Thursday, March 30, 2023

Bagaimana mendapat kasih dan penghargaan dari Allah (Renungan Amsal 3:3-4)

"Janganlah kiranya kasih dan setia meninggalkan engkau! Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu, maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan dalam pandangan Allah serta manusia." (Amsal 3:3,4)


Bagaimana mendapat kasih dan penghargaan dari Allah

Janganlah kasih dan setia meninggalkan engkau:

Penulis Amsal menasihati anaknya dengan tegas tentang apa yang tidak boleh (jangan) dilakukan. Peringatan ini penting karena secara natural, umat Tuhan pun bisa kehilangan kasih dan setia mereka kepada Tuhan maupun kepada sesama.

 


Rekomendasi Buku:
"Yesus - Allah Yang Mengenal Nama Anda"
Klik disini.

Kitab Wahyu mencatat bahwa Tuhan Yesus menegur jemaat Efesus karena mereka kehilangan kasih yang mula-mula. Sepanjang Perjanjian Lama pun, dilukiskan betapa seringnya umat Allah berubah setia pada Allah yang mahapengasih dan panjang sabar itu. Artinya, kehilangan kasih dan setia adalah ancaman yang sungguh-sungguh nyata bagi setiap orang Kristen. [Baca juga: Renungan Amsal 3:5-6. Klik disini.]

Sehingga nasihat penulis Amsal ini sangat relevan dan patut ditaati oleh setiap orang percaya. Tidak jarang orang Kristen yang berasumsi saja bahwa jika orang sudah mengaku percaya maka otomatis dia akan menaruh kasih pada Tuhan dan pasti akan setia selamanya. Padahal tidak demikian adanya.

Orang percaya sejati tahu bahwa mereka bertanggungjawab pula untuk memelihara kasih dan kesetiaan mereka pada Tuhan. Ajaran seperti ini bukan hanya muncul di Perjanjian Lama saja.Tetapi sesuai pula dengan ajaran Perjanjian Baru.

Injil Yohanes memakai present tense untuk kata "percaya" dalam Yohanes 3:16, yang berarti bahwa sebuah kepercayaan kepada Tuhan merupakan suatu tanggungjawab yang harus dilakukan dan dikerjakan setiap hari. Orang Kristen wajib memelihara imannya, wajib memelihara kasihnya dan wajib pula memelihara kesetiaannya. Sambil bergantung sepenuhnya pada kekuatan dan pertolongan dari Allah.


Kalungkanlah itu pada lehermu, tuliskanlah itu pada loh hatimu

Kalungkan pada leher merupakan kegiatan yang bersifat eksternal, outward, terjadi di luar tubuh. Mengacu pada perbuatan nyata yang dapat dilihat oleh orang lain. Sedangkan, menulis pada loh hati merupakan kegiatan yang terjadi di dalam diri seseorang. Bersifat internal, inward. Mengacu pada perubahan hati yang disebabkan karena kesetiaan dalam menghayati ajaran Hikmat.

Dua-duanya sangat penting. Dua-duanya perlu diusahakan. Orang Kristen bukan hanya mementingkan perbuatan baik. Tetapi juga mementingkan perubahan hati. Disisi lain, orang tidak bisa hanya mengaku percaya, mengaku ada perubahan hati dan lain sebagainya. Tetapi tidak ada perubahan nyata di dalam perbuatan dan tindakan sehari-hari.

 

maka engkau akan mendapat kasih dan penghargaan

 

Jika dibaca sepintas, ada kesan bahwa kasih dan penghargaan Allah itu bersyarat. Jika manusia berhasil melakukan ayat 1 sampai ayat 3, maka ayat 4 menjadi milik mereka. Tetapi berpikir seperti ini tentu saja bertentangan dengan ajaran Alkitab yang lain. Yaitu bahwa kita diselamatkan berdasarkan anugerah Allah melalui kesempurnaan korban Kristus. Dan bukan karena kekuatan kita sendiri untuk melakukan tuntutan dan perintah Amsal ini.

