Pendahuluan
Hukum Taurat adalah hukum yang
ditulis pada zaman Perjanjian Lama. Dengan kedatangan Yesus Kristus ke dalam
dunia, maka dimulailah sebuah zaman yang baru yaitu zaman Perjanjian Baru. Dan
bagi orang Kristen, kitab-kitab yang termasuk dalam Perjanjian Baru terasa
lebih popular dibandingkan dengan Perjanjian Lama. Lagipula, secara judul
penamaan saja, kita pembaca Alkitab cenderung jadi berpikir: “Jika sudah ada
Perjanjian yang Baru, lalu mengapa kita masih membaca Perjanjian yang Lama?”
Tulisan sederhana di bawah ini mencoba untuk menyampaikan salah satu kegunaan
Hukum Taurat yang terdapat di dalam Perjanjian Lama bagi orang-orang Kristen
yang hidup di zaman Perjanjian Baru.
Kegunaan Hukum Taurat
Di suatu sore di hari libur, saya
belum lama bangun dari tidur siang yang nyaman di rumah, ketika istri mengajak
saya jalan-jalan ke Mall yang terletak tidak jauh dari rumah saya. Karena tidak
ada kesibukan, maka saya pun menyetujui usul itu dan menyambutnya dengan
gembira. Dengan hanya berkaus santai dan celana pendek saya pun berangkat ke
Mall. Menjelang pulang setelah puas jalan-jalan, istri saya melihat ada
pelayanan gratis untuk memeriksa kadar kolesterol pada salah satu toko yang ada
di mall tersebut, lalu iapun mengusulkan agar saya diperiksa saja, sekedar
iseng ingin tahu hasilnya.
Betapa terkejutnya saya ketika
hasil tes kolesterol tersebut ternyata tinggi sekali, begitu tingginya hingga
mencapai angka tertinggi yang ada di alat tersebut. Sejak saat itupun pikiran
saya diselimuti oleh semacam awan mendung yang cukup mengganggu.
Tapi bukan tentang kolesterol
saya ingin menulis, yang ingin saya katakan adalah bahwa dalam artian tertentu,
hasil tes kolesterol dapat disamakan dengan hukum Taurat. Hasil tes kolesterol
hanya memberi tahu pada saya berapa batas kolesterol yang dapat dikatakan sehat
dan berapa jauh saya telah menyimpang dari batasan tersebut. Hasil tes
kolesterol tidak dimaksudkan untuk menolong atau memampukan saya untuk melewati
batas itu. Dibutuhkan tindakan lain untuk bisa menempatkan diri saya di bawah
ambang batas yang diberikan hasil tes tersebut.
Roma 7:7 berbunyi: “Jika
demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah hukum Taurat itu dosa?
Sekali-kali tidak! Sebaliknya, justru oleh hukum Taurat aku telah mengenal
dosa. Karena aku juga tidak tahu apa itu keinginan, kalau hukum Taurat tidak
mengatakan: "Jangan mengingini!"
Hukum Taurat jelas tidak bersalah
dan tidak bermasalah. Hukum Taurat adalah mulia, bahkan Yesus pun berkata : “Sesungguhnya
selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak
akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.” (Matius 5:18)
Tuhan Yesus memandang Hukum
Taurat sebagai Hukum yang berharga, mengapa? Sebab Hukum Taurat berasal dari
Tuhan Allah sendiri. Hukum Taurat adalah standar yang ditetapkan Allah bagi
manusia. Oleh karena itu jelaslah, Hukum Taurat itu tidak bersalah serta tidak
bermasalah. Justru masalahnya ada pada kita.
Pertama, kita bermasalah karena
ternyata berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Hukum Taurat, kita ditemukan
telah jauh menyimpang. Seperti hasil tes kolesterol saya yang telah memberi
tahu saya tentang betapa jauh saya telah menyimpang, demikian pula Hukum Taurat
telah memberi tahu pada kita manusia tentang betapa jauh kita telah menyimpang
dari standar yang ditetapkan Allah.
Bukan suatu kebetulan, saya
pikir, bahwa dosa di dalam bahasa aslinya berarti meleset, atau tidak tepat
sasaran, atau menyimpang. Kita telah menyimpang dari yang Tuhan harapkan. Hukum
Taurat itulah patokannya.
Kedua, kita bermasalah karena
ternyata kita manusia masih suka berpikir bahwa kita bisa diselamatkan karena
segala prestasi kita dalam memenuhi segala tuntutan dalam Hukum Taurat itu.
Setiap manusia memiliki suatu ego
atau sifat ke-aku-an. Dan melalui sifat inilah kita lebih cenderung untuk
mengasihi diri sendiri, memperhatikan diri sendiri, mementingkan diri sendiri
dan lain sebagainya yang berpusat pada diri sendiri.
