Antara
Kristus dan Kapitalisme
Jika
dalam tulisan sebelumnya kita merenungkan tentang orang banyak yang datang
berbondong-bondong untuk mengikut Tuhan Yesus, maka pada bagian ini, kita akan
melihat bagaimana respon Tuhan kita terhadap kedatangan orang banyak tersebut.
Respon
Tuhan Yesus yang sempat dicatat oleh Yohanes sehubungan dengan peristiwa itu
adalah: Ketika Yesus
memandang sekeliling-Nya dan melihat, bahwa orang banyak berbondong-bondong
datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada Filipus: "Di manakah kita akan
membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?" (Yoh 6:5)
Saya ingin menyoroti perkataan ini dari sisi kepedulian
Tuhan Yesus terhadap kebutuhan manusia. Tuhan Yesus yang kita baca di dalam
Injil Yohanes, khususnya dalam peristiwa di atas bukit ini, adalah sosok yang
benar-benar memiliki kepedulian terhadap kebutuhan manusia.
Dan yang sangat menarik dari kejadian ini adalah, apabila
kita mengintip akhir dari kisah mukjizat spektakuler di atas bukit ini, kita akan
mendapati bahwa orang yang datang berbondong-bondong mencari Yesus itu bukanlah
orang yang kemudian akan percaya kepada Dia. Nampaknya mereka hanya tertarik
pada mukjizat atau hal-hal yang spektakuler saja. Pada akhir kisah, kita
melihat bahwa banyak dari mereka yang tetap tidak mengerti, tetap tidak
mengenal dan pada akhirnya malah pergi meninggalkan Dia.
Apakah Tuhan Yesus tidak tahu bahwa orang-orang ini akan
meninggalkan Dia? Saya yakin Tuhan Yesus tahu, bagaimanapun Dia adalah Allah
yang mahatahu. Tetapi keadaan tersebut rupanya tidak menghentikan Tuhan kita
dari niat-Nya untuk melakukan suatu tindakan belas kasihan terhadap mereka.
Hal serupa terjadi juga pada Yudas, meskipun Tuhan Yesus
tahu bahwa Yudas pada akhirnya akan mengkhianati Dia, tetapi Tuhan kita tidak
membeda-bedakan orang, semua murid dilayani-Nya secara tuntas. Ketika Tuhan
Yesus mencuci kaki para murid, kaki Yudas juga ikut dicuci.
Cukup masuk akal bagi kita jika Tuhan Yesus mencuci kaki
Petrus, pada suatu saat Petrus akan berkhotbah dan tiga ribu orang bertobat. Kalau
Tuhan Yesus mencuci kaki Thomas mungkin kita juga tidak heran, suatu saat kaki
Thomas itu akan membawa dia pergi jauh hingga ke India untuk memberitakan
Injil. Tetapi kaki Yudas??
Bagi orang-orang yang entah mengapa merasa begitu benci
kepada Yesus Kristus, biarlah mereka mengetahui bahwa kebencian mereka terhadap
Dia sungguh-sungguh tidak masuk di akal. Yesus
memiliki hati yang demikian besar, penuh kebaikan, kelembutan dan belas
kasihan. Ia tidak suka menghitung untung rugi di dalam memberikan suatu pelayanan
kepada orang lain, bahkan kepada orang-orang yang membenci-Nya sekalipun.
Kembali ke peristiwa di bukit itu, coba bayangkan kalau kita yang jadi Tuhan
Yesus, mungkin kita biarkan saja orang-orang ini cari makanan sendiri, bukan?
Toh bukan kita yang mengundang mereka untuk datang, merekalah yang mau datang
sendiri. (Siapa suruh gak bawa bekal..!)
Lagipula, kita juga sudah tahu kok bahwa pada akhirnya mereka akan pergi juga
dan tetap tidak percaya. (Ngapain orang-orang
kayak gitu dipusingin?)
