Friday, December 31, 2021

Inkarnasi: istilah asing yang (terasa) tidak asing lagi di telinga kita

 


Istilah inkarnasi menjadi populer sekali di dalam khotbah-khotbah Natal, artikel-artikel, maupun pembicaraan sehari-hari di antara orang-orang Kristen. Khususnya pada saat menjelang hari Natal. Anehnya, walaupun kita sering mendengar kata “inkarnasi” istilah tersebut ternyata tidak terdapat di dalam Alkitab bahasa Indonesia kita. Lho? Lantas, darimana istilah itu muncul? Dan yang lebih penting lagi, apa sih yang mesti kita pikirkan atau pahami ketika mendengar istilah itu? 

Inkarnasi berasal dari bahasa Inggris incarnation. Sementara bahasa Inggris sendiri pun mencontek istilah itu dari bahasa Latin in carne yang merupakan terjemahan dari bahasa Yunani en sarki, (en sarki). Dan sebagaimana kita (mungkin) sudah tahu, bahasa Yunani inilah bahasa yang dipakai untuk menulis kitab-kitab dalam Perjanjian Baru. Jadi, tidak perlu repot-repot untuk mencari istilah itu di Alkitab bahasa Indonesia, karena pasti tidak akan ketemu. Dan seperti kita lihat di sini, istilah itu sebenarnya adalah istilah asing. Dari bahasa Yunani, diserap oleh bahasa Latin, lalu oleh bahasa Inggris dan akhirnya baru giliran kita. 

Jika merujuk pada bahasa aslinya, ada cukup banyak ayat yang menyebutkan istilah ini, satu di antaranya adalah Yohanes 1:14, bunyinya: “Firman itu telah menjadi manusia.” Dalam Alkitab bahasa Inggris versi New International Version (NIV), ayat itu berbunyi: “The Word became flesh.” “Flesh” dalam bahasa Inggris berarti daging, dan bahasa Inggris tidak membedakan antara daging manusia dan daging binatang. Selain itu, flesh juga mengandung pengertian atau konotasi tubuh, sebagai lawan arti dari roh (spirit). Dan “flesh” juga dapat menyimbolkan sesuatu yang berada di luar (bersifat eksternal), sebagai kontras dari sesuatu yang berada di dalam (bersifat internal) “Flesh” dalam bahasa Yunani adalah sarx. Dan Yohanes 1:14 dalam bahasa Yunani adalah kai ho logos sarx. Lalu seperti yang saya uraikan di atas, sarx ini kemudian menjadi en sarki (yang artinya “menjadi manusia”) dan kemudian menjadi in carne, lalu incarnation dan akhirnya inkarnasi. 

Baiklah, sekarang kita sudah tahu asal usul kata ini tetapi, apa arti semuanya ini? Di dalam pengertian bahasa Yunaninya, sarx mengandung pengertian yang lebih luas dan lengkap. Istilah sarx menunjuk kepada manusia secara utuh atau secara keseluruhan, terdiri dari tubuh dan roh. Oleh karena itu, saya pikir bahasa Indonesia lebih tepat dalam menerjemahkan ayat itu, yaitu “menjadi manusia,” bukan sekedar “menjadi daging.” Sebab seorang manusia bukanlah sekedar seonggok daging. Manusia memang memiliki daging, tetapi manusia yang utuh bukanlah sekedar daging. Manusia yang utuh terdiri dari daging dan roh. 

Melalui inkarnasi, keberadaan Yesus yang semula bersifat Roh (yaitu Firman atau the Word) masuk ke dalam suatu pengalaman yang unik yaitu sungguh-sungguh menjadi Manusia, sebagaimana semua makhluk lain yang disebut “manusia.” Dalam bahasa Yunani, istilah sarx tidak dikonotasikan sebagai sesuatu yang berdosa. Istilah sarx, pada dirinya sendiri (secara inheren) bukanlah dosa, tetapi di dalam sarx ada kemungkinan atau kemampuan untuk berbuat dosa. 

Jika ditanya, “Manakah yang lebih tinggi nilainya, seekor sapi ataukah seekor semut?” Tentu kita dengan mudah menjawab bahwa sapi memiliki nilai yang lebih tinggi dari semut. Biasanya semakin besar hewannya, semakin tinggi pula nilainya. Namun tentu saja hal itu tidak mutlak demikian, perlu pula dipertimbangkan faktor kelangkaan dari hewan tersebut. Seekor burung kecil bersuara emas dapat saja lebih mahal harganya daripada seekor kerbau yang amat besar dan berat. Seekor ikan kecil di akuarium bisa lebih berharga dari seekor kucing liar yang dapat kita temui dengan mudah di jalan-jalan. Membandingkan antara hewan yang satu dengan yang lain sama saja dengan memberi nilai kepada hewan-hewan tersebut. 

Ada hewan yang nilainya tinggi, ada pula yang nilainya rendah tergantung kegunaan, kelangkaan dan lain sebagainya, tergantung pula dari kriteria apa yang kita pakai untuk menilai hewan-hewan tersebut. Akan tetapi dapatkah kita menilai seorang manusia dengan cara seperti itu? Apakah manusia yang lebih berat tubuhnya pasti lebih bernilai daripada seorang yang amat kurus? Apakah mereka yang lahir dengan tubuh tinggi, lebih mulia daripada mereka yang bertubuh pendek? Dapatkah kita mengatakan intelegensia seseorang menentukan nilai orang tersebut? Atau bagaimana dengan status sosialnya, atau pekerjaannya, atau kekayaannya? Dengan apakah kita mengukur nilai seorang manusia? Atau bahkan pertanyaannya adalah, dapatkah kita mengukur nilai seorang manusia? Dari Alkitab kita belajar bahwa manusia adalah makluk yang paling mulia dari segala ciptaan Allah di muka bumi ini. 

