Thursday, November 26, 2020

Sebuah perenungan dari Yohanes 3:16 dan 18

Eksposisi Yohanes 3:16 dan 18
Apakah yang dimaksud dengan "percaya" menurut Yohanes 3:16?
Orang Farisi percaya bahwa Mesias akan datang, tetapi apakah mereka akan diselamatkan?
Yohanes 3:16 adalah ayat yang sangat terkenal, tetapi apakah kita sudah benar-benar memahami ayat tersebut?
Mengapa Allah dapat mengasihi Yakub tetapi tega untuk membenci Esau?
 

Perenungan dari Yohanes 3:16 dan 18

Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal. Supaya barangsiapa percaya, mendapat hidup kekal. Tetapi barangsiapa tidak percaya, telah berada di bawah hukuman.

Begitu besarnya kasih Allah

 
Kekristenan adalah suatu sistem kepercayaan yang didasarkan pada penyataan diri Allah sendiri. Tanpa adanya Allah yang menyatakan diri kepada manusia, maka tidak ada kemungkinan bagi seorang manusia untuk dapat mengenal siapa Dia.

Allah seperti apakah yang menyatakan diri-Nya kepada manusia? Salah satu ayat Alkitab yang paling terkenal di Alkitab, yaitu Yohanes 3:16 mengatakan bahwa Allah adalah Dia yang memiliki kasih yang sangat besar.

 

 Buku: "3:16 - Angka Pengharapan"
 
Hal ini sewajarnya mendorong kita untuk merenung. Apabila kita mengikuti Allah yang memiliki kasih sedemikian besar, apakah kita sendiri sebagai pengikut-Nya juga telah menjadi seorang pribadi yang mampu mengasihi?

Memang betul, bahwa tidak ada di antara kita yang memiliki kasih yang sempurna, Tetapi apakah setidaknya kita sendiri memiliki keinginan untuk lebih mengasihi? Ataukah kita bahkan tidak terlalu memikirkan hal itu?

"Karena begitu besar kasih Allah..". ini bukan hanya suatu statement yang kosong belaka. Ini bukan sekedar suatu ayat untuk di afalkan dan ini juga bukan sekedar suatu pengetahuan teologi untuk diajarkan di ruang-ruang kelas semata.

Ini adalah sebuah undangan. Yaitu undangan dari Pencipta kita sendiri untuk menjalani hidup seperti Dia, yaitu hidup yang penuh kasih.

Biarlah kita menaruh beban ini di dalam hati kita. Dan biarlah kita bertekut lutut, berdoa dan memohon kepada Tuhan agar Dia memampukan kita untuk lebih mengasihi lagi. Mengasihi Dia, dan juga mengasihi sesama kita.
 

Dunia yang dikasihi oleh Allah

 
Ada bagian Alkitab yang mengajarkan bahwa Allah mengasihi dunia ini, seperti yang kita baca dalam Yohanes 3:16. Tetapi ada pula bagian Alkitab yang mengajarkan bahwa kita tidak boleh menjadi serupa dengan dunia (misalnya dalam Roma 12:2), bahkan ada pula perintah yang jelas-jelas melarang kita untuk mengasihi dunia ini (misalnya dalam 1 Yoh 2:15)

Mengapa Alkitab terkesan begitu simpang siur seperti ini? Apakah para penulis Alkitab seperti Yohanes ataupun Paulus adalah orang-orang yang plin plan?

Jadi sebetulnya, harus kita apakan dunia ini? Apakah harus kita benci? Ataukah harus kita kasihi, sebagaimana Bapa juga mengasihi?

Dari persoalan ini kita sadar betapa pentingnya membaca Alkitab secara keseluruhan sehingga kita dapat memahami konteks yang sedang dibicarakan oleh para penulis Alkitab. Kita tidak dapat mengambil satu ayat saja lalu memakainya untuk segala keadaan, segala kondisi, segala situasi tanpa mencoba memahami apa yang dimaksud oleh ayat tersebut.

Di dalam Alkitab, kata “dunia” memiliki setidaknya tiga pengertian:

Perngertian pertama dari kata "dunia":

“Dunia” berarti dunia material ciptaan Allah yang dapat kita lihat, kita raba, kita rasakan dengan panca indera kita. Dalam hal ini, dunia material adalah kontras dari dunia spiritual. Menurut kitab Kejadian, dunia material ini harus kita kuasai dan taklukkan demi kemuliaan Tuhan.


Pengertian kedua dari kata "dunia":

“Dunia” berarti keseluruhan ras manusia, sebagai kontras dari sebagian kelompok manusia saja. Nikodemus mengira bahwa Allah hanya mengasihi bangsa Israel saja, itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan bahwa sesungguhnya Allah mengasihi dunia ini yaitu seluruh ras manusia yang telah Ia ciptakan, entah itu orang Israel ataupun orang non-Israel.


Pengertian ketiga dari kata "dunia":

“Dunia” berarti semua prinsip, semua cara berpikir, semua cara bekerja yang berlaku di dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Dunia semacam inilah yang menurut Paulus dan Yohanes (dalam suratnya) harus dihindarkan dan tidak boleh dikasihi.

Lalu Yohanes 3:16 memakai kata "dunia" menurut pengertian yang mana?

Yohanes 3:16 yang sangat populer itu, membicarakan dunia menurut pengertian nomer 2 yang saya paparkan di atas. Menurut Tuhan Yesus, Allah mengasihi semua orang melampaui suku, melampaui bangsa, ras dan kebudayaan.

Menurut Tuhan Yesus semua bangsa di bumi ini memiliki kesempatan yang sama untuk dikasihi oleh Bapa. Itulah sebabnya sebagai orang Kristen kita pun tidak sepatutnya memelihara sikap yang rasis di dalam hati kita.

Marilah kita mulai belajar mengasihi orang lain, yang berbeda sekalipun dengan diri kita, sebab Bapa kita juga menaruh kasih terhadap mereka. Apabila kita belum dapat mengasihi mereka di dalam perbuatan, maka setidaknya marilah kita belajar untuk berdoa bagi mereka.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita untuk memiliki kasih yang demikian.

Sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal

 
Di bagian atas tadi, kita sudah merenungkan akan kasih Allah yang begitu besar. Tetapi pernahkah kita membayangkan, seberapa besarkah kasih-Nya itu? Apa bukti kongkrit dari kasih Allah yang sangat besar itu?

Sebetulnya, Allah tidak ada kewajiban untuk membuktikan kasih-Nya pada kita. Pun dari sisi kita, tidak ada kepatutan sedikitpun untuk mempertanyakan kasih-Nya itu. Sebab dari kenyataan bahwa Dia telah menciptakan diri kita beserta segala sesuatu untuk dinikmati saja, sudah merupakan suatu tanda dari kasih-Nya itu.

Tetapi Allah di dalam kasih-Nya yang begitu besar, ternyata bahkan memberi bukti yang sangat kongkrit dan jauh lebih mulia lagi. Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal bagi kita. Jika kenyataan ini tidak dapat menggetarkan hati kita, saya tidak tahu hal apa lagikah di dunia ini yang dapat menggetarkan hati kita yang keras dan dingin ini?

Pernahkah kita berada di dalam situasi dimana kita harus mengorbankan sesuatu yang berharga? Uang barangkali? Atau mobil? Atau terpaksa menjual rumah demi melunasi hutang mungkin? Bagaimana jika kita terpaksa harus melihat anak semata wayang kita mati, sebagai akibat dari hutang kita sendiri yang terlalu besar? Anggaplah kita berhutang kepada seorang mafia, lalu ketika kita tidak mampu membayar hutang itu, ia menembak mati anak kita. Apakah hati kita tidak akan hancur?

Sekarang, bagaimana jika kita harus kehilangan anak kita satu-satunya, sebagai akibat dari hutang orang lain? Bukankah realita ini terlalu sulit untuk dibayangkan dapat terjadi pada diri kita?

Tetapi sementara kita sulit untuk sekedar membayangkannya, Allah kita justru telah melakukannya bagi kita. Ia merelakan anak-Nya yang tunggal mati, sebagai akibat dari hutang dosa kita yang tidak terperikan ini.


Kasih Allah terhadap dunia bukanlah kasih yang bersifat emosional belaka. Kasih Allah kepada dunia ini adalah suatu kasih yang kongkrit. Sebab di dalam kasih-Nya itu, Allah telah memberikan sesuatu kepada dunia yang Ia kasihi itu.

Seringkali di dalam dunia kita yang telah jatuh ini, kasih dimaknai sebagai perasaan yang dalam terhadap sesuatu, atau ucapan sangat indah yang ditujukan kepada seseorang. Tetapi menurut Alkitab, kasih yang sejati adalah kasih yang memberi.

Apakah Allah pernah mengatakan bahwa Ia mengasihi kita? Ya, tentu, baca saja Yeremia 31:3 dan kita tahu bahwa Yahwe pernah berkata-kata seperti itu. Apakah kasih Allah itu adalah kasih yang mendalam? Ya, tentu, baca saja Efesus 3:18 dan kita akan tahu bahwa kasih Allah adalah kasih yang mendalam.

Tetapi kasih Allah tidak hanya berhenti di dalam perkataan dan emosi yang mendalam saja. Alkitab mengajarkan bahwa kasih Allah adalah kasih yang memberi, kasih yang berkorban, bukan demi kepentingan diri-Nya sendiri, tetapi demi kepentingan orang lain, yaitu kita orang-orang yang ditebus-Nya ini.

Menurut prinsip Alkitab, kita belum benar-benar mengasihi, jika kita belum pernah memberi sesuatu yang berharga kepada orang yang kita kasihi itu. Orang yang memberi, belum tentu merupakan orang yang mengasihi, tetapi orang yang mengasihi, pasti akan terdorong untuk memberi.

