Tuesday, August 1, 2023

Natal: Mengapa Kita Masih Perlu Memikirkannya?

Natal: Mengapa Kita Masih Perlu Memikirkannya?


Kelahiran Yesus Kristus adalah peristiwa yang amat penting bagi hidup orang yang percaya kepada-Nya, karena melalui peristiwa tersebut kita melihat suatu bukti tentang betapa besarnya kasih Allah kepada dunia ini. Betapa tidak, melalui Natal kita melihat bagaimana Allah yang Mahakuasa rela untuk menjadi manusia demi menebus kita dari hukuman atas dosa-dosa yang kita lakukan.



Buku "Anda Tak Pernah Sendirian"
 
Sungguh ajaib jika Allah begitu menghargai manusia sementara secara menyedihkan kita sendiri sebagai manusia sering kali merasa sulit untuk menghargai orang lain yang pada dasarnya adalah sesama kita manusia. Melalui Natal kita ditegur, diajari, diberi teladan dan bahkan diberi jalan untuk kembali merenungkan makna hidup kita sebagai manusia. Melalui Natal kita juga diingatkan akan eksistensi Allah yang berdaulat, Allah yang hidup dan terutama Allah yang menyelamatkan dan memelihara kehidupan kita.

Meskipun demikian, tidak semua orang di dunia ini melihat peristiwa tersebut dari sudut pandang yang sama. Tidak semua orang menghargai apa yang telah dilakukan Allah melalui peristiwa Natal ini. Tidak sedikit pula yang tidak mempercayai peristiwa kelahiran Yesus itu sebagai suatu peristiwa Ilahi yang bermakna penting bagi manusia. Untuk beberapa kelompok manusia, gagasan bahwa Allah menjadi manusia dan masuk ke dalam lintasan sejarah bukanlah sesuatu yang harus dipahami secara harafiah. Mereka menganggap peristiwa tersebut tidak lebih dari mitos belaka.

Rudolf Bultmann adalah satu di antara sekian banyak orang yang menganggap bahwa kelahiran Yesus adalah sebuah mitos. Dalam tulisan-tulisannya, Bultmann menyatakan bahwa di dalam Perjanjian Baru memang banyak terdapat mitos. Yang dimaksud Bultmann dengan mitos adalah upaya-upaya manusia untuk mengekpresikan keadaan “dunia yang lain” dengan dunia yang kita kenal sekarang ini.

Bagi orang seperti Bultmann dan juga orang-orang yang setuju dengan jalan pikirannya kisah-kisah di dalam Alkitab tidak perlu dilihat sebagai sesuatu yang berasal dari Allah. Tulisan-tulisan para nabi dan rasul tidak perlu dianggap sebagai suatu tulisan yang memiliki semacam otoritas ke-Ilahi-an karena pada dasarnya tulisan-tulisan semacam itu hanyalah suatu ekspresi budaya yang tumbuh dan berkembang karena adanya pengaruh budaya lain. Sebagai contoh, Bultmann menganggap bahwa tradisi Alkitab Kristen amat dipengaruhi oleh tradisi Helenisme dan Gnostisisme, jadi menurutnya tulisan dalam Alkitab bukanlah suatu pekerjaan Ilahi untuk manusia.

Pemikiran semacam Bultmann ini bukanlah sesuatu yang terjadi dan hanya berlaku di masa lalu melainkan juga masih hidup di tengah-tengah masyarakat pada masa sekarang ini. Bentuknya memang berbeda namun semangat yang ditularkannya tetap sama yaitu menyangkali otoritas Ilahi dalam apapun yang dikatakan oleh Alkitab, termasuk dalam hal ini kelahiran Yesus Kristus.

Lalu ada lagi kelompok lain yang kelihatan lebih baik dari kelompok pertama, yaitu mereka yang mengakui bahwa Yesus memang pernah lahir di dalam sejarah namun mereka menyangkali arti penting kelahiran Yesus tersebut. Biasanya kelompok semacam ini adalah kelompok yang terdiri dari para penganut paham rasionalisme, yaitu suatu paham yang menempatkan rasio manusia sebagai otoritas tertinggi dari kebenaran. Menurut mereka rasio atau daya pikir manusia adalah penentu bagi segala sesuatu yang disebut benar atau salah.

Bagi kaum rasionalis ini, apa yang Yesus katakan atau sampaikan bukanlah sesuatu yang baru. Yesus hanya mengutarakan sesuatu yang pada dasarnya memang benar secara logika sehingga tanpa Yesus pun umat manusia dapat menemukan kebenaran itu melalui pertolongan rasio mereka.

Dengan pola pikir atau cara pandang seperti ini tentu amat sulit untuk mengharapkan kaum rasionalis ini dapat menghargai kelahiran Yesus Kristus sebagai sesuatu yang bermakna amat penting bagi umat manusia. Orang-orang semacam ini mungkin mengakui kelahiran Yesus di dalam sejarah, mereka bahkan bisa turut bersuka cita di dalam kegembiraan Natal akan tetapi mereka tidak akan pernah melihat bahwa Natal mempunyai makna yang begitu vital bagi manusia.

Sebagai orang Kristen kita tentu merasa heran mengapa orang-orang seperti yang dicontohkan dalam paragraf-paragraf tadi bisa begitu mengecilkan arti kelahiran Yesus Kristus sementara kita sendiri melihat betapa Natal adalah suatu peristiwa yang begitu luarbiasa bukan?