Manusia sudah pasti memiliki nilai kehidupan yang lebih besar daripada hewan-hewan atau tumbuhan. Dan nilai serta kemuliaan itu tidak berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu, kita (sepatutnya) tidak memiliki kategori untuk nilai seorang manusia. Kita adalah manusia, titik. Dan sebagai manusia kita memiliki nilai yang sama di hadapan Allah. 

Seringkali kita sulit menghargai seorang manusia sebagaimana yang Allah maksudkan. Budaya hidup kita sehari-hari telah mengajar kita bahwa tidak semua manusia memiliki nilai yang sama. Demi alasan-alasan sepele, seorang manusia bisa melenyapkan nyawa sesamanya. Kompetisi sehari-hari telah membentuk cara berpikir kita bahwa para pemenang adalah orang-orang yang memang memiliki nilai yang lebih baik dari orang yang lain. Iklan-iklan komersial telah membentuk cara pandang kita tentang bentuk wajah seperti apakah yang disebut cantik, rambut bagaimanakah yang paling menarik, postur tubuh apakah yang paling sempurna, makanan apakah yang harus kita makan agar kita bisa berbeda dengan orang lain, kendaraan apakah yang harus kita kendarai agar nilai hidup kita bisa meningkat dan masih banyak lagi. 

Melalui inkarnasi, kita ditegur, diajarkan atau barangkali diingatkan kembali bahwa manusia, seperti anda dan saya adalah makluk yang berharga di mata Allah. Orang lain mungkin tidak bisa menghargai anda. Diri anda sendiripun mungkin sulit untuk menerima kenyataan bahwa anda adalah seorang yang berharga. Tetapi satu hal dari inkarnasi yang dapat kita renungkan adalah Allah memandang anda berharga sehingga Ia bersedia untuk menjadi sama seperti anda. Allah mau sama seperti kita agar di dalam ke-sama-an itu Ia dapat mengerjakan hal-hal yang berguna bagi kepentingan kita. 

Sudahkah kita berterima kasih pada Yesus yang telah mengambil keputusan untuk menjadi sama seperti anda di dalam kemanusiaan anda? Segeralah berterima kasih pada Yesus. Bagaimanakah cara pandang anda selama ini terhadap sesama manusia? Apakah anda termasuk orang yang suka membeda-bedakan nilai jati diri seseorang? Mari, jangan kecil hati, belum terlambat untuk mengubah cara pandang tersebut. Yesus telah menjadi Manusia, supaya di dalam diri setiap manusia kita bisa menemukan arti dari “diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa” Allah. Tuhan memberkati. (Oleh: Izar Tirta)

Wednesday, December 29, 2021

Tanda-tanda dari anugerah yang sejati dari Allah

Apakah anugerah yang sejati dari Allah itu disertai dengan tanda-tanda tertentu?
Ataukah anugerah Allah itu merupakan sesuatu yang sama sekali tidak terlihat oleh mata?


Pendahuluan

Istilah anugerah sudah menjadi istilah yang sangat populer di kalangan orang Kristen. Namun tidak sedikit orang Kristen yang memakai konsep anugerah ini sebagai semacam alasan untuk menjalani hidup yang sembarangan. Atas nama anugerah, maka orang Kristen lalu merasa bahwa hidup ini adalah kebebasan semata-mata, tanpa ada hukum atau peraturan yang boleh mengatur hidupnya.

Pandangan seperti ini sangat keliru dan tidak sesuai Alkitab. Menurut Alkitab, orang yang menerima anugerah yang sejati dari Allah, pasti akan menunjukkan tanda-tanda yang terlihat di dalam kehidupannya. Berikut ini kita akan merenungkan tanda-tanda apakah yang menyertai seseorang yang mendapat anugerah keselamatan dari Allah. [Baca juga: Apakah yang menjadi tujuan hidup kita sebagai orang Kristen? Klik disini.]

 

Ayat Firman Tuhan:

Zakharia dan Elisabet… keduanya adalah benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. (Lukas 1:6)

 

Pemahaman yang keliru tentang anugerah

Pada umumnya, istilah “anugerah” dipahami sebagai sesuatu yang diberikan oleh Allah begitu saja tanpa syarat apapun, ini tentu saja tidak salah. Justru kalau ada syaratnya, bagaimana mungkin pemberian tersebut bisa disebut sebagai anugerah, bukan? Tetapi pemahaman atas anugerah di kalangan orang Kristen seringkali menjadi berat sebelah atau bahkan kebablasan, sehingga bukan saja anugerah itu bersifat tanpa syarat, tetapi bahkan tanpa tanda-tanda yang nyata pula dari anugerah tersebut.

Pada akhirnya, gagasan tentang anugerah di dalam kekristenan lebih sering dimengerti sebagai suatu kebebasan, sedemikian rupa hingga kurang memberi penekanan pada pentingnya hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Zakharia dan Elisabet.

