Free Download Tulisan Ini
Dalam tulisan ini, saya juga akan mencoba menjawab pertanyaan kuno yang cukup terkenal yang umumnya diajukan oleh orang-orang yang meragukan Allah, yaitu: Dapatkah Allah menciptakan sebuah batu yang begitu besarnya, sampai Allah sendiri tidak mampu mengangkat batu itu?
Oleh:
Izar Tirta
Abstrak:
Tulisan
ini bertemakan tentang arti dari kebebasan, terutama ditinjau dari sudut
pandang kekristenan. Di dalamnya saya mencoba menjawab beberapa pertanyaan
sehubungan dengan arti dari kebebasan tersebut, yaitu:
- Apakah hasrat manusia yang paling dalam?
- Apakah definisi dari kebebasan?
- Apakah arti dari kebebasan menurut pandangan secara umum?
- Apakah arti dari kebebasan menurut pandangan secara filsafat?
- Apakah arti dari kebebasan menurut pandangan secara Alkitabiah?
- Apakah Allah adalah Pribadi yang sungguh-sungguh mempunyai kebebasan?
- Bagaimana kita harus memahami tentang kebebasan manusia?
- Apakah hukum dan peraturan merupakan penghalang bagi kebebasan manusia?
- Apakah yang dimaksud dengan kehendak bebas manusia? [Baca juga: Apa yang dimaksud dengan kemerdekaan menurut pemahaman Kristen? Klik disini.]
- Apakah hasrat manusia yang paling dalam?
- Apakah definisi dari kebebasan?
- Apakah arti dari kebebasan menurut pandangan secara umum?
- Apakah arti dari kebebasan menurut pandangan secara filsafat?
- Apakah arti dari kebebasan menurut pandangan secara Alkitabiah?
- Apakah Allah adalah Pribadi yang sungguh-sungguh mempunyai kebebasan?
- Bagaimana kita harus memahami tentang kebebasan manusia?
- Apakah hukum dan peraturan merupakan penghalang bagi kebebasan manusia?
- Apakah yang dimaksud dengan kehendak bebas manusia? [Baca juga: Apa yang dimaksud dengan kemerdekaan menurut pemahaman Kristen? Klik disini.]
Dalam tulisan ini, saya juga akan mencoba menjawab pertanyaan kuno yang cukup terkenal yang umumnya diajukan oleh orang-orang yang meragukan Allah, yaitu: Dapatkah Allah menciptakan sebuah batu yang begitu besarnya, sampai Allah sendiri tidak mampu mengangkat batu itu?
Semoga
tulisan sederhana ini dapat menjadi masukan yang berguna bagi kita semua yang mungkin
pernah pula mempertanyakan hal-hal yang serupa dengan yang dibahas di sini. [Baca juga: Apa yang dimaksud dengan iman? Klik disini.]
Pendahuluan:
Pernahkah kita bertanya-tanya, apakah yang menjadi hasrat manusia yang paling dalam? Setiap manusia tentu
mempunyai bermacam-macam hasrat di dalam dirinya, namun salah satu hasrat
manusia yang terdalam adalah kebebasan. Saya pernah duduk makan dengan seorang pengusaha garment di Jakarta dan dalam
bincang-bincang sambil makan itu saya
bertanya padanya tentang apakah hal yang
paling penting dan bernilai dalam hidupnya. Tanpa berpikir lama, ia pun
menjawab: “Kebebasan.” [Baca juga: Keunikan ajaran Alkitab tiada bandingnya. Klik disini..]
Siapa sih yang tidak senang hidup bebas? Atau
sebaliknya, siapa sih yang senang jika hidupnya dibatasi? Pergilah ke
penjara-penjara dan anda akan menemukan pribadi-pribadi yang ruang geraknya
amat dibatasi. Mereka tidak boleh pergi ke sana kemari sesuka hati. Mereka
tidak boleh seenaknya mendengarkan
musik atau nonton film. Mereka tidak boleh
sesukanya memesan makanan kesukaan mereka. Mereka bahkan tidak boleh bertemu
anggota keluarga tercinta di sembarang waktu. Atau pergilah ke rumah-rumah
sakit, dan tengoklah mereka yang terbaring di tempat tidur atau yang menderita
kelumpuhan. Mereka tidak bisa pergi ke mana-mana, tidak bisa makan yang
enak-enak, tidak bisa begini dan tidak bisa begitu. Atau coba simak pendapat
Robert T.Kiyosaki tentang kebebasan finansial, yaitu ketika anda tidak perlu
lagi kerja susah payah mencari uang karena uang anda sudah bisa berkembang
sendiri. Ah, seandainya kita selalu memiliki kebebasan dalam hal apapun, betapa
indahnya. [Baca juga: Berdamai dengan Allah sebagai dasar perdamaian dunia. Klik disini.]
Kebebasan adalah kerinduan semua orang. Kita tidak suka dibatasi oleh
apapun.
Bahkan pasangan umat manusia yang pertama yaitu Adam dan Hawa merindukan
kebebasan untuk melakukan apa yang mereka mau sekalipun mereka sudah hidup di
suatu tempat yang begitu lengkap dan indah. Tuhan hanya memberi satu saja
batasan bagi mereka yaitu agar tidak menyentuh buah dari pohon pengetahuan yang
baik dan yang jahat, namun dalam hal itupun mereka terbukti tidak mampu menahan
keinginan mereka untuk membebaskan diri dari batasan yang diberikan oleh Tuhan.
Adam dan Hawa melanggar batas yang diberikan Allah demi sebuah kebebasan dan
berakhir sebagai pasangan yang jatuh ke dalam dosa dan dibuang dari Taman Eden.
Betapa besar harga yang harus dibayar oleh mereka (dan juga kita) demi memenuhi
hasrat akan kebebasan bukan?
Agaknya,
tidak dapat dipungkiri bahwa kita manusia tergila-gila pada kebebasan.
Tapi, sebenarnya apa sih definisi dari kebebasan itu?
