Saturday, April 30, 2022

Apa yang harus kita lakukan untuk menjadi seorang pembawa damai?

Apa sajakah tantangan bagi orang yang ingin menjadi pendamai bagi orang lain?
Mengapa menjadi pembawa damai itu sedemikian sulit?
Apa yang harus kita perbuat apabila kita di dalam posisi yang harus mendamaikan orang lain?

 


 

 

Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. (Matius 5:9)

Tuhan Yesus memanggil kita untuk menjadi pembawa damai ke dalam dunia ini, namun sebagaimana yang kita ketahui dan alami sendiri, tidak mudah untuk melakukan hal tersebut. Sebab untuk menjadi seorang pembawa damai maka hal itu berarti bahwa kita harus menjembatani dua kubu yang saling konflik. Dan tidak jarang pada akhirnya ke dua kubu tersebut malah balik menyerang kita, Bagi kubu yang sebelah kiri, kita dianggap kurang ke kiri, sedangkan menurut kubu yang sebelah kanan, kita dianggap kurang kekanan, sehingga sebagai akibatnya kita sendiri terjepit di tengah-tengah.

Oleh karena itu, untuk menjadi seorang pembawa damai kita perlu melewati beberapa tahapan yaitu damai dengan Allah, damai dengan diri sendiri dan setelah itu barulah mampu untuk berdamai dengan orang lain.

Damai dengan Allah artinya kita sadar bahwa sebagai orang berdosa kita ini adalah seteru Allah, sehingga melalui kesadaran itu kita terdorong untuk menyerah pada Allah, datang kepada-Nya memohon pengampunan dan minta agar Tuhan menjadi Juruselamat kita. Lalu dalam tahap-tahap pertumbuhan rohani selanjutnya, kita belajar untuk menyerahkan seluruh aspek hidup kita kepada Tuhan serta membiarkan Dia memimpin dan memerintah di dalam kehidupan kita.

Jika tahapan ini kita tekuni, maka niscaya dalam diri kita akan mulai bertumbuh karakter-karakter yang baik sebagai buah pertumbuhan rohani yang sehat. Sehingga kemudian kita mulai lebih siap untuk masuk ke dalam tahap kedua yaitu berdamai dengan diri sendiri.

Damai dengan diri sendiri artinya mulai ada sinkronisasi antara apa yang kita percayai sebagai kebenaran dengan apa yang secara nyata kita lakukan. Salah satu contoh misalnya berdoa demi kebaikan bagi orang yang tidak kita sukai. Pikiran kita yang sudah diterangi Firman, tahu bahwa berdoa bagi orang yang tidak baik pun adalah kehendak Allah. Tetapi hati kita menolak karena hal itu menyakitkan untuk dilakukan. Lalu timbullah konflik di dalam diri kita sendiri.

Damai dengan diri sendiri artinya kita berhasil mengatasi konflik itu dan memilih melakukan apa yang kita  tahu benar, walau barangkali kita sendiri tidak terlalu suka melakukannya. Sebagian diri kita akhirnya menyerah pada sebagian diri yang lain untuk melakukan sesuatu yang kita tahu baik dan perlu dilakukan. Dibutuhkan penyangkalan diri untuk berada dalam tahapan ini. Barulah setelah kita melewati tahap ini, maka kita akan lebih siap untuk masuk tahap berikutnya, yaitu damai dengan orang lain.

Apa yang saya utarakan di sini tentu saja adalah suatu teori/model yang disederhanakan agar kita semua lebih mudah mencernanya. Dalam prakteknya, kita akan berhadapan dengan kompleksitas kasus yang jauh lebih rumit daripada penjelasan singkat sepanjang dua paragraf di atas. Meskipun demikian, bukan berarti teori tidak penting, teori justru penting sekali bagi kita sebagai suatu pedoman untuk mengevaluasi tindakan kita di dalam kasus nyata yang sedang dihadapi.

Di samping kegagalan kita dalam melewati dua tahap pertama, yaitu damai dengan Allah dan damai dengan diri sendiri, ada pula faktor-faktor lain yang dapat membuat kita gagal dalam menjadi seorang pembawa damai. Faktor-faktor itu adalah sebagai berikut :

 

Pertama: Campur tangan iblis.

