Saturday, November 16, 2024

Tidak makan tidak minum 40 hari 40 malam, tetapi masih hidup, kok bisa? (Matius 4:2)

Serie Pencobaan di Padang Gurun

Tuhan Yesus berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun

Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus. (Matius 4:2)

 

Berpuasa 40 hari 40 malam

Ketika berada di padang gurun, Tuhan Yesus berpuasa selama 40 hari 40 malam. Sebagai pembaca modern, kita bertanya: Selama berpuasa itu, apakah Tuhan Yesus tidak makan dan tidak minum sama sekali? Ataukah Tuhan Yesus tidak makan, namun tetap minum?

Mengapa pertanyaan sepeti ini muncul? Karena kita mencoba mencocokkan kisah di Alkitab tersebut dengan realita yang kita hadapi sehari-hari. Berdasarkan konsensus yang kita terima hingga saat ini, ada hukum 333 yang berlaku. Manusia akan kesulitan untuk hidup jika: 3 menit tanpa oksigen, 3 hari tanpa air dan 3 minggu tanpa makanan. Tidak harus salah sebetulnya, ketika kita mencocokkan kisah Alkitab dengan kenyataan sehari-hari. Tetapi kita perlu hati-hati, karena Alkitab adalah perkataan Tuhan, yang isinya bisa saja melampaui segala sesuatu yang pada umumnya terjadi, misalnya:

Lautan terbelah,
Lalu Musa mengulurkan tangannya ke atas laut, dan semalam-malaman itu TUHAN menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, membuat laut itu menjadi tanah kering; maka terbelahlah air itu. (Keluaran 14:21)

Matahari berhenti.
13Maka berhentilah matahari dan bulanpun tidak bergerak, sampai bangsa itu membalaskan dendamnya kepada musuhnya. Bukankah hal itu telah tertulis dalam Kitab Orang Jujur? Matahari tidak bergerak di tengah langit dan lambat-lambat terbenam kira-kira sehari penuh. 14Belum pernah ada hari seperti itu, baik dahulu maupun kemudian, bahwa TUHAN mendengarkan permohonan seorang manusia secara demikian, sebab yang berperang untuk orang Israel ialah TUHAN. (Yosua 10:13-14)

Dan masih banyak lagi…

Sehingga ketika kita membaca peristiwa yang terjadi pada Tuhan Yesus di padang gurun itu, maka kita merasa seolah-olah ada sesuatu yang tidak bisa dipercaya terjadi di sana. Kisah puasa selama 40 hari 40 malam tersebut, jadi terdengar seperti dongeng (fairy tale) saja layaknya. Dan karena di dalam hati kita mulai timbul perasaan atau dugaan bahwa kisah tersebut hanyalah dongeng, maka kita tidak terlalu menanggapinya dengan serius, lalu kita tidak berniat belajar apa-apa dari peristiwa tersebut.

Dan celakanya lagi, semakin banyak kita dilatih untuk berpikir bahwa ini seperti dongeng, ini hanya sebuah mukjizat, ini supranatural dan seterusnya, maka lambat laun keyakinan kita terhadap Alkitab akan semakin luntur. Kita mulai tidak melihat Alkitab sebagai sebuah kitab Kebenaran, melainkan sebagai semacam kitab magis yang penuh dengan cerita dongeng, mitos dan takhayul. Sehingga pada akhirnya, bukan saja kita tidak mau belajar lebih dalam tentang isi dari Alkitab, tetapi bahkan kita sudah segan untuk membacanya sama sekali.

Tetapi disinilah justru iman kita diuji. Apakah dalam keadaan seperti ini kita masih mau percaya kepada Tuhan? Ataukah kita hanya mau percaya kepada-Nya ketika segala sesuatu sesuai dengan kriteria kita? Sesuai dengan logika kita? Sesuai dengan pengalaman kita?

Apabila seseorang telah mendapat anugerah iman, maka orang itu bisa percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab, sekalipun hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dimengerti. Alkitab sendiri mencatat bahwa kasih Allah itu melampaui segala akal (Efesus 3:18) sehingga tidak seharusnya akal budi kita dijadikan sebagai pedoman satu-satunya dalam mengukur kebenaran Ilahi.