Apakah definisi
dari kebebasan?
Bagaimanakah
kita mendefinisikan kebebasan itu? Atau, apakah yang dimaksud dengan kebebasan?
Saya akan memperlihatkan beberapa pandangan atau pengertian tentang kebebasan,
yaitu arti kebebasan ditinjau menurut pandangan secara umum, arti dari
kebebasan ditinjau dari pandangan secara filsafat dan arti kebebasan menurut
pandangan Alkitab.
Apakah arti dari
kebebasan menurut pandangan secara umum?
Pada umumnya orang berpendapat bahwa yang
namanya kebebasan itu artinya adalah
suatu kondisi dimana tidak ada hambatan sama sekali. Seseorang
dapat melakukan apa saja yang menjadi kehendak hatinya, tidak dibatasi oleh
hukum, tidak dibatasi oleh orang lain, tidak dibatasi oleh kelemahan fisik,
tidak dibatasi oleh keadaan keuangan, tidak oleh apapun.
Bahkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan kebebasan sebagai :
- Lepas sama sekali, tidak terhalang, tidak terganggu sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat dengan leluasa
- Lepas dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut
- Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan.
- Merdeka.[1]
Saya
yakin ini adalah pandangan umum tentang kebebasan yang dianut oleh sebagian besar
orang di dunia ini.
Apakah arti dari
kebebasan menurut pandangan secara filsafat?
Di
dalam Kamus Filsafat, kebebasan dijelaskan dengan beberapa pengertian pokok [2],
yaitu:
- Keadaan tidak dipaksa atau ditentukan oleh sesuatu dari luar, sejauh kebebasan disatukan dengan kemampuan internal definitif dari penentuan diri.
- Penentuan diri sendiri, pengendalian diri, pengaturan diri, pengarahan diri.
- Kemampuan dari seorang pelaku untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan kemauan dan pilihannya. Mampu bertindak sesuai dengan apa yang disukai, atau menjadi penyebab dari tindakan-tindakan sendiri.
- Didorong dan diarahkan oleh motif, ideal, keinginan dan dorongan yang dapat diterima sebagaimana dilawankan dengan paksaan, atau rintangan (kendala) eksternal atau internal.
- Kemampuan untuk memilih dan kesempatan untuk memenuhi atau memperoleh pilihan itu.
- Rupanya definisi dari kebebasan yang dijabarkan oleh Kamus Filsafat lebih luas daripada yang dijabarkan oleh Kamus Umum Bahasa Indonesia. Di dalam pengertian Filsafat, kebebasan lebih difokuskan pada diri sendiri, yaitu suatu kemampuan inherent untuk mengatasi serta meresponi keadaan di luar diri. Sedangkan di dalam pengertian umum sebuah kamus bahasa, kebebasan lebih difokuskan pada keadaan di luar diri, yaitu suatu keadaan yang tiada rintangan.
Kedua
kamus tersebut telah melengkapi kita dengan pengertian yang baik karena telah
memberi kita persepektif tentang kebebasan melalui sudut pandang di luar diri,
maupun di dalam diri.
Apakah arti dari
kebebasan menurut pandangan secara Alkitabiah
Alkitab
juga berbicara mengenai kebebasan dan tentunya Alkitab pun mempunyai cara
pandangnya sendiri mengenai kebebasan.
Di dalam Alkitab, kata yang dipakai untuk
kebebasan adalah ἐλευθερίαν (dibaca: Eleuterian)
yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris menjadi Freedom atau Liberty.
Kata
Eleuterian ini muncul beberapa kali
di dalam Alkitab, yaitu:
Roma 8:21
tetapi dalam pengharapan,
karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan
dan masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah.
Dalam ayat ini, kata eleuterian telah diterjemahkan menjadi merdeka, yaitu
dilepaskan dari perbudakan kebinasaan dan dimasukkan ke dalam suatu keadaan
yang bebas sebagai anak Allah yang mulia. Dari ayat ini kita belajar bahwa
kebinasaan itu merupakan sesuatu yang memperbudak kita. Tetapi di dalam
kuasa-Nya, Allah mampu member kita kebebasan dari kebinasaan tersebut.
1 Korintus 10:29
Yang aku maksudkan dengan
keberatan-keberatan bukanlah keberatan-keberatan hati nuranimu sendiri, tetapi
keberatan-keberatan hati nurani orang lain itu. Mungkin ada orang yang berkata:
"Mengapa kebebasanku harus ditentukan oleh keberatan-keberatan hati nurani
orang lain?
Dalam
ayat ini, kata eleuteria diterjemahkan menjadi kebebasan dan dikaitkan dengan
keberatan hati nurani orang lain.
2 Korintus 3:17
Sebab Tuhan adalah Roh; dan di
mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan.
Dalam
ayat ini, kata eleuteria dikaitkan dengan Roh Allah. Penting dicatat disini
adalah dimana ayat menekankan bahwa sumber atau penyebab utama dari kemerdekaan
adalah Roh Allah sendiri. Apabila sebelumnya kita melihat bagaimana kamus
Filsafat menekankan kebebasan pada diri kita sendiri, maka Alkitab member
penekanan bahwa Roh Allah itulah sumber dari kebebasan kita.
Galatia 2:4
Memang ada desakan dari
saudara-saudara palsu yang menyusup masuk, yaitu mereka yang menyelundup ke
dalam untuk menghadang kebebasan kita yang kita miliki di dalam Kristus Yesus,
supaya dengan jalan itu mereka dapat memperhambakan kita.
Dalam
ayat ini, kata eleuteria diterjemahkan menjadi kebebasan dan disini kita diajar
bahwa di dalam Kristus Yesus ada kebebasan. Justru orang-orang yang melawan
Yesus itulah yang ingin meniadakan kebebasan kita.
Galatia 5:1 dan
13
Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita.
Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan. (Ayat
1)
Saudara-saudara, memang kamu
telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan
itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang
akan yang lain oleh kasih. (Ayat 13)
Dalam
ayat 1, kata eleuteria kembali diterjemahkan menjadi merdeka. Dan sebagaimana
dalam Galatia 2:4 dijelaskan pula disini bahwa di dalam Kristus ada
kemerdekaan. Kristus yang memerdekakan kita dan Kristus telah mengenyahkan kita
dari kuk perhambaan.
Sementara
itu dalam ayat 13, kata eleuteria dikaitkan dengan suatu keadaan yang memiliki
kebebasan untuk memilih, yaitu memilih untuk hidup dalam dosa, atau memilih
untuk melayani orang lain dengan kasih. Konsep memilih hidup di dalam dosa
memang terdengar sangat bertetangan dengan konsep keselamatan, namun mungkin
sekali di bagian ini Paulus ingin melukiskan bahwa di dalam keadaan kita yang
sudah dimerdekakan, kita masih memiliki kemungkinan untuk hidup di dalam dosa.
Dan tentu saja Paulus tidak ingin hal ini terjadi, sehingga ia menasihati
jemaat untuk memilih cara hidup yang lain di dalam kemerdekaan mereka tersebut.
Yakobus 1:25
Tetapi barangsiapa meneliti
hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di
dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh
melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.
Dalam
ayat ini, kata eleuteria diterjemahkan memerdekakan dan dikaitkan dengan hukum.
Ini adalah suatu konsep yang unik dan khas Alkitab. Dimana kebebasan justru
dikaitkan dengan hukum. Dalam konsep kita sebagai manusia, hukum adalah sesuatu
yang mengikat dan terkesan amat berseberangan dengan konsep kebebasan. Tetapi
Alkitab justru mengajarkan bahwa hukum itulah sumber kemerdekaan kita. Bahkan
hukum itu membawa kita pada suatu kebahagiaan.
Yakobus 2:12
Berkatalah dan berlakulah
seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang.
Dalam
ayat ini, kata eleuteria kembali dikaitkan dengan hukum yang memerdekakan.
1 Petrus 2:16
Hiduplah sebagai orang merdeka
dan bukan seperti mereka yang menyalahgunakan kemerdekaan itu untuk
menyelubungi kejahatan-kejahatan mereka, tetapi hiduplah sebagai hamba Allah.
Dalam
ayat ini, kata eleuteria dikaitkan dengan kondisi orang merdeka yang sekaligus
justru merupakan hamba Allah. Sekali lagi ada konsep yang agak berbeda dengan
konsep yang dipahami siapapun di luar Alkitab. Kemerdekaan dikaitkan dengan
keadaan sebagai hamba yaitu hamba Allah. Tetapi apabila kita perhatikan di
dalam ayat-ayat sebelumnya, sebetulnya ada benang merah yang dapat kita tarik
dari konsep Alkitab ini. Sebab Allah sendiri adalah sumber kemerdekaan itu,
maka tidak mengherankan apabila seseorang yang menjadi hamba Allah maka orang
itupun akan menikmati kemerdekaan tersebut.
2 Petrus 2:19
Mereka menjanjikan kemerdekaan kepada orang lain, padahal mereka sendiri
adalah hamba-hamba kebinasaan, karena siapa yang dikalahkan orang, ia adalah
hamba orang itu.
Dalam
ayat ini, kata eleuteria diterjemahkan menjadi kemerdekaan dan dikontraskan
dengan hamba-hamba kebinasaan. Di ayat sebelumnya kita bertemu konsep hamba,
yaitu hamba Allah. Di sini kita menemukan konsep hamba pula, yaitu hamba
kebinasaan. Alkitab mengajarkan pada kita bahwa persoalannya bukanlah menjadi
hamba atau tidak menjadi hamba. Persoalan utamanya adalah menjadi hamba
siapakah seseorang itu. Jika ia menjadi hamba Allah maka ia akan merdeka,
apabila menjadi hamba kebinasaan maka ia sama sekali tidak merdeka, melainkan
justru dikalahkan.
[Tuhan Yesus adalah Pribadi yang Mahakuasa dan bebas melakukan apapun yang Ia kehendaki di dalam kuasa-Nya. Tetapi di dalam kebebasan-Nya itu, Tuhan Yesus justru memilih menjadi Manusia. Apa alasan Tuhan Yesus memilih untuk menjadi Manusia? Klik di sini.]
Beberapa
hal yang dapat kita rangkum dari ayat-ayat yang membahas tentang eleuteria atau
kebebasan (atau kemerdekaan) adalah:
- Bahwa kebebasan atau kemerdekaan itu bersumber dari Allah sendiri.
- Bahwa Kristus telah secara aktif memerdekakan kita dari kebinasaan.
- Bahwa orang-orang yang melawan Kristus justru merupakan pribadi-pribadi yang anti terhadap kebebasan. Tanpa mereka sadari, pemberontakan mereka pada Kristus justru akan meniadakan kebebasan yang Kristus telah kerjakan dan berikan pada manusia.
- Bahwa hukum yang berasal dari Allah adalah sesuatu yang menjamin kebebasan kita bahkan membawa kita pada kebahagiaan.
- Bahwa menjadi hamba Allah adalah sesuatu yang justru membawa kita pada kebebasan.
Apakah Allah
adalah Pribadi yang sungguh-sungguh mempunyai kebebasan?
Catatan:
Berbicara tentang kebebasan, tentu tidak lepas
dari berbicara tentang kekuasaan. Artinya, jika seseorang memiliki kekuasaan
yang sangat besar (entah itu kuasa untuk memerintah ataupun kuasa untuk
memiliki/disebut juga “kaya akan harta”), tentu ia juga memiliki kebebasan yang
sangat besar.
Berbicara tentang pribadi yang paling
berkuasa, tentu juga tidak lepas dari berbicara tentang Allah. Karena di jagat
raya ini, tidak ada pribadi lain yang lebih berkuasa dari Allah. Apakah Allah
yang Mahakuasa ini benar-benar memiliki kebebasan yang tanpa batas?