Tapi… yah..
begitulah, seringkali cara berpikir kita memang sudah sangat dipengaruhi oleh
cara berpikir kapitalisme. Sadar atau tidak sadar kita suka membuat prediksi tentang
apa yang akan terjadi kelak jika seseorang mendapat pelayanan dari kita. Apakah
orang itu nanti akan memberi persembahan ke gereja kita? Ke rekening mana dia
akan transfer? Apakah dia mau sumbang tanah, atau bangun gereja buat jemaat
kita? Bukankah lebih baik bangun gereja di perumahan elit ketimbang di desa
karena setidaknya di perumahan elit kekuatan finansial gereja akan lebih
terjamin? .. dan seterusnya… dan seterusnya..
Atau.. okelah.. mungkin itu contoh yang terlalu bersifat materialistis, saya akan
buat contoh yang sedikit lebih rohani... “Apakah jika orang ini dilayani,
maka kelak dia akan berguna bagi gereja? Apakah dia akan aktif melayani? Apakah
dia akan menjadi berkat bagi jemaat kita? (Cukup rohani bukan?) Buat apa
menginjili jauh-jauh, sebab kalau mereka percaya pun mereka tidak akan datang
ke gereja kita kan?” Dan seterusnya… dan seterusnya..
Tetapi entah contoh yang materialistis maupun contoh yang
kelihatan agak rohani, kita tidak bisa memungkiri bahwa cara berpikir seperti
itu tetap saja merupakan cara berpikir untung rugi layaknya kaum kapitalis.
Dapatkah kita melayani seseorang demi orang itu sendiri? Dapatkah kita melayani
seseorang karena ia memang butuh untuk dilayani? Dan terutama, dapatkah kita
melayani orang karena Tuhan meminta kita untuk melayani dia?
Kita bisa
termasuk kaum kapitalis rohani jika kita berpikir
bahwa lebih penting melayani generasi muda daripada generasi lanjut usia. Sebab
secara logika sederhana, generasi muda memberi harapan yang lebih besar, jalan
hidup mereka masih panjang. Sekarang mereka memang masih anak-anak, tetapi
suatu saat mereka bisa saja jadi orang sukses dengan kekuatan finansial yang
cukup untuk menopang kebutuhan gereja kita. Sounds
familiar?
Tentu dengan berkata begini, bukan berarti bahwa
pelayanan kepada generasi muda itu tidak penting. Point-nya adalah, di mata Tuhan baik anak muda maupun orang yang
sudah lanjut usia, sama-sama penting dan sama-sama perlu dilayani. Tuhan Yesus
pernah menyembuhkan orang yang sudah bungkuk selama 18 tahun. Dapat
diperkirakan bahwa orang itu adalah orang yang sudah lanjut usia. Jika ditinjau
dari sudut pandang kapitalis, untuk apa Yesus menolong satu orang yang sudah
tua seperti itu? Mengapa Tuhan Yesus tidak konsentrasi melayani anak-anak muda
Israel saja, yang kelak lebih memungkinkan untuk menjadi tulang punggung gereja
dan menjadi penerus berita kekristenan yang lebih efektif? Mengapa Tuhan Yesus tidak
seperti itu? Sebab Yesus adalah Sang Mesias, bukan sang kapitalis.
Kita bisa
termasuk kaum kapitalis rohani jika kita berpikir
bahwa lebih penting melayani di kota besar ketimbang di daerah terpencil. Kita
bisa saja melumuri tindakan kita itu dengan alasan-alasan keren seperti: yah.. di kota besar kan orangnya lebih banyak, kita
bisa pengaruhi orang lebih luas sehingga kerajaan Allah bisa tersebar lebih cepat
ketimbang kalau satu orang berpendidikan tinggi harus pergi ke desa-desa yang
kecil, mempengaruhi sedikit orang. Sampai kapan nama Tuhan akan dimuliakan
kalau begini caranya? Kita melayani di kota besar dulu, nanti resources yang terkumpul lumayan besar
itu barulah kita pakai untuk melayani di desa-desa.