Kiranya Tuhan menolong kita untuk dapat lebih mengasihi Dia yang terlebih dahulu telah mengasihi kita.

 

Supaya barangsiapa percaya


 
Di atas sudah kita renungkan bahwa kasih Allah ditujukan kepada semua ras manusia, bukan terbatas pada satu ras saja, atau satu bangsa saja, seperti bangsa Israel misalnya, tetapi kepada semua bangsa, semua ras, suku dan golongan. Ada kesan general (umum) di dalam pesan seperti ini.

Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa semua orang di dunia pada akhirnya akan diselamatkan. Injil Yohanes dengan jelas mengajarkan bahwa ada orang-orang yang percaya dan ada pula orang yang tidak percaya.

Dan Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa hanya yang percaya kepada Sang Anak saja yang akan memperoleh hidup yang kekal. Tetapi mungkin pertanyaan yang perlu kita renungkan sekarang adalah, apa yang dimaksud dengan “percaya” dalam ayat ini?

Istilah Yunani yang dipakai untuk kata “percaya” di dalam Yohanes 3:16 adalah pisteuon, yang merupakan sebuah kata kerja present participle active.

Present participle active adalah kata kerja bentuk sekarang dan mengindikasikan suatu kegiatan yang sedang berlangsung, dilakukan secara berulang-ulang, terus menerus, kontinual.

Ada orang Kristen yang kalau ditanya, apakah kamu yakin bahwa kamu diselamatkan? Maka dia menjawab: ya saya yakin. Darimana kamu bisa yakin? Aku yakin karena dulu tahun 2000 (ini contoh saja) aku pernah angkat tangan terima Yesus masuk ke dalam hati, maka aku yakin diselamatkan.

[Baca juga: Seperti apakah iman yang sejati itu? Klik disini]

Dalam hal ini, saya tidak ingin buru-buru mengatakan bahwa cara berpikir semacam itu salah. Tapi saya ingin mengajak kita melihat kembali Yohanes 3:16 yang mengajarkan bahwa percaya kepada Yesus adalah berbicara tentang kepercayaan kita pada saat ini. Percaya kepada Yesus adalah sebuah kata kerja present tense, bukan past tense.

Mungkin dulu kita pikir kita sudah percaya, pertanyaannya adalah apakah hari ini kita masih percaya?
Mungkin dulu kita pikir kita sudah menerima Dia masuk ke dalam hati kita, pertanyaannya adalah, apakah Dia masih ada di dalam hati kita sekarang ini?
Mungkin dulu kita pikir kita sudah bertobat, pertanyaannya adalah apakah kita masih bertobat juga hari ini?

Kekristenan tidak dapat disederhanakan ke dalam formula: terima Yesus masuk dalam hati lalu tinggal tunggu mati dan kita akan pergi ke sorga. Coba renungkan, jika kekristenan isinya hanya seperti ini saja, Tuhan tidak mengirimkan 39 buku Perjanjian Lama dan 27 buku Perjanjian Baru untuk kita Baca, bukan?

Kekristenan adalah tentang hidup bersama Yesus hari lepas hari, berjalan bersama Dia seumur hidup, menyangkal diri dan memikul salib-Nya setiap hari.

Kekristenan adalah tentang present tense. (Sekarang)
Bukan past tense. (Dulu)
Bukan future tense. (Nanti)
Tetapi present tense.

Kita tahu bahwa dulu kita benar-benar percaya pada Yesus, jika hingga hari inipun kita masih percaya.
Kita tahu bahwa dulu kita benar-benar terima Dia di dalam hati, jika hingga hari inipun kita masih melihat Dia bertakhta di dalam hati kita.
Kita tahu bahwa dulu kita benar-benar bertobat, jika hingga hari inipun kita masih bertobat.

Salah seorang tokoh Reformasi Kristen yang terkenal, yaitu John Calvin, pernah menjelaskan prinsip semacam ini dengan istilah Perseverance of the Saints atau ketekunan orang-orang kudus.

Perserverance may be defined as that continuous operation of the Holy Spirit in the believer, by which the work of divine grace that is begun in the heart, is continued and brought to completion (Louis Berkhof, Systematic Theology, 607)

Keselamatan adalah sebuah anugerah. Dan kita tahu bahwa kita sudah menerima anugerah itu, apabila di dalam diri kita muncul suatu ketekunan di dalam mengikut Tuhan.

Kekristenan bukan: karena aku tekun maka aku terima anugerah.
Kerkristenan adalah: karena aku telah menerima anugerah, maka tanda bahwa aku sudah terima anugerah adalah aku kini punya kekuatan untuk bertekun.

Keselamatan adalah sebuah hidup yang baru. Dan kita tahu bahwa kita telah menerima hidup yang baru itu, apabila di dalam diri kita ada suatu pertumbuhan di dalam kerohanian.

Orang yang mengaku pernah terima Yesus di masa lampau, tetapi setelah itu tidak lagi memperhatikan jalan hidupnya bersama Tuhan, tidak lagi tekun mengikut Dia, tidak ada kerinduan untuk mendengar suara Dia, tidak ada kerinduan untuk taat, tidak muncul suatu kebencian atau kegelisahan terhadap dosa, tidak berminat sama sekali untuk sangkal diri memikul salib, sangat wajar bagi orang itu untuk mulai berpikir, apakah sebenarnya aku sudah percaya kepada Dia yang diberitakan oleh Yohanes 3:16 itu? Atau jangan-jangan selama ini aku cuma berfantasi saja tentang ayat itu atau berfantasi saja tentang Dia?

Ingatlah..
Pisteuon adalah sebuah present tense

Kiranya Tuhan berbelas kasihan menolong kita untuk percaya kepada Dia yang telah dikaruniakan Allah Bapa bagi penebusan dosa-dosa kita.
 

Memperoleh hidup kekal


 
Alkitab menjanjikan, barangsiapa percaya kepada Anak tunggal Allah, maka orang itu tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal. Ini adalah suatu janji yang besar. Ini adalah janji yang sewajarnya dapat menarik perhatian kita. Apalagi jika kita tahu bahwa bagi orang lain yang memutuskan untuk tidak percaya, bukan saja tidak akan memperoleh hidup kekal, tetapi mereka itu akan mengalami siksaan yang kekal.

Betapa kontrasnya, betapa jomplang, betapa bertolak belakangnya kondisi yang dialami oleh seseorang sebagai akibat dari kepercayaannya kepada Sang Anak Allah itu.

Alkitab tidak mengatakan barang siapa percaya akan mendapat hidup yang kekal.
Tetapi barangsiapa tidak percaya, akan mendapat hidup yang biasa-biasa saja.

Alkitab tidak berkata barang siapa percaya dapat hidup kekal.
Lalu barangsiapa tidak percaya, dapat hidup yang kurang sempurna atau kurang maksimal.

Alkitab juga tidak berkata barangsiapa percaya dapat hidup kekal.
Dan bagi yang tidak percaya hanya mendapat umur yang panjang, tetapi tidak kekal.

Tidak demikian…
Perbedaan antara yang percaya dan yang tidak percaya ternyata tidaklah sekecil itu.

Perbedaan antara yang percaya dan yang tidak percaya adalah antara mereka yang mendapat hidup kekal dan mereka yang mendapat kebinasaan kekal. Betapa jauh berbeda dan betapa amat mengerikan perbedaan tersebut, bukan?

Oleh karena itu kita dapat menyimpulkan, betapa berharganya dan betapa mahalnya karunia iman keselamatan yang Tuhan telah berikan kepada orang percaya itu, bukan? Itu sebabnya, kekristenan tidak pernah mengajarkan sebuah konsep yang disebut sebagai cheap grace (anugerah murahan).

Jika cheap maka pasti itu bukan grace.
Dan jika itu adalah grace yang sejati, maka pasti hal itu tidak cheap.

Sebab untuk memberikan grace kepada kita, Bapa telah membayar harga yang sangat-sangat mahal.
Jadi pilihannya adalah apakah ada grace (kasih karunia) atau tidak ada grace sama sekali.
Entah percaya, atau tidak percaya.
Entah hidup baru, atau tidak ada hidup baru.
Entah bertumbuh atau tidak bertumbuh sama sekali… alias mati.

[Baca juga: Orang Kristen harus bertumbuh atau mati. Klik disini]

Tidak ada kondisi yang berada tepat di tengah-tengahnya secara stabil.
Percaya sih engga, tetapi tidak percaya juga engga.
Aku sih tidak benci sama Yesus, tetapi percaya Dia sebagai Tuhan juga aku ogah..

Kita tahu, tidak ada yang seperti itu di dalam ajaran kekristenan yang sejati..
Bahkan orang yang suam-suam kuku pun akan dimuntahkan oleh Tuhan Yesus (Wahyu 3:16)

Di bagian atas tadi, saya sudah memaparkan bahwa orang yang berpikir bahwa dahulu kala pernah menerima Yesus, tetapi ternyata dalam hidupnya tidak ada relasi dengan Kristus, sangat mungkin sebetulnya memang belum mengalami kelahiran yang baru. Sebab kelahiran yang baru bukan datang tanpa tanda-tanda.

Alkitab memang tidak mengajarkan bahwa setelah lahir baru maka seorang manusia mendadak menjadi sempurna semua, pasti tidak. Akan tetapi Alkitab mengajarkan bahwa orang yang telah memiliki hidup yang baru, bukan tanpa disertai oleh tanda-tanda kelahiran yang baru tersebut.

[Baca juga: Tujuan akhir kehidupan Kristiani. Klik disini]

Kita akan membicarakan secara lebih khusus mengenai tanda-tanda orang percaya dalam tulisan-tulisan mendatang, tetapi dalam kesempatan ini yang ingin saya tekankan adalah betapa besarnya anugerah iman yang Tuhan telah berikan kepada kita.

