Sunday, May 5, 2024

Mengapa Yabes lebih dimuliakan daripada saudara-saudaranya? (Serie Doa Yabes)

Mengapa Yabes lebih dimuliakan dari saudara-saudaranya?

Yabes lebih dimuliakan dari pada saudara-saudaranya; nama Yabes itu diberi ibunya kepadanya sebab katanya: "Aku telah melahirkan dia dengan kesakitan." (1 Tawarikh 4:9)


Mengapa doa Yabes menjadi sangat terkenal? Padahal itu merupakan doa yg sangat pendek? Dan bahkan nama Yabes sendiri pun sebetulnya hanya satu kali saja muncul di seluruh Alkitab.

Mengapa doa-doa seperti puji-pujian Hana misalnya kurang digali? Atau nyanyian pujian Maria contohnya? Mengapa tidak ada lagu untuk puji-pujian seperti itu? Padahal namanya jelas merupakan pujian Hana dan nyanyian pujian Maria.

Apakah karena isi dari doa Yabes yang sangat menarik, yang diam-diam telah membangkitkan hasrat kita yangbterdalam akan materi, kenyamanan dan cinta pada diri sendiri? Hanya diri kita dan Tuhan saja yang tahu tentang motivasi kita tersebut.

Tetapi jika kita kembali kepada Alkitab, kita mendapati bahwa nama Yabes hanya muncul satu kali saja, yaitu dalam 1 Tawarikh 4 ini, khususnya ayat 9 dan 10 yang membicarakan isi dari doa Yabes dan bagaimana respon Allah terhadap doa Yabes tersebut. Artinya, tidak banyak informasi yang dapat kita gali hanya berdasarkan dua ayat itu saja, sehingga kita harus berhati-hati sekali ketika ingin mengerti ayat ini, agar jangan sampai membuat penafsiran yang sesuka hati, sesuai angan-angan kita sendiri saja. 

Dalam menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang cukup minim informasi seperti Doa Yabes ini, kita harus memakai prinsip-prinsip yang sudah ada di dalam bagian-bagian lain dari Alkitab dan membandingkan dengan apa yang dikatakan dalam doa Yabes ini. Prinsip penafsiran semacam ini biasa disebut dengan istilah: Alkitab menafsirkan Alkitab.


Dalam konteks zaman apakah Kitab Tawarikh ditulis?

Tawarikh ditulis oleh Ezra, tahun 440 SM dan di dalamnya menceritakan tentang peristiwa yang terjadi pada sekitar tahun 1.000-960 SM, dan bahkan ada pula sedikit pembahasan tentang Adam. Jadi singkatnya kitab ini memulai dari Adam, lanjut pada kisah penaklukan Kanaan, pemerintahan Daud, Salomo, raja-raja dan akhirnya tentang pembuangan bangsa Israel ke Babel.

Mengapa demikian? Sebab kitab ini ditulis kepada generasi baru Israel. Ini adalah bangsa yang baru saja keluar dari pembuangan. Mereka perlu diingatkan akan sejarah bangsa mereka agar memahami jati diri mereka yang sesungguhnya.

Israel dibuang ke Babel pada 586 M, lalu pada kira-kira tahun 516 M, oleh bangsa Persia mereka diizinkan untuk kembali ke Kanaan dan membangun Bait Allah. Jadi ada sekitar 70 tahun, mereka terbuang dari hadapan Tuhan, yang ditandai dengan terpisahnya mereka dari Bait Suci.

Sekilas tentang Sejarah Bait Suci, Bait Suci adalah suatu perwakilan dari kehadiran Allah secara khusus di tengah-tengah umat-Nya. Memang Bait Allah adalah bangunan buatan manusia, tetapi bangunan tersebut dijadikan simbolisasi kehadiran Allah yang nyata, sehingga menjadi suatu elemen yang sangat penting di dalam penyembahan kepada Yahwe. Secara substansi memang kita mempercayai Allah yang Mahabesar, yang kebesaran-Nya tidak mungkin di tampung di dalam sebuah bangunan buatan manusia. Tetapi di dalam anugerah-Nya, Tuhan telah bersedia menyatakan diri-Nya secara khusus di dalam Bait tersebut.

Di dalam sejarah Alkitab, semenjak keluar dari Mesir dan mengembara di padang gurun, bangsa Israel beribadah kepada Yahwe yang menandai kehadiran-Nya melalui Kemah Suci (Keluaran 25:9). Dan bangsa Israel terus beribadah, selama kurang lebih 500 tahun, di depan Kemah Suci itu sampai Salomo mendirikan Bait Suci. Hal itu dapat kita baca dalam Alkitab, demikian: Di hadapan Kemah Suci, yakni Kemah Pertemuan, mereka melayani sebagai penyanyi sampai Salomo mendirikan rumah TUHAN di Yerusalem. Mereka melakukan tugas jabatannya sesuai dengan peraturannya (1 Tawarikh 6:32).

Pada tahun 957 SM, Salomo mendirikan Bait Suci yang pertama. Namun Bait ini kemudian dihancurkan oleh Nebukadnezar dari Babilonia pada tahun 587/586 SM dan mengangkut orang Israel ke negri Babel.