Ketika Alkitab mengatakan sesuatu, maka hal itu dikatakan dari dalam diri Allah yang kasih-Nya melampaui segala akal itu. Ketika Alkitab bicara sesuatu, maka yang dibicarakan itu pasti adalah suatu kebenaran, sebab Allah yang berbicara adalah Sang Kebenaran itu sendiri. Seringkali ketika Alkitab bercerita sesuatu di dalam Perjanjian Baru, maka hal itu dapat kita temukan pula jejak-jejak keterkaitannya dengan kisah di Perjanjian Lama.

Kisah Tuhan Yesus yang berpuasa di padang gurun, ternyata memiliki keserupaan pula dengan kisah lain di dalam Perjanjian Lama, yaitu kisah Musa yang tercatat dalam kitab Keluaran, sebagai berikut: 27Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Tuliskanlah segala firman ini, sebab berdasarkan firman ini telah Kuadakan perjanjian dengan engkau dan dengan Israel." 28Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan ia menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman. (Keluaran 34:27-28)

Jadi, Tuhan Yesus bukanlah satu-satunya Pribadi yang pernah berpuasa selama 40 hari, tanpa makan dan minum, sebab Musapun ternyata pernah melakukan hal tersebut, yaitu ketika Musa harus bersusah payah naik ke gunung Sinai untuk mendapatkan 10 perintah Allah. [Baca juga: Mengapa Tuhan Yesus dibawa ke padang gurun oleh Roh? Klik disini.]

Dan apabila kita menggali lebih dalam lagi kisah-kisah dalam Perjanjian Lama, ternyata bukan hanya Musa pula yang pernah berpuasa selama 40 hari 40 malam seperti itu, melainkan Elia pun demikian, sebagaimana yang dicatat oleh Kitab Suci: Maka bangunlah ia, lalu makan dan minum, dan oleh kekuatan makanan itu ia berjalan empat puluh hari empat puluh malam lamanya sampai ke gunung Allah, yakni gunung Horeb. (1 Raja-raja 19:8)

Pada waktu Elia bergumul dengan puasa, Elia sedang ada di dalam konteks peperangan rohani melawan nabi-nabi Baal dan orang-orang yang tidak percaya. Hal itu mirip dengan yang terjadi pada Tuhan Yesus yang pada saat itu juga sedang berperang melawan iblis.

Pengalaman Tuhan Yesus bukanlah pengalaman unik yang sama sekali belum ada cerita lain yang serupa dengan itu. Tuhan Yesus adalah penerus dari nabi-nabi yang sebelumnya. Sedangkan nabi-nabi yang sebelumnya adalah bayang-bayang dari Kristus yang akan datang.

Setelah membandingkan antara kisah satu dengan kisah yang lain, maka kita dapati bahwa puasa Musa adalah doa syafaat bagi Israel yang sedang dimurkai Tuhan, sedangkan puasa Elia adalah sebuah peperangan rohani (melawan nabi Baal dan pengaruhnya).

Oleh karena itu, puasa yang Tuhan Yesus lakukan tersebut:

  • Pertama, tidak melibatkan unsur makanan dan minuman, seperti Musa dan Elia.
  • Kedua, berhubungan dengan mencari kehendak Allah
  • Ketiga, berhubungan dengan peperangan rohani melawan kekuatan setan.

Akhirnya laparlah Yesus...

Kita mungkin heran mengapa Tuhan Yesus, Musa dan Elia, dapat bertahan hidup tanpa makanan dan minuman di tengah-tengah situasi padang gurun yang dahsyat seperti itu? Tetapi barangkali inilah kesempatan bagi kita untuk melihat seperti apakah kemampuan Tuhan dalam memelihara manusia, sedemikian rupa sehingga seorang manusia dapat ditopang kehidupannya walaupun tidak diberi makan dan minum.

Benarlah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, bahwa manusia bukan hidup dari roti (makanan fisikal) saja, tetapi hidup dari setiap Firman yang diucapkan oleh Allah (makanan spiritual). Jika Allah ber-Firman: hidup !, maka meski orang tidak makan/minum, ia tetap hidup. Tetapi jika Tuhan berkata: mati !, maka orang itu pasti akan mati sekalipun dalam keadaan sehat, cukup makan, cukup minum dan cukup istirahat.

Kita manusia jangan sombong mengira hidup ini ada di tangan kita sendiri? Kita diberi demonstrasi tentang kuasa dan kedaulatan Allah melalui para hamba-Nya dan secara khusus melalui Anak-Nya ini. Biarlah kita tidak menjadi tinggi hati karena segala apa yang kita miliki. Biarlah kita sadar bahwa hidup kita sepenuhnya ada di tangan Tuhan.

