Thursday, June 18, 2020

Arti penting Alkitab Perjanjian Lama bagi Yesus Kristus

Kanonisasi Alkitab – Perjanjian Lama
Serie tulisan: Kanonisasi Alkitab



Kanonisasi Alkitab


Arti penting Alkitab
bagi kehidupan Pribadi Yesus Kristus

Amat disayangkan apabila ada orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus, tetapi tidak memiliki kedekatan dengan Alkitab. Ajaran Alkitab menjadi sesuatu yang asing, jarang dibaca, jarang dipelajari dan jarang direnungkan. [1] Ini adalah suatu kenyataan yang sangat absurd sekali, sebab Yesus Kristus sendiri justru merupakan seorang Pribadi yang sangat dekat dengan ajaran Alkitab. Bagaimana mungkin seseorang dapat ingin menjadi pengikut-Nya tetapi malah tidak mau menjalani cara hidup yang serupa dengan Dia? [Baca juga: Bagaimana kumpulan kitab Perjanjian Lama terbentuk? Klik disini.]

Alkitab Perjanjian Lama adalah Alkitab yang dibaca oleh Tuhan Yesus pada waktu Tuhan kita turun ke bumi sekitar 2000-an tahun yang lalu. Alkitab Perjanjian Lama sebagaimana yang kita kenal saat ini, sudah tersedia pada waktu itu dan Tuhan Yesus bahkan terlihat seringkali memakai Alkitab Perjanjian Lama tersebut sebagai dasar di dalam pengajaran, dasar di dalam berperilaku dan dasar untuk melawan cobaan dari si iblis.

Sejak masih kecil, Tuhan Yesus sudah memiliki kegemaran terhadap Kitab Suci. Lukas mencatat sebuah peristiwa ketika pada usia dua belas tahun, Tuhan kita pergi ke Yerusalem bersama kedua orang tua-Nya pada waktu hari raya Paskah. Segalanya berjalan lancar selama masa perayaan sedang berlangsung, namun setelah perayaan tersebut berakhir, ternyata kedua orang tua Tuhan Yesus tidak sadar bahwa Anak mereka itu tidak pulang bersama-sama dengan mereka. Lalu Lukas mencatat:

Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya. [2]

Tuhan Yesus memang adalah Allah yang menjadi Manusia. Namun di dalam keadaan-Nya sebagai Manusia, Tuhan Yesus tetap harus belajar sebagaimana layaknya anak-anak lain belajar. Kecerdasan yang dimiliki oleh Tuhan kita bukanlah hasil instant yang Ia miliki begitu saja “mentang-mentang Dia adalah Allah.” [Baca juga: Mengapa Tuhan Yesus rela menjadi Manusia? Klik disini]

Segala kecerdasan itu diperoleh karena dua hal: ketertarikan yang sangat besar terhadap Kitab Suci dan ketekunan di dalam belajar mulai dari Tuhan kita masih kanak-kanak hingga menjadi pria dewasa. Hal itu tercermin di dalam perkataan Lukas tentang Tuhan Yesus di masa pertumbuhan-Nya:

Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.[3]

Apabila anak-anak di zaman kita tidak memiliki kecerdasan seperti Tuhan Yesus dalam hal pemahaman Alkitab, kita tidak dapat berkata: Terang aja Tuhan Yesus pintar dalam soal Alkitab, Dia Allah sih. Ucapan seperti ini, sama sekali berbeda dengan pesan yang ingin disampaikan oleh Kitab Lukas. [Baca juga: Kisah Yesus sejak lahir hingga beranjak dewasa. Klik disini]

Sebab sekalipun Yesus Kristus adalah Allah, tetapi kitab Lukas justru lebih cenderung menyoroti sosok Kristus dari natur ke-Manusia-an-Nya [4] yaitu sebagai manusia yang belajar. Perhatikan kata-kata Lukas tentang Tuhan kita yang makin bertambah hikmat-Nya. Sebagai seorang Manusia, Mesias kita tidak mendadak memiliki hikmat yang sempurna semenjak masih anak-anak. Sebagai seorang Manusia, Mesias kita itupun mengizinkan diri-Nya bertambah di dalam hikmat sama seperti anak manusia lainnya.

Tuhan Yesus sangat cerdas karena hati-Nya memang sudah melekat kepada Firman. Ia mengasihi Firman Tuhan dan seumur hidup-Nya di dunia, perkataan Allah di dalam Perjanjian Lama senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri-Nya.