Oleh karena itu, secara prinsip kita percaya bahwa apabila manusia dapat melakukan ayat 1 hingga ayat 3 pun maka itu pasti merupakan pertolongan dan anugerah dari Tuhan. Dan pasti bukan dari kekuatannya sendiri. Orang yang mendapat anugerah dari Tuhan adalah orang yang ditolong-Nya untuk melakukan ayat 1 - 3. Dan jika seorang manusia memperlihatkan tanda-tanda yang demikian, maka niscaya orang itu akan mendapat kasih dan penghargaan dari Allah dan manusia.

Secara khusus ayat dalam Amsal 3:4 ini dikaitkan dengan kehidupan Tuhan Yesus yang dicatat oleh Lukas. Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmat-Nya dan besar-Nya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia. (Lukas 2:52)

Membaca tulisan Lukas, kita tidak dapat berkata: "Tentu saja Tuhan Yesus seperti itu, Dia adalah Tuhan?" Mengapa tidak dapat? Sebab kedatangan Tuhan Yesus adalah untuk menjadi teladan pula bagi kita. Ia adalah contoh dari sosok Manusia yang sempurna. Sehingga, sekalipun kita sendiri bukan orang yang sempurna. Kita tetap bertanggungjawab untuk berusaha hidup seperti Dia. Apabila kita mengaku percaya dan ingin dipersatukan dengan Kristus. Orang percaya sejati pasti akan dipersatukan dengan Kristus. Orang yang dipersatukan dengan Kristus, pasti akan berusaha meneladani Dia. Meskipun kita ini tidak sempurna.


dalam pandangan Allah serta manusia

 

Kita lebih mudah memahami jika disebutkan "dalam pandangan Allah" Sebab hanya Allah yang dapat menilai manusia sampai jauh ke dalam hati. Tetapi disini dikatakan "serta manusia"

Mengapa pandangan manusia seakan-akan juga penting di sini? Alkitab mengajarkan bahwa aspek vertikal dan aspek horisontal merupakan dua hal yang saling berkaitan, bahkan tidak terpisahkan. Tuhan Yesus pernah mengajarkan Hukum yang utama dan terutama: Matius 22:37-40 37 Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. 38 Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. 39 Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. 40 Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi."

Perhatikan bahwa hukum kedua dianggap sama dengan hukum pertama. Tentu bukan berarti bahwa Allah dipersamakan nilainya dengan manusia. Melainkan bahwa mengasihi Allah sama pentingnya dengan mengasihi manusia. Mengasihi Allah tidak mungkin dipisahkan dengan mengasihi manusia.

Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, tetapi tidak mengasihi manusia, seperti gerakan radikalisme agama yang kerap menghancurkan manusia lain yang tidak sepemahaman misalnya.

Sebaliknya pun kita tidak dapat mengatakan bahwa kita mengasihi manusia, seperti gerakan humanisme misalnya,  tetapi tidak menaruh kepedulian pada Allah.

Rasul Yohanes juga pernah mengatakan prinsip yang serupa. Jikalau seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. (1 Yoh 4:20)

Dalam Amsal, pandangan Allah diparalelkan dengan pandangan sesama, sesuai dengan prinsip yang disampaikan oleh Tuhan Yesus maupun rasul Yohanes. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita sedang melakukan kebaikan bagi Allah, sementara semua orang disekitar kita merasa terganggu. Kita tidak dapat mengatakan bahwa kita setia melakukan perintah Allah. Jika melakukan kewajiban kita pada atasan saja kita tidak setia.

Tetapi hal ini memang tidak bisa diterapkan dalam segala situasi. Ada kalanya kita harus menyatakan kebenaran sekalipun orang di sekitar kita mungkin akan membenci kita. Tetapi bukan sudut pandang seperti itu yang sedang disoroti oleh Amsal ini. Barangkali hal itu adalah dalam kasus atau kondisi khusus dimana manusia harus memilih antara perkenanan Tuhan dan manusia.

Tentu saja dalam hal itu kita harus memilih perkenanan Tuhan. Tetapi yang disorot oleh Amsal ini adalah dalam konteks kehidupan normal sehari-hari. Sebagai orang yang memiliki iman yang sungguh kepada Tuhan, sewajarnya jika orang itu menyenangkan hati Tuhan. Sekaligus menjadi berkat bagi manusia. Kiranya Tuhan Yesus mengampuni dan menolong kita. Amin.