Pernah ada orang
iseng bertanya begini: Dapatkah Allah menciptakan sebuah batu yang begitu
besarnya, sampai Allah sendiri tidak mampu mengangkat batu itu? (Cobalah jawab pertanyaan ini dalam hati.)
Jika kita jawab: Dapat. Wah berarti Allah
kasihan juga ya, mampu menciptakan batu, tetapi tidak mampu mengangkat batu
itu.
Atau, jika kita jawab: Tidak dapat. Wah,
katanya Allah itu Mahakuasa, tapi kok tidak bisa menciptakan batu yang seperti
itu?
Wah gimana yah? Kok sepertinya jawaban
apapun jadi salah?
Sebenarnya kita tidak perlu bingung menghadapi
pertanyaan seperti ini. Ini adalah pertanyaan bodoh yang muncul karena
kurangnya pengertian akan sifat Mahakuasa Allah serta kebebasan-Nya. Orang yang
mengajukan pertanyaan ini memang memiliki niat kurang baik untuk mendiskreditkan
Allah yang dipercayai orang Kristen.
Pertanyaan ini mempunyai asumsi dasar
bahwa: “Jika Allah itu Mahakuasa, maka tentu Ia mampu menciptakan apa saja
sebebas-bebasnya. Jika Ia tidak mampu menciptakan (atau melakukan) segala
sesuatu sebebas-bebasnya, maka tentu Ia tidak Mahakuasa.”
Asumsi di atas salah, maka tidak heran jawaban
apapun yang kita berikan sepertinya ikut keliru. Allah memang Mahakuasa,
tetapi bukan berarti Allah dapat melakukan segala sesuatu sebebas-bebasnya.
Kemahakuasaan Allah dibatasi oleh sifat dasar atau natur dari Allah sendiri.[3]
Maka jika pandangan populer tentang kebebasan berarti lepas dari segala
hambatan dan aturan, ternyata hal itu tidak terjadi (bahkan) pada Allah Yang
Mahakuasa. Allah disebut Mahakuasa karena tidak ada kuasa lain di luar Pribadi
Allah yang mampu menandingi kekuasaan Allah. Satu-satunya pembatas dari
ke-Mahakuasa-an Allah adalah Pribadi Allah sendiri.
Allah tidak dapat melakukan apa saja
sebebas-bebasnya dan sekehendak hati-Nya. Contohnya: Dapatkah Allah berbohong?
Dapatkah Allah tidak setia? Dapatkah Allah tidak mengasihi? Dapatkah Allah
berbuat dosa? Dapatkah Allah mati [4]?
Dapatkah Allah tidak Mahatahu? Dapatkah Allah … berhenti menjadi Allah?? Semua
pertanyaan ini memberikan jawaban “Tidak” pada kita.
Allah kita yang Mahakuasa pun dibatasi oleh
sifat Ilahi-Nya. Apakah ini berarti bahwa Allah benar-benar tidak bebas? Tidak
demikian, justru batas-batas yang Allah buat berdasarkan sifat Pribadi-Nya itu
memungkinkan Allah secara bebas bertindak sebagaimana Allah seharusnya.
Karena “batasan” sifat kudus-lah, maka Allah
bebas dari dosa, sehingga akhirnya Ia selama-lamanya Allah yang tidak pernah
tercemar oleh kesalahan. Dan pada gilirannya kita boleh merasa bebas dan aman
berada bersama Dia. Seandainya Allah bebas sebebas-bebasnya, suka berbuat
sekehendak hati-Nya, maka bagaimana kita bisa merasa damai, sukacita dan aman?
Kita akan khawatir bahwa suatu saat Dia akan mengambil kita dan mempermainkan
diri kita sekedar untuk bersenang-senang.
Karena Allah “dibatasi” oleh sifat kebenaran,
maka Allah tidak mungkin berbohong pada kita, sehingga kita boleh dengan penuh
keyakinan menantikan segala janji-Nya. Seandainya Allah tidak “dibatasi” oleh
sifat setia-Nya, maka darimana kita bisa yakin bahwa Dia tidak akan pernah
meninggalkan kita?
[Di dalam kebebasan-Nya Allah telah memberi janji keselamatan kepada manusia. Salah satu janji keselamatan yang paling terkenal adalah janji yang tercatat di dalam Yohanes 3:16. Ayat ini sangat populer dan bahkan banyak dihafal oleh orang Kristen. Tetapi pertanyaannya, apakah kita sungguh-sungguh memahami maksud dari ayat terkenal tersebut? Mari baca dan renungkan pengertian dari Yohanes 3:16 tentang janji keselamatan Allah, klik di sini]
Melalui Alkitab kita tahu bahwa Allah telah
memberi diri-Nya diikat oleh janji-janji-Nya. Ada janji keselamatan, ada janji
penyertaan, ada janji penghiburan, ada janji tentang dunia yang baru dan masih
banyak lagi janji-janji lainnya. Dengan mengucapkan sebuah janji, itu berarti
Allah telah rela untuk diikat oleh janji tersebut. Akibatnya Allah tidak dapat
lagi bebas untuk tidak memenuhi apa yang Ia janjikan. Sebagai contoh:
Allah “tidak dapat” tidak menyertai kita, karena Ia telah berjanji dan karena
Ia adalah setia. Allah terikat oleh aturan-aturan tertentu. Dan dengan
demikian, bahkan hanya dengan cara demikian, Allah dapat secara bebas mengasihi
kita dan menjalankan kehendak-Nya.
Dari apa yang terurai secara singkat di atas,
kita dapat belajar suatu fakta penting yaitu bahwa “kebebasan membutuhkan
suatu hukum atau batasan untuk memastikan kebebasan itu dapat dijalankan.”
(Jangan baca terburu-buru bagian ini, renungkan baik-baik maknanya)
Jadi sekarang, jika Allah yang Mahakuasa saja
telah dibatasi oleh Hukum-Nya sendiri, maka terlebih lagi kita bukan?
Bagaimana kita
harus memahami tentang kebebasan manusia?