Kelak, seperti dikatakan di atas, Bait Allah ke dua dibangun kembali pada saat bangsa Israel diizinkan untuk datang kembali ke Kanaan. Pembangunan Bait Allah kedua dipimpin oleh seorang bernama Zerubabel, Alkitab mencatat demikian: Pada waktu itu mulailah Zerubabel bin Sealtiel dan Yesua bin Yozadak membangun rumah Allah yang ada di Yerusalem. Mereka didampingi dan dibantu oleh nabi-nabi Allah. (Ezra 5:2)

Bait Allah yang ada pada zaman Tuhan Yesus adalah Bait Allah kedua yang telah diperbesar, diperbaharui secara cukup masif oleh Herodes. Waktu yang dipakai oleh Herodes untuk merenovasi Bait Allah adalah 46 tahun, yaitu dari 20 SM - 26 M. Hal itu sempat dituliskan oleh rasul Yohanes demikian : Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?" (Yohanes 2:20).

Generasi baru Israel pembaca kitab Tawarikh, perlu mengetahui sejarah perbuatan Allah kepada leluhur mereka, bagaimana Allah membuang Israel, bagaimana Allah memelihara Israel dan bagaimana Allah mengembalikan mereka ke Tanah Perjanjian, agar mereka mengenal siapa Allah yang mereka sembah dan siapakah jatidiri mereka yang sebenarnya, yaitu umat pilihan Allah yang mendapat anugerah, sekaligus mendapat tugas dan tanggungjawab sebagai wakil Allah di dunia ini.

Yabes diperkirakan hidup di dalam konteks jaman hakim-hakim, yaitu sesudah bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan. Mereka diberikan tanah perjanjian, sebagai sebuah anugerah, sekaligus sambil memikul tanggungjawab, yaitu berperang melawan bangsa lain yang tidak mengenal Tuhan. Inilah tanggungjawab sebagai wakil Tuhan dalam menyatakan kesucian-Nya serta penghakiman-Nya atas bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.

Dalam konteks Hakim-hakim ada dua hal yang perlu dijaga oleh umat Tuhan, yaitu keberanian untuk melawan bangsa lain dan kesetiaan kepada Allah, agar tidak menyimpang kepada allah lain yang disembah oleh orang Kanaan.


Yabes lebih dimuliakan daripada saudara-saudaranya

Mengapa Yabes dikatakan lebih dimuliakan daripada saudara-saudaranya? Alkitab tidak memberikan penjelasan yang eksplisit tentang mengapa, tetapi dari teks-teks selanjutnya kita membaca setidaknya ada dua hal yang mau diajarkan kepada generasi baru Israel, yaitu:

  • bahwa Yabes lahir dari kesakitan.
  • bahwa Yabes berseru/berdoa pada Allah Israel.

Tetapi, apa hubungan antara kesakitan dan kemuliaan? Hidup di dunia bersama Tuhan, hal pertama yang harus kita hayati bukanlah bagaimana hidup penuh sukacita, apalagi kemuliaan ala dunia, melainkan merenungkan apa artinya berdukacita secara rohani.

Tuhan Yesus pernah berkata: Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur (Matius 5:4). Dukacita adalah emosi yang sewajarnya dimiliki oleh orang-orang yang sudah melihat kesucian Allah, melihat keberdosaan dirinya dan melihat keadaan dunia yang sedang berjalan menuju kebinasaan ini. Apabila kita tidak memiliki perasaan berduka atas kehidupan kita di dunia ini, maka agak disangsikan apakah kita juga sudah mengerti apa itu Injil Keselamatan Allah, apa itu karya keselamatan yang dikerjakan Kristus. Kematian Kristus di atas kayu salib sudah pasti bukan suatu kejadian yang pantas kita tanggapi dengan tertawa-tertawa, senyum-senyum dan apalagi berpesta. Tuhan sedang mengalami kematian, yang sebenarnya merupakan kematian kita sendiri, apakah sukacita merupakan sikap yang tepat dalam menanggapi penderitaan dan kematian Tuhan kita?

Baru setelah ada kebangkitan, ada penghiburan serta ada pengharapan di dalam Tuhan yang bangkit itulah, maka kita punya alasan untuk bersukacita.

Di dalam kitab Yesaya kita mendapati penggalan kalimat seperti ini: ..".untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung" (Yesaya 61:2). Dari kalimat tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa tanpa adanya penghayatan akan perkabungan, bagaimana mungkin akan ada penghiburan yang dari Tuhan?

Kekristenan yang hanya mengerti sukacita, gembira-gembira, senda gurau, tetapi tidak mengerti apa itu kematian di dalam Tuhan dan tidak mengerti dukacita rohani apa yang meliputi dunia, bukanlah kekristenan sejati, sebab Tuhan datang untuk menghibur yang berduka. Tetapi sebaliknya, kekristenan yang murung, sedih, marah putus asa terus menerus, juga bukan kekeristenan sejati, sebab pengharapan di dalam Tuhan bukanlah sesuatu yang sia-sia. 

Dalam Perjanjian Lama pun ada gambaran yang cukup kontras tentang kehidupan keluarga Kain dan keluarga Set. Di mana keluarga Kain diisi oleh orang-orang yang sukses, gagah perkasa, sedap dipandang, sedangkan keluarga Set justru tidak ada penyebutan apapun tentang prestasi mereka. Keluarga Kain tidak ada penghayatan akan hidup menderita, justru mereka yang membuat orang lain menderita. Keluarga Kain tidak ada penghayatan bahwa mereka berdosa, hidup di tanah yang terkutuk, sedang sebaliknya keluarga Set justru adalah keluarga yang mengerti apa itu penderitaan, apa itu kutukan dari Tuhan, sehingga mereka menantikan penghiburan dari Tuhan. Dan ketika Tuhan akhirnya memberi penghiburan, mereka pun sangat bersuka cita, sebagaimana yang dicatat oleh Alkitab demikian: 28 Setelah Lamekh hidup seratus delapan puluh dua tahun, ia memperanakkan seorang anak laki-laki, 29 dan memberi nama Nuh kepadanya, katanya: "Anak ini akan memberi kepada kita penghiburan dalam pekerjaan kita yang penuh susah payah di tanah yang telah terkutuk oleh TUHAN." (Kejadian 5:28-29). Keturunan Set, pengganti Habel, justru menghayati apa itu hidup bersusah payah dan apa artinya hidup dibawah keterkutukan.