Dalam artian tertentu sebenarnya
tidak salah juga jika kita mengasihi diri kita, justru adalah salah jika kita
membenci diri sendiri. Mengapa kita membenci diri sendiri, jika Allah justru
amat mengasihi diri kita dan rela mati untuk menebus kita? Bahkan perintah
Yesus adalah “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Matius 22:39
Artinya, jika kita gagal mengasihi diri kita apa adanya, maka betapa sulitnya
kita untuk belajar mengasihi orang lain bukan? Untuk kita mampu mengasihi orang
lain dengan baik, maka paling tidak kita perlu tahu apa artinya memandang diri
sendiri sebagai makhluk yang dikasihi, benar? Benar, tapi sayangnya kita
seringkali mudah tergelincir di dalam hal ini. Tergelincirnya adalah, kita jadi
terlalu asyik mengasihi diri sendiri sampai tidak perduli lagi pada orang lain.
Kejatuhan kita ke dalam dosa adalah penyebab mengapa kita tidak bisa lagi
mengasihi diri sendiri secara seimbang. Kita telah menyimpang bahkan di dalam
hal mengasihi diri sendiri ini.
Karena begitu mengasihi diri
sendiri, kita akhirnya mengesampingkan segala hal yang tidak enak tentang diri
kita. Termasuk ketika suara hati nurani kita mengatakan bahwa ada sesuatu yang
tidak beres tentang diri kita. Akhirnya, kita manusia berusaha meredam rintihan
suara hati itu dengan rupa-rupa perbuatan baik yang kita pikir akan membuat
diri kita menjadi baik. Seringkali ini cukup berhasil, kita senang jika
menganggap atau dianggap lebih baik dan lebih rohani daripada orang lain bukan?
Tetapi sesungguhnya ini adalah perasaan yang menipu. Dosa sudah mencemari diri
kita begitu rupa sehingga seringkali muncul dalam perasaan-perasaan nyaman yang
semu seperti itu.
Semua agama-agama dunia mengajarkan
pada para pemeluknya untuk berbuat baik. Ini tentu saja baik. Berbuat baik
adalah baik, menganjurkan orang lain untuk berbuat baik, juga baik. Tetapi
sayangnya, Alkitab mengajarkan pada kita bahwa berbuat baik saja tidak akan
cukup untuk membuat kita menjadi baik.
Roma 3:20 mengatakan: “Sebab
tidak seorang pun yang dapat dibenarkan di hadapan Allah oleh karena melakukan
hukum Taurat, karena justru oleh hukum Taurat orang mengenal dosa.”
Agama-agama dunia membuat standar
tentang apa yang dikatakan baik, lalu mereka mencoba mengikuti standar itu agar
mereka dapat menjadi baik dan diterima dengan baik oleh Allah sebagai orang
baik. Tetapi berdasarkan Roma 3:20 di atas kita tahu bahwa usaha manusia dalam
mengejar penerimaan Allah yang demikian adalah usaha menjaring angin saja
layaknya.
Apakah sejauh ini anda melihat
permasalahan yang saya coba angkat? Manusia menyukai hukum yang tidak mampu
menyelamatkan dia dan menolak satu-satunya obat yang disediakan untuk
menyelamatkan nyawanya. Inilah permasalah kedua yang saya coba ketengahkan
tadi.
Saya butuh obat untuk
menyembuhkan saya dari kadar kolesterol yang tinggi. Hasil tes kolesterol hanya
bertugas untuk memberi tahu saya bahwa saya telah menyimpang dari standar yang
seharusnya. Hasil tes kolesterol saya tidak mampu dan memang tidak dimaksudkan
untuk mampu menyembuhkan saya.
Demikian pula,
Kita butuh obat untuk
menyembuhkan diri kita dari penyakit dosa. Hukum Taurat hanya bertugas untuk
memberi tahu kita bahwa kita telah menyimpang dari standar yang ditetapkan
Allah. Hukum Taurat tidak mampu dan memang tidak dimaksudkan untuk mampu
menyembuhkan kita dari dosa. Anda lihat paralelnya?
Obat bagi sakit kolesterol saya
adalah obat yang saya beli di Glodok. Tetapi obat bagi penyakit dosa kita
adalah penebusan oleh Yesus Kristus di atas kayu salib.
Sekalipun obatnya sudah tersedia,
karena saya sudah beli, saya tetap harus menelan obat itu agar ia benar-benar
memberi manfaat bagi saya. Demikian pula, sekalipun kematian dan kebangkitan
Yesus sudah tersedia, kita tetap harus menerima penebusan Yesus itu agar
benar-benar dapat memberi keselamatan pada kita. Dan kita menerimanya dengan
iman.
Saya telan obat itu, maka saya
(dimungkinkan) untuk sembuh.
Kita terima Yesus, maka kita
(pasti) diselamatkan. Apakah semua ini jelas? Saya harap begitu.