Tidak jarang orang Kristen berpikir: “Sebagai orang Kristen aku sudah dibebaskan dari ikatan Hukum Taurat.” Dalam artian tertentu, ada benarnya berpikir seperti ini, tetapi jika kita tidak paham betul makna dan konteks dari kalimat tersebut, maka pada akhirnya kebebasan tersebut membuat orang Kristen masuk ke dalam kebebasan yang tidak pada tempatnya; mau ke gereja atau tidak ke gereja, mau memikirkan Tuhan atau tidak memikirkan Tuhan, mau baca Alkitab atau tidak baca, mau malas atau rajin, mau jujur atau suka menipu, mau serakah atau rela berbagi, mau sabar atau tidak sabar, mau sombong atau humble, seseorang dapat tetap merasa diri sebagai orang Kristen, karena ia berpedoman bahwa keselamatan itu berdasarkan anugerah, bukan karena perbuatan. Pandangan tentang “anugerah keselamatan” seperti ini sangat berpotensi membawa orang ke dalam kesesatan fatal.

Ada pandangan lain yang cukup populer tentang anugerah yaitu: orang yang tadinya sangat tidak bermoral atau jahat, lalu tiba-tiba mendapat anugerah, sehingga berubah menjadi baik dalam sekejap mata. Pada dasarnya, pemahaman seperti ini juga tidak keliru. Alkitab memang mencatat kasus-kasus di mana anugerah itu datang secara tiba-tiba, mengubah seseorang yang tadinya berkelakuan buruk menjadi orang yang memiliki mata rohani dalam sekejap mata.

Contoh paling terkenal dari kasus ini adalah orang yang disalibkan di sebelah Yesus Kristus. Ia tiba-tiba mengalami perubahan cara pandang dan bertobat pada detik-detik terakhir sebelum kematiannya. Contoh lainnya adalah pertobatan Saulus menjadi Paulus. Anugerah keselamatan datang dengan cara yang spektakuler dan tiba-tiba di dalam diri Saulus yang kejam, sehingga ia berubah menjadi Paulus, rasul yang penuh kasih.

Tetapi kita perlu ingat bahwa Alkitab itu sangat berlimpah isinya, tidak selalu dan tidak selamanya kedatangan anugerah kepada manusia dituturkan melalui kisah spektakuler dari orang-orang jahat yang berubah baik dalam sekejap. Jika kita selalu memakai “kacamata” seperti ini untuk membaca seluruh 66 buku dalam Alkitab, niscaya kita akan kehilangan banyak kesempatan untuk melihat bagaimana anugerah Allah bekerja di dalam diri seorang manusia.

 

Orang Kristen pun harus memperhatikan hukum dan ketetapan Ilahi

Ada kesan bahwa sebagai orang Kristen kita merasa alergi mendengar istilah “perbuatan baik,” sedemikian rupa sehingga buru-buru mengabaikan istilah tersebut setiap kali ia muncul. Karena takut dituduh liberal, maka kita segera menyiram dengan air dingin setiap kali istilah “moralitas” disebutkan. Mungkin hal ini terjadi karena kita begitu khawatir istilah itu akan merusak gagasan tentang “anugerah.” Tapi ini adalah sikap hati-hati yang berlebihan dan bahkan kelihatan lebih mirip seperti sebuah paranoia yang tidak sehat. Jangan-jangan itu semua terjadi justru karena selama ini kita keliru dalam memahami apa artinya seseorang mendapat anugerah keselamatan.

Moralitas bukan anti-tesis dari anugerah, bahkan Hukum Taurat pun bukan musuh dari iman Kristen yang sejati. Kalau kita setia membaca Injil Matius, kita akan mendapati bahwa kritik Matius terhadap orang Kristen Yahudi justru adalah karena mereka telah menjadi orang Kristen lawless, yang tidak menaruh kepedulian pada hukum Ilahi (kondisi ini biasa disebut juga dengan istilah anti-nomianisme). Belum lagi jika kita membaca surat Yakobus, atau bahkan membaca tulisan John Calvin, yang membahas tentang “The third use of The Law,” misalnya. Orang bisa saja menentang Calvin, yang dalam tulisannya menjelaskan betapa pentingnya arti Hukum Taurat bagi orang Kristen sejati, tetapi apakah ada yang bisa menentang Yakobus? Atau Matius? … dan tetap merasa dirinya Kristen?

Alkitab mengajarkan bahwa kita diselamatkan berdasarkan anugerah, bukan karena perbuatan baik. Namun Alkitab juga mengajarkan bahwa karya anugerah yang terjadi di dalam diri seseorang justru ditandai dengan munculnya atau terlihatnya perbuatan yang baik di dalam diri orang tersebut.

Dalam ayat yang menjadi kutipan utama tulisan ini, kita membaca kesaksian Lukas tentang anugerah Allah yang bekerja dalam diri Zakharia dan Elisabet. Mereka tidak ayal lagi adalah orang-orang berdosa, sama seperti kita semua yang membutuhkan anugerah keselamatan. AKAN TETAPI anugerah keselamatan yang mereka terima sudah terlihat tanda-tandanya bahkan sebelum mereka menyadarinya, bahkan sebelum ada peristiwa “spektakuler” apapun yang terjadi dalam hidup mereka.