Janganlah kita tidak percaya pada mukjizat, sebab Allah itu mahakuasa, tetapi di sisi lain, janganlah kita juga bergantung pada mukjizat semata, sebab Tuhan pun tidak selalu memakai cara-cara yang supranatural dalam bekerja. Hanya dalam konteks tertentu saja Allah memberi hak istimewa kepada seseorang untuk mengalami pemeliharaan yang dahsyat seperti Musa dan Elia.

Sebab siapa yang memandang hina hari peristiwa-peristiwa yang kecil, mereka akan bersukaria melihat batu pilihan di tangan Zerubabel. Yang tujuh ini adalah mata TUHAN, yang menjelajah seluruh bumi." (Zakaria 4:10)

Ayat ini mengajarkan prinsip penting dan berlaku selamanya yaitu tentang: pentingnya memperhatikan atau tidak meremehkan hal-hal yang kecil di dalam hari-hari yang biasa saja. Sebab hal-hal kecil dari hari yang biasa pun akan membawa pada sukacita dan tergenapinya pekerjaan Tuhan.

Dalam keseharian, Allah bahkan jauh lebih banyak berkarya melalui kejadian-kejadian yang biasa dan natural, ketimbang melalui hal-hal yang spektakuler atau supranatural. Dan hal seperti itu berlaku pula bagi Tuhan Yesus. Setelah kurun waktu penetapan Allah bagi Tuhan Yesus untuk berpuasa selesai, maka Tuhan Yesus pun kembali merasa lapar, sama seperti manusia lainnya.

Tuhan Yesus dalam keadaan fisik yang sangat lemah, lapar, haus, tersendiri di padang gurun (bukit) nan gersang. Siapa pun yang ada di dalam situasi itu pasti maklum, jika Ia lapar. Tapi justru dalam kondisi inilah, serangan roh jahat menjadi semakin intens. Ada kalanya kita pikir, semakin setia kepada Tuhan, maka iblis makin takut, menjauh. Ternyata, makin setia pada Tuhan, semakin kita diincar untuk dijatuhkan oleh iblis. [Baca juga: 7 hal yang dapat mengalahkan keganasan si iblis. Klik disini.]

Apa yang dialami oleh Tuhan Yesus di padang gurun bukan dimaksudkan untuk kita menjadi orang yang ketakutan, cemas berlebihan seolah-olah kita tidak memiliki harapan dalam menghadapi iblis. Pengalaman Tuhan Yesus di padang gurun yang dicobai oleh iblis justru menjadi pengingat bagi kita akan potensi bahaya dari si iblis, agar kita menjadi waspada. Dan sekaligus pengingat bagi kita untuk setia bergantung pada Kristus, sebab hanya Dia satu-satunya yang mampu menghadapi dan mengalahkan si iblis.

Kiranya Tuhan Yesus memberkati dan menolong kita. Amin.

Baca artikel lain:
Apakah Tuhan merestui hubungan cinta kaum LGBTQ? Klik disini.

 

 

Monday, November 11, 2024

Mengapa Tuhan Yesus dibawa ke padang gurun? (Matius 4:1)

Serie Pencobaan di padang gurun.

Mengapa Tuhan Yesus dibawa ke padang gurun?

Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. (Matius 4:1)
 
Padang gurun tempat Tuhan Yesus dicobai adalah sebuah gunung atau bukit gersang yang bertumpu di atas lempengan wilayah Yeriko, dengan ketinggian bukit sekitar 396 m. Lokasi wilayah Yeriko sendiri berada pada titik yang rendah yaitu -276 m di bawah permukaan laut, sehingga menyisakan gunung tersebut berada pada ketinggian 120 m di atas permukaan laut.

Kepergian Tuhan Yesus ke padang gurun bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan atau random, melainkan ada banyak pesan yang ingin disampaikan kepada umat Tuhan. Dan kita bisa melihat peristiwa itu, baik dari sudut pandang paralel maupun sudut pandang kontras.

Sudut pandang paralel maksudnya adalah kisah-kisah lain di dalam Alkitab yang sejajar atau punya persamaan dengan kisah pencobaan Tuhan Yesus tersebut. Sedangkan kontras maksudnya adalah kisah-kisah di dalam Alkitab yang isinya bertolak belakang atau berkebalikan dengan kisah pencobaan Tuhan Yesus tersebut.