Janganlah kita lupa pada kekuatan yang satu ini. Iblis adalah kekuatan nyata di jagat raya yang tidak pernah tidur. Ia terus mengelilingi dunia bagaikan singa yang mengaum-ngaum mencari orang yang bisa ditelannya. Iblis mencobai manusia agar jatuh ke dalam dosa. Sekalipun kita adalah orang percaya yang sudah berusaha menyangkali diri sendiri, belum berarti kita bebas dari bisikan iblis. Ia akan menghembuskan pikiran bahwa kita telah berkorban terlalu banyak sehingga tidak perlu mengalah terus-terusan pada orang lain. Memang dibutuhkan hikmat dan doa untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak. Tapi setidaknya, jika kita ingin menjadi pembawa damai, sadarilah bahwa kekuatan ini ada, sehingga dengan demikian kita akan lebih waspada pada sepak terjangnya yang suka memecah belah serta dapat lebih bergantung kepada pertolongan Tuhan sendiri.

 

Kedua: Sifat dasar diri kita (kecendrungan bawaan seseorang)

Tidak ada orang yang sempurna, itu sudah pasti. Setiap kita punya kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Orang yang karakter kristianinya sudah bertumbuh pun tidak mungkin luput dari cacat di sana sini. Seorang Martin Luther pun tidak bisa luput dari sikap anti-Yahudinya. Seorang John Calvin pun tidak dapat lepas dari tangannya yang berlumur darah dari orang-orang yang dihukum atas nama kekristenan.

Setiap kita, bergumul dengan cacat pribadinya masing-masing. Bagi orang yang satu, seksualitas mungkin sama sekali bukan masalah serius, sementara bagi orang yang lain seksualitas adalah medan peperangan yang tidak ada habis-habisnya. Sementara orang yang satu lagi kelihatan lebih sabar, karena memang pembawaannya yang penyabar, tetapi mungkin ia bergumul dengan persoalan tanggungjawab misalnya. Dan orang yang lain lagi kelihatan cepat marah, namun sangat bertanggungjawab dalam memikul bebannya. Demikianlah kita masing-masing berbeda, kegagalan kita dalam menyadari keberbedaan ini dapat menjadi salah satu faktor yang menghambat kita sebagai seorang pembawa damai.

Ada beberapa faktor lain dalam sifat/pembawaan dasar seseorang yang seringkali menjadi penghambat bagi upaaya kita menjadi pembawa damai, misalnya:

    1. Kebutuhan yang amat besar untuk diperhatikan dan untuk menguasai orang lain.

Seseorang yang masa pertumbuhan mentalnya kurang mendapat kasih sayang mungkin sekali akan menjadi seorang pribadi yang selalu ingin menarik perhatian orang lain. Seorang anak yang sudah terbiasa main sendiri dan selalu mempunyai mainan sendiri, barangkali akan lebih sulit mengalah pada orang lain dibandingkan dengan anak yang sudah biasa berbagi sejak kecil. Seorang yang sudah biasa mengatur, misalnya seorang bos yang kaya raya, akan punya kecendrungan untuk mengatur di mana pun ia berada. Kebiasaannya mengatur dan dipatuhi orang lain akan cenderung dituntutnya pula dari orang lain yang ia temui, tidak peduli apakah itu di gereja atau di rumah.

    1. Jiwa yang pahit

Seorang manusia yang sering merasa kecewa dan gagal menemukan jalan keluar dari kekecewaannya itu, pada akhirnya akan memiliki jiwa yang pahit. Kalau sudah begini, maka orang itu akan selalu melihat segala sesuatu dari sudut yang negatif. Betapa sulitnya berdamai dengan seseorang yang melihat perdamaian sebagai sesuatu yang negatif bukan? Ini sekedar contoh.