Apakah
hukum dan peraturan merupakan penghalang bagi kebebasan manusia?
Sebagaimana
yang sudah saya bahas di atas, kebebasan adalah
kerinduan semua orang. Kita tidak suka dibatasi oleh apapun. Tetapi dapatkah
kita bebas sebebas-bebasnya? Tidak. Bahkan untuk mencapai suatu kebebasan, kita
membutuhkan hukum untuk menjamin kebebasan itu tetap ada. Bahkan Allah
Yang Mahakuasa-pun tidak bebas sebebas-bebasnya. Allah
membatasi diri-Nya dengan janji-janji yang harus ditepati. Ia juga dibatasi
oleh sifat Ilahi yang tidak mungkin bertentangan satu sama lain.
Immanuel Kant pernah mengatakan: “Kebebasan
bukanlah berarti bahwa kita dapat melakukan apa saja yang kita mau. Kebebasan
berarti kita dapat mengendalikan diri untuk tidak melakukan apa yang kita
inginkan.” Sungguh suatu pandangan filosofi yang bijaksana, bukan?
Bayangkan anda sedang mengemudi kendaraan di
jalan raya. Anda sedang terburu-buru ke suatu tempat dan berharap tidak ada
apapun yang menghalangi. Tapi sayang sekali, ketika mendekati perempatan jalan,
lampu rambu lalu lintas sudah berwarna kuning. Jantung anda berdebar lebih
kencang, anda memacu kendaraan karena berharap kebebasan anda tidak dihalangi
oleh rambu konyol ini. Dan ketika anda benar-benar sampai di persimpangan
jalan, lampunya benar-benar sudah menjadi merah. Anda kesal sekali. Hati anda
begitu ingin bebas melaju dengan kendaraan anda, tapi hukum mengatakan bahwa
anda harus berhenti. Apakah dalam hal ini kebebasan anda telah dikekang? Tidak.
Justru pengendara ini harus bersyukur bahwa
ada hukum yang mengatur jalan raya. Sebab jika tidak demikian maka semua orang
akan seenaknya mengemudikan kendaraan sehingga berakibat timbulnya banyak
kecelakaan. Seandainya saja pengendara tadi melawan hukum yang ada karena
dianggap telah membatasi kebebasan dia, maka mungkin sekali nyawanya akan
terancam oleh pengendara dari arah lain. Justru
hukum yang membatasi dia melakukan segala sesuatu sebebas-bebasnyalah yang
telah memungkinkan dia masih dapat hidup dengan bebas. Inilah paradoks
kebebasan yang jarang dimengerti dan jarang mau diterima oleh manusia.
Seorang pemuda berpikir: “Orang yang melarang freesex adalah orang yang
kuno. Sekarang ini jaman yang bebas. Kita
boleh tidur dengan perempuan mana saja asalkan atas dasar suka sama suka.” Lalu
ia pun menjalankan hidup seperti yang telah ia percayai, sampai suatu ketika
dia tertular penyakit kelamin. Pada saat itu dia (mungkin) baru sadar bahwa
“kebebasan”nya selama ini telah membuat ia terikat pada sebuah penyakit.
Seorang suami barangkali berpikir: “Orang lain
bebas berselingkuh, masa sih saya engga boleh?” Lalu ia pun mulai menjalin
hubungan bebas dengan perempuan lain, hanya untuk menemukan bahwa perkawinannya
kemudian terancam. Ia lalu mulai sadar bahwa ia tidak dapat lagi secara bebas
mencintai istri dan anak-anaknya.
Seorang anak barangkali kesal bukan main
ketika disuruh belajar. Hatinya ingin bebas bermain, tetapi orangtuanya memaksa
dia belajar. Akhirnya ia memberontak dan sama sekali tidak mau belajar. Ia
sekolah apa adanya, tidak serius dan berhenti di tengah jalan. Tadinya ia
berpikir sedang menjalankan kebebasannya. Belakangan ia baru sadar betapa
terbatasnya dirinya, ketika harus mencari pekerjaan.
Contoh-contoh dari kehidupan di atas
menyuarakan pada kita tentang betapa pentingnya suatu hukum atau aturan bagi
hidup ini demi terciptanya kebebasan hidup yang sejati.
Firman Tuhan berkata: “Jikalau kamu tetap
dalam firman-Ku … kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan
memerdekakan kamu.” (Yoh 8:31,32). Dalam ayat ini, kita melihat suatu pandangan
dari Tuhan kita Yesus Kristus tentang arti sebuah kebebasan atau kemerdekaan.
“Jika kamu tetap dalam firman-Ku” menyiratkan suatu hukum atau aturan atau
pedoman. Firman Tuhan adalah suatu hukum yang harus diikuti. Tetapi hukum ini
bukan dimaksudkan untuk menghalangi kebebasan kita. Justru hukum yang
ditetapkan oleh Tuhan dimaksudkan agar kita dapat benar-benar hidup dalam
kebebasan yang sejati.
Pada umumnya, orang memandang negatif suatu
hukum atau aturan. Tapi Firman Tuhan memberi kesaksian bahwa hanya dengan tetap
tinggal di dalam aturan-aturan Firman Tuhan, kita dapat sampai pada kebebasan yang
kita idam-idamkan itu. Dan kebebasan ini bukanlah kebebasan yang kelak akan
menjerat kita dalam kesulitan, tetapi kebebasan yang benar-benar membawa kita
pada arti sebuah hidup yang sejati. Sebuah hidup yang benar-benar dapat
dinikmati kini dan kemudian.
Orang yang menolak aturan atau ajaran atau
hukum di dalam Firman Tuhan, sedang memintal bagi dirinya sendiri suatu jerat
yang mematikan dikemudian hari.
Firman Tuhan mengatakan jangan mencuri sebab
jika kita mencuri maka sekalipun untuk sesaat kita terlihat bebas mengambil
milik orang lain sebenarnya kita telah terjerat oleh dosa mencuri tersebut.