Kita sering berpikir bahwa hadiah atau berkat dari Tuhan itu adalah ketika tadinya tidak ada pekerjaan sekarang ada pekerjaan, atau tadinya jalan kaki sekarang naik mobil, tadinya masih ngontrak rumah sekarang punya rumah sendiri.

[Baca juga: Apakah kekayaan dan kesuksesan adalah tanda diberkati Allah? Klik disini]

Tentu tidak ada yang salah melihat semua itu sebagai berkat, itu memang berkat, dan kita tentu harus bersyukur atas pemberian Tuhan yang demikian. Tetapi apakah kita menyadari bahwa berkat anugerah terbesar yang Tuhan berikan kepada kita yang sesungguhnya … adalah iman kita kepada-Nya?

Mungkin ada orang yang jadi kecewa… yaah.. cuma iman toh? Padahal aku inginnya mobil, misalnya..  Tetapi pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri, mengapa aku bisa percaya? Sementara teman-temanku yang lain sulit sekali untuk percaya? Kita tidak menjadi percaya karena kekuatan kita sendiri, melainkan karena Allah berkenan memberikan iman itu kepada kita. Inilah pemberian yang luar biasa besar bagi hidup kita.

Meskipun Yesus Kristus telah mati di kayu salib, tetapi jika Allah tidak memberikan anugerah iman kepada kita, maka kita pun tetap tidak diselamatkan, bukan? Kita tentu tidak berpikir bahwa mentang-mentang Yesus telah mati di salib, maka semua orang lalu akan diselamatkan, gak peduli apakah dia percaya atau tidak percaya, bukan?

Berkat dalam bentuk mobil, mungkin dapat menolong kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain secara lebih cepat (dan lebih nyaman), tetapi tidak bisa memindahkan kita dari alam maut kepada hidup yang kekal. Uang seberapa banyakpun, meski datangnya dari Tuhan, tidak mungkin memindahkan kita dari status dimurkai menjadi status diampuni. Hanya anugerah iman ini yang menolong kita pindah, dari kebinasaan kekal menuju kepada kehidupan kekal.

Mobil masih bisa dibeli (atau kredit dulu tidak apa jika memang perlu), tetapi tidak ada uang seberapa banyakpun yang dapat digunakan untuk membeli iman. Sebab iman adalah anugerah cuma-cuma dari Bapa kita, yang telah dibayar oleh Bapa dengan darah Anak-Nya yang tunggal.

Mari bersyukur kepada Tuhan, yang telah berbelas kasihan kepada kita, dengan memberikan kesempatan dan kemampuan untuk percaya kepada-Nya. Dan mari, tetaplah kerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar (Filipi 2:12). Soli Deo Gloria.
 

Barangsiapa tidak percaya

 
Pada umumnya kita menganggap bahwa yang dimaksud dengan orang yang tidak percaya adalah orang-orang lain yang ada di luar sana, entah mereka yang punya keyakinan berbeda, entah mereka yang atheis, tidak pernah baca Alkitab, tidak pernah datang ke gereja dan seterusnya.. dan seterusnya..

Tentu ada benarnya juga pandangan seperti itu, orang-orang semacam demikian memang biasanya termasuk kelompok orang yang tidak percaya. Tetapi kalau kita baca Alkitab lebih teliti dan lebih lengkap, ternyata persoalannya tidaklah selalu sesederhana itu.

Orang Farisi dan para ahli Taurat, bukan kelompok manusia yang tidak pernah baca Alkitab, sebaliknya, mereka justru tergolong ahli di dalam pengetahuan tentang Alkitab. Orang Farisi dan ahli Taurat bukan orang yang tidak percaya akan adanya seorang Mesias, yaitu Dia yang diurapi dan Dia yang dijanjikan oleh Allah.

Tetapi ironisnya, waktu Yesus Kristus datang ke dunia, justru kelompok Farisi dan ahli Taurat inilah yang paling gigih berjuang untuk melenyapkan Tuhan kita. Sebetulnya, apa sih persoalan mereka?

Persoalan mereka adalah, sekalipun mereka percaya akan adanya seorang Mesias, tetapi mereka terlanjur membangun sendiri konsep tentang Mesias itu seperti apa. Bagi mereka, Mesias itu adalah orang yang akan menjadi raja di Israel, Mesias adalah sosok yang akan membebaskan mereka dari penjajahan Romawi dan akan mengembalikan kejayaan dan kemakmuran kerajaan Israel sama seperti zaman nenek moyang mereka, yaitu Daud dan Salomo.

Itu sebabnya, ketika Yesus datang ke dalam kehidupan orang Farisi, dengan sosok-Nya yang sederhana, datang dari desa kecil bernama Nazareth (desa ini tidak tercatat sama sekali di PL), anak tukang kayu pula, gak punya militer, masuk Yerusalem pun dengan naik keledai, sudah begitu suka menentang mereka, menjungkirbalikan meja dagangan mereka di Bait Suci, menegor mereka sebagai keturunan iblis, mencuri simpati orang-orang Yahudi pula…

Orang Farisi jadi kesal dan mulai kebakaran jenggot. “Wah.. wah.. wah… apa-apaan ini? Kita ini kan keturunan Abraham. Kita yang pantas duduk di kursi Musa. Tapi orang ini bilang iblislah bapak kita. Kurang ajar banget! Ini pasti bukan Mesias! Ini biang rusuh namanya, mari kita lenyapkan saja orang kayak gini, daripada bikin posisi kita jadi susah.!”

Ada bahaya yang luar biasa besar jika kita membangun sendiri konsep kita tentang Mesias tanpa membuka hati dan membiarkan Sang Mesias memperkenalkan jatidiri-Nya yang sejati melalui Firman-Nya. Siapa bilang orang sekedar percaya bahwa ada Mesias saja, otomatis pasti diselamatkan? Orang Farisi percaya kok pada Mesias. Tetapi orang Farisi tidak diselamatkan karena mereka hanya mau menerima Mesias yang cocok dengan kriteria mereka saja, mereka tidak mau percaya kepada Mesias sejati yang tidak segan-segan menelanjangi kebobrokan mereka selama ini.

Bagaimana dengan kita? Mungkin selama ini kita pikir kita sudah percaya Yesus, tetapi coba renungkan, Yesus macam apa yang kita percayai? Yesus yang selalu memeluk? Yesus yang selalu menyembuhkan? Yesus yang selalu kirim uang kalau kita lagi butuh? Yesus yang selalu berbicara lembut? Yesus yang selalu cinta damai? Yesus yang selalu meluputkan kita dari persoalan? Yesus macam apa?

Alkitab memang mengajarkan bahwa Yesus adalah Pribadi yang penuh kelembutan, Ia bisa mengasihi seorang perempuan dari Samaria. Ia bisa mengampuni seorang wanita yang kedapatan berzinah. Yesus bersedia menerima kembali Petrus yang telah mengkhianati-Nya. Yesus masih mau memakai Paulus si pembunuh kejam itu sebagai rasul-Nya. Apakah Yesus berhati baik, penuh kelembutan dan penuh pengampunan? Ya, tentu saja! Tidak ada keraguan sedikitpun tentang hal itu.

Tetapi di balik kelembutan-Nya, Alkitab juga mencatat Yesus yang datang mengobrak-abrik meja-meja di pelataran Bait Allah. Bagaimana jika Dia datang lalu menjungkirbalikkan kehidupan kita yang tidak berkenan di hati-Nya? Apakah kita masih mau percaya kepada-Nya?

Yesus yang penuh kasih itu, adalah Yesus yang membentak Petrus dengan perkataan keras: Enyahlah iblis!. Bagaimana jika suatu hari Ia berbicara keras pada kita: Enyahlah kamu hai para pecinta uang. Enyahlah kamu hai pengajar palsu! Enyahlah kamu hai pemalas! Apakah kita akan bertobat? Atau justru pergi meninggalkan Dia karena tersinggung?

Yesus yang berkhotbah panjang lebar di atas bukit itu, menolak berbicara sepatah katapun kepada Herodes, walaupun Herodes menanyakan sesuatu kepada-Nya. Bagaimana jika suatu hari kita berdoa kepada-Nya dan Dia diam saja seribu bahasa? Apakah kita masih akan menaruh kepercayaan pada-Nya? Apakah kita akan introspeksi, bersabar dan tetap menantikan Dia?

Yesus yang hatinya penuh kedamaian itu, adalah Dia yang pernah berkata: “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Bagaimana jika pedang itu datang ke dalam keluarga kita, memisahkan kita yang percaya dari anggota keluarga kita yang tidak percaya? Masihkah kita akan tetap memilih Dia ketimbang keluarga kita?

Yesus yang mencintai kita dengan kasih yang kekal itu, adalah Dia yang juga pernah berkata: “Barangsiapa Ku-kasihi, dia akan Ku-tegor dan Ku-hajar.” Tidak sulit membaca kalimat seperti ini. Yang sulit adalah kalau tegoran itu diarahkan kepada diri kita. Apa yang akan kita lakukan? Bertobat? Atau malah tersinggung dan kecewa pada-Nya?

Mungkin kita sering membayangkan Yesus sebagai Sang Penyembuh segala penyakit. Tetapi pernahkah kita memikirkan, mengapa dari sejumlah besar orang sakit di kolam Betesda itu, hanya satu saja yang Ia sembuhkan? Bukankah Dia punya kuasa? Mengapa hanya satu orang yang disembuhkan? Apa ini gak keterlaluan namanya?