 

Pertanyaan:

Kasih dan kesetiaan siapakah yang akan pergi meninggalkan kita?
Apakah kasih dan kesetiaan manusia dapat hilang?
Apa artinya kalungkan dileher, tuliskan di loh hati?
Bagaimana kita menuliskan kasih dan kesetiaan itu di dalam loh hati kita?
Apakah kasih dan penghargaan Allah itu bersyarat sifatnya?

Baca juga: Tuhan Yesus adalah Raja. Klik disini.



Saturday, March 25, 2023

Tuhan mau kita selalu mencintai ajaran dan perintah-Nya

Renungan dari Amsal 3:1-2
Apakah salah satu tanda atau ciri dari orang yang sudah diselamatkan?

 

 

Amsal 3:1  Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku,

Hai anakku

Sekali lagi tentang pesan kepada anak. Atau orang yang lebih muda. Atau orang-orang yang berjiwa muda, yaitu mereka yang jiwanya mau menerima pembentukan dari Hikmat Allah. Di sisi lain, kita juga melihat jiwa dari penulis Amsal yang bersifat kebapakan. Jiwa yang mengarahkan, jiwa yang menggembalakan, seperti nasihat Tuhan Yesus kepada Petrus. Orang yang sekaligus tahu apa yang harus digembalakan.

 


Rekomendasi Buku:
"Anugerah Yang Hilang"

Klik disini.

Ada orang yang tahu kebenaran, tetapi tidak ada dorongan untuk menggembalakan. Ada orang yang suka dengan Mazmur 23, tapi tidak sadar akan Yohanes 17. Tapi di sisi lain, ada juga orang yang banyak bicara, banyak kasih nasihat, berhasrat ngajar orang lain, kasi tau orang lain gini gini. Tapi ia sendiri tidak mengenal kebenaran yang sejati. Alkitab mendorong kita untuk mengenal kebenaran, sekaligus mewartakan kebenaran itu pada orang lain.

Janganlah engkau melupakan ajaranku

Penulis Amsal yakin bahwa ajarannya itu penting. Dan ia mengingatkan anaknya, atau siapapun yang dibimbingnya. Untuk tidak melupakan ajarannya.

Sebagai orang tua, atau yang lebih tua, atau yang berperan sebagai pembimbing kepada anak-anak yang lebih muda. Kita sendiri harus menghargai ajaran yang telah kita terima. Ajaran tersebut harus menyatu dengan hidup kita, bukan teori semata. Tetapi sesuatu yang telah kita lakukan, kita alami, kita hidupi dan kita gumulkan. Sehingga kita tahu persis betapa pentingnya ajaran tersebut. Sehingga ada dorongan yang kuat untuk meneruskannya atau mengajarkannya kepada orang lain. Agar mereka pun mengerti, mengalami, menghidupi dan melakukan dalam kehidupan mereka. Sehingga mereka tidak turut binasa bersama dunia yang tidak peduli pada Hikmat dan Pribadi Tuhan itu.

Kita sendiri harus yakin bahwa ajaran yang kita terima dari Tuhan adalah ajaran yang menghidupkan, yang menyelamatkan, yang meluputkan kita dari binasa. Jika keyakinan seperti ini tidak ada, maka mustahil kita juga dapat meyakinkan generasi di bawah kita untuk tidak melupakan ajaran Tuhan.

Apa saja yang telah kita turunkan kepada generasi di bawah kita? Cerita tentang betapa hebatnya diri kita? Atau betapa hebatnya Tuhan? Cerita tentang kebudayaan manusia? Atau tentang ajaran Tuhan? Cerita tentang kesuksesan dan kemuliaan dunia? Atau cerita tentang salib Kristus.

Atau jangan-jangan tidak ada apapun yang disampaikan. Karena kita pikir yang penting anak sudah diberi uang, dibelikan rumah, mobil, ini itu. Jika seperti ini, kita jauh dari Amsal, jauh dari Firman Tuhan.

Biarlah hatimu memelihara perintahku

Jika frasa pertama lebih mengacu pada pikiran, maka frasa kedua ini mengacu pada hati (perpaduan antara pikiran dan perasaan). Ada aspek emosi yang dilibatkan. Ada kesukaan terhadap perintah Ilahi.