Akibatnya, nama kita akan menjadi rusak. Kepercayaan orang lain pada kita akan
hilang. Kita bahkan suatu saat mungkin saja akan tertangkap dan dihukum.
Yakub adalah seorang yang suka menipu.
Pikirnya mungkin ia sedang bebas melakukan apa yang ia kehendaki. Tapi apa yang
terjadi kemudian? Ia juga kena tipu orang lain. Dan di kemudian hari ia tidak
berani bertemu Esau, kakaknya yang telah ia tipu.
Lawanlah Firman Tuhan, maka anda akan
menemukan jerat lain yang mematikan. Terimalah Firman Tuhan, maka anda akan
menemukan kebebasan sejati.
Kebebasan dalam ancaman
Saat ini kita hidup di era yang disebut
sebagai era pasca-modern atau postmodern. Satu diantara beberapa ciri
yang menonjol dari era ini adalah hasrat yang kuat untuk mendobrak hukum-hukum
yang berlaku, termasuk di dalamnya (bahkan terutama di dalamnya) hukum yang
ditetapkan di dalam Alkitab. Kalaupun hukum yang berlaku itu tidak dapat
didobrak secara mutlak, setidaknya mereka akan membuat hukum itu menjadi kabur
maknanya.
Contoh paling mudah yang dapat saya utarakan
adalah tentang keluarga. Alkitab telah membuat hukum yang jelas dari sebuah
keluarga yaitu adanya seorang laki-laki yang pergi meninggalkan orangtuanya
untuk bersatu dengan seorang perempuan, yaitu istrinya. Firman Tuhan juga
mengatur siapa yang harus menjadi kepala keluarga dan bagaimana istri harus
bersikap padanya serta bagaimana suami harus bersikap pada istrinya. Tapi apa
yang terjadi di zaman postmodern ini? Istilah keluarga telah dikaburkan begitu
rupa sehingga timbul istilah “keluarga dari pasangan homoseks.” Ini benar-benar
keterlaluan. Tidak ada yang disebut sebagai “pasangan homoseks” sekalipun jika
mereka kelak dapat mengadopsi anak untuk dibesarkan. Aturan dari Tuhan tentang
pasangan adalah terdiri dari pria dan wanita. Tetapi manusia ingin mendobrak
aturan (kuno) ini. Menurut manusia, pasangan tidak harus laki dan perempuan.
Sesama lelaki atau sesama perempuan yang saling mencintai pun dapat disebut
sebagai pasangan. Dan lebih gilanya lagi, mereka ini lalu berjuang agar
eksistensi mereka diakui oleh pemerintah di Indonesia. Dan menurut mereka,
setiap upaya untuk menghentikan perjuangan mereka itu, dapat dikategorikan
sebagai perusak kebebasan manusia. Ini benar-benar edan.
Gerakan feminisme yang berjuang mengangkat
harkat perempuan pun jangan lupa untuk diwaspadai. Gerakan ini pun sebenarnya
adalah buah dari pemikiran postmodern.
Di satu sisi, benar sekali jika harkat perempuan tidak boleh diinjak-injak.
Yesus pun menghargai perempuan. Akan tetapi yang terjadi zaman sekarang sudah
kebablasan. Wanita-wanita yang tidak mau dikekang oleh suaminya menyatakan diri
untuk bebas berkarir (sampai sini masih bagus), tiba pada suatu titik dimana
karena merasa setaraf dengan laki-laki (dan benar memang mereka setaraf)
akhirnya sebagai istri tidak mau lagi tunduk (mungkin hormat lebih tepat) pada
keputusan suaminya. Mereka mulai mendominasi dan mengambil alih peran kepala
keluarga. Dan pada titik ini, bahaya sudah mengintai di depan pintu. Keluarga
mana saja yang peran kepala keluarganya terbalik dari apa yang Tuhan tetapkan
akan menemukan ketidakharmonisan. (Jangan langsung percaya kata-kata saya, coba
renungkan dan amati kisah nyata dalam kehidupan disekitar kita).
Contoh-contoh ini memang terlalu sedikit dan
terbatas, tetapi setidaknya saya ingin memunculkan sebuah wacana berpikir,
bahwa kebebasan yang Tuhan ingin kita nikmati, saat ini telah begitu banyak
disalah mengerti dan diselewengkan. Tuhan ingin kita hidup bebas, tetapi hidup
bebas yang diatur oleh Firman Tuhan. Hidup bebas di luar Firman Tuhan adalah
jerat yang mematikan. Orang yang ingin memiliki kebebasan tetapi menolak
Firman, tidak mungkin menemukan apa yang ia cari. Silahkan anda renungkan
baik-baik. Tuhan memberkati.
Apakah yang
dimaksud dengan kehendak bebas manusia?
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan kehendak bebas manusia
adalah suatu kebebasan dalam memilih untuk taat kepada Allah atau tidak taat kepada
Allah. Jadi kehendak bebas tersebut tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara
manusia dengan Allah.
Secara
tradisional, kekristenan mengenal ada 4 jenis kehendak bebas yang ada di dalam
diri manusia, yaitu;
- Kehendak bebas manusia sebelum jatuh ke dalam dosa.
- Kehendak bebas manusia setelah jatuh ke dalam dosa.
- Kehendak bebas manusia setelah ditebus oleh Yesus Kristus.
- Kehendak bebas manusia setelah hidup disurga bersama-sama dengan Allah.
Apakah yang
dimaksud dengan kehendak bebas manusia sebelum jatuh ke dalam dosa?
Sebelum
jatuh ke dalam dosa, manusia, yaitu Adam dan Hawa diciptakan dengan sungguh
amat baik. Sungguh amat baik disini bukan saja terutama mengenai keindahan
raga, melainkan juga mengenai keindahan hubungan dengan Allah.
Manusia
diciptakan untuk dekat dengan Allah, berjalan-jalan bersama dengan Allah di
Taman Eden. Namun, kepada manusia Allah juga telah memberikan suatu kehendak
bebas, yaitu suatu kemampuan untuk memilih mentaati Allah atau melawan Allah.