Bagimana jika aku juga ada di situ, terbaring sakit dan lemah tetapi Dia seperti melewatkanku begitu saja? Ketika Covid menyerang, bukan hanya orang tidak percaya yang jadi korban. Anak-anak Tuhan pun banyak yang terkena dampaknya dan bahkan meninggal. “Mengapa Engkau menyelamatkan orang lain dari penyakit tetapi tidak menyelamatkan keluargaku oh Yesus?” keluarga dari korban bisa saja bertanya seperti ini.

Ada saatnya Yesus mengirimkan malaikat untuk mengeluarkan Petrus dari penjara, tetapi ada saatnya pula, ketika Tuhan seolah diam saja ketika Petrus digiring oleh tentara Romawi untuk disalibkan. Ada saatnya Paulus luput dari berbagai bencana, tetapi ada pula waktunya ketika Tuhan tidak menahan pedang Romawi memenggal kepala Paulus.

Yesus macam apakah yang kita imani hari ini?
Apakah kita hanya mau Yesus yang memeluk, tetapi menolak Yesus yang menegor?
Apakah kita hanya mau Yesus ketika Ia memberi kita kelepasan, tetapi menolak Dia ketika persoalan kita tidak kunjung selesai?

Kita tidak bisa menerima Yesus dalam gambaran yang sepotong-sepotong, sebab jika demikian, jangan-jangan pada akhirnya kita pun jatuh ke dalam kesalahan fatal yang dihidupi oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat itu.

Sebetulnya, pemahaman orang Farisi tentang Mesias tidak sepenuhnya keliru. Sebab kita tahu bahwa Mesias memang adalah raja yang berkuasa. Tetapi karena orang Farisi menolak sosok Mesias sejati sebagaimana ditunjukkan oleh Yesus. Pada akhirnya, mereka gagal mengenal keseluruhan Pribadi Sang Mesias yang sejati itu.

Mudah sekali bagi kita untuk menilai orang dari kepercayaan lain sebagai orang yang tidak percaya, sebab mereka memang jelas-jelas bukan orang yang percaya kepada Yesus. Tetapi alangkah baiknya jika kita memakai kesempatan ini untuk bertanya pada diri sendiri: “Apakah sesungguhnya aku sendiri sudah percaya kepada Mesias sejati sesuai dengan yang diberitakan oleh Alkitab itu? Ataukah selama ini aku hanya menciptakan saja gambaran tentang Mesias yang sebetulnya berbeda dengan apa yang diberitakan oleh Alkitab?”

Kiranya Allah sumber segala anugerah berbelas kasihan menolong kita untuk mengenal Kristus yang sejati itu.
 

Telah berada di bawah hukuman

 
Charles Templeton adalah salah seorang penginjil besar yang pernah dimiliki oleh dunia kekristenan. Ia sering pergi melakukan KKR ke berbagai tempat bersama senior sekaligus sahabatnya, yaitu Pdt Billy Graham. Dan karena kedekatannya itulah, banyak orang lalu menganggap bahwa Templeton ini suatu saat akan menjadi the next Billy Graham bagi dunia kekristenan. Sungguh suatu kondisi yang sangat menggembirakan bagi kita semua, bukan?

Akan tetapi dalam perjalanan kerohaniannya, setelah kira-kira 20 tahun berkhotbah di mana-mana dan bahkan setelah menyelesaikan studi teologinya di Princeton Theological Seminary, Templeton tiba-tiba berbalik arah. Ia tidak mau lagi menjadi pengikut Kristus, dan memutuskan untuk menjadi atheist hingga akhir hayatnya. Salah satu karya tulis Templeton yang terkenal adalah sebuah buku yang berjudul “Farewell to God” (Perpisahan dengan Tuhan).

Dunia kekristenan cukup terguncang akibat peristiwa ini dan banyak orang penasaran serta bertanya-tanya; apa yang telah terjadi dengan seorang Charles Templeton?

Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh Lee Strobel, seorang jurnalis Kristen, Templeton mengungkapkan alasan mengapa ia akhirnya meninggalkan Yesus Kristus untuk selamanya. Dan jika dapat saya simpulkan dari beberapa kutipan wawancara yang saya baca, keputusan Templeton pergi dari Yesus adalah disebabkan oleh dua hal utama: problem of evil dan reliability of the Bible (Masalah Kejahatan dan Masalah Keterandalan Alkitab)

Problem of evil (Mengapa ada kejahatan/bencana di dunia ini?)
Pada suatu hari Templeton melihat sampul majalah LIFE yang memasang foto dari seorang wanita berkulit hitam yang sedang menggendong mayat bayi sambil matanya menengadah ke atas langit. Bayi itu dikabarkan mati kehausan karena daerah tempat tinggal mereka tidak turun hujan untuk jangka waktu yang lama.

Templeton sangat terpukul sekaligus marah melihat foto tersebut. Ia marah terutama kepada Tuhan. Dalam pikiran Templeton: “Tuhan macam apakah yang ada di atas sana, yang tega sekali membiarkan seorang bayi mati kehausan, padahal dengan mudahnya Tuhan Yang Mahakuasa itu dapat menurunkan hujan?”

Reliability of the Bible: (apakah Alkitab dapat dipercaya/diandalkan?)
Templeton merasa sangat-sangat terganggu dengan kisah Kejadian pasal 1 mengenai penciptaan langit dan bumi. Menurut Templeton, kisah itu sangat bodoh, sangat aneh, tidak masuk akal dan tidak patut dipercayai. Templeton jauh lebih mudah menerima Teori Darwin yang menurutnya jauh lebih masuk akal ketimbang kisah tentang Allah yang kelihatannya agak malas dan mudah lelah sehingga membutuhkan istirahat pada hari ke 7 setelah menciptakan langit dan bumi.

Persoalan yang diajukan oleh Templeton sebetulnya tidak terlalu sulit untuk dijawab, apabila kita telah mengenal Allah kita secara pribadi. Mengapa ada orang yang menolak kebaikan Allah yang begitu besar, hanya demi kesalahpahaman yang sedemikian kecil seperti ini? Mengapa ia tidak belajar Alkitab dengan sungguh-sungguh sehingga bisa memahami jawaban atas persoalan-persoalan semacam itu?

Dari peristiwa ini, kita semakin disadarkan, betapa besar perbedaan antara orang yang sudah dilahirbarukan dengan orang yang masih hidup di dalam kegelapan. Apa yang bagi kita sangat jelas karena ada terang Tuhan yang menyinari, ternyata bagi orang lain, seperti Charles Templeton misalnya, bisa sangat gelap sehingga ia tidak dapat melihat apa-apa selain kegelapan dunia dan kejahatan Allah (menurut pandangan dia).

Problem of evil atau problem of goodness?

Seharusnya kita tidak perlu dibingungkan oleh pertanyaan: mengapa di dunia ini ada kejahatan?
Pertanyaan yang lebih wajar untuk diajukan adalah: mengapa di dunia ini masih ada kebaikan?

Dunia tempat kita tinggal memang sudah dalam keadaan yang terhukum atau terkutuk oleh Tuhan sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. Ini adalah kondisi normal (default setting) dari dunia kita setelah kejatuhan tersebut. Apa yang dapat kita harapkan dari dunia yang terkutuk ini selain daripada kepedihan, kejahatan, bencana, kekacauan, kematian, kelaparan, ketidakadilan, kesepian, kekecewaan, sakit penyakit, perang dan segala macam keburukan lainnya?

Pertanyaan yang harus kita ajukan bukanlah: mengapa ada bayi yang mati kehausan?
Pertanyaan yang sewajarnya kita ajukan adalah: mengapa ada bayi di dunia ini yang masih bisa bertumbuh sehat?

Orang yang bertanya mengapa ada bayi yang mati kehausan, cenderung akan menyalahkan Tuhan.
Tetapi orang yang bertanya mengapa ada bayi yang masih bisa bertumbuh sehat, akan lebih mudah untuk bersyukur kepada Tuhan.

Cara kita mempertanyakan kehidupan, cukup menggambarkan seperti apa kondisi kerohanian kita di hadapan Allah.

Seorang bapa gereja yang sangat berpengaruh, yaitu Agustinus, suatu kali pernah ditanya:
Mengapa bapak percaya kepada Allah yang bisa mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau? Allah macam apa itu, yang tega-teganya membenci Esau?

Pertanyaan semacam ini diajukan bukan karena orang yang bertanya itu kepingin tahu atau ingin sekali mengenal Allah. Orang yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam ini biasanya hanya bermaksud men-diskreditkan karakter Allah dan menjadikan hal itu sebagai alasan bagi dia untuk tidak mau datang dan percaya kepada-Nya.

Agustinus segera menjawab:
Sebetulnya saya sendiri tidak heran mengapa Allah membenci Esau.
Yang justru membuat saya heran adalah, mengapa Allah bisa mengasihi Yakub?

Hanya orang-orang yang hatinya telah diterangi oleh pengenalan akan Kristus melalui Alkitab yang dapat melihat keadaan dunia ini dari sudut pandang yang benar. Agustinus tidak ayal lagi adalah seorang tokoh Kristen yang sangat memahami Alkitab, sehingga jawaban yang disampaikan pun sesuai dengan isi hati Tuhan yang tertuang di dalam Alkitab tersebut.

Dunia kita adalah dunia yang telah berada dibawah hukuman Ilahi. Jadi kalau ada seorang bayi yang mati kehausan seperti yang dilihat oleh Templeton, seharusnya ia tidak menyalahkan Tuhan. Seharusnya ia mempertanyakan dirinya sendiri, sudah berapa banyak bayi di dunia ini yang ia tolong? Seharusnya ia mempertanyakan karakter manusia, mengapa manusia begitu dingin hatinya sehingga gagal menolong begitu banyak manusia yang juga terkena bencana kekeringan di berbagai tempat? Seharusnya ia menelpon majalah Life dan bertanya apa yang dilakukan oleh fotografer majalah tersebut setelah mengambil gambar si ibu yang malang? Apakah ia sudah memberi minum? Agar ibunya tidak turut mati?

