Sunday, January 18, 2009

Natal, ironi dan introspeksi

Oleh: Novizar Tirta

Sebuah lukisan keemasan
Tertoreh lembut di suatu pojok negri
Tergeletak dalam ketidakberdayaan
Menyimpan makna nan sulit dipahami

O .. indahnya lukisan ini
Sayang ia tak terperhatikan
Kepongahan mendorongnya ke tepi
Dibiarkan terbaring sendirian

Biarpun fajar baru direkahkan
Dan warna emasnya memancar tinggi
Namun dalam jerat bernama keangkuhan
Berapa banyak yang masih peduli?

Lukisan keemasan terus kuamati
Sampai sosokku terpantul kelihatan
Di tepian sebuah ironi
Yang berulang menyedihkan

Kuharap Engkau tidak bosan
Melihat nista yang itu-itu lagi
Sungguh heran kalau aku bisa punya harapan
Akan sebuah hidup mulia nan abadi

Apakah dayaku saat ini?
Tergantung lemah pada belas kasih Tuhan
Entah ke kanan ataukah ke kiri
Tertatih-tatih mengikuti-Mu aku berjalan

Oh .. Natal yang tiba bersama embun pagi ini
Sekalipun tak sepenuhnya ku pahami
Tolong lukiskan pada jiwa letihku sekali lagi
Sebuah kenangan indah dari peristiwa di suatu hari
Ketika Allah buktikan bahwa Dia memang peduli
(izar)
***

Apa yang saya coba sampaikan melalui puisi ini:

Natal adalah sebuah kisah abadi yang terus diceritakan dari masa ke masa. Ia bukan cerita biasa, tetapi kisah nyata tentang pertemuan intim antara Yang Ilahi dengan manusia. Ia adalah kisah tentang kemuliaan tak terhingga di tengah dunia biasa-biasa. Saya memakai warna emas untuk melukiskan kemuliaan itu, warna yang umum dipakai dalam kelas Pendalaman Alkitab ketika menceritakan tentang hidup kekal bersama Allah.

Natal menyimpan begitu banyak ironi. Allah Raja semesta alam menjadi bayi yang lemah. Allah yang Mahakaya lahir di kandang nan hina. Allah yang begitu peduli, lahir di tengah masyarakat yang tidak peduli. Allah yang Mahakuasa namun membiarkan diri-Nya digendong dan digantikan popok-Nya oleh dua muda mudi pedesaan. Dan masih banyak lagi ironi lainnya. Tidak peduli berapa banyak yang Allah telah lakukan, manusia tetap kurang memperhatikan. Tidak peduli berapa banyak pengorbanan yang Allah berikan, manusia memandangnya sebagai hal yang biasa saja. Penyakit klasik bernama kesombongan telah dibuktikan oleh sejarah sebagai penyakit paling mematikan. Karena jenis penyakit semacam ini telah menghalangi orang untuk datang kepada-Nya dan memohon dengan rendah hati agar Dia menjadi Juruselamat bagi mereka. O ya, banyak juga yang datang kepada Tuhan, paling tidak kelihatannya begitu. Namun yang mereka inginkan hanyalah hadiah, hanya berkat atau hanya mukjizat, mereka tidak betul-betul menginginkan Dia sebagai Pribadi. Mereka curiga jika hubungan ini semakin berlanjut maka Dia akan menuntut terlalu banyak. Segala tetek-bengek hubungan pribadi yang menyusahkan, untuk apa semua itu?? O ya mereka mencintai Dia, tetapi itu jika Dia melakukan apa yang mereka minta. Jika Dia bertindak dan berkata-kata secara membingungkan dan sulit dimengerti, siapa yang mau peduli?

