaiban di mana-mana.

Lalu apabila sekarang ada kelompok orang Kristen yang sangat menekankan pada berita mukjizat kesembuhan, apakah hal itu bukan merupakan tindakan yang justru tidak disukai oleh Tuhan Yesus sendiri? Mengapa manusia begitu berani dengan sengaja melakukan apa yang justru dilarang oleh Tuhan Yesus dan bahkan secara gegabah berani mengatasnamakan tindakan mereka itu sebagai pemberitaan Injil?

Pemberitaan Injil adalah pemberitaan tentang penderitaan salib, yaitu Tuhan yang mengasihi manusia sehingga rela berkorban untuk menyelamatkan manusia itu. Berita salib adalah berita tentang manusia yang berdosa, lemah, miskin, gagal dan tidak mampu. Lalu Tuhan datang menolong dan membebaskan manusia, agar mereka dapat hidup dengan bebas, yaitu bebas mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama manusia yang lain. Tetapi orang dunia tidak suka dianggap lemah, berdosa, miskin, bodoh. Mereka ingin dianggap kaya, kuat, sukses, pandai, mampu mengatasi segala rintangan dengan kekuatan sendiri. 

Itu sebabnya rasul Paulus berkata: Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah. (1 Korintus 1:18)

Rasul Paulus sendiri tidak diragukan lagi merupakan seorang yang pandai dan berpendidikan tinggi. Akan tetapi di dalam menyampaikan Firman Tuhan, Rasul Paulus tidak ingin mengandalkan hikmat dan kepandaian manusia dalam berargumentasi, dalam berorasi atau berolah pikir atau apalagi bersilat lidah. Rasul Paulus hanya ingin bergantung pada kuasa Roh saja, sebab Paulus sadar bahwa tanpa Tuhan, dirinya bukan siapa-siapa.

Selengkapnya Rasul Paulus berkata:

1 Demikianlah pula, ketika aku datang kepadamu, saudara-saudara, aku tidak datang dengan kata-kata yang indah atau dengan hikmat untuk menyampaikan kesaksian Allah kepada kamu. 2 Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan. 3 Aku juga telah datang kepadamu dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar. 4 Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, 5 supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah. (1 Korintus 2:1-5)


Beberapa contoh dari penderitaan yang BUKAN merupakan salib dari Tuhan

Setelah melihat dan merenungkan contoh pengertian dari memikul salib, berikut ini kita akan melihat contoh dari penderitaan, tetapi tidak dapat dikategorikan sebagai salib Tuhan.


Pertama

Mengalami penderitaan sebagai akibat dari kesalahan diri sendiri.

Apabila kita melakukan suatu kesalahan, cepat atau lambat kita akan menerima konsekuensi dari kesalahan itu dan biasanya ada penderitaan yang harus kita alami sebagai akibatnya. Penderitaan semacam ini jelas bukan salib dari Tuhan, melainkan semata-mata konsekuensi dari kesalahan kita saja.

Tuhan Yesus menderita bukan karena kesalahan-Nya. Para martir dihukum mati juga bukan karena mereka melakukan tindak kriminal atau cacat secara moral, melainkan karena mereka menolak untuk berhenti mengasihi Allah.


Kedua

Mengalami penderitaan demi mendapat pujian manusia

Ini lebih mirip sikap hati yang ingin dianggap sebagai pahlawan, orang yang berhati mulia. Pusatnya atau centernya ada pada manusia itu sendiri, bukan karena digerakkan oleh pekerjaan Tuhan.

Di dalam hubungan antara manusia dan Tuhan, apabila seseorang tidak mengerti berita salib, tentang Allah yang berkorban bagi manusia yang berdosa, maka alternatifnya adalah orang itu akan berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan hati Allah. Manusia akan berusaha melakukan kebaikan, berusaha berkorban, bahkan mengalami penderitaan atas nama iman. Dan penderitaan semacam ini tentu saja bukan penderitaan salib, sebab penderitaan salib adalah Allah yang berkorban untuk mendapatkan manusia, bukan manusia yang berkorban untuk mendapatkan Allah.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk memikul salib kita masing-masing dan mengikut Dia. Amin.