Paralel kisah pencobaan Kristus dengan kisah Adam Hawa di taman Eden

Persamaan antara kisah pencobaan Kristus dengan kisah Adam dan Hawa di Taman Eden adalah bahwa baik Kristus maupun Adam Hawa, semua sama-sama diuji, sama-sama dicobai oleh iblis.

Hal ini merupakan sebuah pesan kepada kita semua, bahwa sebagai manusia tidak mungkin kita luput dari pencobaan yang dilancarkan oleh si iblis. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini, entah dia percaya akan keberadaan iblis ataupun tidak percaya, yang dapat luput dari bidikan maut si iblis.

Rasul Petrus sendiri pernah berkata: Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. (1 Petrus 5:8)

Menurut rasul Petrus, iblis itu ada, sangat ganas, dan sangat aktif. Iblis tidak pernah berhenti mencari manusia untuk dapat ditelannya. Sungguh amat disayangkan bahwa manusia tidak menyadari hal ini. Sungguh amat tragis jika manusia malah menganggap bahwa iblis itu tidak ada. Hal tersebut justru akan membuat sepak terjang si iblis menjadi semakin bebas, sehingga semakin mudahlah baginya untuk menangkap jiwa-jiwa manusia dan semakin ganaslah ia menelan jiwa-jiwa tersebut.

Fakta bahwa di dunia ini, jauh lebih banyak orang yang tidak mau mengikuti Yesus Kristus. Fakta bahwa banyak orang di dunia ini yang meremehkan keberadaan si iblis. Fakta bahwa banyak orang yang tertarik kepadanya dan bahkan mendirikan tempat-tempat pemujaan baginya, adalah suatu bukti bahwa pekerjaan iblis di dunia ini terbilang cukup berhasil.

Jika iblis sedemikian kuat dan pekerjaannya di dunia sedemikian berhasil, lalu bagaimana kita sebagai orang percaya dapat mengalahkan si iblis? Mengenai hal itu, silahkan Baca tulisan yang saya berjudul : 7 hal yang mampu mengalahkan keganasan si iblis. Klik disini.

Kontras dengan Adam Hawa

Selain melihat dari sudut pandang persamaan atau paralel, kita akan melihat peristiwa pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun dengan pencobaan Adam Hawa di Taman Eden.

Satu hal yang pertama-tama terlihat adalah bahwa Tuhan Yesus beada di padang gurun yang gersang, sedangkan Adam dan Hawa beada di taman Eden. Tempat Tuhan Yesus dicobai sangatlah tidak nyaman, jika dibandingkan dengan tempat dimana Adam Hawa berada.

Di Taman Eden Adam Hawa memiliki serba kecukupan, buah manapun yang mereka inginkan untuk dimakan dari Taman tersbut, telah diperbolehkan oleh Tuhan, kecuali 1 buah saja yang dilarang. Sedangkan di padang gurun, Tuhan Yesus dalam keadaan tidak ada makanan sama sekali.

TETAPI, dalam kondisi serba kecukupan itu, Adam Hawa justru tidak taat terhadap perintah dan larangan Tuhan, sedangkan Tuhan Yesus, sekalipun sedang di dalam kondisi padang gurun yang serba kekurangan, dapat tetap taat kepada perintah Bapa-Nya.

Kita bersyukur atas kehadiran Tuhan Yesus Manusia yang sempurna, yang layak untuk menjadi tebusan bagi hutang dosa kita kepada Allah dan pantas untuk menjadi teladan di dalam kehidupan kita.

Paralel dengan Israel

Kisah perjalanan ke padang gurun, bukanlah kisah yang sangat asing di dalam sejarah Alkitab. Bukan Cuma Tuhan Yesus yang pernah dipimpin ke padang gurun, melainkan Israel sebagai bangsa juga pernah dipimpin keluar dari Mesir oleh Tuhan, untuk beribadah di padang gurun (Keluaran 7:16)

Sebagaimana bangsa Israel dibawa ke padang gurun selama 40 tahun, demikian pula Tuhan Yesus dibawa ke padang gurun selama 40 hari. Tentang perjalanan bangsa Israel di padang gurun, Alkitab mencatat demikian: Sesuai dengan jumlah hari yang kamu mengintai negeri itu, yakni empat puluh hari, satu hari dihitung satu tahun, jadi empat puluh tahun lamanya kamu harus menanggung akibat kesalahanmu, supaya kamu tahu rasanya, jika Aku berbalik dari padamu: (Bilangan 14:34)

Kontras dengan Israel.