Bagaimana Zakharia dan Elisabet dapat dipandang benar di hadapan Allah? Jawabannya adalah karena mereka mendapat anugerah. Lalu apa tandanya bahwa mereka adalah orang yang mendapat anugerah Ilahi? Tandanya adalah, hidup mereka selama ini senantiasa telah menuruti segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat. Perhatikan bahwa frasa “dipandang benar,” mendahului frasa “menuruti segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat.” Dalam Alkitab urutan itu penting, kita jadi mengerti mana yang ada lebih dahulu, dan mana yang harus menyusul kemudian.

Kita tahu bahwa Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa Allah dapat membenarkan seseorang karena perbuatannya. Kebenaran yang disematkan Allah ke atas Zakharia dan Elisabet semata-mata merupakan suatu anugerah yang diberikan secara cuma-cuma kepada pasangan tersebut. Meskipun demikian, anugerah Allah tidak bertentangan dengan kenyataaan bahwa Zakharia dan Elisabet adalah sepasang manusia yang setia dalam menuruti segala perintah dan ketetapan Allah dengan tidak bercacat. Justru tanda bahwa anugerah itu telah diberikan oleh Allah kepada mereka adalah bahwa mereka telah dimampukan untuk bersikap setia seperti demikian.

Orang yang mengatakan bahwa kita diselamatkan karena kita ini setia dalam menuruti perintah Allah (disebut legalisme), harus memahami bahwa keselamatan kita adalah sebuah anugerah, bukan hasil dari perbuatan baik yang dikerjakan oleh manusia (Efesus 2:8,9)

TETAPI orang yang berpikir bahwa karena ada anugerah dari Allah, maka perbuatan yang sesuai dengan hukum sudah tidak menjadi penting lagi (disebut anti-nomianisme), harus sadar bahwa sebuah pohon dikenali dari buahnya. Pohon yang tidak berbuah, pada suatu saat akan ditebang oleh Tuhan dan dicampakkan ke dalam api. Inilah ajaran anugerah yang sejati menurut Alkitab (Matius 12:33; Yohanes 15:5,6).

Ajaran yang mengatakan bahwa “asalkan kita sudah percaya Yesus, maka segalanya sudah beres, tidak ada yang perlu dipikirkan atau dikerjakan lagi, tinggal tunggu kematian datang, lalu kita akan ke sorga,” adalah ajaran anugerah yang tidak lengkap dan tidak setia pada apa yang dinafaskan oleh Alkitab. Kekristenan sejati bukan saja menentang legalisme, tetapi juga menolak paham anti-nomianisme seperti itu.

Kisah Zakharia dan Elisabet memang adalah kisah yang sangat jarang dibahas dari atas mimbar. Akibatnya kekayaan Firman yang ada di dalam kisah inipun jarang tergali. Ayat-ayat yang mengkaitkan pentingnya hubungan antara anugerah dan perbuatan, entah mengapa jadi terdengar asing bagi telinga kita.

Tetapi semoga melalui perenungan tentang Zakharia dan Elisabet kali ini, kita semakin diyakinkan bahwa di dalam anugerah-Nya, Tuhan dapat bekerja melalui berbagai cara dan melalui berbagai jenis manusia. Di dalam diri Zakharia dan Elisabet, anugerah Ilahi ditandai dengan adanya kesalehan dan kesetiaan dalam mengikuti perintah Tuhan. Tanda anugerah apakah yang Tuhan telah kerjakan di dalam diri kita masing-masing? Adakah kita juga memiliki kesetiaan dan hati yang mau taat pada perintah dan ketetapan Tuhan? Ataukah selama ini kita tidak pernah melihat suatu buah pertumbuhan rohani yang nyata di dalam hidup kita dan terus saja berkubang di dalam pemahaman yang keliru tentang anugrah?

Kiranya pada moment Natal kali ini, kita boleh mempersembahkan buah pertumbuhan rohani yang sesuai dengan anugerah keselamatan yang kita terima dari Yesus Kristus Juruselamat kita yang mulia itu. Amin.

Baca juga:
Siapakah Zakharia dan Elisabet? Klik disini.

Monday, December 20, 2021

Siapakah Zakharia dan Elisabet?


Apa arti penting kisah Zakharia dan Elisabet dalam Lukas 1?
Apa hubungan antara Herodes dan Zakharia?

 

Secara umum kita mengenal Zakharia sebagai seorang imam, suami dari Elisabet dan orang tua dari Yohanes Pembaptis. Tetapi dari perenungan yang didasarkan pada Lukas 1:5, kita akan belajar beberapa hal berharga dari tokoh Zakharia yang cukup jarang dibicarakan dalam gereja-gereja masa kini.

 

Antara Herodes dan Zakharia

Pada zaman Herodes, raja Yudea, adalah seorang imam yang bernama Zakharia dari rombongan Abia. Isterinya juga berasal dari keturunan Harun, namanya Elisabet. (Lukas 1:5)

Seorang raja bernama Herodes

Kisah kelahiran Yohanes Pembaptis diawali dengan suatu sosok yang dari kacamata dunia merupakan sosok yang besar, dia adalah Herodes, raja Yudea. Meskipun demikian, Alkitab menyebut sosok ini bukan karena penulis Alkitab tertarik untuk menggali sisi kehidupan sang raja, melainkan justru untuk membandingkan antara kebesaran duniawi ala Herodes dengan ke-tidakberarti-an seorang Zakharia.