Tentu saja ini penting karena manusia bukanlah robot yang tindakan sudah
dikendalikan secara mutlak mengikuti program-program yang sudah ditetapkan
terlebih dahulu.
Manusia
justru disebut sebagai manusia dan dikenal sebagai ciptaan yang paling mulia
serta merupakan gambaran dan citra Allah, salah satunya adalah karena manusia
memiliki kehendak yang bebas. Manusia dapat membuat keputusan dalam hubungannya
dengan Sang Pencipta.
Yang
menjadi persoalan adalah, apakah manusia akan memakai kehendak bebasnya
tersebut untuk taat, atau untuk tidak taat? Dari Kitab Kejadian kita diberitahu
bahwa manusia memilih untuk tidak taat.
Di
taman Eden, Adam dan Hawa telah menyia-nyiakan kebebasan mereka dengan cara
berusaha untuk membebaskan diri mereka dari Allah. Sungguh suatu ironi yang
tidak dapat lagi kita sendiri perbaiki.
Apakah yang
dimaksud dengan kehendak bebas manusia setelah jatuh ke dalam dosa
Saat
ini kita semua dilahirkan sebagai manusia yang telah jatuh ke dalam dosa.
Sebagai keturunan Adam dan Hawa, tidak seorang pun dari kita yang dapat
menghindar dari status kita sebagai manusia yang telah jatuh ke dalam dosa.
Berbeda
dengan pandangan dunia tentang kebebasan manusia, Alkitab mengajarkan bahwa
sebagai manusia yang telah jatuh ke dalam dosa sebetulnya kita sudah tidak lagi
memiliki kebebasan.
Sekali
lagi perlu kita pahami, bahwa bagi Alkitab yang dimaksud dengan kebebasan
adalah kemampuan untuk taat atau tidak taat kepada Allah. Sehingga tidaklah
mengherankan jika setelah jatuh ke dalam dosa maka kebebasan itu telah hilang.
Mengapa demikian? Karena setelah manusia jatuh ke dalam dosa, maka manusia
menjadi budak dari dosa. Segala keinginan manusia tidak lain dan tidak bukan
adalah dosa semata. Manusia hanya bisa mengikuti keinginan hatinya yang berdosa
dan tidak mungkin dapat taat kepada Allah.
Secara
sepintas, kita masih dapat melihat bahwa seolah-olah manusia memiliki kebebasan
tersebut, namun ini bukanlah kebebasan yang dimaksud oleh Alkitab. Ini adalah
suatu keadaan yang liar dan semau-maunya saja. Tidak mengherankan jika Yesus
pernah berkata: … sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat
apa-apa. (Yohanes 15:5). Mengapa Yesus seolah menuduh kita tidak dapat berbuat
apa-apa? Bukankah manusia telah berbuat banyak dan mencapai prestasi yang luar
biasa di dunia ini? Yang Yesus maksudkan adalah di dalam segala prestasi
manusia yang luar biasa itu, manusia telah melakukannya tanpa diiringi dengan
dorongan untuk memiliki ketaatan kepada Allah.
Seseorang
dapat saja mencapai sesuatu hasil yang luarbiasa di dunia ini sekalipun dengan
motivasi yang salah. Di dalam konteks manusia berdosa, motivasi pencapaian
manusia yang terutama adalah dirinya sendiri, yaitu bagaimana memuaskan
kebutuhan dirinya sendiri. Manusia tidak dapat membebaskan dirinya dari
motivasi utama ini, karena manusia adalah makhluk yang telah jatuh ke dalam
dosa.
Ungkapan
yang cukup lengkap mengenai kehendak atau motivasi manusia yang telah jatuh ke
dalam dosa dapat kita lihat dalam tulisan Rasul Paulus pada Surat Roma 3:10-18,
yang berbunyi:
(10)
seperti ada tertulis: "Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. (11) Tidak
ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. (12)
Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang
berbuat baik, seorangpun tidak. (13) Kerongkongan mereka
seperti kubur yang ternganga, lidah mereka merayu-rayu, bibir mereka
mengandung bisa. (14) Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, (15) kaki mereka cepat untuk menumpahkan
darah. (16) Keruntuhan dan kebinasaan mereka tinggalkan di jalan mereka, (17) dan
jalan damai tidak mereka kenal; (18) rasa takut kepada Allah tidak ada pada
orang itu.
Dari
ayat-ayat di atas, kita diberi gambaran oleh Alkitab mengenai betapa manusia
yang telah jatuh ke dalam dosa itu pada dasarnya sudah begitu terikat kuat oleh
kuasa dosa. Manusia sudah kehilangan kemampuan untuk taat kepada Allah, segala
laku dan perbuatan manusia berdosa pada dasarnya adalah melawan Allah.
Apakah yang
dimaksud dengan kehendak bebas manusia setelah ditebus oleh Yesus Kristus?
Setelah
ditebus oleh Yesus Kristus melalui kematian di kayu salib dan kebangkitan-Nya,
manusia diberi kuasa oleh Roh Kudus untuk menerima karya keselamatan tersebut.
Orang
yang percaya kepada Yesus Kristus ini secara rohani telah dilahirkan kembali ke
dalam suatu kehidupan yang baru secara spiritual. Apabila kita lihat secara
jasmani, orang tersebut tidak memiliki perbedaan antara sebelum menjadi orang
percaya dan setelah menjadi orang percaya. Namun secara spiritual, ada sesuatu
yang berubah. Salah satu indikasi perubahannya adalah kesediaannya untuk
mengakui diri sebagai orang berdosa yang tidak mampu menyelamatkan diri dari
hukuman kekal. Orang ini sadar bahwa dirinya membutuhkan juru selamat dan ia
percaya bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan.