Keluarga Kain tidak mengerti apa artinya berduka di hadapan Tuhan. Mereka tahu bagaimana sukses mengatasi masalah, bagaimana sukses mengalahkan orang lain, sukses menguasai dunia dan menjadi kaya. Sementara keluarga Set justru mengerti apa itu berduka. Dan kita (seharusnya) sudah tahu, kehidupan mana yang diperkenan oleh Tuhan, dan mana yang dikutuk oleh Tuhan, bukan?

Kita mungkin sering berduka, tetapi apa yang seringkali membuat kita berduka? Karena perekonomian yang sedang turun? Karena orang lain tidak mengerti kita? Karena tidak dihargai atau kurang dikagumi oleh orang banyak? Apabila kedukaan kita hanya sebatas hal-hal ini, maka penghiburan dari Kristus tidak akan relevan bagi kita. Tetapi apabila kedukaan kita disebabkan oleh kesadaran akan dosa kita, kesadaran akan ketidakmampuan kita membalas cinta kasih Tuhan, kesadaran bahwa kita belum bisa mengasihi sesama kita atau kedukaan yang timbul karena hati yang makin selaras dengan hati Tuhan yang juga sedang berduka melihat kerusakan di dunia ini, maka kedatangan Kristus benar-benar merupakan penghiburan bagi kita.


Jadi, mengapa Yabes lebih mulia dari saudaranya?

Alasan Pertama mengapa Yabes dimuliakan adalah: karena ia mengerti apa artinya menderita bersama Tuhan di dalam dunia yang terkutuk ini. Yabes adalah gambaran dari Kristus yang juga mendapat kemuliaan setelah melewati penderitaan. Iniil Lukas mencatat demikian: Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?" (Lukas 24:26)

Perhatikan hubungan antara penderitaan dan kemuliaan dalam hidup Kristus, seperti yang dikatakan dalam Injil Lukas. Tidak jarang orang Kristen berpikir, "yang menderita itukan Kristus, bukan saya, berarti saya aman dong?" Atau cara berpikir lain adalah: "Justru karena Kristus sudah menderita, maka berarti saya bebas, tidak harus menderita lagi."

Sepintas cara berpikir seperti itu ada benarnya, tetapi kalau kita berpikir demikian, maka hal ini hanya menunjukkan, bahwa kita tidak ada relasi kasih dengan Dia. Sebab kalau kita menyayangi seseorang, lalu orang itu menderita. Apakah kita dengan mudahnya dapat berkata: "biarlah itu urusan Dia, yang menderita itukan dia, saya kan tidak?"

Lagipula, Alkitab sendiri tidak mendukung cara berpikir seperti yang saya uraikan dalam paragraf di atas. Alkitab, khususnya Kitab Roma berikut ini, justru berkata: Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia. (Roma 8:17)

Alasan Kedua mengapa Yabes lebih dimuliakan adalah karena Yabes berdoa atau berseru kepada Allah yang benar. Hal itu dapat kita ketahui dari ayat berikutnya, yaitu: Yabes berseru kepada Allah Israel (1 Tawarikh 4:10).

Apa hubungan antara doa dan kemuliaan? Doa adalah suatu perbuatan yang membedakan antara manusia dan binatang. Darimana kita tahu prinsip seperti ini? Dari kisah Nebukadnezar dalam Daniel 4:34. Nebukadnezar dianggap sebagai manusia oleh Tuhan ketika ia bisa berdoa kepada Yahwe. Sebelum ia bisa berdoa, berkata-kata kepada Tuhan, maka bagi Tuhan Nebukadnezar pada dasarnya adalah binatang.

Begitu pentingnya doa dalam kehidupan orang percaya, namun sayangnya, tidak semua orang Kristen bisa dan biasa berdoa. Ada orang Kristen yang tidak bisa berdoa, ketika tiba-tiba ditunjuk untuk berdoa, orang itu ketakutan dan menolak, lalu dengan agak panik meminta agar orang lain saja yang berdoa. Dalam konteks kehidupan orang Kristen, menolak untuk berdoa di depan umum adalah indikasi sederhana dari kehidupan pribadi yang jarang atau tidak pernah berdoa. Ia tidak biasa berbicara dengan Tuhan sehingga ketakutan ketika diminta berdoa secara spontan sambil didengarkan orang lain. Atau mungkin juga orang itu memang pernah berdoa, tetapi doa yang diucapkan adalah doa hafalan yang diucapkan berulang-ulang, tanpa ia sendiri menyadari apa yang sedang ia katakan kepada Tuhan, sehingga ucapan tersebut lebih mirip sebuah mantra ketimbang sebuah pembicaraan antara orang percaya dengan Tuhannya.