Maka sekali lagi, sungguh menyedihkan apabila di zaman sekarang masih ada orang-orang yang kelihatannya seperti pengikut Kristus tetapi justru tidak mendasarkan kehidupannya, keyakinannya, cara berpikirnya di atas ajaran Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bukan? Sedangkan Yesus Kristus sendiri yang adalah Allah, ternyata sangat memperhatikan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci Perjanjian Lama yang tersedia bagi-Nya pada waktu itu.

Wajah kekristenan dewasa ini tidak jarang diwarnai dengan orang-orang yang sangat antusias terhadap hal-hal yang bersifat mistis, penampakan-penampakan, berita-berita heboh tentang apa yang akan terjadi di masa depan dan berbagai gegap gempita spiritual yang tidak disertai dukungan Alkitabiah yang memadai.

Orang menjadi sangat tertarik untuk mendengar kesaksian si A atau si B yang mengaku pernah diajak Tuhan ke sorga ataupun ke neraka. Tetapi tidak ada suatu sensitivitas sedikitpun dari para pendengar ini untuk memeriksa apakah hal-hal yang demikian itu sesuai dengan ajaran Alkitab ataukah tidak? Mereka suka mendengar kisah-kisah luarbiasa tentang keadaan sorga atau keadaan neraka, tetapi mereka bahkan tidak peduli untuk sejenak memeriksa apakah yang mereka dengar itu ada dukungan Alkitabiahnya atau tidak.

Kondisi seperti ini sangat mirip dengan kondisi yang dituliskan di dalam kitab Hakim-hakim:

Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri. [5]

“Pada zaman itu tidak ada raja,” kata penulis kitab Hakim-Hakim.  Sungguh ironis perkataan tersebut. Allah adalah Sang Raja, tetapi orang Israel menganggap sepi Sang Raja dan memilih jalan hidupnya sendiri. [Baca juga: Kerinduan mengenal Yesus. Klik disini]

Meskipun Yesus Kristus adalah Sang Raja yang telah menyatakan diri-Nya melalui Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sangat memprihatinkan apabila kita para pengikut-Nya lebih memilih untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan anggapan kita sendiri saja, tanpa sungguh-sungguh memeriksa apa yang Alkitab katakan tentang hal itu. Semoga tulisan ini mengingatkan kita untuk kembali ke jalan yang telah ditunjukkan oleh Yesus, Tuhan kita yang Mahamulia itu.


Arti penting Alkitab
bagi kehidupan pelayanan Yesus Kristus

Pertama:
Yesus Kristus tahu dengan pasti
bahwa Perjanjian Lama berbicara tentang Dia

Dalam suatu peristiwa setelah Tuhan kita disalibkan, ada dua orang murid-Nya yang merasa kecewa dan bingung dalam menyikapi peristiwa penyaliban tersebut.

Seperti murid lainnya, mereka berpikir bahwa Yesus Kristus akan tampil sebagai penyelamat bangsa yang akan mengalahkan Romawi dan mengembalikan kejayaan Israel seperti pada masa Daud dan Salomo dahulu kala.

Kematian Yesus Kristus di atas salib sulit dilihat sebagai tanda kemenangan di mata siapapun pada saat itu. Dari mulut mereka sendiri terucap kata-kata:

Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi. [6]

Sulit untuk tidak menangkap kesan kecewa di dalam kata-kata mereka, bukan? Tetapi bagaimanakah kira-kira Tuhan Yesus akan menolong dua orang murid yang salah mengerti ini? Lukas mencatat:

Lalu Ia berkata kepada mereka: "Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?" Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. [7]

Adakalanya kita berpikir bahwa iman kepercayaan seorang manusia akan bertumbuh apabila orang itu melihat penampakan spiritual ataupun melihat mukjizat.

Itu sebabnya ada orang-orang yang rela pergi ke sana ke mari karena ingin melihat penampakan-penampakan spiritual [8] ataupun mukjizat tersebut. Tetapi tulisan Lukas dalam peristiwa Emaus ini mengingatkan kita bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan isi hati Tuhan. Mengapa?

Sebab selama perjalanan ke Emaus itu, Tuhan Yesus memiliki kesempatan yang sangat besar untuk menampakkan diri-Nya kepada para murid tersebut untuk membuat mereka percaya bahwa Ia telah bangkit, tetapi hal itu justru tidak dilakukan oleh Tuhan kita.

Sebaliknya Tuhan kita memilih untuk menjelaskan segala sesuatu tentang diri-Nya dengan memakai catatan Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. Sungguh, banyak dari kita yang mungkin kurang puas dengan hal ini atau mungkin kita kurang suka mendengar hal ini, kita berharap Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya di hadapan murid-murid Emaus, kita berharap Yesus mendemostrasikan mukjizat-mukjizat hebat agar orang-orang Emaus ini percaya. Tetapi sekali lagi tidak demikian yang dilakukan oleh Tuhan Yesus.