Baiklah, memang mudah mengkritik dunia ini, saya akui. Paling gampang memang melihat atau mencari kekurangan orang lain. Tetapi bagaimana dengan diri sendiri? Dalam perenungan pribadi menjelang Natal, saya menemukan diri saya pribadi dapat dengan mudahnya memainkan peran para pemilik penginapan “Tidak ada tempat untuk bayi itu.” Atau pergumulan Yusuf dan Maria “Apakah aku sudah melakukan semuanya dengan benar?” Atau barangkali peran para penghuni Betlehem di malam itu “Ayo cepet bobo, jangan pikir macam-macam kita masih banyak urusan besok” Atau para gembala di tengah segala rutinitas mereka yang biasa-biasa saja, seakan tanpa makna. Singkatnya, tidak seorangpun pada masa itu merasa benar-benar siap menyambut kedatangan Yesus, termasuk .. ehm (jangan bilang siapa-siapa ya) saya sendiri di zaman ini.

Gampang sekali untuk masuk dan larut dalam perayaan Natal, apalagi kalau acaranya meriah. Yang susah adalah bagaimana membuat pesan utama Natal itu masuk dan larut dalam diri saya. Apakah Natal kali ini membuat diriku berbeda dengan Natal yang lalu? Kalau iya, apakah lebih baik atau lebih buruk? Terus terang, saya sering mendapati diri saya jatuh bangun dalam upaya mengikut Yesus (siapa bilang jadi orang Kristen itu gampang?). Tidak jarang saya memergoki diri sendiri sedang kebingungan tentang apa yang mesti dilakukan, ketika sesuatu terjadi. Inikah yang Tuhan mau? Atau yang itu? Dan tahu-tahu saya sudah kedapatan berbuat salah. Semua kata-kata itu, yang harusnya tidak terucap tapi malah dikumandangkan. Semua perbuatan itu yang harusnya tidak dilakukan, tapi malah dikerjakan. Yang mestinya dikatakan malah tidak disampaikan, yang mestinya dikerjakan malah tidak pernah tuntas terselesaikan.

Akhirnya, mau tidak mau harus disadari bahwa kita memang tidak bisa memperlakukan Natal sebagai rutinitas, sebab rutinitas adalah pembunuh makna yang paling jempolan. Artinya, ketika kita memandang Natal hanya sebagai rutinitas akhir tahun, maka kita kehilangan maknanya yang dalam. Dan ironi dua ribu tahun lalu bisa berulang pada diri kita. Kita akhirnya akan memandang Natal hanya sebagai tradisi, bukan transformasi. Hanya repetisi, tapi bukan inkarnasi.

Sementara gereja tertentu tidak setuju merayakan Natal, karena 25 Desember bukanlah persis hari dimana Yesus dilahirkan, saya justru bersyukur karena kita bisa merayakannya. Sebab paling tidak Natal adalah sebuah moment, dimana kita boleh introspeksi dan evaluasi diri. Sebuah milestone dimana kita boleh melihat sudah sejauh mana perjalanan rohani kita sekarang ini. Sebuah kesempatan untuk mengenang apa yang mungkin terlupa karena tenggelam dalam kesibukan. Sebuah refleksi, adakah Natal punya sentuhan pribadi bagiku? Seperti pesan klasik yang berbunyi: “Sekalipun Yesus seribu kali lahir ke dunia ini tetapi tidak ada artinya jika Ia tidak lahir di hati anda.” Saya tidak tahu siapa yang pertama buat kalimat itu, tapi saya pikir itu ada benarnya.

Baru saja Natal datang kembali menjumpai kita, persis seperti satu tahun kemarin. Dan kita tidak boleh bosan-bosan mendengar dan merenungkan peristiwa itu, sekalipun (jujur saja) kadang-kadang perasaan itu muncul. Sebab melalui Natal Allah berulang kali berbicara pada kita demikian … (yang juga saya coba ungkapkan dalam puisi singkat) :

“You are My precious child.
Shine on you, I send My love light
Please do not have a dread
‘cause you can call me Dad
Whether you feel sad or in laughter
To the very end of the age, I leave you never”

Biarlah pada kesempatan Natal yang masih hangat ini, pesan tersebut boleh meresap ke dalam diri dan membawa kita pada suatu perubahan, baik bagi diri pribadi maupun bagi orang-orang di sekitar kita. Tuhan memberkati.