Jadi bukan hanya hafal atau ingat akan sesuatu, tetapi juga menyukai apa yang diingat itu. Seseorang bisa mengingat sesuatu, tidak melupakan sesuatu hal. Atau bahkan hafal dengan tepat apa yang menjadi perintah Allah. Tetapi jika hal itu tidak masuk ke dalam hati, serta tidak mengubah arah hati seseorang, maka sia-sialah apa yang dihafalkannya itu. Segala ayat hafalan itu akhirnya hanya sekedar menjadi ayat hafalan. Atau bahkan lebih celaka lagi menjadi semacam penanda dari kebesaran seseorang. Alasan untuk melihat diri sendiri sebagai orang yang lebih tinggi, atau lebih baik atau lebih suci daripada orang lain.

Orang Farisi adalah contoh yang tepat untuk hal ini. Mereka hafal peraturan agama. Mereka tidak melupakan ajaran hikmat. Tetapi apabila diperhatikan, sepertinya ajaran hikmat itu tidak sampai menyentuh hati mereka sendiri. Hidup mereka tidak diubahkan. Mereka jadi merasa benar sendiri (self-righteous) dan memandang orang lain lebih rendah dari mereka.

11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; 12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. (Lukas 18:11-12).

Secara ajaran, orang Farisi itu benar bahwa seseorang harus menjauhkan diri dari perampokan (mengingini milik orang lain), kelaliman dan perzinahan. Tetapi pengetahuan itu rupanya di terima dengan hati yang salah. Bukannya ia sadar bahwa dirinya tidak luput dari dosa, ia malah melihat dirinya sangat istimewa, tidak sama seperti semua orang lain. Dan bahkan memandang orang lain sebagai orang yang tidak layak. Hati orang ini belum diubahkan.

Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Matius 5:20)

Hidup keagamaan seperti apakah yang lebih benar daripada ahli Taurat dan orang Farisi? Bukankah mereka sudah sangat baik dan taat dalam menjalankan perintah Taurat. Bukankah mereka tidak melupakan ajaran hikmat?

Hidup keagamaan yang lebih baik adalah hidup keagamaan yang melibatkan hati. Yaitu hati yang mengasihi. Dan jika mengacu pada konteks Matius 5:20-48, maka yang dimaksud dengan mengasihi adalah mengasihi semua orang sama seperti Bapa yang menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi semua orang.

Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. (Matius 5:45)

Seseorang mungkin hafal akan perintah mengasihi. Tetapi untuk benar-benar bisa mengasihi seperti Bapa, dibutuhkan hati yang telah diubahkan. Sehingga mampu memelihara perintah itu dengan kerelaan dan hati yang bersuka cita. Hanya orang yang sudah lahir baru yang tidak akan melupakan ajaran Tuhan dan mau memelihara perintah Allah di dalam hatinya.

 

Amsal 3:2  karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu.

Panjang umur

Kalau kita menilai panjang umur sebagai usia kehidupan selama di dunia ini saja,  agaknya kita akan mendapati kesulitan, sebab orang-orang percaya yang sejati pun tidak senantiasa memiliki umur yang panjang. Akan tetapi kalau kita melihat hal ini sebagai kehidupan yang kekal, mungkin kita akan dapat lebih mengerti. Orang yang tidak melupakan ajaran Tuhan dan yang hatinya memelihara perintah Tuhan, adalah ciri-ciri dari orang yang sudah lahir baru, dan mereka itu memang memiliki hidup yang kekal.

Lanjut usia

Jika melihat ke dalam bahasa Indonesia saja, agak sulit memahami perbedaan panjang umur dan lanjut usia. Bukankah keduanya sama saja? Tetapi seringkali di dalam Alkitab, lanjut usia dikaitkan dengan kebenaran, kebijaksanaan dan kesucian.

Sejahtera

Kesejahteraan dapat dikaitkan dengan materi, dapat pula dikaitkan dengan kedamaian, ketenangan, hati yang lapang, tidak dibebani oleh rasa bersalah, ada keselarasan dengan kehendak Tuhan. Tidak selalu salah apabila mengkaitkan kesejahteraan dengan kekayaan materi, karena Alkitab juga mengajarkan bahwa Allah bisa mewujudkan berkat-Nya melalui kelimpahan materi.