Di sisi lain, ada juga orang yang kelihatannya seperti pandai berdoa, fasih lidah, tahu memakai kata-kata yang tepat, enak di dengar dan bahkan berdoa dalam durasi yang panjang. Tetapi belum tentu orang seperti ini memang biasa berdoa di dalam kehidupannya, dalam arti, belum tentu senantiasa melibatkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, belum tentu bertanya kepada Tuhan ketika akan mengambil keputusan. Di depan orang lain keliatan pandai berdoa, tetapi di dalam keseharian ia lebih mengandalkan kepandaiannya, kekayaannya, koneksinya, pengalamannya dan lain-lain, ketimbang mengandalkan Tuhan melalui doa. Ketrampilannya berdoa di depan orang lain mungkin disebabkan karena ia memang pandai bicara, atau mungkin juga karena orang itu ingin pamer saja di depan orang lain agar kelihatan hebat, kelihatan rohani dan lain sebagainya.

Pada praktiknya ada orang-orang yang merasa dirinya cukup hebat, cukup pandai, cukup berani, cukup berpengalaman, sehingga merasa tidak perlu berdoa. Bagi orang seperti itu, doa hanya menjadi pilihan yang terakhir, ketika usaha manusia tampak menemukan jalan buntu, ketika tantangan sudah terlalu besar.

Yabes berbeda, ia disebut lebih mulia dari saudara-saudaranya karena ia berseru kepada Allah Israel. Yabes dalam hal ini adalah sosok yang seperti Kristus, yang juga senantiasa berdoa di dalam segala situasi. Kristus berdoa sebelum memilih murid-murid-Nya (Lukas 6), Ia berdoa di pagi hari ketika hari masih gelap (Markus 1:35), berdoa sebelum menolong para murid yang terkena badai (Matius 14:23), Tuhan Yesus berdoa di Taman Getsemane sebelum Ia mengalami penderitaan di atas kayu salib.

Berdoa adalah gesture kerendahan hati di hadapan Allah. Jika Kristus saja yang mahakuasa, mau merendahkan diri-Nya di hadapan Bapa, mengapa kita manusia justru tidak? Itu sebabnya, ketika ada manusia yang bersikap seperti Kristus, mau merendahkan dirinya di dalam doa, mau membiarkan Tuhan memimpin langkah hidupnya, mau meminta petunjuk Allah dalam mengerti kebenaran, mau bersandar pada kekuatan Tuhan dan bukan pada kekuatannya sendiri, mau bersandar pada hikmat Tuhan dan bukan pada pengertiannya sendiri, maka wajar sekali apabila orang itu dianggap lebih mulia daripada saudara-saudaranya yang tidak demikian.

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita.


Bersambung ke tulisan selanjutnya: Apa makna dari doa Yabes? 

Thursday, April 11, 2024

Bagaimana manusia diselamatkan oleh Tuhan?

 

Bagaimana manusia diselamatkan oleh Tuhan?

Kebutuhan manusia yang terbesar adalah diselamatkan dari kebinasaan karena murka Ilahi atas dosa-dosanya. Itu sebabnya di atas kayu salib, Tuhan Yesus berdoa: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat."... (Lukas 23:34)

Tetapi kita kemudian bertanya, bagaimana manusia diselamatkan? Apakah kita akan benar-benar melihat Tuhan di angkasa yang mengulurkan tangan untuk menyelamatkan kita? Ataukah kita akan melihat semacam surat pengampunan yang turun dari sorga dengan dibubuhi tanda tangan dari Tuhan sendiri?

Tentu saja cara Tuhan menyelamatkan kita dari murka Ilahi bukanlah melalui cara-cara fantastik yang terlihat sangat spektakuler di dalam dunia jasmani seperti itu. Tuhan menyelamatkan kita pertama-tama dengan memberi kita suatu kelahiran baru yang bersifat spiritual. Tuhan Yesus pernah berkata pada Nikodemus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah. 6 Apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah roh." (Yohanes 3:5-6)

Semua manusia yang hidup di atas bumi saat ini adalah makhluk hidup yang dilahirkan secara jasmaniah oleh orang tua masing-masing yang juga memiliki sifat jasmaniah. Atau dalam bahasa Injil Yohanes, "yang dilahirkan dari daging adalah daging."

Tetapi disamping kelahiran jasmaniah tadi, Tuhan Yesus mengajarkan pula ada jenis kelahiran lain, yaitu kelahiran secara rohaniah atau spiritual. Dan, sekali lagi, menurut Tuhan Yesus, hanya Roh Kudus yang bisa melahirkan manusia secara rohaniah tersebut.

Kelahiran yang bersifat jasmaniah, dapat dilihat oleh mata jasmaniah. Tetapi kelahiran yang bersifat rohaniah, hanya dapat dilihat oleh mata rohaniah. Perubahan yang berkaitan dengan kelahiran rohaniah itu terjadi pertama-tama di dalam diri orang itu, yaitu ketika hatinya berubah, cara berpikirnya berubah, perasaannya berubah dan kehendaknya pun mengalami perubahan. Barulah kemudian perubahan itu merambah keluar dari diri seseorang dalam wujud, perkataan, tindakan atau perbuatan.

Sebagaimana proses kelahiran seorang bayi secara jasmaniah, yang dapat dikatakan tidak melibatkan peran aktif si bayi untuk memutuskan mau lahir ke dunia atau tidak, tidak bisa memutuskan mau lahir dimana, di tengah keluarga seperti apa, mau punya warna kulit, jenis rambut seperti apa, demikian pula orang yang dilahirkan oleh Roh Kudus. Mereka pasif dalam arti, tidak bisa melahirkan dirinya sendiri, tidak bisa mengambil keputusan sendiri, dan bahkan tidak tahu kapan atau melalui peristiwa apa Tuhan akan melahirbarukan orang itu.