Tuhan Yesus tahu siapa diri-Nya dan Dia memilih untuk menjelaskan diri-Nya itu melalui Kitab Suci, bukan melalui penampakan akan wajah-Nya, bukan pula melalui demonstrasi mukjizat apapun. Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa inilah cara yang dipilih Tuhan untuk menumbuhkan iman seseorang kepada-Nya.

Jika kita adalah pengikut Tuhan Yesus, dapatkah setidaknya kita menghormati pilihan Tuhan kita itu dan berhenti memaksa Dia untuk bekerja sesuai dengan fantasi kita yang liar dan berdosa?

Yesus Kristus memulai pelayanan-Nya
dengan mengutip Perjanjian Lama

Berbeda dengan pandangan orang Saduki yang percaya hanya kitab Musa saja yang merupakan Kitab Suci, Tuhan Yesus justru mengakui bahwa kitab nabi Yesaya pun merupakan Kitab Suci.

Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab. Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." [9]

Yesus Kristus melihat diri-Nya sebagai penggenap dari nubuat nabi Yesaya. Artinya, di mata Tuhan kita, kitab nabi Yesaya yang telah dituliskan lama sebelum Ia lahir ke dunia adalah kitab yang sungguh-sungguh merupakan kitab yang suci.

Yesus Kristus mengakhiri pelayanan-Nya
juga dengan mengutip Perjanjian Lama

Di dalam masa-masa akhir pelayanan-Nya di dunia, sebelum Ia naik ke sorga, Tuhan Yesus mendekati para murid-Nya lalu berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” [10]

Bagi kita ucapan ini mungkin terkesan cukup netral atau umum-umum saja. Tetapi bagi orang di zaman itu, perkataan Yesus ini tidak mungkin tidak akan membawa mereka untuk mengingat akan perkataan Daniel sekitar 600 tahun sebelumnya. Daniel berkata:

Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah. (Dan 7:13,14)

Tuhan Yesus ingat tulisan Daniel dan melihat diri-Nya sebagai penggenapan dari apa yang pernah dilihat oleh Daniel tersebut. Bagi Tuhan Yesus, kitab Daniel bukan kitab sembarangan melainkan Firman Allah sendiri.


Akhir Kata

Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi Yesus Kristus, Alkitab yaitu Perjanjian Lama yang kita kenal saat ini, merupakan suatu buku yang sangat penting sekali. Ia mempelajarinya sejak kecil, memakainya untuk kehidupan sehari-hari, memakainya dalam pelayanan pertama, memakainya untuk peperangan rohani, menggunakannya untuk mengajar, mengutipnya untuk melawan ajaran sesat, mengulanginya lagi untuk menolong murid yang resah dan akhirnya mengutipnya lagi di akhir pelayanan di dunia.

Sungguh luarbiasa bahwa dalam kapasitas-Nya sebagai Pribadi kedua Allah Tritunggal, Tuhan Yesus tidak datang dengan otoritas atau ucapan-ucapan-Nya sendiri melainkan Ia datang dengan otoritas dari Bapa-Nya dan memperkatakan segala sesuatu yang telah diperkatakan melalui Alkitab Firman Tuhan.

Dapat dikatakan, tidak ada aspek di dalam kehidupan Kristus Yesus dimana Ia tidak mengkaitkan segalanya dengan Firman Tuhan, yaitu Alkitab Perjanjian Lama yang kita miliki pula saat ini. Oleh karena itu, jika Dia memang adalah Guru kita, maka sudah sepantasnya apabila kita juga memiliki sikap hati yang sama seperti Dia terhadap Alkitab, bukan?

Dalam tulisan ini kita sudah melihat bahwa Yesus Kristus mengenal Kitab Suci sebagai kitab-kitab Musa dan segala tulisan para nabi. Dalam tulisan mendatang kita akan melihat secara lebih terperinci, Alkitab Perjanjian Lama macam apakah yang dikenal secara utuh oleh Tuhan kita maupun orang-orang yang hidup sezaman dengan Dia.

Tuhan mengasihi kita semua.



Catatan
[1] Dan sudah pasti jarang pula dilakukan. Sebab bagaimana mungkin seseorang mau melakukan ajaran Alkitab, jika orang itu bahkan tidak tahu apa yang sebetulnya diajarkan oleh Alkitab, bukan? Pada akhirnya yang terjadi adalah orang membuat fantasi-fantasi sendiri tentang suatu kehidupan yang mereka pikir diajarkan oleh Alkitab.
 