Segala kekacauan di dunia ini bukan pertama-tama diciptakan oleh Allah. Sebab pada mulanya Allah menciptakan segala sesuatu itu dalam keadaan baik. Manusialah yang memberontak, dan kita manusialah yang kemudian menerima konsekuensinya.

Manusia yang mempersalahkan Tuhan atas segala kerusakan di alam semesta ini tidak ayal lagi adalah orang-orang yang belum ditebus, atau mungkin pula dia adalah orang yang sudah ditebus namun karena kelemahannya ia jatuh kembali ke dalam dosa. Jika kita mengenal seseorang yang demikian, biarlah kita berdoa untuk dia agar ia tidak tenggelam semakin jauh di dalam kesalahannya tersebut.

Biarlah kita mengingat perkataan Tuhan Yesus terhadap dunia yang tidak percaya ini:
Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat.

Orang-orang seperti Templeton, yang menyalahkan Tuhan atas kekacauan dunia ini, tidak punya alasan lagi untuk berdalih (mempersalahkan Tuhan) sebab terang telah datang ke dalam dunia. Yesus sudah melakukan sesuatu untuk dunia yang hancur dan kehausan ini. Yang jadi persoalan adalah manusia lebih menyukai kegelapan hati mereka daripada terang Firman Kristus, sebab jauh di dalam lubuk hati mereka yang gelap itu, mereka memang mencintai kejahatan, bukan mencari kebenaran. Mereka hanya pura-pura bertanya dimanakah Tuhan? Sebab jika Tuhan akhirnya menyatakan diripun, mereka tetap tidak mau datang kepada-Nya. Mereka hanya pura-pura bertanya: apa kehendak Tuhan? Sebab jika Tuhan menyatakan kehendak-Nya pun, mereka tetap tidak mau taat.

Berbahagialah kita yang oleh kebaikan Allah boleh tetap percaya kepada kasih dan kuasa Kristus melalui berita Injil, sekalipun saat ini kita masih tinggal di dalam dunia yang telah berada di bawah hukuman Allah karena dosa.

Kiranya Tuhan menolong kita menemukan orang-orang yang masih hidup di dalam kegelapan itu, untuk kemudian dibawa keluar menuju terang Kristus yang sangat mulia itu melalui Injil yang membebaskan. Amin. 
   

Thursday, June 18, 2020

Arti penting Alkitab Perjanjian Lama bagi Yesus Kristus

Kanonisasi Alkitab – Perjanjian Lama
Serie tulisan: Kanonisasi Alkitab



Kanonisasi Alkitab


Arti penting Alkitab
bagi kehidupan Pribadi Yesus Kristus

Amat disayangkan apabila ada orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus Kristus, tetapi tidak memiliki kedekatan dengan Alkitab. Ajaran Alkitab menjadi sesuatu yang asing, jarang dibaca, jarang dipelajari dan jarang direnungkan. [1] Ini adalah suatu kenyataan yang sangat absurd sekali, sebab Yesus Kristus sendiri justru merupakan seorang Pribadi yang sangat dekat dengan ajaran Alkitab. Bagaimana mungkin seseorang dapat ingin menjadi pengikut-Nya tetapi malah tidak mau menjalani cara hidup yang serupa dengan Dia? [Baca juga: Bagaimana kumpulan kitab Perjanjian Lama terbentuk? Klik disini.]

Alkitab Perjanjian Lama adalah Alkitab yang dibaca oleh Tuhan Yesus pada waktu Tuhan kita turun ke bumi sekitar 2000-an tahun yang lalu. Alkitab Perjanjian Lama sebagaimana yang kita kenal saat ini, sudah tersedia pada waktu itu dan Tuhan Yesus bahkan terlihat seringkali memakai Alkitab Perjanjian Lama tersebut sebagai dasar di dalam pengajaran, dasar di dalam berperilaku dan dasar untuk melawan cobaan dari si iblis.

Sejak masih kecil, Tuhan Yesus sudah memiliki kegemaran terhadap Kitab Suci. Lukas mencatat sebuah peristiwa ketika pada usia dua belas tahun, Tuhan kita pergi ke Yerusalem bersama kedua orang tua-Nya pada waktu hari raya Paskah. Segalanya berjalan lancar selama masa perayaan sedang berlangsung, namun setelah perayaan tersebut berakhir, ternyata kedua orang tua Tuhan Yesus tidak sadar bahwa Anak mereka itu tidak pulang bersama-sama dengan mereka. Lalu Lukas mencatat:

Sesudah tiga hari mereka menemukan Dia dalam Bait Allah; Ia sedang duduk di tengah-tengah alim ulama, sambil mendengarkan mereka dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada mereka. Dan semua orang yang mendengar Dia sangat heran akan kecerdasan-Nya dan segala jawab yang diberikan-Nya. [2]

Tuhan Yesus memang adalah Allah yang menjadi Manusia. Namun di dalam keadaan-Nya sebagai Manusia, Tuhan Yesus tetap harus belajar sebagaimana layaknya anak-anak lain belajar. Kecerdasan yang dimiliki oleh Tuhan kita bukanlah hasil instant yang Ia miliki begitu saja “mentang-mentang Dia adalah Allah.” [Baca juga: Mengapa Tuhan Yesus rela menjadi Manusia? Klik disini]

Segala kecerdasan itu diperoleh karena dua hal: ketertarikan yang sangat besar terhadap Kitab Suci dan ketekunan di dalam belajar mulai dari Tuhan kita masih kanak-kanak hingga menjadi pria dewasa. Hal itu tercermin di dalam perkataan Lukas tentang Tuhan Yesus di masa pertumbuhan-Nya:

Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.[3]

Apabila anak-anak di zaman kita tidak memiliki kecerdasan seperti Tuhan Yesus dalam hal pemahaman Alkitab, kita tidak dapat berkata: Terang aja Tuhan Yesus pintar dalam soal Alkitab, Dia Allah sih. Ucapan seperti ini, sama sekali berbeda dengan pesan yang ingin disampaikan oleh Kitab Lukas. [Baca juga: Kisah Yesus sejak lahir hingga beranjak dewasa. Klik disini]

Sebab sekalipun Yesus Kristus adalah Allah, tetapi kitab Lukas justru lebih cenderung menyoroti sosok Kristus dari natur ke-Manusia-an-Nya [4] yaitu sebagai manusia yang belajar. Perhatikan kata-kata Lukas tentang Tuhan kita yang makin bertambah hikmat-Nya. Sebagai seorang Manusia, Mesias kita tidak mendadak memiliki hikmat yang sempurna semenjak masih anak-anak. Sebagai seorang Manusia, Mesias kita itupun mengizinkan diri-Nya bertambah di dalam hikmat sama seperti anak manusia lainnya.

Tuhan Yesus sangat cerdas karena hati-Nya memang sudah melekat kepada Firman. Ia mengasihi Firman Tuhan dan seumur hidup-Nya di dunia, perkataan Allah di dalam Perjanjian Lama senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari diri-Nya.

Maka sekali lagi, sungguh menyedihkan apabila di zaman sekarang masih ada orang-orang yang kelihatannya seperti pengikut Kristus tetapi justru tidak mendasarkan kehidupannya, keyakinannya, cara berpikirnya di atas ajaran Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, bukan? Sedangkan Yesus Kristus sendiri yang adalah Allah, ternyata sangat memperhatikan apa yang dikatakan oleh Kitab Suci Perjanjian Lama yang tersedia bagi-Nya pada waktu itu.

Wajah kekristenan dewasa ini tidak jarang diwarnai dengan orang-orang yang sangat antusias terhadap hal-hal yang bersifat mistis, penampakan-penampakan, berita-berita heboh tentang apa yang akan terjadi di masa depan dan berbagai gegap gempita spiritual yang tidak disertai dukungan Alkitabiah yang memadai.

Orang menjadi sangat tertarik untuk mendengar kesaksian si A atau si B yang mengaku pernah diajak Tuhan ke sorga ataupun ke neraka. Tetapi tidak ada suatu sensitivitas sedikitpun dari para pendengar ini untuk memeriksa apakah hal-hal yang demikian itu sesuai dengan ajaran Alkitab ataukah tidak? Mereka suka mendengar kisah-kisah luarbiasa tentang keadaan sorga atau keadaan neraka, tetapi mereka bahkan tidak peduli untuk sejenak memeriksa apakah yang mereka dengar itu ada dukungan Alkitabiahnya atau tidak.

Kondisi seperti ini sangat mirip dengan kondisi yang dituliskan di dalam kitab Hakim-hakim:

Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri. [5]

“Pada zaman itu tidak ada raja,” kata penulis kitab Hakim-Hakim.  Sungguh ironis perkataan tersebut. Allah adalah Sang Raja, tetapi orang Israel menganggap sepi Sang Raja dan memilih jalan hidupnya sendiri. [Baca juga: Kerinduan mengenal Yesus. Klik disini]

Meskipun Yesus Kristus adalah Sang Raja yang telah menyatakan diri-Nya melalui Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sangat memprihatinkan apabila kita para pengikut-Nya lebih memilih untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan anggapan kita sendiri saja, tanpa sungguh-sungguh memeriksa apa yang Alkitab katakan tentang hal itu. Semoga tulisan ini mengingatkan kita untuk kembali ke jalan yang telah ditunjukkan oleh Yesus, Tuhan kita yang Mahamulia itu.