Kita hanya tahu seorang bayi sudah lahir dalam keadaan hidup ke dunia, ketika kita melihat ia bergerak-gerak dan menangis. Demikian pula kita tahu bahwa seseorang sudah lahir baru secara rohani ketika kita melihat gerakan hidup kerohanian yang semakin seirama dengan irama Tuhan, semakin satu emosi, satu kehendak dan satu pikiran dengan Tuhannya.

Berkaitan dengan peristiwa kelahiran baru, kita akan membahas dua istilah penting, yaitu monergisme dan sinergisme.

Antara monergisme dan sinergisme

Monergisme artinya suatu pekerjaan yang diupayakan hanya oleh satu pihak saja. Sedangkan sinergisme artinya suatu pekerjaan yang diupayakan oleh dua pihak atau lebih secara bersama-sama.

Dalam konteks karya keselamatan Allah bagi manusia, pertanyaannya adalah: Apakah manusia diselamatkan secara monergisme ataukah secara sinergisme?

Untuk menjawab hal ini, sebenarnya dapat dikatakan bahwa kita tidak bisa membuang begitu saja konsep yang satu dan semata-mata membuang konsep yang lain, sebab dalam konteks keselamatan manusia kedua konsep tersebut sama pentingnya untuk diperhatikan.

Kapankah konsep monergisme berlaku dalam proses keselamatan kita?

Kita dapat mengatakan bahwa manusia diselamatkan secara monergisme pada saat kita belum dilahirbarukan oleh Roh Kudus. Sebab tanpa adanya sebuah kelahiran baru, maka di hadapan Tuhan pada dasarnya kita ini adalah mati, yaitu terputusnya hubungan atau relasi dengan Allah.

Secara Alkitabiah, ketika manusia tidak memiliki relasi lagi dengan Tuhan, maka manusia itu disebut telah mati di hadapan Tuhan. Sekalipun orang itu masih bernafas, masih sehat, masih bisa bekerja dan berkarya, orang tersebut tetap dikategorikan sebagai orang mati, ketika hubungan yang baik dengan Tuhan terputus. 

Darimana kita tahu konsep mati menurut Alkitab, seperti yang saya jabarkan di atas? Dari kisah Adam dan Hawa. Pada hari Adam dan Hawa memakan buah terlarang, mereka pada hari itu juga mereka disebut telah mati, yaitu diusir dari Taman Eden, dari hadapan Tuhan. Secara fisik Adam dan Hawa masih hidup, masih sehat, masih bisa bekerja. Satu-satunya indikasi bahwa mereka disebut sudah mati adalah bahwa mereka terusir dari hadapan Allah.

Orang yang mati, tentu tidak bisa hidup kembali dengan sendirinya. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi mereka untuk dapat berespon terhadap panggilan Allah. Dalam keadaan seperti inilah, Tuhan perlu memberi kehidupan baru kepada manusia. Sehingga kita lihat disini bahwa Tuhan berperan secara aktif, memberi, menghidupkan, menganugerahkan, melahirbarukan manusia. Sementara manusia, dalam hal ini berperan secara pasif, yaitu menerima, dihidupkan, dianugerahkan, dilahirbarukan dan seterusnya. Tidak ada peran atau perbuatan apapun yang diperlukan oleh Tuhan dari sisi manusia di dalam peristiwa kelahiran baru ini. Semuanya adalah karena dasar anugerah semata-mata. Dan konsep kepasifan manusia ini dapat dibandingkan pula dengan kelahiran jasmaniah seorang bayi. Semua yang terjadi adalah akibat tindakan atau perbuatan orang lain, bukan tindakan si bayi tersebut.

Melalui konteks sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam paragraf-paragraf di atas, kita mendapat suatu konsep ajaran bahwa manusia diselamatkan secara monergisme. Dimana Allah yang aktif bertindak, sedangkan manusia bersifat pasif sehubungan dengan ketidakmampuannya untuk bertindak (manusia dalam keadaan mati).

Konsep ajaran seperti monergisme ini hanya dapat kita temukan di dalam Alkitab. Semua ajaran lain tentang keselamatan manusia, selalu diawali dari inisiatif manusia untuk membeli perkenanan Allah melalui amal ibadah, berbuat kebajikan, memberi sedekah dan lain sebagainya. Mereka yang tidak belajar dari Alkitab tidak pernah mengerti bahwa manusia tidak akan mampu membeli perkenanan Allah. Manusia adalah makhluk berdosa sedangkan Allah adalah Dia yangbMahasuci. Apa yang bisa dilakukan manusia yang kotor untuk membuat Allah yang mahasuci mau menerima perbuatan baik orang itu sebagai semacam tiket masuk ke sorga? Jawabannya adalah tidak ada perbuatan apapun yang manusia bisa lakukan untuk membayar hutang dosa dan untuk membeli perkenanan Allah.

Perlu ada inisiatif dari Allah untuk memulai sebuah pekerjaan baik, yaitu karya keselamatan yang dikerjakan di dalam Yesus Kristus dan kemudian diberikan sebagai anugerah, suatu pemberian cuma-cuma bagi orang-orang yang tidak layak tersebut.