Yang salah adalah, jika manusia memandang bahwa materi merupakan satu-satunya berkat yang ditunggu, dimintakan, dicari manusia, ketika manusia berhubungan dengan Allah. Yang keliru adalah, ketika hati manusia belum diubahkan oleh Allah, sehingga belum mampu memelihara perintah Allah dengan hati yang mengasihi. Sehingga ketika melihat berkat materi, maka hatinya serta merta langsung melekat kepada materi tersebut.

Orang yang pikirannya tidak lupa pada ajaran Hikmat dan hatinya setia memelihara perintah Allah, maka kepada orang itu akan ditambahkan usia, kebijaksanaan dan kesejahteraan. Tanpa pikiran dan hati yang melekat pada ajaran dan perintah Allah, maka panjang umur pun tidak akan membawa kemuliaan bagi Tuhan. Usia lanjut pun tidak akan menjadi berkat bagi siapa-siapa. Kesejahteraan pun akhirnya membawa manusia itu pada kehancuran, yaitu menyembah mamon dan mengejar kesenangan dunia yang sia-sia.

Bagi kitab Amsal, pengajaran dan pendidikan akan Firman Tuhan merupakan sesuatu yang sangat penting. Orang yang tidak peduli pada ajaran dan perintah Tuhan, menurut Amsal adalah orang yang akan binasa. Dan prinsip ini bukan hanya ada di dalam Perjanjian Lama, di dalam Perjanjian Baru pun prinsip yang disampaikan di dalam Amsal diulang kembali. Dalam Surat kepada Timotius, Paulus mengatakan:

Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. (2 Timotius 3:16)

Kalau kita tidak peduli pada pengajaran dan perkataan Firman Tuhan, bagaimana kita dapat disebut sebagai pengikut Yesus Kristus? Kiranya Tuhan menolong kita. Amin.

 

Thursday, March 23, 2023

Tuhan Yesus adalah Raja

Mengenal Injil Matius


Injil Matius merupakan Injil yang ditempatkan di bagian paling awal dari seluruh kitab Perjanjian Baru, sekalipun para ahli cukup sepakat bahwa dari keseluruhan Injil, bukan Matius yang pertama kali ditulis, melainkan Injil Markus. Tetapi hal ini tidak perlu membingungkan kita, sebab Alkitab kita memang tidak disusun secara kronologis. Kita menerima urutan kitab-kitab Perjanjian Baru secara konsesus, yang prosesnya sudah terjadi pada masa yang lalu, pada abad-abad awal kekristenan mulai berkembang. Yang terpenting bagi kita adalah bagaimana membacanya dengan tekun serta mempelajarinya baik-baik agar semakin hari kita dàpat semakin mengenal Tuhan kita. [Baca Juga: Mengapa Injil Matius banyak bicara tentang Hukum Taurat? Klik disini.]

Injil Matius sendiri mengetengahkan sebuah pesan pada pembacanya, bahwa Yesus Kristus adalah seorang Raja yang sangat berkuasa, paling berkuasa bahkan. Dalam bagian akhir dari Injilnya, Matius mencatat perkataan Tuhan Yesus: "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. (Matius 28:18). Sedangkan pada bagian awal Injilnya, Matius mengkaitkan nama Tuhan Yesus dengan Daud yang adalah raja yang sangat dikenal dan dijunjung tinggi oleh orang Israel.

Uraian Matius pada bagian awal Injil yang berisi Silsilah Yesus Kristus, semakin menguatkan dugaan kita bahwa Matius memang menampilkan sosok Tuhan Yesus dalam kapasitas-Nya sebagai Raja.


Buku "Penjelasan Ringkas Kitab Injil Matius"
Klik disini.


Mengapa Matius memberi penekanan pada berita bahwa Tuhan Yesus adalah Raja?