Meskipun Israel berada di padang gurun, tetapi bangsa Israel tidak sedang berpuasa dan dalam kondisi kelaparan seperti Tuhan Yesus. Bangsa Israel diberi makan setiap hari dengan manna yang dikirimkan oleh Tuhan agar hidup mereka terpelihara dari hari ke sehari, tetapi meski demikian, bangsa Israel tidak taat pada perintah Tuhan. Tuhan Yesus berada di padang gurun, berpuasa, merasakan kelaparan, namun Tuhan Yesus tetap taat dan tidak tunduk kepada pencobaan yang dilancarkan oleh si iblis.

Bangsa Israel dibawa ke padang gurun selama 40 tahun oleh Tuhan karena bangsa itu harus menanggung penderitaan akibat kesalahan mereka terhadap Tuhan. Tetapi Tuhan Yesus berpuasa di padang gurun selama 40 hari, bukan untuk menanggung kesalahan diri-Nya sendiri, melainkan untuk menanggung kesalahan manusia di hadapan Allah.

Keutamaan Kristus Yesus

Tuhan Yesus adalah sosok yang sangat istimewa. Tidak seperti Adam Hawa yang gagal di dalam pencobaan, Tuhan Yesus tetap bertahan meskipun kondisi-Nya sangat sulit. Dan tidak seperti Israel yang tidak taat, meski telah diberi kecukupan, Tuhan Yesus tetap bertahan meski dalam keadaan serba kekurangan. Oleh karena itu janganlah seorangpun yang pernah dan boleh meremehkan Tuhan Yesus. Ia adalah sosok yang sangat Agung, sangat Suci, sangat Taat, sangat Cinta Bapa, dan sekaligus juga sangat mencintai kita. Siapakah manusia yang boleh meremehkan, merendahkan, apalagi menghina Tuhan Yesus? Tidak wajarkah apabila manusia dilempar ke Neraka, karena telah menghina Pribadi yang sedemikian baik dan sedemikian suci seperti Tuhan Yesus?

Anugerah Tuhan bagi manusia sudah sedemikian hebat, sedemikian besar, apabila manusia tidak menghargai perbuatan Kristus, apabila manusia tidak memperdulikan kehadiran Tuhan Yesus, apabila manusia menjual Tuhan Yesus, demi mendapatkan kekayaan, demi memperoleh penerimaan dari manusia, maka sangatlah wajar dan sangatlah pantas apabila manusia seperti itu di buang ke Neraka.

Padang gurun adalah tempat yang berkali-kali muncul di dalam Alkitab.

Padang gurun bukan tempat yang tidak memiliki makna apa-apa. Sekalipun tempat itu gersang, tidak banyak hal menyenangkan yang dapat ditemui disana, tetapi padang gurun adalah tempat yang sering dipakai oleh Allah untuk menguji manusia.

Ingatlah kepada seluruh perjalanan yang kaulakukan atas kehendak TUHAN, Allahmu, di padang gurun selama empat puluh tahun ini dengan maksud merendahkan hatimu dan mencobai engkau untuk mengetahui apa yang ada dalam hatimu, yakni, apakah engkau berpegang pada perintah-Nya atau tidak. (Ulangan 8:2)

Melalui padang gurun, karakter manusia dibentuk oleh Tuhan. Manusia diajar untuk merendahkan hati. Manusia diuji keinginannya untuk berpegang pada perintah Tuhan, sekalipun situasi sedang tidak enak dan tidak nyaman.

Kalau semua kondisi disekitar kita baik-baik saja, maka karakter manusia belum teruji. Tetapi melalui penderitaan, ujian, dan kesukaran, maka barulah karakter manusia itu bisa teruji. Ayub, adalah orang yang saleh, tetapi Tuhan mengizinkan Ayub mengalami penderitaan, dengan tujuan untuk menguji dia. Alkitab menampilkan banyak tokoh-tokoh yang dibentuk karakternya melalui berbagai kesulitan. Abraham diuji melalui perjalanan ke Mesir. Yusuf, Musa, Daud, Daniel, Petrus, Paulus, Yohanes Pembaptis dan masih banyak lagi, semua mengalami ujian melalui kesulitannya masing-masing.