Jadi, kapankah konsep monergisme berlaku dalam peristiwa keselamatan kita? Waktu Tuhan melahirbarukan diri kita ke dalam kerajaan-Nya. Kita yang tadinya mati, kini diberi kehidupan baru. Kita yang tadinya tinggal di alam maut, kini dipindahkan ke dalam dunia orang hidup dimana Tuhan Yesus menjadi Raja.

Kapankah konsep sinergisme berlaku dalam proses keselamatan kita?

Sinergisme artinya ada kerjasama dari dua belah pihak. Ini peristiwa susulan yang terjadi segera konsep monergisme tadi terjadi. Mengapa harus ada dua konsep ini bekerja bersama-sama? Sebab keselamatan kita yang menyeluruh itu, ada aspek satu kali (one time action), tetapi ada aspek repetisi atau berkelanjutannya juga (continously). Ada aspek sudah, tetapi ada aspek belumnya juga. Ada aspek diberi kehidupan, lalu ada aspek menjalankan kehidupan yang telah diberikan itu. Ada aspek keselamatan, ada aspek mengerjakan keselamatan itu sendiri.

Model karya keselamatan yang seperti inilah yang sering keliru dipahami oleh manusia, sebagai akibat mereka tidak membaca Alkitab. Sehingga manusia sering jatuh kepada gagasan ekstrim yang tidak diajarkan oleh Alkitab.

Ketika Alkitab mengajarkan bahwa kita diselamatkan oleh anugerah; manusia malah berpikir bahwa keselamatan adalah sesuatu yang bisa dikejar melalui perbuatan baik, amal ibadah, sedekah dan puasa. Tentu saja pikiran manusia salah, Alkitablah yang benar.

Ketika Alkitab mengajarkan bahwa kita tetap harus mengerjakan keselamatan yang sudah diberi oleh Tuhan, ketika Alkitab mengajarkan bahwa kita harus menghasilkan buah, harus taat pada perintah Tuhan; manusia malah berpikir bahwa yang terpenting sudah pernah mengaku percaya, setelah itu tidak ada lagi aturan yang mengikat, tidak ada lagi tanggungjawab, tidak ada lagi tuntutan apa-apa. Tentu saja pikiran manusia salah, Alkitablah yang benar.

Pertanyaan kita sekarang adalah, bagaimana model kerjasama antara Tuhan dan manusia yang sudah diselamatkan?

Konsep sinergisme yang kita dapatkan dari prinsip Alkitab adalah bahwa di satu sisi Allah sepenuhnya memberi anugerah kepada manusia, sementara di sisi lain, manusia juga sepenuhnya bertanggungjawab untuk mengerjakan keselamatan yang dianugerahkan itu. Sehingga bisa dikatakan bahwa konsep sinerginya bukan 50:50, melainkan 100:100 dalam arti saling mengisi sepenuhnya.

Konsep seperti ini bukan hal yang asing di dalam pemikiran Kristen. Kita belajar bahwa Alkitab yang kita miliki adalah kumpulan kitab yang 100% ditulis oleh Allah, tetapi juga 100% ditulis oleh manusia. Atau ketika kita bicara tentang dwi natur Kristus, kita juga menerima sifat Pribadi Tuhan Yesus sebagai 100% Allah dan 100% Manusia.

Sinergisme dapat kita temukan di dalam karya keselamatan, yaitu ketika keselamatan dipahami sebagai 100% karya Roh Kudus, tetapi juga 100% merupakan respon manusia. Ketika dikatakan bahwa "barangsiapa percaya, tidak binasa" maka kita tahu bukan Roh Kudus yang percaya kepada Tuhan Yesus, melainkan manusialah yang harus percaya kepada-Nya.

Sinergisme dapat kita temukan juga di dalam kehidupan Kristen melalui proses pengudusan, yaitu bahwa di satu sisi Tuhan bekerja untuk menguduskan kita, tetapi di dalam proses itu, manusia pun di sisi lain juga bertanggungjawab untuk menjaga kekudusan hidupnya di hadapan Tuhan.

Barangkali kita dapat pula memahami sinergisme di dalam kerangka hubungan antara kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia (The Sovereignty of God and the Freedom of the will), dimana di satu sisi Allah menetapkan apa yang menjadi kehendak-Nya sedangkan di sisi lain manusia juga bertanggungjawab untuk menyelaraskan kehendak bebasnya dengan ketetapan Ilahi. Meskipun Allah 100% berdaulat, manusia juga diberi 100% ruang untuk menjalankan kehendaknya.


Apa itu orang benar? 

Orang benar adalah orang yang bisa melihat kebenaran Tuhan melalui Injil.Lalu berhenti mempertanyakan kebenaran Tuhan. Orang yang memojokkan dan menghakimi Tuhan pasti bukan orang benar. Orang yang hidup oleh iman, berarti orang itu sadar bahwa Ia tidak benar. Lalu hidup dengan setia bergantung pada kesetiaan Tuhan. Kalau kita belum apa-apa sudah merasa diri sebagai orang benar. Maka ironisnya pada saat itu kita bukan lagi disebut orang benar. 