    1. Hipersensitif

Ada tipe-tipe tertentu dari orang yang punya kecendrungan untuk senang mengkritik (hypercritical), senang menghakimi dan menghukum serta mudah sekali marah. Besar kemungkinan bahwa orang yang demikian ini juga memiliki kepahitan dalam jiwanya yang belum berhasil ditemukan jalan keluarnya. Akan tetapi tipe manusia jenis ini punya gayanya sendiri. Ia tidak akan pernah kehabisan ide untuk menemukan kekurangan orang lain, tetapi agak buta pada kekurangan dirinya sendiri. Orang semacam ini biasanya akan terlalu repot mengurusi orang lain, khususnya kegagalan mereka-mereka yang perlu dikritiknya, sampai tidak sempat mengurusi tugasnya sendiri. Mencoba berdamai dengan orang semacam ini? Kiranya Tuhan menyertai kita. 

    1. Insecurity

Ada pula tipe orang yang selalu merasa tidak aman. Di manapun, dalam kondisi apapun ia selalu merasa terancam oleh orang lain. Ia sering tidak percaya diri, malah cenderung rendah diri. Selalu merasa takut ditolak orang lain, namun merasa tidak mampu mempercayai siapapun. Jika kita bertemu dengan orang ini dan bertanya: “Gimana kabar anakmu?” Mungkin sekali ia akan berpikir: “Mau apa nih orang tanya-tanya anak segala, pasti deh mau mengguruiku soal bagaimana mengurus anak.” Padahal orang yang bertanya belum tentu bermaksud demikian. Semua pikiran negatif itu muncul dengan sendirinya karena ia mempunyai sifat dasar atau pembawaan sebagai orang yang tidak merasa aman (insecure).

    1. Kesulitan untuk bersikap terbuka

Ada orang yang dengan mudah menyatakan perasaannya tentang sesuatu hal. Tetapi ada pula yang begitu tertutup sehingga orang sulit menduga apa yang sebenarnya ia rasakan. Ada orang yang kheki banget pada sesuatu hal tetapi sulit untuk mengeluarkan uneg-uneg-nya itu. Tetapi ada juga orang yang suka ceplas-ceplos kalau bicara, kadang-kadang bahkan tanpa peduli perasaan orang lain.

    1. Ketidakmampuan menerima perbedaan orang lain. (Di atas tadi sudah disebutkan)

Semua sifat pembawaan yang disebutkan di atas tentu saja harus di atasi Bersama-sama dengan Tuhan. Jika kita bersandar kepada Tuhan dan jika Tuhan itu sungguh-sungguh Juruselamat kita, maka lambat laun Ia akan mengubah kita, mengeluarkan kita dari kurungan diri sendiri yang membuat kita tidak bertumbuh. Dari sisi kita, kita bertanggungjawab untuk tetap tinggal di dalam Kristus.

 

Ketiga: Kurangnya komitmen

Mengupayakan perdamaian butuh kerja keras. Mental kita akan lelah, bahkan barangkali hati kita pun terluka. Atau dapat juga kita diserang oleh kejenuhan. Untuk itu dibutuhkan komitmen. Komitmen berarti kita memutuskan untuk maju terus walau apapun yang terjadi. Kurangnya komitmen tidaklah selalu disebabkan oleh rasa malas atau sikap terlalu mementingkan diri sendiri. Kurang berpegang teguh pada komitmen dapat pula terjadi ketika seseorang lupa pada apa yang pertama kali ia komitmenkan, atau dapat pula karena terlanjur disibukkan oleh hal-hal lain di luar apa yang semula dikomitmenkan, atau dapat pula karena mulai timbul keraguan bahwa apa yang semula dikomitmenkan adalah sesuatu yang benar-benar bijaksana.

 

Keempat: Kesulitan dalam berkomunikasi

Tidak jarang suatu konflik timbul hanya karena kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Jika kita berhadapan dengan seseorang yang kesulitan dalam menyampaikan apa yang ada di dalam pikirannya, bukannya tidak mungkin kita akan bertengkar dengan orang itu karena salah paham.