Sejujurnya kita tidak pernah tahu persis tentang alasan Tuhan mengapa melakukan sesuatu hal dan bukan melakukan yang lain. Kita hanya dapat menduga alasan Tuhan melakukan tindakan tersebut, dari sudut pandang kita yang terbatas sebagai manusia. Dan dugaan semacam itupun baru dapat kita lakukan, setelah segala sesuatunya terjadi. Kita hanya bisa menduga saja dan mencoba merekonstruksi apa yang terjadi. Tetapi kita tidak dapat selalu menyelami latar belakang tindakan Tuhan tersebut.

Yang kita tahu adalah bahwa Matius banyak memberi penekanan pada Taurat di dalam Injilnya dan banyak mengetengahkan sosok Kristus sebagai Raja, lebih daripada penulis Injil yang lain. Dan yang kita tahu atau duga juga adalah bahwa setiap penulis Injil diberi penekanan atau bobot yang berbeda di dalam tulisan mereka tentang Yesus Kristus. 

Markus menulis tentang Tuhan Yesus dalam sosok-Nya sebagai Hamba. Lukas menulis Tuhan Yesus sambil memberi penekanan bahwa Ia adalah Manusia sejati. Sedangkan Yohanes menulis dari sudut pandang Tuhan Yesus sebagai Mesias yang Ilahi. Yang kita tidak tahu adalah mengapa si A menulis tentang ini dan mengapa si B menulis tentang itu. Sebab semua itu hanya ada di dalam keputusan Tuhan yang berdaulat.

Sangat mungkin alasan Matius menampilkan sosok Kristus sebagai Raja adalah karena isi dari Injil Matius yang banyak membicarakan tentang Taurat, yaitu hukum atau perintah yang harus diperhatikan oleh umat. Dengan menampilkan sosok Kristus sebagai Raja, Matius ingin pembacanya bukan saja mengerti apa yang diperintahkan, tetapi juga sadar bahwa mereka harus melakukan perintah tersebut. Sebab perintah-perintah yang disampaikan kepada umat, adalah perintah dari Sang Raja, penguasa yang berotoritas. Tidak sepatutnya umat mengabaikan perintah Kristus, karena Ia adalah Sang Raja. Melawan perintah Raja adalah sebuah pemberontakan yang dapat membawa umat pembaca kepada konsekuensi mengerikan.

Kondisi umat Kristen pada masa Injil Matius dituliskan

Dari tema tulisan yang membicarakan tentang perintah dan tentang sosok Kristus sebagai Raja, kita dapat menduga bahwa pada zaman Matius menulis, banyak orang yang mengaku sebagai orang percaya, tetapi tidak peduli pada perintah-perintah yang disampaikan oleh Tuhan melalui kitab-kitab Perjanjian Lama. Dugaan seperti ini cukup sesuai dengan akal sehat, sebab fungsi dari Firman Tuhan memang adalah untuk mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran (2 Tim 3:16).

Tidak keliru jika kita menduga bahwa umat di jaman Matius sudah kurang memperhatikan perintah Tuhan, sebab isi dari injil Matius sendiri banyak berbicara tentang perintah Tuhan dan banyak menekankan tentang perbuatan orang Kristen, yaitu apa yang orang Kristen lakukan semasa hidupnya.

Mungkin kita terkejut menyadari bahwa ini adalah sebuah kitab yang dikenal sebagai Injil Matius, sebuah kitab Injil di antara 3 kitab Injl lainnya, dan merupakan sebuah kitab Perjanjian Baru di antara 26 kitab Perjanjian Baru lainnya, tetapi Injil Matius justru banyak berbicara tentang perbuatan orang Kristen, tentang melakukan perintah Tuhan dan tentang menjadi murid Kristus. Injil Matius justru tidak berbicara banyak tentang iman percaya sebagaimana yang dibicarakan oleh Yohanes ataupun oleh Paulus dalam Surat Galatia misalnya. Atau sebagaimana yang kita harapkan seharusnya ada dalam sebuah kitab Injil.

Mengapa kita mungkin terkejut dengan hal ini? Sebab tidak sedikit orang Kristen yang menyangka bahwa satu-satunya hal yang terpenting di dalam hidup kekristenan adalah bahwa mereka telah percaya pada Yesus Kristus. Padahal Alkitab sendiri berbicara dengan begitu banyak aspek yang harus diperhatikan ketika kita mengaku sebagai orang percaya.