Ketika kita berdoa agar orang menerima Tuhan Yesus, Maka maksudnya adalah kita minta tolong agar Tuhan tidak mengeraskan hati orang itu. Keselamatan orang itu bukan tergantung pada doa kita. Bukan tergantung pada dirinya sendiri yang tidak mengeraskan hati. Hanya Tuhan yang bisa mengubah hati yang keras, menjadi lembut untuk menerima Injil. Hanya Tuhan yang tahu berapa panjangnya mata rantai yang harus dilalui seseorang sebelum akhirnya ia diselamatkan. Mungkin Tuhan menetapkan ada 13 penginjil lebih dulu baru orang itu selamat. Siapa tahu kita ini baru orang ke 6 atau ke 7, sehingga ketika Injil disampaikan, orang itu tidak berespon. Tetapi belum tentu memang dia tidak akan berespon selamanya. Ada orang yang baik tetapi tidak percaya. Sedangkan ada juga orang yang kelihatannya jahat tetapi ia bisa percaya. Inipun hanya Tuhan yang tahu, karena orang yang kelihatannya baik mungkin saja dimata Tuhan ternyata dia itu sombong. Dan orang yang kelihatannya jahat, ternyata di tangan Tuhan memiliki hati yang gembur Sehingga ia bisa dibentuk dan akhirnya siap menerima anugerah Tuhan. Salah satu aspek yang penting dari Injil adalah kehidupan orang Kristen yang berpadanan dengan Injil. Sebab banyak orang di dunia ini yang merasa kecewa atas perbuatan kita, bukan atas iman kita. Orang yang sudah percaya, seharusnya ada kegelisahan ketika orang itu tidak hidup di dalam kebenaran. Orang yang bisa hidup tenang di dalam dosa., mungkin sekali ia sebetulnya belum menjadi orang percaya.

Tuesday, April 2, 2024

Tantangan yang dihadapi Rasul Paulus di dalam jemaat Roma


Tantangan yang dihadapi Paulus di Roma

Mengapa Paulus menulis surat kepada jemaat Roma? 

Kita tahu bahwa setiap penulis Penjanjian Baru tergerak untuk menyampaikan sesuatu kepada jemaat, karena mereka melihat ada persoalan di dalam jemaat.

Para rasul menyampaikan ajaran kepada jemaat bukan karena mereka terlalu banyak waktu luang sehingga mencoba mengisi waktu dengan mengajar. Para rasul juga bukan mengajar karena mereka ingin mendapatkan uang. Para rasul itu mengajar dan menulis surat kepada jemaat karena mereka mengasihi Tuhan dan mereka melihat bahwa jemaat yang dikasihi Tuhan itu sedang membutuhkan pertolongan, agar mereka tidak sesat dan pada akhirnya meninggalkan Tuhan.

Jemaat Roma yang berasal dari keturunan Yahudi merasa kecewa melihat sikap Tuhan yang seolah-olah lebih memberkati orang Kristen yang bukan berasal dari keturunan Yahudi seperti orang Romawi dan orang Yunani misalnya.

Mengapa jemaat Roma yang keturunan Yahudi itu merasa kecewa? Mereka merasa kecewa sebab melihat jumlah mereka yang semakin menyusut, kalah dibandingkan dengan jumlah jemaat Kristen yang non-Yahudi tadi. Orang Kristen Yahudi yang sebelumnya mayoritas, kini menjadi minoritas sebagai akibat dari diusirnya mereka dari Roma oleh Kaisar Klaudius (Kis 18:2).

Dalam anggapan mereka, bukankah orang Yahudi adalah bangsa pilihan Allah, dan bukankah sebagai orang Kristen pun mereka adalah umat pilihan Allah juga? Mereka melihat diri mereka sangat istimewa, bangsa pilihan Allah dan umat pilihan Allah sekaligus. Di atas bumi tidak ada golongan manusia yang begitu istimewa seperti ini, bukan?

Oleh karena itu, mereka kemudian bertanya-tanya, mengapa mereka harus mengalami kondisi yang agak memalukan seperti itu? Mengapa Tuhan menambah jumlah orang Kristen dari keturunan lain, tetapi membiarkan orang Kristen keturunan Yahudi malah menyusut dan jadi minoritas di Roma? Mengapa Tuhan bersikap pilih-pilih kasih seperti ini?

Demi mengajar jemaat Yahudi yang seperti inilah Paulus menulis surat Roma, agar jemaat di tempat itu berhenti menyalahkan Tuhan dan kembali melihat segala sesuatu dari perspektif yang benar, yaitu perspektif Tuhan semata-mata. Jemaat Kristen Yahudi di Roma harus melihat siapakah Kristus, siapakah diri mereka dan siapakah orang Kristen lain di hadapan Tuhan. Sehingga dengan demikian mereka bisa berhenti melihat diri sendiri terlalu istimewa hingga meremehkan orang lain dan bahkan sampai berani menyalahkan Tuhan pula.

Merasa istimewa dan merasa lebih baik daripada orang lain

Jemaat Yahudi di Roma merasa lebih istimewa karena mereka mempunyai Taurat, sementara bangsa-bangsa lain tidak. Taurat yang sesungguhnya merupakan pemberian yang berharga dari Tuhan, kini disalah mengerti oleh orang Yahudi sebagai suatu identity marker, yang membuat mereka seolah lebih istimewa dari bangsa lain.

Atas kekeliruan itu, rasul Paulus memberi penjelasan bahwa Taurat memang berharga sebab Taurat adalah Firman Tuhan, dan bahwa bangsa Israel pun adalah orang yang berharga di mata Tuhan sebab kepada bangsa inilah Tuhan telah mempercayakan Firman-Nya.