Sudah menjadi ciri khas Lukas untuk membuat catatan-catatan tentang peristiwa yang berkenaan dengan Yesus Kristus sambil memberikan koridor-koridor sejarah di dalamnya. Hal ini memberikan suatu pesan kepada kita bahwa apa yang dituturkan oleh Lukas adalah sungguh-sungguh peristiwa yang terjadi di dalam sejarah dan bukan merupakan kisah isapan jempol belaka.

Pada masa ini, tidak sedikit orang yang menganggap bahwa peristiwa yang berkenaan dengan Yesus Kristus adalah suatu kisah karangan atau mitos belaka. Tetapi di sini Lukas sudah melakukan yang terbaik di dalam porsi yang diberikan Roh Kudus kepadanya, yaitu melalui kesaksian bahwa kisah Yesus bukan mitos melainkan kisah sejarah dan ditandai oleh orang-orang yang punya nama besar di dalam sejarah.

Seorang imam bernama Zakharia

Berbeda dengan Herodes yang merupakan sosok politik yang punya suatu wilayah untuk dikuasai, Zakharia adalah profil dari orang kecil, orang yang biasa-biasa saja. Ia hanya seorang imam dari rombongan Abia. Dan rombongan Abia pun bukan satu-satunya rombongan imam yang dibentuk untuk tugas melayani di Bait Allah. Dalam 1 Tawarikh 24:7-18 disebutkan bahwa ada 24 rombongan imam dan rombongan Abia adalah satu di antara 24 rombongan tersebut.

Betapa kontrasnya sosok Herodes sebagai raja Yudea dengan sosok Zakharia sebagai satu orang anggota imam dari rombongan Abia. Kalau saja Lukas tidak menulis tentang Zakharia, sejarah manusia sama sekali akan lupa bahwa imam yang satu ini pernah ada di dunia.

Dari kacamata dunia, kita selalu bermimpi untuk menjadi orang besar, orang berkuasa, punya harta, disegani, dicatat dalam sejarah dan lain sebagainya. Tetapi Alkitab justru ditulis untuk mengajar kita bahwa cara Tuhan memandang kehidupan berbeda dengan cara manusia memandang. Arti penting kita sebagai manusia tidak diukur dari apakah kita memegang suatu jabatan yang tinggi, ataukah kita memiliki jumlah kekayaan yang besar, tetapi dari bagaimana perbuatan Allah akan dinyatakan melalui diri kita.

Allah Tritunggal, melalui Lukas, mengajarkan kepada kita bahwa orang yang kecil seperti Zakharia pun tidak luput dari pandangan Allah. Dan perlu kita garis bawahi, bahwa kisah ini akan dilanjutkan justru bukan untuk bertutur tentang Herodes si raja itu, melainkan tentang Zakharia sang imam beserta istrinya Elisabet, dan juga tentang keturunan mereka yang akan memegang suatu peranan besar di dalam Kerajaan Allah, yaitu Yohanes Pembaptis.

Dari awal kisah keselamatan saja, Lukas sudah memulainya dengan gambaran kontras dari profil kerajaan dunia dan profil kerajaan Allah yang kelak akan mencapai puncaknya di dalam diri seseorang yang bahkan lebih besar lagi dari Yohanes Pembaptis, yaitu Yesus Kristus Tuhan kita.

Seorang istri bernama Elisabet, yang berasal dari keturunan Harun

Mengapa Lukas harus repot-repot menulis tentang Elisabet yang berasal dari keturunan Harun? Apakah ada bedanya jika Elisabet dari keturunan Harun atau dari keturunan yang lain? Apakah ini hanya sekedar informasi supaya kita semakin mengenal sosok Elisabet saja? Ataukah ada hal lain yang mau coba disampaikan oleh Lukas?

Alkitab tidak pernah menuliskan sesuatu secara sambil lalu tanpa punya maksud apa-apa. Jika Lukas secara khusus menyebut “Elisabet juga dari keturunan Harun” maka pasti ada maksud Tuhan dengan hal tersebut. Tetapi apa?

Sebagai seorang imam, Zakharia sebetulnya memiliki kebebasan untuk memilih istri dari suku manapun. Kitab Imamat hanya memberi pesan agar istri seorang imam tidak boleh perempuan sundal atau perempuan yang dicerai suaminya (Imamat 21:7). Sementara Nabi Yehezkiel hanya menulis bahwa istri imam haruslah seorang perawan dari keturunan kaum Israel, atau boleh juga seorang janda asalkan dia adalah janda dari seorang imam lain yang telah meninggal. (Yeh 44:21-22). Tetapi tidak ada ketentuan bahwa istri imam harus berasal dari keturunan tertentu.

Namun di dalam kebebasannya itupun, Zakharia memilih istri yang sama-sama berasal dari keturunan imam. Hal ini mengindikasikan betapa berhati-hatinya Zakharia dalam memilih istri. Ia tidak ingin pekerjaannya sebagai imam diganggu atau dinodai atau disalahmengerti oleh wanita yang menjadi pendampingnya.