Arti penting Alkitab
bagi kehidupan pelayanan Yesus Kristus

Pertama:
Yesus Kristus tahu dengan pasti
bahwa Perjanjian Lama berbicara tentang Dia

Dalam suatu peristiwa setelah Tuhan kita disalibkan, ada dua orang murid-Nya yang merasa kecewa dan bingung dalam menyikapi peristiwa penyaliban tersebut.

Seperti murid lainnya, mereka berpikir bahwa Yesus Kristus akan tampil sebagai penyelamat bangsa yang akan mengalahkan Romawi dan mengembalikan kejayaan Israel seperti pada masa Daud dan Salomo dahulu kala.

Kematian Yesus Kristus di atas salib sulit dilihat sebagai tanda kemenangan di mata siapapun pada saat itu. Dari mulut mereka sendiri terucap kata-kata:

Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi. [6]

Sulit untuk tidak menangkap kesan kecewa di dalam kata-kata mereka, bukan? Tetapi bagaimanakah kira-kira Tuhan Yesus akan menolong dua orang murid yang salah mengerti ini? Lukas mencatat:

Lalu Ia berkata kepada mereka: "Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?" Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. [7]

Adakalanya kita berpikir bahwa iman kepercayaan seorang manusia akan bertumbuh apabila orang itu melihat penampakan spiritual ataupun melihat mukjizat.

Itu sebabnya ada orang-orang yang rela pergi ke sana ke mari karena ingin melihat penampakan-penampakan spiritual [8] ataupun mukjizat tersebut. Tetapi tulisan Lukas dalam peristiwa Emaus ini mengingatkan kita bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan isi hati Tuhan. Mengapa?

Sebab selama perjalanan ke Emaus itu, Tuhan Yesus memiliki kesempatan yang sangat besar untuk menampakkan diri-Nya kepada para murid tersebut untuk membuat mereka percaya bahwa Ia telah bangkit, tetapi hal itu justru tidak dilakukan oleh Tuhan kita.

Sebaliknya Tuhan kita memilih untuk menjelaskan segala sesuatu tentang diri-Nya dengan memakai catatan Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi. Sungguh, banyak dari kita yang mungkin kurang puas dengan hal ini atau mungkin kita kurang suka mendengar hal ini, kita berharap Tuhan Yesus menampakkan diri-Nya di hadapan murid-murid Emaus, kita berharap Yesus mendemostrasikan mukjizat-mukjizat hebat agar orang-orang Emaus ini percaya. Tetapi sekali lagi tidak demikian yang dilakukan oleh Tuhan Yesus.

Tuhan Yesus tahu siapa diri-Nya dan Dia memilih untuk menjelaskan diri-Nya itu melalui Kitab Suci, bukan melalui penampakan akan wajah-Nya, bukan pula melalui demonstrasi mukjizat apapun. Kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa inilah cara yang dipilih Tuhan untuk menumbuhkan iman seseorang kepada-Nya.

Jika kita adalah pengikut Tuhan Yesus, dapatkah setidaknya kita menghormati pilihan Tuhan kita itu dan berhenti memaksa Dia untuk bekerja sesuai dengan fantasi kita yang liar dan berdosa?

Yesus Kristus memulai pelayanan-Nya
dengan mengutip Perjanjian Lama

Berbeda dengan pandangan orang Saduki yang percaya hanya kitab Musa saja yang merupakan Kitab Suci, Tuhan Yesus justru mengakui bahwa kitab nabi Yesaya pun merupakan Kitab Suci.

Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab. Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis: "Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya. Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: "Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya." [9]

Yesus Kristus melihat diri-Nya sebagai penggenap dari nubuat nabi Yesaya. Artinya, di mata Tuhan kita, kitab nabi Yesaya yang telah dituliskan lama sebelum Ia lahir ke dunia adalah kitab yang sungguh-sungguh merupakan kitab yang suci.

Yesus Kristus mengakhiri pelayanan-Nya
juga dengan mengutip Perjanjian Lama

Di dalam masa-masa akhir pelayanan-Nya di dunia, sebelum Ia naik ke sorga, Tuhan Yesus mendekati para murid-Nya lalu berkata: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi.” [10]

Bagi kita ucapan ini mungkin terkesan cukup netral atau umum-umum saja. Tetapi bagi orang di zaman itu, perkataan Yesus ini tidak mungkin tidak akan membawa mereka untuk mengingat akan perkataan Daniel sekitar 600 tahun sebelumnya. Daniel berkata:

Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah. (Dan 7:13,14)

Tuhan Yesus ingat tulisan Daniel dan melihat diri-Nya sebagai penggenapan dari apa yang pernah dilihat oleh Daniel tersebut. Bagi Tuhan Yesus, kitab Daniel bukan kitab sembarangan melainkan Firman Allah sendiri.


Akhir Kata

Tidak dapat dipungkiri bahwa bagi Yesus Kristus, Alkitab yaitu Perjanjian Lama yang kita kenal saat ini, merupakan suatu buku yang sangat penting sekali. Ia mempelajarinya sejak kecil, memakainya untuk kehidupan sehari-hari, memakainya dalam pelayanan pertama, memakainya untuk peperangan rohani, menggunakannya untuk mengajar, mengutipnya untuk melawan ajaran sesat, mengulanginya lagi untuk menolong murid yang resah dan akhirnya mengutipnya lagi di akhir pelayanan di dunia.

Sungguh luarbiasa bahwa dalam kapasitas-Nya sebagai Pribadi kedua Allah Tritunggal, Tuhan Yesus tidak datang dengan otoritas atau ucapan-ucapan-Nya sendiri melainkan Ia datang dengan otoritas dari Bapa-Nya dan memperkatakan segala sesuatu yang telah diperkatakan melalui Alkitab Firman Tuhan.

Dapat dikatakan, tidak ada aspek di dalam kehidupan Kristus Yesus dimana Ia tidak mengkaitkan segalanya dengan Firman Tuhan, yaitu Alkitab Perjanjian Lama yang kita miliki pula saat ini. Oleh karena itu, jika Dia memang adalah Guru kita, maka sudah sepantasnya apabila kita juga memiliki sikap hati yang sama seperti Dia terhadap Alkitab, bukan?

Dalam tulisan ini kita sudah melihat bahwa Yesus Kristus mengenal Kitab Suci sebagai kitab-kitab Musa dan segala tulisan para nabi. Dalam tulisan mendatang kita akan melihat secara lebih terperinci, Alkitab Perjanjian Lama macam apakah yang dikenal secara utuh oleh Tuhan kita maupun orang-orang yang hidup sezaman dengan Dia.

Tuhan mengasihi kita semua.



Catatan
[1] Dan sudah pasti jarang pula dilakukan. Sebab bagaimana mungkin seseorang mau melakukan ajaran Alkitab, jika orang itu bahkan tidak tahu apa yang sebetulnya diajarkan oleh Alkitab, bukan? Pada akhirnya yang terjadi adalah orang membuat fantasi-fantasi sendiri tentang suatu kehidupan yang mereka pikir diajarkan oleh Alkitab.
 
[2] Lukas 2:46-47

[3] Lukas 2:52

[4] Yesus Kristus adalah Pribadi yang memiliki dua natur, natur Ilahi dan natur manusia. Di dalam natur Ilahi-Nya Tuhan Yesus adalah Allah yang Mahatahu, tetapi di dalam natur manusia-Nya Tuhan Yesus tetap mengalami pertumbuhan secara alami baik secara fisik maupun secara pengetahuan sama seperti semua anak lain di dunia. Betapa besar kasih Yesus Kristus pada kita sehingga Ia yang tak terbatas, mengizinkan diri-Nya untuk sementara waktu dikungkung atau dihambat oleh keterbatasan manusiawi.
 
[5] Hakim-Hakim 17:6

[6] Lukas 24:21

[7] Lukas 24:25-27

[8] Baik penampakan dari sosok yang diduga adalah Yesus Kristus atau sosok yang diduga sebagai Maria atau Petrus, atau Paulus atau siapapun.

[9] Lukas 4:16-21

[10] Matius 28:18

Thursday, June 11, 2020

Mengapa kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan Kanonisasi Alkitab?

Serie tulisan: Kanonisasi Alkitab



Kanonisasi Alkitab


“Kanonisasi Alkitab,” kata-kata ini mungkin terdengar cukup asing bagi telinga kebanyakan orang Kristen, bukan? Mungkin hanya orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Teologi saja yang barangkali sudah akrab dengan istilah ini. Tetapi apa itu Kanonisasi Alkitab dan mengapa kita orang awam juga perlu untuk membicarakannya? [Baca juga: Bagaimana kumpulan kitab Perjanjian Lama terbentuk? Klik disini.]

Menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh adalah menjadi orang yang senantiasa merenungkan dan mempelajari Firman Tuhan serta mengkaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. [1] Justru salah satu ciri dari orang yang sudah lahir baru adalah kecenderungannya yang besar untuk memikirkan apa yang Tuhan katakan melalui Firman-Nya serta menilai kehidupannya sendiri [2] berdasarkan Firman itu dari hari ke sehari.

Dan ketika seseorang mulai serius memikirkan Firman, maka cepat atau lambat mereka akan berhadapan dengan beberapa pertanyaan di bawah ini:

Mengapa orang Kristen hanya berpedoman pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru saja?
Mengapa orang Kristen tidak bisa menerima kitab-kitab yang tergabung di dalam kumpulan kitab yang disebut sebagai Deuterokanonika atau Apocrypa ?
Bagaimana dengan Injil Barnabas, Injil Maria, Injil Thomas dan Injil Yudas, apakah kita dapat menerima injil-injil tersebut sebagai Kitab Suci kita?
Di dunia ini ada begitu banyak kitab yang berbicara tentang hal-hal yang spiritual. Apakah semua kitab yang membahas persoalan spiritual harus kita terima begitu saja sebagai kitab suci kita?