Akan tetapi bangsa Israel seharusnya sadar, bahwa Taurat itu diberikan dengan tujuan untuk dibaca, diajarkan kepada orang lain dan untuk ditaati. Taurat tidak dimaksudkan untuk dipakai sebagai alat kebanggaan, apalagi sampai menjadi sarana untuk menjelek-jelekkan orang lain yang tidak menerima Taurat. Seharusnya, jika bangsa Israel sadar bahwa hanya kepada mereka Taurat telah diberikan, maka mereka juga sadar akan tanggungjawab untuk mengajar bangsa lain, memperkenalkan siapakah Tuhan yang sejati kepada bangsa lain.

Seharusnya bangsa Israel sadar bahwa keistimewaan mereka bukan terletak pada diri mereka sendiri, melainkan terletak pada Pribadi Tuhan yang mau memilih bangsa ini sebagai alat untuk memperkenalkan Diri-Nya pada dunia. Seharusnya bangsa Israel menerima status itu sebagai tanggungjawab yang harus dipikul. Sepatutnya bangsa Israel menjadi rendah hati di hadapan Tuhan, bukan malah menjadi sombong seperti itu.

Semua orang adalah orang berdosa di hadapan Tuhan

Di hadapan Tuhan, orang yang tidak diberikan Hukum Taurat, adalah orang berdosa, sebab kepada mereka telah diberikan hati nurani. Mereka bersalah karena sekalipun nurani mereka tahu apa yang benar dan apa yang salah, mereka telah memilih apa yang salah dan apa yang tidak berkenan di hadapan Tuhan.

Tetapi disisi lain, bangsa Yahudi sebagai bangsa yang punya Taurat, juga merupakan bangsa yang berdosa, sebab sekalipun mereka memiliki Taurat, mereka ternyata tidak taat pada Taurat itu. Oleh karena itu, baik orang Yahudi maupun non-Yahudi semua sama-sama berdosa di hadapan Tuhan.

Inilah yang disebut sebagai universal unrighteousness atau universal sinfulness. Tidak ada seorang pun yang benar, sehingga tidak ada satu orang pun yang pantas mempertanyakan keadilan Tuhan. Sebab mempertanyakan tindakan Tuhan sama saja seperti mau menjadi hakim atas Tuhan. Sehingga seharusnya orang itu adalah sama benar atau bahkan lebih benar dari Tuhan. Faktanya, orang-orang seperti itu justru semakin berdosa di hadapan Tuhan.

Karena semua orang telah berdosa, dan sedang kehilangan kemuliaan Allah, maka semua orang pada dasarnya layak mendapat hukuman dari Tuhan. Bangsa Israel tidak patut merasa menjadi orang benar, sebab orang yang benar tidak akan mempertanyakan Tuhan, apalagi sampai menuduh Tuhan telah berlaku tidak adil. Orang yang benar seharusnya bersikap setia dan bergantung pada kesetiaan Tuhan.

Kesetiaan Tuhan dinyatakan melalui Injil-Nya.

Apa itu kesetiaan Tuhan? Kesetiaan Tuhan pada manusia yang berdosa adalah injil. Atas keberdosaan manusia, Tuhan akan memperlihatkan keadilan-Nya. Tetapi keadilan Tuhan dalam hal ini adalah Injil, dan bukan hukuman. Di dalam Injil itu nyata kebenaran Allah. Meskipun manusia tidak adil, berdosa, tetap Tuhan berkenan menyatakan kebenaran-Nya yaitu Injil baik bagi orang yang punya Taurat, maupun yang tidak punya Taurat.

Jadi Injil itu bukan hanya tentang jawaban bagi orang yang tidak yakin akan keselamatannya. Luther memang sempat bergumul di dalam keyakinan apakah Tuhan akan menyelamatkan atau tidak. Lalu kitab Roma ini membuat ia yakin. Tetapi aspek yang diliput oleh Roma ini jauh lebih luas dari sekedar menolong orang seperti Luther.

Tidak semua orang bergumul tentang hal yang sama, yaitu kekurangyakinan akan keselamatan. Orang Kristen berpikir bahwa cuma mereka yang punya keyakinan keselamatan, sedangkan orang di luar Kristen dianggap tidak ada keyakinan akan keselamatan. Tetapi Paulus sebelum menjadi pengikut Kristus, bukan orang yang tidak yakin akan keselamatan. Paulus justru sangat yakin pada kepercayaannya, makanya ia mencoba membasmi orang Kristen. Setelah berjumpa Kristus, Paulus yang yakin itu dibuat ragu-ragu lebih dahulu. Setelah itu barulah ia diberi keyakinan yang baru.

Paulus orang yang punya keyakinan yang kuat, hanya saja sebelumnya ia salah arah. Injil datang kepada Paulus untuk mengubah keyakinannya dari yang salah ke arah yang benar. Tantangan  yang dihadapi Paulus di jemaat Roma adalah jemaat yang sangat dikuasai oleh perasaan self righteousness dan self pride yang tinggi. Sikap semacam ini membuat manusia tidak akan mengerti Injil.

Kita bisa saja merasa atau mengaku diri sebagai orang Kristen, tetapi tanpa adanya pertobatan dari self pride yang seperti ini, bagaimana kita bisa mengerti Injil keselamatan Kristus yang sejati? Kita akan menjadi orang yang sulit mengampuni, sehingga tidak mungkin bagi orang seperti itu dapat menghayati pengampunan dari Allah. Bagi orang yang self righteous, justru orang lainlah yang harus bertobat karena mereka terlihat selalu salah. Dan apabila sudah seperti ini, maka akan berakibat, orang Kristen itupun pasti akan sulit untuk bertobat.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita dari jeratan self righteous seperti ini. Amin.