Tetapi benarkah kita sendiri pun telah melihat Natal sebagai suatu peristiwa yang begitu luarbiasa? Atau adakah rutinitas perayaan Natal dan pengaruh gegap gempita lingkungan dunia kita telah turut menggeser makna Natal itu sendiri? Sejauh mana kita mengenal kisah Natal sebagaimana Alkitab menceritakannya? Sejauh mana kita telah belajar dari detil-detil cerita yang luarbiasa itu? Ataukah karena sudah terlampau sering mendengar khotbah tentang Natal, sensitivitas kita terhadap cerita itu sudah jauh berkurang? Salah satu keterbatasan kita dalam mencerna suatu peristiwa yang sudah terlalu biasa adalah; kita mulai kehilangan makna dari peristiwa tersebut.

Jika kita secara sepintas melihat kondisi sekarang ini, kita tahu bahwa tidak sedikit golongan masyarakat yang ikut bergembira di hari Natal. Bagi kita orang Kristen, fakta ini mungkin cukup menggembirakan karena kita dapat menduga bahwa pengenalan manusia akan Yesus Kristus sudah semakin luas diterima. Akan tetapi jika kita melihat lebih jauh lagi maka kita mungkin baru menyadari bahwa Natal yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya berbeda dengan pesan Natal yang sesungguhnya.

Berbicara tentang Natal, terus terang saja, bagi saya susah-susah gampang. Saya ingin merasa gampang dan ingin membuatnya menjadi gampang karena setidaknya sebagai orang Kristen kita pada umumnya sudah cukup sering mendengar kisah yang agung ini.

Akan tetapi ingin bilang gampang juga ternyata tidak mudah, mengapa? Karena pada dasarnya kita melihat di dunia ini bagaimana Natal (yang kita pikir gampang itu) ternyata telah begitu sering berada di dalam arah yang menyimpang. Misalnya, materialisasi dan sekularisasi seperti yang amat marak dibicarakan sebagai ancaman bagi Natal yang sesungguhnya. Bagi kita orang Kristen yang (barangkali) sudah dewasa, ancaman ini (sekali lagi “barangkali”) tidak terlalu menakutkan, akan tetapi bagaimana dengan generasi penerus kita? Jika pesan Natal (yang terkesan itu-itu saja) tidak kita kumandangkan dengan lantang, tegas dan sesuai ajaran Alkitab maka boleh dipastikan bahwa semangat dan ajaran Natal (sebagaimana Alkitab ingin kita melihatnya) akan luntur di abad-abad mendatang dalam diri anak cucu kita. Kita tentu tidak ingin ini terjadi bukan?

Alasan lain untuk tidak mengatakan Natal sebagai sesuatu yang gampang adalah ketika menyadari keterbatasan dan kegagalan kita (yang begitu seringnya) dalam mengaplikasikan apa yang telah kita renungkan di dalam Natal. Coba saja anda renungkan satu pertanyaan pribadi ini? Sudah berapa Natal berlalu dalam hidup anda sebagai orang percaya? Adakah dengan bertambahnya tahun anda bisa dengan yakin mengakui bahwa anda sudah semakin maju di dalam iman, kasih dan karakter anda? Bukankah kita sama-sama sering merasa maju hari ini, lalu mundur lagi minggu depan, kita merasa berhasil bulan ini lalu blunder lagi bulan depan, lalu maju lagi dan maju lagi dan kemudian mundur lagi dan mundur lagi demikian seterusnya. Jika kemajuan kita sebagai orang Kristen ditentukan semata-mata dari seberapa lama kita telah menjadi orang Kristen atau seberapa banyak usia kita maka kita boleh memastikan bahwa orang-orang yang sudah lama menjadi orang Kristen dan sudah lebih banyak umurnya pasti memiliki kemajuan yang lebih pesat di dalam kerohanian, tetapi apa benar begitu? Nyatanya tidak. Yang masih muda bergumul dengan masalah kerohanian, yang sudah senior usianya pun bergumul dengan persoalan yang sama. Artinya, sampai kapanpun pada dasarnya kita, siapapun orangnya, tetap masih membutuhkan pesan Natal bagi hidup kita. Jadi, tentu adalah penting untuk sekali lagi merenungkan Natal dengan berbagai persoalan serta ajaran yang ada di dalamnya.

Semoga melalui tulisan singkat ini, kita kembali diingatkan bahwa Natal pada dasarnya adalah moment atau suatu batu loncatan untuk mengenal Pribadi Yesus sebagaimana Alkitab bercerita tentang Dia. Berbicara tentang Natal, bukanlah berhenti pada perayaan Natal itu sendiri (yang mana biasanya sebagai panitia Natal kita menjadi amat sibuk sekali dengan segala tetek-bengek seremonial dan rapat-rapat yang melelahkan). Berbicara tentang Natal juga bukanlah berpusat pada Sinterklas atau model pohon terang apa yang akan kita pasang tahun ini. Berbicara tentang Natal, tidak lain dan tidak bukan adalah berbicara tentang Yesus Kristus dan signifikansi (arti penting) kelahiran-Nya bagi umat manusia serta bagaimana respon kita terhadap Dia. Selamat Natal, kiranya Tuhan memberkati kita semua.

Catatan:
Tulisan ini diambil dari buku yang saya tulis pada waktu Natal tahun 2007, berjudul “Christmas Salad”¬ - Bab satu: Pendahuluan. (Oleh: Izar Tirta)