Pada zaman sekarang ini, tidak sedikit pemuda pemudi Kristen yang kurang memperhatikan arti penting dalam memilih pasangan yang memiliki sudut pandang iman yang sesuai, padahal Alkitab sendiri memberi peringatan akan hal tersebut. Kalau kita tidak bisa setia pada apa yang sudah digariskan oleh Firman Tuhan, bagaimana kita berharap Tuhan akan berkenan dengan jalan kehidupan kita selanjutnya?

Zakharia, di sisi lain, menunjukkan kesetiaan pada panggilan di dalam hidupnya, sehingga dalam memilih pasangan pun Zakharia memilih pasangan yang dapat sama-sama mengerti arti dan tanggungjawabnya sebagai Imam yang memuliakan Tuhan. Mungkin inilah profil dari seseorang yang setia di dalam perkara-perkara yang kelihatan kecil atau sepele, dan kemudian mendapat kesempatan dari Tuhan untuk menerima perkara yang jauh lebih besar.

 

Antara Herodes, Zakharia dan Elisabet

Di mata dunia, apalah artinya Zakharia dan Elisabet dibandingkan nama besar Herodes, sang raja Yehuda itu? Orang bisa mencari catatan tentang Herodes di dalam buku-buku sejarah, tetapi tidak ada sejarahwan yang mau menggubris pasangan tua renta yang tidak penting seperti Zakharia dan Elisabet.

Tetapi satu hal yang harus kita ingat adalah bahwa Allah, Sang Pencipta langit dan bumi, justru berkenan untuk masuk ke dalam kehidupan Zakharia dan Elisabet. Sementara di sisi lain, Allah sama sekali tidak berniat untuk berurusan dengan seorang raja seperti Herodes.

Kalau kita boleh memilih, mana yang lebih kita inginkan, menjadi seorang yang besar dan berhasil menurut ukuran dunia tetapi Tuhan tidak pernah ikut campur dalam kehidupan kita? Atau menjadi orang yang biasa-biasa saja, orang yang tidak penting di mata dunia, tetapi Allah berkenan untuk berbicara dengan kita?

Apa yang paling kita kejar di dalam hidup ini? Kebesaran menurut ukuran dunia? Atau kehadiran Allah di dalam hidup kita, tanpa memperhitungkan status sosial, status ekonomi ataupun keberuntungan ala dunia yang fana ini? Biarlah kita menjawab dengan jujur pertanyaan-pertanyaan seperti ini di hadapan Allah.

Nama Zakharia dan Elisabet memang tidak setenar Yusuf dan Maria. Dan Yohanes Pembaptis pun jelas bukan Sang Mesias. Tetapi jangan lupa, Tuhan tidak bercerita tentang Natal tanpa lebih dulu bertutur tentang kasih Allah kepada Yohanes, Zakharia dan Elisabet. Kita tahu bahwa Natal adalah sebuah kisah cinta dari Allah kepada manusia, tetapi apa gunanya sebuah kisah cinta Ilahi, apabila tidak ada siapa-siapa yang secara spesifik dicintai, bukan?

Kiranya melalui Natal kali ini, kita pun turut ambil bagian di dalam kisah cinta Ilahi sama seperti Zakharia dan Elisabet, yaitu untuk menjadi saluran berkat bagi dunia yang dikasihi Allah ini, melalui keberadaan kita yang sederhana dan apa adanya.
 
Tuhan Yesus memberkati. Amin (Oleh: Izar Tirta)
 
Artikel Sebelumnya:
Makna Silsilah Yesus Kristus bagi kita. Klik disini.

 

Saturday, December 4, 2021

Makna Silsilah Yesus Kristus bagi kita


 

Kesulitan di dalam membaca Silsilah Yesus Kristus

Membaca silsilah Yesus Kristus di dalam Matius pasal 1 barangkali sering membuat kita bingung. mengapa? Karena di dalam tulisan itu, kita hanya melihat daftar nama-nama orang yang merupakan nenek moyang yang kemudian melahirkan atau menghadirkan Yesus Kristus di dunia. Lantas, apa makna dari daftar nama-nama tersebut bagi kita sekarang ini? Pertanyaan tersebut memang wajar saja. Tidak terlalu mudah memang memahami sebuah tulisan yang dikerjakan di masa lampau oleh orang-orang yang hidup di dalam kebudayaan masa lalu. Belum lagi kita juga tahu bahwa penulis tersebut juga berasal dari negara yang berbeda dengan kita. Cara berpikir mereka, cara pandang mereka tidaklah begitu saja dapat disamakan dengan kita. Apa makna silsilah Yesus Kristus di dalam Matius 1 bagi pembaca mula-mula?

 

Makna Silsilah Yesus Kristus bagi orang di abad pertama

Bagi orang yang hidup di abad pertama, yaitu abad dimana tulisan tersebut muncul, silsilah Yesus Kristus memberikan suatu informasi yang jelas bahwa kehadiran Yesus Kristus adalah bukti perwujudan janji Allah pada Abraham. Melalui Kristus Yesus lah janji berkat Allah kepada keturunan Abraham akan dipenuhi. Di dalam diri Yesus Kristus pulalah, janji Allah kepada Daud akan dipenuhi. Yesus Kristus adalah jawaban bagi janji Allah. [Baca juga: Mengapa Yesus Kristus datang menjadi Manusia? Klik disini.]