Ketika kita mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang dipaparkan di atas, maka mau tidak mau kita harus masuk ke dalam pembahasan tentang Kanonisasi Alkitab tersebut.


Apakah yang dimaksud dengan Kanonisasi Alkitab?

Frederick Fyvie Bruce (atau yang lebih dikenal sebagai F.F. Bruce) adalah salah seorang pakar dalam bidang Kanonisasi Alkitab yang dimiliki oleh dunia kekristenan. Dalam bukunya, Bruce menulis:

The word “canon” has a simple meaning. It means the list of books contained in scripture, the list of books recognized as worthy to be included in the sacred writings of a worshipping community.[3]

Menurut F.F. Bruce, istilah Kanon (atau Canon) itu sendiri berarti daftar buku-buku yang terdapat di dalam kitab suci, yaitu daftar dari buku-buku yang dianggap pantas untuk dimasukkan sebagai tulisan yang suci oleh suatu komunitas para penyembah Yang Ilahi.

Istilah “Kanon” sendiri berasal dari bahasa Yunani yang sama artinya dengan sebatang tongkat (a rod). Yaitu sebatang tongkat berbentuk lurus yang biasa dipakai sebagai tongkat pengukur. Di zaman kita, apalagi di Indonesia, mungkin akan lebih mudah jika kita membayangkan apa yang dimaksudkan oleh istilah “Kanon” itu sebagai sebatang penggaris yang biasa dibawa-bawa oleh anak sekolah ataupun sebatang tongkat kayu pengukur yang biasa dipakai oleh para penjual bahan kain.

Jadi secara prinsip, melalui kata Kanon ini, sebuah komunitas penganut kepercayaan tertentu[4] membuat suatu daftar atau ukuran terhadap kitab-kitab mana saja yang dapat mereka terima, dan kitab-kitab mana saja yang tidak dapat mereka terima sebagai dasar bagi iman kepercayaan mereka.

Pada bagian ini, Bruce melihat bahwa proses kanonisasi bukan semata-mata milik dunia kekristenan saja, melainkan merupakan hal yang secara natural pasti akan dilakukan oleh setiap komunitas yang menyembah suatu entitas ke-Ilahi-an. Di dalam agama apapun, di dalam kepercayaan apapun, para penyembah itu memiliki semacam ukuran atau daftar dari kitab-kitab apa saja atau tulisan-tulisan apa saja yang dianggap merupakan tulisan suci yang mempunyai kekuatan untuk mengatur kehidupan orang yang percaya.

Dan tentang hal itu, Bruce mengambil contoh dari kanonisasi kitab lain di luar kekristenan, sebagaimana yang ia katakan di bawah ini:

Many religions have sacred books associated with their traditions or their worship. There was a once-famous series of volumes entitled “The Sacred Books of the East.”[5]

The Sacred Books of the East? Kita bahkan baru pertama kali mendengar hal itu dan kita tidak tahu kumpulan buku apa sajakah itu? Tetapi di sini F.F. Bruce mengatakan bahwa untuk kumpulan buku-buku “tidak populer” semacam itupun orang membuat kanonisasinya sedemikian rupa agar siapapun dapat mendefinisikan kepercayaan apa yang diajarkan kepada penganutnya melalui buku-buku tersebut.

Dari F.F Bruce kita dapat belajar bahwa apa yang kita percayai, dapat didefinisikan dari buku-buku apa saja[6] yang kita jadikan pegangan bagi kepercayaan itu.

Meskipun istilah “Kanonisasi” bukan semata-mata milik dunia kekristenan, tetapi di dalam tulisan ini saya akan membatasi fokus pembahasan kita pada Kanonisasi Alkitab saja. Dan tentang hal itu, F.F. Bruce mengatakan: In a Christian context, we might define the word as “the list of the writings acknowledged by the Church as documents of the divine revelation.[7]

Jadi berdasarkan definisi yang diberikan oleh Bruce di atas, Kanonisasi Alkitab dapat kita pahami sebagai: Daftar tulisan yang diakui oleh gereja sebagai dokumen yang merupakan penyataan Ilahi (God Revelation)


Apakah arti penting dari proses Kanonisasi Alkitab?

Baik pada zaman sebelum Yesus Kristus hadir di dunia, maupun setelah Tuhan kita yang mulia itu naik kembali ke sorga, ada sangat banyak tulisan-tulisan yang memuat hal-hal yang spiritual. Meskipun demikian, hal itu tidaklah berarti bahwa setiap tulisan yang bersifat spiritual itu pasti dapat diakui sebagai Kitab Suci oleh umat yang percaya kepada Yesus Kristus.

Sebab kekeliruan kita dalam menerima atau menolak suatu kitab ke dalam daftar Kitab Suci akan memberi pengaruh yang besar sekali terhadap bagaimana kita mengenal pikiran, perasaan dan kehedak Allah bagi manusia.

Untuk itulah maka dibutuhkan suatu perhatian terhadap kitab-kitab mana saja yang diakui sebagai Kitab Suci dan kitab-kitab mana saja yang tidak termasuk. Tanpa adanya pemahaman yang mendasar tentang hal ini, maka pembicaraan tentang Allah, manusia, seluruh ciptaan dan segala hubungan yang tercipta di antaranya akan mustahil terjadi.

Sebab ketika kita bicara tentang Allah misalnya, maka kita perlu bertanya; Allah macam apa yang sedang kita bicarakan? Dan ketika kita mengatakan Allah seperti ini atau Allah seperti itu, maka pertanyaan selanjutnya adalah: darimana kita tahu bahwa Allah adalah seperti ini dan bukan seperti itu?

Tanpa adanya suatu kejelasan dari apa yang menjadi dasar bagi iman seseorang, maka pembicaraan tentang iman akan menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Atau, apabila kita mencoba memaksakan hal tersebut, maka hasilnya adalah suatu gambaran yang sangat karikatural dan tidak riil dari sosok Allah yang kita imani tersebut. Setiap orang dapat membuat sendiri figure Allah sesuka hatinya tanpa ada ukuran apapun yang memberitahukan di manakah letak batasan-batasannya.[8]

Jika melalui F.F. Bruce, kita belajar bahwa setiap iman dan kepercayaan memiliki aturan dasar bagi terbentuknya kepercayaan itu. Maka sekarang kita akan melihat bahwa bahkan seorang yang senantiasa ragu-ragu [9] pun harus memiliki seperangkat aturan dasar di dalam cara berpikir mereka untuk membawa mereka pada kesimpulan bahwa segala sesuatu harus diragu-ragukan.

John M.Frame, seorang profesor Apologetika dan Teologi di Westminster Theological Seminary, melukiskan keadaan tersebut di atas dengan cara yang sangat gamblang, yaitu sebagai berikut :

Every philosophy must use its own standards in proving its conclusions; otherwise, it is simply inconsistent. Those who believe that human reason is the ultimate authority (rationalists) must presuppose the authority of reason in their arguments for rationalism. Those who believe in the ultimacy of sense experience must presuppose it in arguing for their philosophy (empiricism). And skeptics must be skeptical of their own skepticism. The point is that when one is arguing for an ultimate criterion whether Scripture, the Koran, human reason, sensation, or whatever, one must use criteria compatibel with that conclusion.[10]

Sebagaimana dapat kita baca dalam tulisan di atas, John M.Frame mengatakan bahwa setiap filosofi [11] harus memakai suatu standard untuk membuktikan kesimpulan mereka.

Atau kalau boleh saya parafrasakan; setiap sistem kepercayaan harus memiliki ukurannya sendiri atau standard-nya sendiri atau kriterianya sendiri untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak ada satupun sistem kepercayaan di dunia ini yang tidak memiliki standard-nya sendiri, bahkan seorang skeptis pun harus berpedoman pada skepticism itu sendiri agar ia dapat tetap menjadi seorang skeptis.

Apa yang dipercayai oleh seseorang sangat menentukan bagaimana ia akan menjalani kehidupan ini. Ketika seseorang mengatakan bahwa ia percaya kepada ajaran Kitab Suci, maka secara natural orang itu harus tahu apa yang ia maksudkan dengan Kitab Suci, sebab kitab apa yang ia percayai sangat menentukan jenis kehidupan apa yang akan ia jalani.

Seorang yang diajar untuk membunuh orang kafir, sudah pasti akan menjalani hidup dengan cara yang berbeda dengan seorang lain yang diajar untuk mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Orang yang diajar bahwa dirinya adalah hasil evolusi binatang kera, akan memiliki cara pandang kehidupan yang berbeda dengan orang yang diajar bahwa dirinya dicipta menurut gambar dan teladan Allah.

Seorang yang yakin bahwa ada penghakiman setelah kematian, pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan orang lain yang merasa yakin bahwa tidak ada apa-apa yang perlu dihadapi setelah kematian datang menjemput. Orang yang diajar bahwa manusia terbagi-bagi ke dalam berbagai kasta pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan orang yang diajar bahwa manusia pada dasarnya adalah sama di hadapan Sang Pencipta.

Orang yang diajar bahwa manusia adalah allah bagi dirinya sendiri, sudah pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan manusia yang diajar untuk menyembah kepada Sang Pencipta. Orang yang diajar bahwa kita harus berbuat baik untuk masuk ke sorga, pasti akan memiliki sikap hati yang berbeda di hadapan Allah dibandingkan dengan orang yang diajar bahwa keselamatan adalah sebuah anugerah.

Pada suatu waktu, saya pernah terlibat pembicaraan dengan orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan keyakinan saya. Kawan saya itu adalah orang yang percaya bahwa apabila seorang manusia meninggal dunia, maka ia akan dilahirkan kembali ke dalam dunia ini. Ia tidak percaya bahwa manusia akan dihakimi oleh Sosok Ilahi yang tampil sebagai Hakim bagi seluruh umat manusia.