Karakter adalah sesuatu yang baru muncul, setelah ada ujian, setelah ada kesukaran. Ambil satu contoh saja, berkenaan dengan kesetiaan. Bagaimana kita bisa mengetahui seseorang itu setia atau tidak? Kita tidak akan pernah tahu apakah seseorang itu setia atau tidak, kecuali jika kita menguji kesetiaannya di dalam kurun waktu yang panjang dan melalui berbagai kesukaran. Jika seseorang tetap setia, meski ada kesukaran dan meski harus menjalani proses yang panjang, maka sangat mungkin orang itu memang memiliki karakter kesetiaan di dalam dirinya.

Kekristenan tidak mempermuliakan penderitaan.

Meskipun Tuhan sering memakai situasi padang gurun, kesukaran dan penderitaan tetapi kekristenan bukanlah suatu kepercayaan yang suka mempermuliakan penderitaan. Mengapa? Sebab jika kekristenan mempermuliakan penderitaan, maka Tuhan pasti tidak mencipta sorga. Jika kekristenan mempermuliakan penderitaan, maka tidak ada RS Kristen, sekolah. Tetapi, semenjak manusia jatuh ke dalam dosa, penderitaan, kesulitan, kesengsaraan adalah kondisi yang tidak terhindarkan.

Bagi orang berdosa, penderitaan di dunia adalah bayang-bayang dari kematian kekal. Semua orang tidak terkecuali apakah ia orang kaya, orang terkenal, orang berpengaruh, semua mereka tidak ada yang luput dari kesukaran. Bagi orang percaya, Tuhan juga tidak meluputkan kita dari penderitaan, kesukaran, Tetapi itu bukan sebagai bayang-bayang kematian, melainkan sebagai alat yang berguna di tangan Tuhan, untuk menguji iman, untuk mempertumbuhkan iman orang-orang Kristen.

Anugerah dan tanggung jawab

Orang Kristen suka mendengar berita anugerah, tetapi orang Kristen agak jarang merenungkan bahwa dibalik setiap anugerah, Tuhan senantiasa memberikan pula tanggungjawab untuk dipikul.

Anugerah yang Tuhan berikan, bukan sama dengan hidup santai, pasif, enak-enakan, tidak mengerjakan apa-apa, tidak ada tanggungjawab apa-apa. Sebaliknya, anugerah Tuhan selalu diiringi dengan tugas, tanggungjawab, kesukaran, buktinya:

1. Manusia diberi Eden, tapi diberi tugas mengelola (Kej 2:15)
2. Bangsa Israel diberi tanah Kanaan, tetapi harus lebih dulu memerangi bangsa yang ada disana.
3. Seorang lumpuh diberi kesembuhan, tetapi ia harus bangun, angkat tilam dan berjalan (Yoh 5:8)

Ada begitu banyak tokoh Alkitab yang bersinggungan dengan kondisi padang gurun kehiduapn: bangsa Israel, Yusuf, Daud, Daniel, Sadrakh, Ayub dan Yunus adalah beberapa contoh dari orang-orang yang mengalami ujian dari Tuhan. Peristiwa padang gurun kehidupan sangat berguna bagi pengujian iman dan pertumbuhan iman manusia.

Tuhan menerima kita apa adanya, tetapi Tuhan tidak akan membiarkan kita apa adanya. Dia ingin menjadikan kita seperti Kristus. Dan Tuhan memakai padang gurun sebagai sarana untuk membentuk karakter kita agar semakin serupa dengan Yesus Kristus.

Kiranya Tuhan Yesus menolong kita. Amin.

Baca artikel lain:
Apakah Tuhan merestui hubungan cinta kaum LGBTQ?
Klik disini.

Friday, November 8, 2024

Ketika Allah membawa kita ke tempat yang tidak nyaman (Matius 4:1)

Ketika Allah membawa kita ke tempat yang tidak nyaman,
apakah kita cukup rendah hati untuk menerimanya?
 

Ketika Allah membawa kita ke tempat yang tidak nyaman

Matius 4:1  Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis.

Dalam perikop sebelumnya kita melihat kerendahan hati Tuhan Yesus, yang mau menemui Yohanes Pembaptis untuk dibaptis, sama seperti orang lain. Ini merupakan hal yang luarbiasa, sebab semua orang lain yang datang menemui Yohanes Pembaptis, memang adalah orang berdosa yang memerlukan pertobatan. Akan tetapi Tuhan Yesus datang untuk dibaptis oleh Yohanes, bukan karena Ia orang berdosa, melainkan semata-mata karena Tuhan Yesus adalah Pribadi yang taat pada kehendak Bapa-Nya.