[2] Lukas 2:46-47

[3] Lukas 2:52

[4] Yesus Kristus adalah Pribadi yang memiliki dua natur, natur Ilahi dan natur manusia. Di dalam natur Ilahi-Nya Tuhan Yesus adalah Allah yang Mahatahu, tetapi di dalam natur manusia-Nya Tuhan Yesus tetap mengalami pertumbuhan secara alami baik secara fisik maupun secara pengetahuan sama seperti semua anak lain di dunia. Betapa besar kasih Yesus Kristus pada kita sehingga Ia yang tak terbatas, mengizinkan diri-Nya untuk sementara waktu dikungkung atau dihambat oleh keterbatasan manusiawi.
 
[5] Hakim-Hakim 17:6

[6] Lukas 24:21

[7] Lukas 24:25-27

[8] Baik penampakan dari sosok yang diduga adalah Yesus Kristus atau sosok yang diduga sebagai Maria atau Petrus, atau Paulus atau siapapun.

[9] Lukas 4:16-21

[10] Matius 28:18

Thursday, June 11, 2020

Mengapa kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan Kanonisasi Alkitab?

Serie tulisan: Kanonisasi Alkitab



Kanonisasi Alkitab


“Kanonisasi Alkitab,” kata-kata ini mungkin terdengar cukup asing bagi telinga kebanyakan orang Kristen, bukan? Mungkin hanya orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Teologi saja yang barangkali sudah akrab dengan istilah ini. Tetapi apa itu Kanonisasi Alkitab dan mengapa kita orang awam juga perlu untuk membicarakannya? [Baca juga: Bagaimana kumpulan kitab Perjanjian Lama terbentuk? Klik disini.]

Menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh adalah menjadi orang yang senantiasa merenungkan dan mempelajari Firman Tuhan serta mengkaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. [1] Justru salah satu ciri dari orang yang sudah lahir baru adalah kecenderungannya yang besar untuk memikirkan apa yang Tuhan katakan melalui Firman-Nya serta menilai kehidupannya sendiri [2] berdasarkan Firman itu dari hari ke sehari.

Dan ketika seseorang mulai serius memikirkan Firman, maka cepat atau lambat mereka akan berhadapan dengan beberapa pertanyaan di bawah ini:

Mengapa orang Kristen hanya berpedoman pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru saja?
Mengapa orang Kristen tidak bisa menerima kitab-kitab yang tergabung di dalam kumpulan kitab yang disebut sebagai Deuterokanonika atau Apocrypa ?
Bagaimana dengan Injil Barnabas, Injil Maria, Injil Thomas dan Injil Yudas, apakah kita dapat menerima injil-injil tersebut sebagai Kitab Suci kita?
Di dunia ini ada begitu banyak kitab yang berbicara tentang hal-hal yang spiritual. Apakah semua kitab yang membahas persoalan spiritual harus kita terima begitu saja sebagai kitab suci kita?

Ketika kita mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang dipaparkan di atas, maka mau tidak mau kita harus masuk ke dalam pembahasan tentang Kanonisasi Alkitab tersebut.


Apakah yang dimaksud dengan Kanonisasi Alkitab?

Frederick Fyvie Bruce (atau yang lebih dikenal sebagai F.F. Bruce) adalah salah seorang pakar dalam bidang Kanonisasi Alkitab yang dimiliki oleh dunia kekristenan. Dalam bukunya, Bruce menulis:

The word “canon” has a simple meaning. It means the list of books contained in scripture, the list of books recognized as worthy to be included in the sacred writings of a worshipping community.[3]

Menurut F.F. Bruce, istilah Kanon (atau Canon) itu sendiri berarti daftar buku-buku yang terdapat di dalam kitab suci, yaitu daftar dari buku-buku yang dianggap pantas untuk dimasukkan sebagai tulisan yang suci oleh suatu komunitas para penyembah Yang Ilahi.

Istilah “Kanon” sendiri berasal dari bahasa Yunani yang sama artinya dengan sebatang tongkat (a rod). Yaitu sebatang tongkat berbentuk lurus yang biasa dipakai sebagai tongkat pengukur. Di zaman kita, apalagi di Indonesia, mungkin akan lebih mudah jika kita membayangkan apa yang dimaksudkan oleh istilah “Kanon” itu sebagai sebatang penggaris yang biasa dibawa-bawa oleh anak sekolah ataupun sebatang tongkat kayu pengukur yang biasa dipakai oleh para penjual bahan kain.