Kepada dia saya berkata: seandainya ternyata kepercayaanmu yang benar, maka apa susahnya bagi saya? Saya juga akan terlahir kembali seperti kamu. Kamu tidak jahat, dan saya juga tidak jahat, kita sama-sama punya peluang untuk kehidupan yang baik atau setidaknya sama dengan kehidupan yang kita kenal sekarang ini.

Tetapi bagaimana jika kepercayaan saya yang akan menjadi kenyataan? Maka engkau akan mati tanpa Kristus dan akan menghadapi penghakiman kekal setelah engkau mati. Tetapi saya, saya akan mati di dalam Kristus dan saya akan menikmati relasi kekal dengan Yesus Kristus yang telah saya percayai dan telah saya layani semenjak saya masih hidup di dunia ini.

Point saya adalah, apa yang kita percayai itu, bukan hanya akan mempengaruhi hidup kita di masa sekarang ini, tetapi juga akan menentukan kehidupan kita setelah kematian. Sebab, apa yang kita percayai itu ternyata sangat berpengaruh pula pada bagaimana sikap Tuhan terhadap kita.


Kisah Tuhan Yesus dan orang Saduki

Pada suatu hari, Tuhan Yesus berjumpa dengan orang-orang Saduki yang menantang Dia dengan suatu kasus seperti ini:

19"Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati dengan meninggalkan seorang isteri tetapi tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. 20Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan dan mati dengan tidak meninggalkan keturunan. 21Lalu yang kedua juga mengawini dia dan mati dengan tidak meninggalkan keturunan. Demikian juga dengan yang ketiga. 22Dan begitulah seterusnya, ketujuhnya tidak meninggalkan keturunan. Dan akhirnya, sesudah mereka semua, perempuan itupun mati. 23Pada hari kebangkitan, bilamana mereka bangkit, siapakah yang menjadi suami perempuan itu? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia."[12]

Mengapa orang Saduki menantang Tuhan Yesus dengan cara seperti ini? Orang Saduki adalah orang yang hanya percaya kepada lima Kitab Taurat saja dan mereka tidak menganggap Kitab Para Nabi sebagai Kitab Suci. Sebagai akibat dari penolakan tersebut, orang Saduki tidak pernah mempercayai adanya kebangkitan dari orang mati.[13] Padahal justru di luar Kitab Taurat itulah ajaran tentang kebangkitan diberikan dengan jelas dan gamblang.[14]

Bagaimana kira-kira respon Tuhan Yesus terhadap orang Saduki yang gagal mengenal jalan pikiran Tuhan sebagai akibat penolakan mereka kepada Kitab Suci? Apakah Tuhan Yesus akan berkata dengan lembut seperti ini?:

Oh...saudara-Ku, Aku maklum kalau kalian tidak percaya pada kebangkitan, sebab kalian hanya percaya kepada kitab Musa saja, bukan? Okelah, tidak masalah, sebab yang terutama bagi-Ku adalah kalian sudah memiliki suatu iman kepercayaan tertentu, tidak jadi soal apa isi dari iman kepercayaan kalian itu, yang penting hiduplah saja sesuai dengan apapun yang kalian percayai tersebut.

Begitukah jawaban Tuhan Yesus? Tuhan Yesus yang telah kita ciptakan sendiri di dalam pikiran kita yang berdosa mungkin akan berkata seperti itu. Tetapi Tuhan Yesus yang dinyatakan oleh Alkitab ternyata menjawab seperti ini:

Jawab Yesus kepada mereka: "Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah. Sebab apabila orang bangkit dari antara orang mati, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga. Dan juga tentang bangkitnya orang-orang mati, tidakkah kamu baca dalam kitab Musa, dalam ceritera tentang semak duri, bagaimana bunyi firman Allah kepadanya: Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Kamu benar-benar sesat !"[15]

Tuhan Yesus menghardik dan memarahi orang Saduki karena mereka tidak mengerti Kitab Suci serta tidak memahami kuasa Allah. Penolakan mereka terhadap Kitab Para Nabi telah berbuahkan kesalahan yang fatal di dalam pengenalan mereka terhadap Allah yang sejati. Dan untuk perbuatan itu, Tuhan Yesus berkata: Kamu benar-benar sesat.[16] Bukan satu kali saja Yesus Kristus berkata seperti itu, tetapi sampai dua kali, menandakan suatu ekspresi kegusaran yang ada di dalam hati Tuhan kita.

Orang Saduki menuai kemarahan Tuhan Yesus karena mereka menolak untuk mempercayai kitab-kitab di luar Lima Kitab Musa sebagai Kitab Suci. Akibat penolakan tersebut, mereka gagal mengenal Pribadi Tuhan yang sejati. Dari sini kita belajar bahwa kekeliruan kita dalam memahami kitab-kitab mana yang termasuk dalam Kitab Suci dan kitab-kitab mana yang bukan termasuk Kitab Suci ternyata bukan saja berakibat kesalahan di dalam bertindak, tetapi juga dapat berakibat timbulnya kemarahan Tuhan terhadap kita.


Akhir kata

Jadi kalau boleh saya summary-kan, alasan mengapa kita perlu memikirkan tentang Kanonisasi Alkitab adalah:
1.      Tidak ada satupun sistem kepercayaan di dunia yang tidak memiliki standard. Sebagai orang kristen, adalah wajib bagi kita untuk memahami standard apakah yang kita pakai untuk menentukan sebuah kebenaran?
2.      Kitab-kitab apa saja yang seharusnya kita percayai sebagai standard kebenaran tersebut?
3.      Mengapa kitab-kitab tersebut kita pilih untuk kita percayai, dan bukan kitab yang lain?
4.      Apa yang kita percayai, mempengaruhi cara pandang kita terhadap Tuhan, terhadap sesama, terhadap diri sendiri dan terhadap seluruh aspek kehidupan.
5.      Apa yang kita percayai, mempengaruhi juga cara Tuhan memandang diri kita.

Berbagai pertanyaan dan kesimpulan di atas, selanjutnya akan membawa kita untuk masuk ke dalam pembahasan tentang kanonisasi Perjanjian Lama dan Kanonisasi Perjanjian Baru, yang akan kita lakukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita dengan kecintaan akan Firman-Nya. Amin. (Oleh: Izar tirta)


[1] Salah satu ciri utama dari seorang Kristen yang sudah lahir baru adalah kecenderungan hatinya yang ingin terus belajar Firman Tuhan. Sebab hal ini juga sejalan dengan keinginan hati Tuhan Yesus sendiri. Sebelum naik ke sorga, Tuhan kita meminta murid-murid-Nya untuk mengajarkan segala sesuatu yang telah diajarkan oleh diri-Nya. Panggilan setiap orang Kristen adalah panggilan untuk menjadi murid. Seseorang diselamatkan karena ia percaya, dan ciri dari orang yang percaya adalah dengan menjadi murid Kristus. Orang yang mengaku percaya tetapi tidak mau menjadi murid, sangat mungkin sebetulnya ia bukan orang yang sudah percaya.
[2] Ya, menilai kehidupan diri sendiri, bukan pertama-tama sibuk menilai kehidupan orang lain.

[3] F.F. Bruce, The Canon of Scripture (Downers Grove Illinois: InterVarsity Press, 1988), 17.

[4] From any kind of faith, tidak harus terbatas pada iman Kristen saja, tetapi bagi semua sistem kepercayaan.

[5] F.F. Bruce, The Canon of Scripture, 18.

[6] Atau prinsip-prinsip apa saja yang mengatur suatu sistem kepercayaan.

[7] F.F. Bruce, The Canon of Scripture, 17.

[8] Di dalam Kitab Kejadian, kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia seturut gambar teladan Allah. Tetapi dunia modern saat ini, telah membalikkan urutan itu. Manusialah yang menciptakan figure tentang allah dengan sesuka hati karena mereka tidak mau membaca dan memperhatikan apa yang Alkitab katakan tentang Allah yang sejati.

[9] Orang semacam ini biasa disebut sebagai orang yang skeptis. Keragu-raguan mereka pada umumnya merupakan ekspresi dari ketidakpercayaan mereka terhadap sosok Tuhan. Oleh karena itu, pada umumnya seorang skeptis juga dekat sekali dengan sifat atheist.

[10] John M. Frame, Apologetics to the Glory of God – an Introduction, (New Jersey : Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1994), 10.

[11] Istilah filosofi di sini tidak harus dipahami sebagai cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan di bangku kuliah saja. Istilah filosofi di sini termasuk cara berpikir semua orang secara umum. Seorang ibu rumah tanggapun memiliki filosofi kehidupannya sendiri.

[12] Markus 12:19-23

[13] Matius 22:23

[14] Misalnya dalam Yesaya 26:19; 2 Raja-raja 13:21; Yehezkiel 37:3. Kitab Taurat bukan sama sekali tidak membahas tentang konsep kehidupan setelah kematian. Namun pesan-pesan yang lebih eksplisit memang bukan ditemukan di dalam Taurat tetapi di dalam kitab para nabi, maupun kitab sejarah lainnya di luar lima kitab Musa (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan)

[15] Markus 12:24-27

[16] Ketegasan sikap semacam yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ini sangat asing bagi hati dan telinga orang modern yang sangat mendewa-dewakan pluralisme. Tidak sedikit orang yang kelihatannya seperti orang Kristen pun mungkin akan terkejut melihat respon Tuhan Yesus yang seperti ini sebab mimbar gereja modern dewasa ini telah sangat banyak memberi gambaran tentang Tuhan Yesus yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab.