Dalam tulisan-tulisan sebelumnya kita sudah merenungkan tentang lima roti dan dua ikan yang dipersembahkan kepada Tuhan Yesus. Meskipun pemberian itu begitu minim dan boleh dikatakan tidak berarti, tetapi Tuhan kita mengambil persembahan tersebut.
Buku "Siapakah Yesus?- Mengenal Dia Secara Berbeda"
Klik disini.
Berbahagialah orang yang persembahannya diambil oleh Tuhan, sebab Alkitab mencatat tidak semua persembahan manusia pasti diambil-Nya. Perhatikan bahwa istilah yang dipakai adalah “Yesus mengambil,” bukan “Yesus menerima.” Sekilas hampir tidak ada perbedaan di antara kedua pengertian tersebut, tetapi yang ingin ditekankan oleh Yohanes adalah bahwa Tuhan Yesus tidak berada di posisi yang menerima secara pasif saja ketika diberi sesuatu, melainkan secara aktif memutuskan untuk mengambil persembahan itu.
Tidak jarang manusia berpikir bahwa Tuhan pasti menerima apapun yang diberikan kepada-Nya, seakan-akan Dia begitu pasif dan tidak punya pilihan untuk menolak. Bahkan ada pula orang yang melihat Tuhan sebagai pengemis yang suka meminta-minta kepada manusia. Mereka pikir Tuhan begitu kekurangan, sehingga membutuhkan sesuatu dari manusia. Mereka pikir Tuhan begitu miskin sehingga perlu disumbang oleh manusia. Tuhan begitu lemah dan kesepian sehingga manusia harus menyembah dan menyanyi bagi Dia. Betapa kelirunya cara berpikir semacam itu.
Dari sejak kitab Kejadian, Alkitab sudah mengajarkan bahwa Allah adalah Dia yang menyediakan kebutuhan manusia. Bahkan semua ciptaan pun diberikan kepada manusia untuk dikelola, dinikmati dan dimanfaatkan. Tanpa Allah yang terlebih dulu memberikan sesuatu pada manusia, maka manusia tidak mungkin dapat mempersembahkan apapun kepada-Nya.
Pesan seperti ini juga jelas kita baca dalam peristiwa perjumpaan antara Tuhan Yesus dan Petrus di tepi danau. Bukan suatu kebetulan jika Alkitab mencatat bahwa para murid tidak punya lauk pauk (biasanya berupa sepotong ikan) apapun untuk ditawarkan kepada Tuhan Yesus. Baru setelah Tuhan mendatangkan ikan dalam jumlah yang sangat besar, mereka dapat mempersembahkan ikan kepada-Nya untuk dinikmati bersama.
Sebagaimana terjadi di bukit sebelum kebangkitan, demikian pula terjadi di tepi danau setelah kebangkitan, Yesus maju… mengambil … dan memberikannya kepada mereka (Yohanes 21:13). Alkitab dengan konsisten mengatakan bahwa Tuhan Yesus adalah Dia yang berdaulat untuk mengambil, atau tidak mengambil pemberian manusia.
Apabila Tuhan mengambil sesuatu yang kita persembahkan, maka kedaulatan ada di tangan Tuhan, bukan di dalam kehendak manusia. Alkitab mencatat beberapa peristiwa ketika Tuhan tidak bersedia mengambil pemberian manusia.
Contoh yang paling awal dapat kita baca dalam peristiwa Kain dan Habel. Dalam tulisan tentang Kain dan Habel, saya sudah menguraikan panjang lebar mengapa Tuhan mengambil persembahan Habel tetapi menolak persembahan Kain. Jika kita berpikir bahwa Tuhan hanya secara pasif menerima apapun yang dipersembahkan oleh manusia, maka kita harus ingat bahwa Alkitab justru mengajarkan tentang Tuhan yang dapat menolak pemberian manusia.
Raja Daud pun pernah ditolak, ketika ia ingin membangun Bait Allah bagi Tuhan. Gambaran seperti ini cukup kontras dengan pemikiran orang Kristen pada umumnya, bukan? Secara umum kita membayangkan apabila ada orang yang banyak uang, datang dengan niat untuk membangun gereja, maka sudah pasti Tuhan akan senang. Tapi Alkitab mengajarkan bahwa hal yang demikian tidaklah selalu terjadi (1 Raja-raja 8:19).
Tuhan tidak terkesima dengan kedudukan seseorang, meskipun Daud adalah raja. Tuhan tidak terkesima pada kekuatan financial seseorang, walaupun Daud kaya raya. Bahkan sekalipun Daud adalah orang percaya, tidak otomatis Tuhan mau mengambil sesuatu dari dia. Keputusan selalu ada di tangan Tuhan, bukan manusia. Jika itu bisa terjadi pada Daud, siapa yang berani mengatakan bahwa hal yang demikian tidak akan terjadi pada kita?
Meskipun bangsa Israel adalah bangsa pilihan Allah, tetapi Yeremia mencatat perkataan Tuhan: “Sekalipun mereka berpuasa, Aku tidak akan mendengarkan seruan mereka; sekalipun mereka mempersembahkan korban bakaran dan korban sajian, Aku tidak akan berkenan kepada mereka.” (Yeremia 14:12, Yesaya 1:11 juga mencatat hal seperti ini).
Dalam kaitan dengan penolakan Tuhan, barangkali Matius pasal 7 adalah catatan yang paling mengerikan. Di mana sekelompok orang datang ke hadapan Tuhan membawa segala macam prestasi dan pencapaian mereka di dalam melayani Tuhan, tetapi mereka ditolak. Dalam peristiwa Daud, pemberiannya ditolak, tetapi orangnya diterima. Dalam Matius 7, pemberian mereka ditolak, orangnya pun ditolak. Menakutkan, bukan?
Tentu jauh lebih mudah bagi kita untuk mencerna tema yang populer seperti Allah yang menerima, Allah yang membuka tangan, Allah yang menyambut dan lain sebagainya. Tidak harus salah memikirkan sosok Allah yang seperti itu. Dan topik semacam itu pasti akan sejuk di telinga dan hangat di dalam hati. Tetapi Alkitab kita tidak selalu mengatakan hal yang seperti itu. Alkitab juga mengajarkan tentang Tuhan yang berdaulat, Tuhan yang punya hak untuk menerima atau menolak manusia, untuk mendatangi atau meninggalkan, untuk memilih atau membiarkan, untuk mengambil atau melemparkan.
Alkitab tidak ditulis supaya telinga kita jadi sejuk dan hati kita jadi hangat. Alkitab ditulis untuk membawa kita masuk ke dalam pengenalan akan Allah yang sejati, melalui pertobatan yang juga sejati.
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan memberitakan Injil kepada seorang yang tidak percaya kepada Tuhan Yesus. Waktu yang saya pakai untuk menjelaskan Alkitab dan memperkenalkan Kristus kepada dia satu orang saja, jauh lebih lama dari waktu yang biasa saya pakai untuk berbicara dari mimbar. Tetapi pada akhir pembicaraan dia hanya berkata: “Penjelasan Bapak sangat clear dan masuk akal. Tetapi saya tetap belum mau memutuskan.”
Manusia suka berpikir bahwa kedaulatan ada di tangannya. Manusia sering mengira bahwa pilihan ada di dalam genggamannya. Tergantung dia apakah mau terima Tuhan atau tidak. Tergantung keputusannya apakah mau menerima Tuhan Yesus atau menolak Dia. Seolah-olah Tuhan sedang mengemis cinta dan kita manusialah yang berkuasa untuk mau berbagi cinta ataukah tidak. Tuhan yang berharap, kita yang membuat keputusan. Ini sangat sangat keliru dan amat berbeda dengan apa yang Alkitab gambarkan.
Alkitab mengajarkan bahwa bukan manusia yang memutuskan untuk menerima Tuhan, tetapi Tuhan yang memutuskan untuk mau menerima atau tidak menerima seorang manusia. Kedaulatan selalu ada di tangan Tuhan. Orang yang menolak Kristus, pada dasarnya adalah orang yang telah dibuang oleh Sang Bapa.
Oleh karena itu…
Sebagai manusia hendaklah kita senantiasa memelihara rasa takut dan gentar di hadapan Tuhan. Ketika kita memberi persembahan kepada Tuhan, janganlah kita berpikir seperti orang berjiwa kolonial, yang memberi dari posisi di atas kepada orang yang posisinya di bawah. Yang mengalirkan berkat dari orang yang berkecukupan kepada orang yang berkekurangan. Yang menjadi semacam hero bagi orang-orang malang yang tak berdaya. Alkitab tidak pernah mengajarkan hal seperti ini.
Ketika kita datang membawa persembahan, kita adalah orang bawah, tidak peduli berapa kayanya, betapa pintarnya, betapa penuh talentanya, kita tetap adalah orang bawah, yang menyerahkan kembali segala sesuatu yang pernah dititipkan oleh Dia Yang Di atas sana. Adalah keputusan Tuhan, untuk menerima atau menolak apa yang kita persembahkan. Jangan pikir mentang-mentang kita ini kaya atau pintar maka Tuhan merasa semacam ada kebutuhan untuk memakai kita dalam melayani Dia. Kalau Tuhan mau pakai, Dia akan ambil, kalau Dia tidak mau pakai maka Dia tidak akan mengambil, meskipun kita berikan.
Perhatikan bahwa dalam peristiwa di bukit ini, jika Tuhan Yesus tidak mengambil roti dan ikan yang dipersembahkan kepada-Nya, maka roti tetaplah roti dan ikan tetaplah ikan, yang hanya bisa mencukupi kebutuhan orang yang membawanya. Baru setelah Tuhan mengambil roti itu, maka segalanya menjadi indah.
Dan perlu kita garis bawahi pula, sampai kisah itu berakhir dan beralih ke kisah lain, tidak ada satu kali pun Alkitab mencatat, siapa nama anak yang membawa roti dan ikan tadi. Seperti itu pulalah seharusnya pelayanan kita di hadapan Tuhan, stay humble, stay hidden, stay unnoticed, and yet being a bless for others and giving glory to the Lord. Dapatkah kita memiliki hati seperti ini? Kiranya Tuhan berbelaskasihan menolong kita yang lemah dan cenderung besar kepala ini. Amin.