Pernah suatu kali saya memegang suatu peran yang menurut saya aneh, yaitu menjadi semacam juru bicara dari dua orang yang sedang bertengkar. Kami duduk bertiga, saya dengan si A dan si B yang sedang bertengkar. Si A bicara satu kalimat, lalu saya menjelaskan pada si B apa yang dimaksud dengan kalimat itu. Lalu si B menjawab, dan saya kembali menjelaskan pada si A apa yang dimaksud dengan kalimat si B itu (Padahal mereka sama-sama hadir di satu ruangan dan sama-sama berbahasa Indonesia. Aneh ya? Tapi ini nyata lho.) Ceritanya memang kedua orang ini lagi bertengkar, semula mereka (tentu saja) mencoba menyelesaikan berdua pertengkaran itu. Tetapi herannya semakin mereka membicarakan masalah mereka, semakin kacau dan berbelit-belit persoalan itu jadinya. Dari mulanya cuma saling tanya jawab, lalu berlanjut pada nada bicara yang mulai meninggi, sampai akhirnya mereka bertengkar. Tanpa janjian lebih dulu, mereka masing-masing kemudian menghubungi saya dan menceritakan kekonyolan “lawan tengkar” mereka. Akhirnya kami sepakat untuk bertemu saja muka dengan muka, duduk satu meja. Dan terjadilah seperti yang saya katakan tadi. Saya menemukan bahwa salah seorang dari mereka memang punya masalah dalam mengutarakan pikirannya dengan jelas. Sementara orang yang lainnya punya kecenderungan untuk melihat segala sesuatu dari sisi negatif, di samping sifat dasarnya yang memang suka terburu-buru dan agak kurang mampu memberi ruang pada orang lain. Maka “klop”-lah mereka untuk menjadi lawan tanding. Puji Tuhan setelah komunikasi mulai dijernihkan, maksud satu sama lain mulai dijelaskan, persoalan itu selesai dengan sendirinya.

 

Kelima: Masalah sosial

Ada perbedaan-perbedaan yang memang tidak mungkin diperdamaikan. Perbedaan-perbedaan semacam ini memang hanya bisa diterima sebagai sesuatu yang berbeda tanpa pernah mungkin dipersatukan, kecuali jika jati diri dari masing-masing kubu terpaksa dipangkas. Contoh paling gampang adalah perbedaan agama. Iman Kristen dengan iman Budha tidak mungkin dipersatukan. Iman orang Hindu dengan iman orang Islam tidak mungkin saling bertemu. Keyakinan kristiani dengan keyakinan islami, selamanya akan tetap berbeda, dan kita perlu belajar untuk menerima kenyataan bahwa kita memang berbeda, sambil tetap berupaya semaksimal mungkin untuk saling menghormati dan saling menjaga kerukunan dalam kehidupan sosial kita.

Contoh lain yang juga lumayan gampang adalah supporter sepak bola. Jika kita pendukung fanatik Persita Tangerang, maka tidak mungkin pada saat yang sama kita juga adalah pendukung fanatik Persija. Dan karena yang didukung adalah persoalan pertandingan, dimana harus ada dua kubu yang berseteru, maka munculnya keributan adalah semudah mengobarkan api dalam sekam. Dari satu generasi ke generasi lainnya pun pertikaian semacam itu akan sulit didamaikan.

 

Akhir kata

Demikianlah beberapa hal yang berpotensi sebagai penghambat pendamaian. Kiranya apa yang disampaikan dalam segala keterbatasan ini dapat membuka wawasan kita lebih luas lagi tentang hal-hal yang mungkin terkait dalam persoalan sebagai pembawa damai. Sekali lagi, ini bersifat teoritis dan hanya merupakan panduan. Yang akan kita hadapi kemungkinan besar jauh lebih kompleks, rumit dan merupakan perpaduan dari berbagai unsur atau variabel yang saya sebutkan di atas. Tetapi saya yakin formula tahapan berdamai yang saya sebutkan di atas, dapat menjadi panduan yang berguna bagi kita. Tidak ada satu pun dari kita yang mampu secara sempurna berdamai dengan semua orang, namun pesan saya adalah teruslah bersandar pada Tuhan, sebab hanya di dalam Dia-lah kita akan temukan kedamaian sejati yang menjadi kekuatan bagi kita untuk berdamai dengan sesama.

Tuhan Yesus memberkati. (Oleh: izar tirta).