Zaman kita yang semakin maju ini telah memperkenalkan
istilah-istilah keren seperti enterpreneur, artpreneur, travelpreneur,
sportspreneur, scipreneur dan lain-lain yang semuanya memadukan antara
sebuah kegiatan; entah itu seni, traveling,
olah raga ataupun science dengan
bisnis. Kalau kita tidak hati-hati, bukan tidak mungkin suatu saat nanti muncul
pula istilah churchpreneur, bukan?
Tuhan Yesus melayani Yudas sampai tuntas, walaupun Dia
sudah tahu bahwa Yudas akan pergi mengkhianati Dia. Tuhan Yesus tetap
menyembuhkan sepuluh orang kusta, meskipun hanya satu yang kembali untuk
mengucap syukur. Tuhan Yesus memberi makan beribu-ribu orang di atas bukit itu,
walau pada akhirnya mereka meninggalkan Dia. Tuhan Yesus mati di kayu salib
bagi seluruh dunia, walau hanya sebagian kecil saja dari umat manusia yang
kemudian menanggapi perbuatan-Nya tersebut dengan kasih dan penghargaan.
Tuhan Yesus tidak henti-hentinya berbuat kebaikan dan
melayani orang lain, meskipun hasil pelayanan-Nya kelihatan seperti tidak
seimbang dengan pengorbanan yang dilakukan. Tuhan Yesus itu bagaikan seorang
investor tidak pengalaman yang gak
tahu apa-apa tentang Return on Investment
(ROI). Ketika Tuhan Yesus memandang
sekeliling, yang Ia lihat bukan opportunity
untuk meraih keuntungan atau mendapat pamrih. Ketika Tuhan Yesus memandang sekeliling, yang Ia lihat adalah manusia
yang butuh dilayani.
Dari peristiwa ini kita belajar bahwa Tuhan Yesus yang
diberitakan oleh Alkitab adalah Tuhan Yesus yang tidak suka hitung-hitung
untung rugi terhadap manusia. Tuhan Yesus yang hanya tahu bagaimana harus melakukan
kehendak Bapa-Nya. Tuhan Yesus yang selalu menyerahkan hasil akhir
pelayanan-Nya semata-mata demi kemuliaan Sang Bapa saja. Dan kita patut bersyukur
karena memperoleh kesempatan untuk mengenal sosok Kristus yang seperti ini,
sebab jika Tuhan Yesus hitung-hitungan, sangat mungkin Dia juga tidak akan sudi
turun ke dunia untuk menyelamatkan kita.
Bagi Tuhan Yesus, suatu keberhasilan bukan diukur dengan
angka-angka, bukan pula dinilai berdasarkan ada atau tidak adanya return yang memadai. Bagi Kristus, suatu keberhasilan dinyatakan
melalui kesetiaan di dalam menjalankan apa yang ditugaskan oleh Bapa untuk
dijalankan.
Kita tahu bahwa menjalankan sikap hidup seperti ini di
dalam dunia yang sudah dirasuki oleh cara berpikir kapitalisme bukanlah suatu
perkara gampang. Orang dunia hanya melihat hasil dan cara pandang seperti ini
pun tidak jarang sudah meresap pula ke dalam lingkungan keluarga bahkan lingkungan
gereja. Pertanyaannya tinggal, apakah kita lebih suka tenggelam di dalam cara
berpikir dunia, karena kita anggap cara itu lebih masuk akal dan sesuai dengan
tuntutan kehidupan? Atau kita ingin membiarkan Tuhan menebus cara pandang kita ini
dan menyesuaikannya dengan cara pandang Kerajaan Allah?
Kiranya Allah Tritunggal berbelas kasihan menolong kita
untuk memiliki hati seperti seperti Kristus. Amin. (Oleh: Izar Tirta).