 

Makna Silsilah Yesus Kristus bagi orang di zaman sekarang

Apa makna silsilah Yesus Kristus di dalam Matius 1 bagi kita pembaca yang hidup di masa kini? Dari tulisan Matius tersebut kita mengenal Pribadi Allah yang setia dalam menepati janji-Nya. Ia tidak lupa, Ia tidak gagal memenuhi janji-Nya. Janji itu terwujud dalam diri Yesus Kristus. Selain itu, dari silsilah tersebut kita juga belajar mengenal kekuasaan Allah yang bergerak lambat dan lembut namun berhasil mencapai tujuan. Segala penderitaan bangsa Israel tidak dapat menghentikan kuasa Allah untuk mencapai tujuan-Nya. Segala kekurangan dan dosa manusia yang menjadi nenek moyang Yesus tersebut pun ternyata tidak menghalangi niat dan tujuan Allah dalam memberkati umat manusia melalui Yesus Kristus. Allah berjanji dan janji-Nya itu baik. Allah mau menepati janji-Nya karena Dia adalah Allah yang setia. Allah mampu menepati janji-Nya, karena Dia adalah Allah yang berkuasa. [Baca juga: Tidak ada yang mustahil bagi Tuhan. Klik disini.]

 

Perbedaan urutan dalam Silsilah Yesus Kristus

Jika kita membandingkan daftar silsilah Yesus Kristus yang terdapat di dalam Matius dan Lukas maka kita akan temukan bahwa kedua daftar silsilah itu berbeda. Mengapa demikian? Apakah para penulis Injil telah keliru dalam mengumpulkan data-data yang diperlukan?

 

Silsilah Yesus Kristus menurut Injil Matius

Menyajikan suatu daftar silsilah mungkin dapat merupakan sesuatu yang unik dan tak terduga bagi kita orang modern yang hendak membaca suatu karya literatur. Ini terjadi pada Injil yang ditulis oleh Matius. Sebagai orang yang hidup di zaman modern yang memiliki budaya yang berbeda dengan Matius maupun dengan orang-orang yang hidup sezaman dengan Matius, kita barangkali merasa heran mengapa Injil ini harus dimulai dengan cara seperti ini? Lagipula pelajaran apa yang dapat kita petik dari informasi membingungkan tentang anak beranak seperti daftar silsilah ini?

Silsilah Yesus menurut Matius di awali oleh Abraham. Ini dapat dimengerti karena Matius membuat tulisan itu untuk konsumsi bacaan kaum Yahudi. Abraham, oleh orang-orang yang menjadi target pembaca Injil Matius adalah bapa bagi segala orang Yahudi (paling tidak, mereka merasa seperti itu). Melalui daftar silsilah ini, Matius ingin menunjukkan bahwa Yesus adalah keturunan yang sah dari Abraham.

Selain itu, melalui daftar silsilah yang diawali oleh Abraham, Matius juga ingin mengingatkan pembacanya pada janji Allah kepada Abraham. Janji ini, sebagaimana Matius ingin tunjukkan kepada para pembacanya, telah digenapi dalam diri Yesus Kristus.

Selama kurang lebih 400 tahun sejak nabi terakhir dari Perjanjian Lama berbicara pada bangsa Israel, bangsa pilihan ini terus menunggu Mesias yang dijanjikan itu. Dan kini Matius menunjukkan bahwa Sang Mesias telah hadir.

Dalam tujuh belas ayat pertama dari Injil Matius kita menemukan ada 46 daftar nama dari orang-orang yang hidup dalam rentangan waktu sekitar 2000 tahun. Semua orang-orang itu adalah para leluhur Yesus. Uniknya dari puluhan nama-nama ini kita dapat menemukan keanekaragaman dalam kepribadian, kerohanian, jabatan, kedudukan dan pengalaman.

Beberapa dari nama-nama itu adalah para “raksasa” iman seperti Abraham, Isak, Rut dan Daud. Beberapa lagi, memiliki reputasi yang agak meragukan seperti sebut saja Rahab dan Tamar. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang biasa seperti kita misalnya Hezron, Ram, Nahason dan Akhim. Sementara ada pula yang jelas-jelas dikenal sebagai orang-orang yang bereputasi tidak baik seperti Manasye dan Yoyakhin. Apa yang dapat kita pelajari dari hal semacam ini?

Dari daftar silsilah Yesus menurut Matius ini kita belajar bahwa keterbatasan dan dosa-dosa manusia tidak akan mampu menghalangi pekerjaan Allah. Jika Allah telah menetapkan suatu sasaran, maka kegagalan kita sekalipun tidak akan mampu menghalangi apa yang sudah direncanakan oleh Allah.

Dari daftar silsilah Yesus ini kita juga belajar bahwa di dalam melakukan pekerjaan-Nya, Allah berkenan untuk memakai orang-orang yang biasa sama seperti kita, mereka punya kelebihan tetapi mereka juga memiliki kekurangan. Ada pula memang yang telah mendemonstrasikan suatu iman yang luarbiasa, tetapi kebanyakan dari kelompok leluhur Yesus itu justru adalah orang-orang yang sama bergumulnya dengan kita dalam menghadapi hidup ini.

Dari daftar silsilah Yesus menurut Matius kita juga melihat bahwa Yesus adalah keturunan Daud. Mengapa ini penting untuk dikemukakan? 