Jadi secara prinsip, melalui kata Kanon ini, sebuah komunitas penganut kepercayaan tertentu[4] membuat suatu daftar atau ukuran terhadap kitab-kitab mana saja yang dapat mereka terima, dan kitab-kitab mana saja yang tidak dapat mereka terima sebagai dasar bagi iman kepercayaan mereka.

Pada bagian ini, Bruce melihat bahwa proses kanonisasi bukan semata-mata milik dunia kekristenan saja, melainkan merupakan hal yang secara natural pasti akan dilakukan oleh setiap komunitas yang menyembah suatu entitas ke-Ilahi-an. Di dalam agama apapun, di dalam kepercayaan apapun, para penyembah itu memiliki semacam ukuran atau daftar dari kitab-kitab apa saja atau tulisan-tulisan apa saja yang dianggap merupakan tulisan suci yang mempunyai kekuatan untuk mengatur kehidupan orang yang percaya.

Dan tentang hal itu, Bruce mengambil contoh dari kanonisasi kitab lain di luar kekristenan, sebagaimana yang ia katakan di bawah ini:

Many religions have sacred books associated with their traditions or their worship. There was a once-famous series of volumes entitled “The Sacred Books of the East.”[5]

The Sacred Books of the East? Kita bahkan baru pertama kali mendengar hal itu dan kita tidak tahu kumpulan buku apa sajakah itu? Tetapi di sini F.F. Bruce mengatakan bahwa untuk kumpulan buku-buku “tidak populer” semacam itupun orang membuat kanonisasinya sedemikian rupa agar siapapun dapat mendefinisikan kepercayaan apa yang diajarkan kepada penganutnya melalui buku-buku tersebut.

Dari F.F Bruce kita dapat belajar bahwa apa yang kita percayai, dapat didefinisikan dari buku-buku apa saja[6] yang kita jadikan pegangan bagi kepercayaan itu.

Meskipun istilah “Kanonisasi” bukan semata-mata milik dunia kekristenan, tetapi di dalam tulisan ini saya akan membatasi fokus pembahasan kita pada Kanonisasi Alkitab saja. Dan tentang hal itu, F.F. Bruce mengatakan: In a Christian context, we might define the word as “the list of the writings acknowledged by the Church as documents of the divine revelation.[7]

Jadi berdasarkan definisi yang diberikan oleh Bruce di atas, Kanonisasi Alkitab dapat kita pahami sebagai: Daftar tulisan yang diakui oleh gereja sebagai dokumen yang merupakan penyataan Ilahi (God Revelation)


Apakah arti penting dari proses Kanonisasi Alkitab?

Baik pada zaman sebelum Yesus Kristus hadir di dunia, maupun setelah Tuhan kita yang mulia itu naik kembali ke sorga, ada sangat banyak tulisan-tulisan yang memuat hal-hal yang spiritual. Meskipun demikian, hal itu tidaklah berarti bahwa setiap tulisan yang bersifat spiritual itu pasti dapat diakui sebagai Kitab Suci oleh umat yang percaya kepada Yesus Kristus.

Sebab kekeliruan kita dalam menerima atau menolak suatu kitab ke dalam daftar Kitab Suci akan memberi pengaruh yang besar sekali terhadap bagaimana kita mengenal pikiran, perasaan dan kehedak Allah bagi manusia.

Untuk itulah maka dibutuhkan suatu perhatian terhadap kitab-kitab mana saja yang diakui sebagai Kitab Suci dan kitab-kitab mana saja yang tidak termasuk. Tanpa adanya pemahaman yang mendasar tentang hal ini, maka pembicaraan tentang Allah, manusia, seluruh ciptaan dan segala hubungan yang tercipta di antaranya akan mustahil terjadi.

Sebab ketika kita bicara tentang Allah misalnya, maka kita perlu bertanya; Allah macam apa yang sedang kita bicarakan? Dan ketika kita mengatakan Allah seperti ini atau Allah seperti itu, maka pertanyaan selanjutnya adalah: darimana kita tahu bahwa Allah adalah seperti ini dan bukan seperti itu?