Dalam peristiwa Baptisan, Tuhan Yesus merendahkan diri-Nya di hadapan Bapa, di hadapan Roh Kudus, di hadapan Yohanes Pembaptis dan bahkan di hadapan semua orang yang hadir. Mengapa termasuk di hadapan semua orang yang hadir? Sebab mereka tidak tahu siapakah Tuhan Yesus itu sebenarnya dan Tuhan Yesus pun tidak mengumumkan atau memamerkan siapakah diri-Nya yang sebenarnya. Sehingga  bagi orang banyak itu, Tuhan Yesus sama saja dengan semua orang lain yang hadir. Tuhan Yesus tidak show off tentang siapakah diri-Nya. Tuhan tidak meminta perhatian, meminta pengakuan, menganggap diri penting dan lain sebagainya, sebagaimana yang sering dilakukan oleh manusia berdosa.

Narsisisme adalah penyakit yang sangat sering menjangkiti orang-orang di dunia ini, tidak terkecuali orang Kristen, terlebih di era sosial media seperti sekarang ini. Banyak orang yang merasa dirinya begitu penting, begitu istimewa, sehingga ia berpikir bahwa orang lain akan tertarik pada apa yang ia makan, apa yang ia pakai, tempat liburan mana yang ia kunjungi, siapa nama kucingnya dan lain sebagainya.

Dunia menjadi sedemikian self-centered dan setiap orang menjadi semakin merasa berhak atas apapun yang mereka inginkan (entitled). Orang-orang dengan sesuka hati membuat konten untuk sosial media mereka di tempat umum, tanpa memperdulikan kepentingan orang lain di tempat itu. Orang-orang menyerukan gagasan tentang Lgbtq, woke culture, pronouns, dan memaksa orang lain juga setuju pada gagasan dan gaya hidup mereka. Seolah-olah gagasan mereka begitu penting sehingga orang lain yang tidak setuju pun dipaksa untuk setuju dengan mereka. Hal seperti ini sudah menjadi semakin marak di luar negeri, dan apabila tidak dikendalikan atau di stop, maka dapat dipastikan akan menjadi sangat marak juga terjadi di Indonesia.

Tetapi Tuhan Yesus yang mahamulia, justru berbeda dengan manusia berdosa yang merasa dirinya mulia dan istimewa itu. Kemuliaan hati Tuhan Yesus justru terpancar dari kerendahan hati-Nya. Ia menyembunyikan kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah di hadapan manusia. Kecuali jika Bapa atau Roh Kudus yang mempermuliakan Dia, maka Ia tidak tertarik untuk menonjolkan diri atau mempermuliakan diri-Nya sendiri.

Dalam perikop sebelumnya kita membaca pengumuman dari sorga, bahwa Tuhan Yesus adalah anak yang diperkenan oleh Bapa. Dalam perikop ini kita belajar seperti apakah contoh kehidupan yang diperkenan oleh Bapa. Dalam perikop ini kita membaca kerelaan yang murni, yaitu ketika Tuhan Yesus membiarkan diri-Nya dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun untuk dicobai iblis.

Hubungan baik yang dilandasi oleh cinta kasih (Mat 3:16), membuat seseorang rela dibawa oleh Pribadi yang dicintai dan mencintai itu. Tuhan Yesus bukan terpaksa ikut, tetapi dengan rela memberi diri dipimpin Roh Kudus, sebab Tuhan Yesus memiliki relasi kasih dengan Bapa dan dengan Roh Kudus.

Kita senang ketika Allah memimpin kita ke tempat-tempat yang makmur, nyaman dan indah. Tetapi ketika Allah memimpin kita ke tempat yang kering dan kumuh, apakah kita masih bisa melihat itu sebagai cinta kasih Allah?

Kekristenan berbeda dengan ajaran dunia. Ajaran dunia selalu mengajak kita berjalan menuju kemuliaan yang ada dalam dunia seperti kekayaan materi, kesehatan jasmani, pengakuan atau validasi, nama besar, kekuasaan, pengaruh dlsb. Sedangkan kekristenan mengajak kita berjalan lewat jalan yang sempit, pintu yang sesak, perjalanan ke padang gurun, sebagai domba di tengah serigala dan pada akhirnya mati bersama Kristus yang tersalib.

Kekristen yang sejati bukanlah suatu cara hidup yang mudah untuk diterima oleh semua orang. Itu sebabnya Paulus menulis demikain: 1 Kor 1:18 Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.

Kalimat pemberitaan tentang salib, bukan dimaksudkan untuk dipahami secara sederhana bahwa secara kognitif kita setuju bahwa Tuhan Yesus telah disalibkan saja, melainkan untuk dihayati bahwa kisah salib itu pun menjadi bagian dari hidup kita. Salib adalah lambang kehinaan, apakah kita bersedia jika di dalam hidup ini orang merendahkan kita? Apa reaksi kita ketika orang lain tidak menganggap kita sebagai orang yang sukses? Tidak memberi tepuk tangan kepada kita? Tidak menyanjung-nyanjung kita? Bagaimana kalau orang tua kita bangga sekali pada anak orang lain yang kaya raya, tetapi selalu kecewa pada kita karena tidak sekaya anak tetangga misalnya? Itulah bagian dari pemberitaan salib.

Contoh lain dari kehidupan yang memikul salib adalah ketika Tuhan membawa kehidupan kita bukan ke atas tetapi ke bawah. Misalnya, apabila semula Allah membawa kita memimpin jemaat yang terdiri dari 30 orang, lalu kemudian Tuhan membawa kita memimpin jemaat yang terdiri dari 100 orang. Maka kita pasti melihat itu sebagai pimpinan yang membawa sukacita. Tetapi bagaimana jika kebalikannya yang terjadi? Bagaimana jika Tuhan malah memimpin kita melayani jemaat yang lebih kecil dari sebelumnya? Bagaimana jika Tuhan mengirim kita ke desa dan bukan ke kota? Bagaimana jika Tuhan membuat perekonomian kita menjadi lebih sulit dan bukan menjadi bertambah kaya? Apakah kita bisa merasakan sukacita yang sama? Apakah kita masih mau ikut Tuhan Yesus?

Filipus adalah seorang penginjil yang sudah berhasil pelayanannya. Alkitab mencatat demikian: Kisah Para Rasul 8:6  Ketika orang banyak itu mendengar pemberitaan Filipus dan melihat tanda-tanda yang diadakannya, mereka semua dengan bulat hati menerima apa yang diberitakannya itu. Filipus diutus Tuhan untuk melayani di Samaria, Alkitab mencatat : Kisah Para Rasul 8:12  Tetapi sekarang mereka percaya kepada Filipus yang memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus, dan mereka memberi diri mereka dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan. Dan Banyak orang yang bertobat melalui pelayanan Filipus tersebut.

Tetapi kemudian sesuatu terjadi pada Filipus, yang bagi banyak orang merupakan hal yang tidak menarik. Alkitab mencatat: Kisah Para Rasul 8:26  Kemudian berkatalah seorang malaikat Tuhan kepada Filipus, katanya: "Bangunlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza." Jalan itu jalan yang sunyi. Setelah pelayanannya berhasil membawa orang banyak pada pertobatan, Tuhan malah mengirim dia ke tempat yang sunyi. Menurut ukuran dunia, ini adalah jalan hidup orang gagal, orang yang jalan hidupnya seperti sangat goblok. Filipus bisa saja berkata dalam hatinya: "Aku ini jelas-jelas berpotensi untuk melayani orang banyak, apa-apaan aku harus melayani satu orang saja, Ini buang-buang energi percuma. Ini pekerjaan yang sia-sia, tidak efektif, tidak efisien"

Tapi Filipus taat dan ia pergi ke jalan yang sunyi itu untuk melayani seorang sida-sida dari Etiopia, karena dia tahu, bahwa inilah keinginan Tuhan. Tuhan Yesus juga taat pada pimpinan Roh Kudus, sekalipun dipimpin ke padang gurun, karena Dia tahu, inilah keinginan Bapa-Nya.

Semoga ketaatan seperti yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dan Filipus ini dapat menjadi contoh bagi kita. Di dalam ketidakmampuan kita untuk taat kepada Bapa, biarlah dengan rendah hati kita memohon Roh Kudus untuk menolong kita semua. Kiranya Tuhan Yesus semakin dipermuliakan di dalam dan melalui hidup kita. Amin.