Di dalam 2 Sam 7:16 Allah pernah berjanji pada Daud bahwa Dia akan mengokohkan tahkta Daud selama-lamanya; “Keluarga dan kerajaanmu akan kokoh untuk selama-lamanya di hadapan-Ku, takhtamu akan kokoh untuk selama-lamanya."

Janji ini oleh bangsa Yahudi dijadikan sebagai suatu pengharapan yang besar karena bangsa Israel melihat bahwa kerajaan yang dipimpin oleh Daud adalah suatu kerajaan yang begitu agung dan hebat. Suatu gambaran ideal dari sebuah kerajaan dengan Daud sebagai seorang profil raja yang memerintah di dalamnya. Bangsa Yahudi membayangkan suatu hari nanti, Sang Mesias yang dijanjikan akan mampu mengembalikan kejayaan kerajaan seperti yang pernah di bangun oleh Daud.

Melalui silsilah ini, Matius ingin menunjukkan bahwa janji Allah itu telah tergenapi di dalam Yesus Kristus yang adalah keturunan Daud.

 

Silsilah Yesus Kristus menurut Injil Lukas

Tanpa membahas detil-detil yang cukup memusingkan dari daftar nama leluhur Yesus menurut Lukas kita dapat segera memperhatikan bahwa diurutan tertua dari daftar leluhur itu bukanlah Abraham seperti yang terdapat di dalam Matius, melainkan Adam. Apa artinya?

Melalui daftar silsilah ini Lukas ingin menunjukkan bahwa Yesus adalah keturunan Adam, bapak semua manusia. Oleh karena itu kehadiran Yesus yang sekalipun berasal dari bangsa Yahudi adalah ditujukan pula untuk menjadi Juruselamat bagi semua manusia tanpa membedakan kebangsaan, ras dan suku.

Perbedaan lain yang secara mudah dapat kita lihat dari daftar silsilah Lukas dan silsilah menurut Matius adalah mengenai anak Daud. Di dalam Matius, keturunan setelah Daud adalah Salomo sedangkan di dalam Lukas, keturunan setelah Daud adalah Natan.

Baik Salomo maupun Natan keduanya memang adalah anak Daud. Dari garis keturunan Salomo ditelusuri sampai kepada Yesus melalui Yusuf sebagai ayah Yesus. Sedangkan dari garis keturunan Natan ditelusuri sampai kepada Yesus melalui Eli yang adalah ayah Maria, ibu Yesus.

Oleh karena itu, ditinjau dari sudut manapun – baik dari Yusuf atau pun Maria - Yesus tetap adalah keturunan Daud. Yesus adalah keturunan Daud secara hukum legal dari Yusuf. Dan Yesus juga adalah keturunan Daud secara darah daging dari Maria.

Jika Matius lebih condong melihat Yesus dari sisi ke-Yahudi-an-Nya serta keabsahan-Nya secara hukum sebagai keturunan Daud. Maka Lukas lebih condong melihat Yesus dari sisi ke-Manusia-an-Nya baik ditinjau dari Adam maupun Maria.

 

Akhir kata

Terus terang, kesan pertama saya ketika membaca silsilah Yesus adalah “Apa-apaan ini?!” lalu saya melewatkan begitu saja silsilah itu karena saya bingung mau diapakan daftar yang membingungkan tersebut. Tetapi setelah lambat laun saya mempelajari daftar itu, timbullah suatu perasaan yang campur aduk antara terharu dan senang, antara merasa mulai mengerti dan merasa masih agak bingung juga. Tapi sejujurnya, saya ingat saya pernah benar-benar menangis membaca daftar silsilah itu, bukan menangis putus asa karena tak kunjung mengerti, tetapi karena merasakan betapa kasih Tuhan begitu lembut menyapa melalui daftar nama-nama itu.

Nama-nama itu bukanlah sekedar daftar, setiap nama mewakili setiap jiwa, setiap kehidupan. Dan seperti saya, setiap jiwa yang diwakili oleh nama-nama itupun tidak sadar betul peranan apakah yang sedang mereka mainkan untuk Tuhan pada saat itu.

Salah satu jeritan paling mendalam dari jiwa manusia adalah jerit pengakuan bahwa dirinya entah bagaimana adalah seorang yang penting dan berharga. Sebagian cukup beruntung karena berhasil menemukannya (paling tidak, mereka mengira begitu). Sebagian lagi masih terus menjerit. Sementara sebagian besar lainnya berusaha mengubur hasrat itu, walau biasanya tidak berhasil, karena pengalaman hidup mereka mengatakan hal yang sebaliknya.

Jika kita adalah salah satu dari nama-nama yang tercantum dalam daftar silsilah Yesus, mungkinkah kita dapat menduga bahwa sekedar menjadi diri sendiri saja pun sudah mempunyai peranan penting bagi kelahiran Sang Juruselamat?

Bagaimana jika suatu saat nanti kita diizinkan oleh Tuhan untuk melihat pengaruh atau peranan penting apa saja yang secara tidak sadar telah kita jalankan untuk Tuhan dalam suatu gambaran besar yang melampaui berbagai generasi?

Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepada-Nya, dan Ia akan bertindak; (Mazmur 37:5). Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Oleh: izar tirta

 

Baca juga:
Siapakah Zakharia dan Elisabet? Klik disini.
Seperti apakah yang dimaksud dengan iman sejati itu? Klik disini.
Apakah resep dari hidup berkelimpahan dan berhasil? Klik disini.