Tanpa adanya suatu kejelasan dari apa yang menjadi dasar bagi iman seseorang, maka pembicaraan tentang iman akan menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Atau, apabila kita mencoba memaksakan hal tersebut, maka hasilnya adalah suatu gambaran yang sangat karikatural dan tidak riil dari sosok Allah yang kita imani tersebut. Setiap orang dapat membuat sendiri figure Allah sesuka hatinya tanpa ada ukuran apapun yang memberitahukan di manakah letak batasan-batasannya.[8]

Jika melalui F.F. Bruce, kita belajar bahwa setiap iman dan kepercayaan memiliki aturan dasar bagi terbentuknya kepercayaan itu. Maka sekarang kita akan melihat bahwa bahkan seorang yang senantiasa ragu-ragu [9] pun harus memiliki seperangkat aturan dasar di dalam cara berpikir mereka untuk membawa mereka pada kesimpulan bahwa segala sesuatu harus diragu-ragukan.

John M.Frame, seorang profesor Apologetika dan Teologi di Westminster Theological Seminary, melukiskan keadaan tersebut di atas dengan cara yang sangat gamblang, yaitu sebagai berikut :

Every philosophy must use its own standards in proving its conclusions; otherwise, it is simply inconsistent. Those who believe that human reason is the ultimate authority (rationalists) must presuppose the authority of reason in their arguments for rationalism. Those who believe in the ultimacy of sense experience must presuppose it in arguing for their philosophy (empiricism). And skeptics must be skeptical of their own skepticism. The point is that when one is arguing for an ultimate criterion whether Scripture, the Koran, human reason, sensation, or whatever, one must use criteria compatibel with that conclusion.[10]

Sebagaimana dapat kita baca dalam tulisan di atas, John M.Frame mengatakan bahwa setiap filosofi [11] harus memakai suatu standard untuk membuktikan kesimpulan mereka.

Atau kalau boleh saya parafrasakan; setiap sistem kepercayaan harus memiliki ukurannya sendiri atau standard-nya sendiri atau kriterianya sendiri untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak ada satupun sistem kepercayaan di dunia ini yang tidak memiliki standard-nya sendiri, bahkan seorang skeptis pun harus berpedoman pada skepticism itu sendiri agar ia dapat tetap menjadi seorang skeptis.

Apa yang dipercayai oleh seseorang sangat menentukan bagaimana ia akan menjalani kehidupan ini. Ketika seseorang mengatakan bahwa ia percaya kepada ajaran Kitab Suci, maka secara natural orang itu harus tahu apa yang ia maksudkan dengan Kitab Suci, sebab kitab apa yang ia percayai sangat menentukan jenis kehidupan apa yang akan ia jalani.

Seorang yang diajar untuk membunuh orang kafir, sudah pasti akan menjalani hidup dengan cara yang berbeda dengan seorang lain yang diajar untuk mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Orang yang diajar bahwa dirinya adalah hasil evolusi binatang kera, akan memiliki cara pandang kehidupan yang berbeda dengan orang yang diajar bahwa dirinya dicipta menurut gambar dan teladan Allah.

Seorang yang yakin bahwa ada penghakiman setelah kematian, pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan orang lain yang merasa yakin bahwa tidak ada apa-apa yang perlu dihadapi setelah kematian datang menjemput. Orang yang diajar bahwa manusia terbagi-bagi ke dalam berbagai kasta pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan orang yang diajar bahwa manusia pada dasarnya adalah sama di hadapan Sang Pencipta.

Orang yang diajar bahwa manusia adalah allah bagi dirinya sendiri, sudah pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan manusia yang diajar untuk menyembah kepada Sang Pencipta. Orang yang diajar bahwa kita harus berbuat baik untuk masuk ke sorga, pasti akan memiliki sikap hati yang berbeda di hadapan Allah dibandingkan dengan orang yang diajar bahwa keselamatan adalah sebuah anugerah.

Pada suatu waktu, saya pernah terlibat pembicaraan dengan orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan keyakinan saya. Kawan saya itu adalah orang yang percaya bahwa apabila seorang manusia meninggal dunia, maka ia akan dilahirkan kembali ke dalam dunia ini. Ia tidak percaya bahwa manusia akan dihakimi oleh Sosok Ilahi yang tampil sebagai Hakim bagi seluruh umat manusia.

Kepada dia saya berkata: seandainya ternyata kepercayaanmu yang benar, maka apa susahnya bagi saya? Saya juga akan terlahir kembali seperti kamu. Kamu tidak jahat, dan saya juga tidak jahat, kita sama-sama punya peluang untuk kehidupan yang baik atau setidaknya sama dengan kehidupan yang kita kenal sekarang ini.

Tetapi bagaimana jika kepercayaan saya yang akan menjadi kenyataan? Maka engkau akan mati tanpa Kristus dan akan menghadapi penghakiman kekal setelah engkau mati. Tetapi saya, saya akan mati di dalam Kristus dan saya akan menikmati relasi kekal dengan Yesus Kristus yang telah saya percayai dan telah saya layani semenjak saya masih hidup di dunia ini.