Percaya kepada Yesus Kristus, mengandung arti yang dalam, kompleks serta disertai dengan tanda-tanda yang jelas yang menyertai kepercayaan tersebut. Percaya kepada Yesus Kristus berkaitan dengan komitmen, relasi, konsekuensi dan perubahan yang nyata di dalam hidup orang percaya tersebut. Percaya pada Yesus Kristus, tidak sama dengan percaya bahwa bumi itu bulat atau percaya bahwa dinosaurus pernah ada.

Kalau kita baca Injil Matius, agaknya Matius sendiri melihat bahwa orang Kristen pada waktu itu telah salah kaprah terhadap arti percaya. Mereka mengaku percaya pada Kristus, tetapi mereka tidak peduli lagi pada hukum Taurat. Mereka tidak lagi memperhatikan bagaimana hidup mereka menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan iman mereka, bagaimana mengenal Kristus secara Pribadi, bagaimana melakukan kehendak Tuhan. Mereka tidak tahu semua itu penting karena mereka tidak lagi memperhatikan Taurat dan ajaran Tuhan. Orang Kristen pada masa itu hanya berasumsi saja tentang apa artinya menjadi percaya.

Relevansi Injil Matius bagi kita saat ini

Apa yang terjadi pada orang Kristen pada masa Injil Matius dituliskan, bisa terjadi juga pada diri kita sebagai orang Kristen di masa sekarang ini. Oleh karena itu, Injil Matius masih sangat relevan pula bagi kita hari ini.

Tidak sedikit pula orang Kristen, atau bahkan gereja yang kurang menekankan pada pengajaran Alkitabiah yang baik. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya umat Kristen awam yang memiliki pemahaman Alkitab sangat minim. Bahkan tidak sedikit pula orang Kristen yang sudah hidup bertahun-tahun sebagai warga gereja, tetapi masih memiliki pemahaman yang keliru terhadap iman mereka.

Tidak jarang kita temui orang Kristen yang mengatakan hal-hal yang sebetulnya sama sekali tidak diajarkan dalam Alkitab (bahkan dapat dikatakan justru melawan ajaran Alkitab)

Beberapa contoh ucapan populer yang keluar dari mulut orang Kristen, yang dapat menjadi tanda atau gejala bahwa orang itu sangat mungkin tidak mengerti Alkitab atau belum mengenal Tuhan, yaitu:

"Yah, pada dasarnya semua agama sama saja."
"Yesus itu sama saja dengan pendiri agama lain"
"Kita dapat berjumpa dengan Kristus di dalam kepercayaan manapun"
"Mengapa ada Tuhan yang baik, tetapi masih ada penderitaan? Dia kurang berkuasa? Atau kurang mengasihi?"
"Saya ini orang baik"
"Semua orang pada dasarnya baik."
"Yang penting dalam hidup ini, kita tidak mengganggu orang lain, itu saja cukup"
"Yang terpenting dalam hidup itu adalah kesehatan"
"Kalau orang baik padaku, aku bisa lebih baik. Tapi kalau orang jahat padaku, aku bisa lebih jahat"
"Tuhan itu mahabaik, mana mungkin Ia mengirim manusia ke Neraka?"
"Tuhan akan selalu memenuhi segala impianku, sebab Ia sangat baik"
"Kalau hidup kita lancar, sehat, kaya raya, pasti itu karena Tuhan berkenan pada kita"

Ini adalah beberapa contoh ucapan, yang secara ukuran manusia sepertinya terlihat cukup baik dan dapat diterima oleh siapapun. Akan tetapi jika kita teropong melalui sudut pandang Alkitab, tidak satupun dari perkataan itu yang benar. Hanya apabila kita tunduk pada Kristus Sang Raja, maka kita akan tekun membaca, mempelajari dan merenungkan Alkitab, sehingga kita dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Kiranya melalui renungan ini kita diingatkan bahwa orang yang beriman sejati itu, pasti ada tanda-tandanya, dan salah satu tandanya adalah kesadaran bahwa Tuhan itu Raja yang perintah-Nya harus diperhatikan dan ditaati. Tuhan Yesus memberkati.