Kemampuan
untuk percaya pada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat serta percaya bahwa
Alkitab adalah Firman Tuhan bukanlah suatu kemampuan yang muncul dari dalam
diri manusia yang telah jatuh ke dalam dosa. Kemampuan semacam itu adalah
anugerah dari Roh Kudus sendiri. Dan Roh Kudus yang telah menganugerahkan
kemampuan tersebut adalah Roh yang juga telah memberi suatu kelahiran baru
secara spiritual kepada orang yang bersangkutan.
Dengan
adanya kelahiran baru secara spiritual ini, manusia sudah diberi suatu
kemampuan untuk taat pada kehendak Allah. Hal itu setidaknya ditandai dengan
kemampuannya untuk percaya pada Yesus, sebagai
Kesimpulan
Betapa
sering kita mendapati bahwa konsep kita tentang kebebasan adalah suatu kondisi
dimana kita benar-benar dapat melakukan apapun yang kita inginkan tanpa ada
satupun yang menghalangi kondisi kita tersebut.
Namun
berdasarkan pembahasan kita di sini, kita mulai melihat bahwa di dalam suatu kebebasan
pun ada suatu ikatan-ikatan yang justru berguna bagi keberlangsungan kebebasan
tersebut. Bahkan sebagai manusia, kita tidak mungkin mengalami suatu kebebasan
selain apabila kita mengikatkan diri pada Allah yang telah menciptakan kita.
Allah itulah satu-satunya sumber kebebasan kita.
Inilah
adalah suatu keadaan yang tidak dapat kita ubah, sebagaimana kita tidak dapat
mengubah status kita sebagai ciptaan dan Allah sebagai Pencipta.
Beberapa pokok
pikiran/tema/key words yang terdapat
pada tulisan ini:
Apakah
hasrat manusia yang paling dalam?
Apakah
definisi dari kebebasan?
Apakah
arti dari kebebasan menurut pandangan secara umum?
Apakah
arti dari kebebasan menurut pandangan secara filsafat?
Apakah
arti dari kebebasan menurut pandangan secara Alkitabiah?
Apakah
Allah adalah Pribadi yang sungguh-sungguh mempunyai kebebasan?
Bagaimana
kita harus memahami tentang kebebasan manusia?
Apakah
hukum dan peraturan merupakan penghalang bagi kebebasan manusia?
Apakah
yang dimaksud dengan kehendak bebas manusia?
Dapatkah Allah menciptakan sebuah batu yang
begitu besarnya, sampai Allah sendiri tidak mampu mengangkat batu itu?
Bahan Renungan tentang arti kebebasan menurut
pandangan Alkitab.
Tema khotbah mengenai kebebasan dan
kemerdekaan Kristen.
Pendapat Robert T.Kiyosaki tentang kebebasan
finansial.
Adam
dan Hawa merindukan kebebasan untuk melakukan apa yang mereka mau.
Istilah
kebebasan dalam bahasa Yunani Eleuterian.
Kata
Eleuterian ini muncul beberapa kali
di dalam Alkitab.
Ayat-ayat
Alkitab yang memuat tentang tema kebebasan.
Roma
8:21 tentang kebebasan
1
Korintus 10:29 tentang kebebasan
2
Korintus 3:17 tentang kebebasan
Galatia
2:4 tentang kebebasan
Galatia
5:1 dan 13 tentang kebebasan
Yakobus
1:25 tentang kebebasan
Yakobus
2:12 tentang kebebasan
1
Petrus 2:16 tentang kebebasan
2
Petrus 2:19 tentang kebebasan
Kesimpulan
dan rangkuman dari ayat-ayat yang membahas tentang eleuteria atau kebebasan
(atau kemerdekaan).
Jika Allah itu Mahakuasa, maka tentu Ia mampu
menciptakan apa saja sebebas-bebasnya. Jika Ia tidak mampu menciptakan (atau
melakukan) segala sesuatu sebebas-bebasnya, maka tentu Ia tidak Mahakuasa.
Contoh
dari hal-hal yang tidak dapat dilakukan oleh Allah Yang Mahakuasa.
Yoh 8:31,32 tentang kebebasan dan kemerdekaan.
Ciri yang menonjol dari era pasca-modern atau postmodern.
Selingkuh
dan free sex dalam konteks kebebasan.
Homoseks
dalam konteks kebebasan. Pandangan Alkitab
Feminisme
dalam konteks kebebasan. Pandangan Alkitab.
Yohanes 15:5 dalam konteks tentang
kebebasan.
Roma
3:10-18 dalam konteks tentang kebebasan.
Empat
(4) jenis kehendak bebas yang ada di dalam diri manusia.
Apakah
yang dimaksud dengan kehendak bebas manusia sebelum jatuh ke dalam dosa.
Apakah
yang dimaksud dengan kehendak bebas manusia setelah jatuh ke dalam dosa.
Apakah
yang dimaksud dengan kehendak bebas manusia setelah ditebus oleh Yesus Kristus.
Apakah
yang dimaksud dengan kehendak bebas manusia setelah hidup disurga bersama-sama
dengan Allah.
Ikatan-ikatan dan
batasan-batasan yang diberikan pada kita justru berguna bagi keberlangsungan
kebebasan kita sendiri. Catatan:
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 90.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1996), 406.
[3] Allah tentu tidak dapat membuat batu yang begitu besarnya sampai Ia sendiri tidak dapat mengangkatnya. Sebab Allah tidak bisa menciptakan sesuatu yang kuasanya lebih besar dari kuasa Allah.
[4] Itulah sebabnya, untuk dapat mati menebus kita dari hukuman dosa, Allah harus ber-Inkarnasi terlebih dahulu menjadi Manusia.
[2] Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta : Gramedia, 1996), 406.
[3] Allah tentu tidak dapat membuat batu yang begitu besarnya sampai Ia sendiri tidak dapat mengangkatnya. Sebab Allah tidak bisa menciptakan sesuatu yang kuasanya lebih besar dari kuasa Allah.
[4] Itulah sebabnya, untuk dapat mati menebus kita dari hukuman dosa, Allah harus ber-Inkarnasi terlebih dahulu menjadi Manusia.