Point saya adalah, apa yang kita percayai itu, bukan hanya akan mempengaruhi hidup kita di masa sekarang ini, tetapi juga akan menentukan kehidupan kita setelah kematian. Sebab, apa yang kita percayai itu ternyata sangat berpengaruh pula pada bagaimana sikap Tuhan terhadap kita.


Kisah Tuhan Yesus dan orang Saduki

Pada suatu hari, Tuhan Yesus berjumpa dengan orang-orang Saduki yang menantang Dia dengan suatu kasus seperti ini:

19"Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati dengan meninggalkan seorang isteri tetapi tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. 20Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan dan mati dengan tidak meninggalkan keturunan. 21Lalu yang kedua juga mengawini dia dan mati dengan tidak meninggalkan keturunan. Demikian juga dengan yang ketiga. 22Dan begitulah seterusnya, ketujuhnya tidak meninggalkan keturunan. Dan akhirnya, sesudah mereka semua, perempuan itupun mati. 23Pada hari kebangkitan, bilamana mereka bangkit, siapakah yang menjadi suami perempuan itu? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia."[12]

Mengapa orang Saduki menantang Tuhan Yesus dengan cara seperti ini? Orang Saduki adalah orang yang hanya percaya kepada lima Kitab Taurat saja dan mereka tidak menganggap Kitab Para Nabi sebagai Kitab Suci. Sebagai akibat dari penolakan tersebut, orang Saduki tidak pernah mempercayai adanya kebangkitan dari orang mati.[13] Padahal justru di luar Kitab Taurat itulah ajaran tentang kebangkitan diberikan dengan jelas dan gamblang.[14]

Bagaimana kira-kira respon Tuhan Yesus terhadap orang Saduki yang gagal mengenal jalan pikiran Tuhan sebagai akibat penolakan mereka kepada Kitab Suci? Apakah Tuhan Yesus akan berkata dengan lembut seperti ini?:

Oh...saudara-Ku, Aku maklum kalau kalian tidak percaya pada kebangkitan, sebab kalian hanya percaya kepada kitab Musa saja, bukan? Okelah, tidak masalah, sebab yang terutama bagi-Ku adalah kalian sudah memiliki suatu iman kepercayaan tertentu, tidak jadi soal apa isi dari iman kepercayaan kalian itu, yang penting hiduplah saja sesuai dengan apapun yang kalian percayai tersebut.

Begitukah jawaban Tuhan Yesus? Tuhan Yesus yang telah kita ciptakan sendiri di dalam pikiran kita yang berdosa mungkin akan berkata seperti itu. Tetapi Tuhan Yesus yang dinyatakan oleh Alkitab ternyata menjawab seperti ini:

Jawab Yesus kepada mereka: "Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah. Sebab apabila orang bangkit dari antara orang mati, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga. Dan juga tentang bangkitnya orang-orang mati, tidakkah kamu baca dalam kitab Musa, dalam ceritera tentang semak duri, bagaimana bunyi firman Allah kepadanya: Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Kamu benar-benar sesat !"[15]

Tuhan Yesus menghardik dan memarahi orang Saduki karena mereka tidak mengerti Kitab Suci serta tidak memahami kuasa Allah. Penolakan mereka terhadap Kitab Para Nabi telah berbuahkan kesalahan yang fatal di dalam pengenalan mereka terhadap Allah yang sejati. Dan untuk perbuatan itu, Tuhan Yesus berkata: Kamu benar-benar sesat.[16] Bukan satu kali saja Yesus Kristus berkata seperti itu, tetapi sampai dua kali, menandakan suatu ekspresi kegusaran yang ada di dalam hati Tuhan kita.

Orang Saduki menuai kemarahan Tuhan Yesus karena mereka menolak untuk mempercayai kitab-kitab di luar Lima Kitab Musa sebagai Kitab Suci. Akibat penolakan tersebut, mereka gagal mengenal Pribadi Tuhan yang sejati. Dari sini kita belajar bahwa kekeliruan kita dalam memahami kitab-kitab mana yang termasuk dalam Kitab Suci dan kitab-kitab mana yang bukan termasuk Kitab Suci ternyata bukan saja berakibat kesalahan di dalam bertindak, tetapi juga dapat berakibat timbulnya kemarahan Tuhan terhadap kita.


Akhir kata

Jadi kalau boleh saya summary-kan, alasan mengapa kita perlu memikirkan tentang Kanonisasi Alkitab adalah:
1.      Tidak ada satupun sistem kepercayaan di dunia yang tidak memiliki standard. Sebagai orang kristen, adalah wajib bagi kita untuk memahami standard apakah yang kita pakai untuk menentukan sebuah kebenaran?
2.      Kitab-kitab apa saja yang seharusnya kita percayai sebagai standard kebenaran tersebut?
3.      Mengapa kitab-kitab tersebut kita pilih untuk kita percayai, dan bukan kitab yang lain?
4.      Apa yang kita percayai, mempengaruhi cara pandang kita terhadap Tuhan, terhadap sesama, terhadap diri sendiri dan terhadap seluruh aspek kehidupan.
5.      Apa yang kita percayai, mempengaruhi juga cara Tuhan memandang diri kita.

Berbagai pertanyaan dan kesimpulan di atas, selanjutnya akan membawa kita untuk masuk ke dalam pembahasan tentang kanonisasi Perjanjian Lama dan Kanonisasi Perjanjian Baru, yang akan kita lakukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita dengan kecintaan akan Firman-Nya. Amin. (Oleh: Izar tirta)


[1] Salah satu ciri utama dari seorang Kristen yang sudah lahir baru adalah kecenderungan hatinya yang ingin terus belajar Firman Tuhan. Sebab hal ini juga sejalan dengan keinginan hati Tuhan Yesus sendiri. Sebelum naik ke sorga, Tuhan kita meminta murid-murid-Nya untuk mengajarkan segala sesuatu yang telah diajarkan oleh diri-Nya. Panggilan setiap orang Kristen adalah panggilan untuk menjadi murid. Seseorang diselamatkan karena ia percaya, dan ciri dari orang yang percaya adalah dengan menjadi murid Kristus. Orang yang mengaku percaya tetapi tidak mau menjadi murid, sangat mungkin sebetulnya ia bukan orang yang sudah percaya.
[2] Ya, menilai kehidupan diri sendiri, bukan pertama-tama sibuk menilai kehidupan orang lain.

[3] F.F. Bruce, The Canon of Scripture (Downers Grove Illinois: InterVarsity Press, 1988), 17.

[4] From any kind of faith, tidak harus terbatas pada iman Kristen saja, tetapi bagi semua sistem kepercayaan.

[5] F.F. Bruce, The Canon of Scripture, 18.

[6] Atau prinsip-prinsip apa saja yang mengatur suatu sistem kepercayaan.

[7] F.F. Bruce, The Canon of Scripture, 17.

[8] Di dalam Kitab Kejadian, kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia seturut gambar teladan Allah. Tetapi dunia modern saat ini, telah membalikkan urutan itu. Manusialah yang menciptakan figure tentang allah dengan sesuka hati karena mereka tidak mau membaca dan memperhatikan apa yang Alkitab katakan tentang Allah yang sejati.

[9] Orang semacam ini biasa disebut sebagai orang yang skeptis. Keragu-raguan mereka pada umumnya merupakan ekspresi dari ketidakpercayaan mereka terhadap sosok Tuhan. Oleh karena itu, pada umumnya seorang skeptis juga dekat sekali dengan sifat atheist.

[10] John M. Frame, Apologetics to the Glory of God – an Introduction, (New Jersey : Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1994), 10.

[11] Istilah filosofi di sini tidak harus dipahami sebagai cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan di bangku kuliah saja. Istilah filosofi di sini termasuk cara berpikir semua orang secara umum. Seorang ibu rumah tanggapun memiliki filosofi kehidupannya sendiri.

[12] Markus 12:19-23

[13] Matius 22:23

[14] Misalnya dalam Yesaya 26:19; 2 Raja-raja 13:21; Yehezkiel 37:3. Kitab Taurat bukan sama sekali tidak membahas tentang konsep kehidupan setelah kematian. Namun pesan-pesan yang lebih eksplisit memang bukan ditemukan di dalam Taurat tetapi di dalam kitab para nabi, maupun kitab sejarah lainnya di luar lima kitab Musa (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan)

[15] Markus 12:24-27

[16] Ketegasan sikap semacam yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ini sangat asing bagi hati dan telinga orang modern yang sangat mendewa-dewakan pluralisme. Tidak sedikit orang yang kelihatannya seperti orang Kristen pun mungkin akan terkejut melihat respon Tuhan Yesus yang seperti ini sebab mimbar gereja modern dewasa ini telah sangat banyak memberi gambaran tentang Tuhan Yesus yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab.