Serie Pencobaan di Padang Gurun
Tuhan Yesus berpuasa 40 hari 40 malam di padang gurun |
Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus. (Matius 4:2)
Berpuasa 40 hari 40 malam
Ketika berada di padang gurun, Tuhan Yesus berpuasa selama 40 hari 40 malam. Sebagai pembaca modern, kita bertanya: Selama berpuasa itu, apakah Tuhan Yesus tidak makan dan tidak minum sama sekali? Ataukah Tuhan Yesus tidak makan, namun tetap minum?
Mengapa pertanyaan sepeti ini muncul? Karena kita mencoba mencocokkan kisah di Alkitab tersebut dengan realita yang kita hadapi sehari-hari. Berdasarkan konsensus yang kita terima hingga saat ini, ada hukum 333 yang berlaku. Manusia akan kesulitan untuk hidup jika: 3 menit tanpa oksigen, 3 hari tanpa air dan 3 minggu tanpa makanan. Tidak harus salah sebetulnya, ketika kita mencocokkan kisah Alkitab dengan kenyataan sehari-hari. Tetapi kita perlu hati-hati, karena Alkitab adalah perkataan Tuhan, yang isinya bisa saja melampaui segala sesuatu yang pada umumnya terjadi, misalnya:
Lautan terbelah,
Lalu
Musa mengulurkan tangannya ke atas laut, dan semalam-malaman itu TUHAN
menguakkan air laut dengan perantaraan angin timur yang keras, membuat laut itu
menjadi tanah kering; maka terbelahlah air itu. (Keluaran 14:21)
Matahari berhenti.
13Maka
berhentilah matahari dan bulanpun tidak bergerak, sampai bangsa itu membalaskan
dendamnya kepada musuhnya. Bukankah hal itu telah tertulis dalam Kitab Orang
Jujur? Matahari tidak bergerak di tengah langit dan lambat-lambat terbenam
kira-kira sehari penuh. 14Belum pernah ada hari seperti itu, baik
dahulu maupun kemudian, bahwa TUHAN mendengarkan permohonan seorang manusia
secara demikian, sebab yang berperang untuk orang Israel ialah TUHAN. (Yosua
10:13-14)
Dan masih banyak lagi…
Sehingga ketika kita membaca peristiwa yang terjadi pada Tuhan Yesus di padang gurun itu, maka kita merasa seolah-olah ada sesuatu yang tidak bisa dipercaya terjadi di sana. Kisah puasa selama 40 hari 40 malam tersebut, jadi terdengar seperti dongeng (fairy tale) saja layaknya. Dan karena di dalam hati kita mulai timbul perasaan atau dugaan bahwa kisah tersebut hanyalah dongeng, maka kita tidak terlalu menanggapinya dengan serius, lalu kita tidak berniat belajar apa-apa dari peristiwa tersebut.
Dan celakanya lagi, semakin banyak kita dilatih untuk berpikir bahwa ini seperti dongeng, ini hanya sebuah mukjizat, ini supranatural dan seterusnya, maka lambat laun keyakinan kita terhadap Alkitab akan semakin luntur. Kita mulai tidak melihat Alkitab sebagai sebuah kitab Kebenaran, melainkan sebagai semacam kitab magis yang penuh dengan cerita dongeng, mitos dan takhayul. Sehingga pada akhirnya, bukan saja kita tidak mau belajar lebih dalam tentang isi dari Alkitab, tetapi bahkan kita sudah segan untuk membacanya sama sekali.
Tetapi disinilah justru iman kita diuji. Apakah dalam keadaan seperti ini kita masih mau percaya kepada Tuhan? Ataukah kita hanya mau percaya kepada-Nya ketika segala sesuatu sesuai dengan kriteria kita? Sesuai dengan logika kita? Sesuai dengan pengalaman kita?
Apabila seseorang telah mendapat anugerah iman, maka orang itu bisa percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab, sekalipun hal tersebut tidak sepenuhnya dapat dimengerti. Alkitab sendiri mencatat bahwa kasih Allah itu melampaui segala akal (Efesus 3:18) sehingga tidak seharusnya akal budi kita dijadikan sebagai pedoman satu-satunya dalam mengukur kebenaran Ilahi.
Ketika Alkitab mengatakan sesuatu, maka hal itu dikatakan dari dalam diri Allah yang kasih-Nya melampaui segala akal itu. Ketika Alkitab bicara sesuatu, maka yang dibicarakan itu pasti adalah suatu kebenaran, sebab Allah yang berbicara adalah Sang Kebenaran itu sendiri. Seringkali ketika Alkitab bercerita sesuatu di dalam Perjanjian Baru, maka hal itu dapat kita temukan pula jejak-jejak keterkaitannya dengan kisah di Perjanjian Lama.
Kisah Tuhan Yesus yang berpuasa di padang gurun, ternyata memiliki keserupaan pula dengan kisah lain di dalam Perjanjian Lama, yaitu kisah Musa yang tercatat dalam kitab Keluaran, sebagai berikut: 27Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Tuliskanlah segala firman ini, sebab berdasarkan firman ini telah Kuadakan perjanjian dengan engkau dan dengan Israel." 28Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan ia menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman. (Keluaran 34:27-28)
Jadi, Tuhan Yesus bukanlah satu-satunya Pribadi yang pernah berpuasa
selama 40 hari, tanpa makan dan minum, sebab Musapun ternyata pernah melakukan
hal tersebut, yaitu ketika Musa harus bersusah payah naik ke gunung Sinai untuk
mendapatkan 10 perintah Allah. [Baca juga: Mengapa Tuhan Yesus dibawa ke padang gurun oleh Roh? Klik disini.]
Dan apabila kita menggali lebih dalam lagi kisah-kisah dalam Perjanjian Lama, ternyata bukan hanya Musa pula yang pernah berpuasa selama 40 hari 40 malam seperti itu, melainkan Elia pun demikian, sebagaimana yang dicatat oleh Kitab Suci: Maka bangunlah ia, lalu makan dan minum, dan oleh kekuatan makanan itu ia berjalan empat puluh hari empat puluh malam lamanya sampai ke gunung Allah, yakni gunung Horeb. (1 Raja-raja 19:8)
Pada waktu Elia bergumul dengan puasa, Elia sedang ada di dalam konteks peperangan rohani melawan nabi-nabi Baal dan orang-orang yang tidak percaya. Hal itu mirip dengan yang terjadi pada Tuhan Yesus yang pada saat itu juga sedang berperang melawan iblis.
Pengalaman Tuhan Yesus bukanlah pengalaman unik yang sama sekali belum ada cerita lain yang serupa dengan itu. Tuhan Yesus adalah penerus dari nabi-nabi yang sebelumnya. Sedangkan nabi-nabi yang sebelumnya adalah bayang-bayang dari Kristus yang akan datang.
Setelah membandingkan antara kisah satu dengan kisah yang lain, maka kita dapati bahwa puasa Musa adalah doa syafaat bagi Israel yang sedang dimurkai Tuhan, sedangkan puasa Elia adalah sebuah peperangan rohani (melawan nabi Baal dan pengaruhnya).
Oleh karena itu, puasa yang Tuhan Yesus lakukan tersebut:
- Pertama, tidak melibatkan unsur makanan dan minuman, seperti Musa dan Elia.
- Kedua, berhubungan dengan mencari kehendak Allah
- Ketiga, berhubungan dengan peperangan rohani melawan kekuatan setan.
Akhirnya laparlah Yesus...
Kita mungkin heran mengapa Tuhan Yesus, Musa dan Elia, dapat bertahan hidup tanpa makanan dan minuman di tengah-tengah situasi padang gurun yang dahsyat seperti itu? Tetapi barangkali inilah kesempatan bagi kita untuk melihat seperti apakah kemampuan Tuhan dalam memelihara manusia, sedemikian rupa sehingga seorang manusia dapat ditopang kehidupannya walaupun tidak diberi makan dan minum.
Benarlah yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, bahwa manusia bukan hidup dari roti (makanan fisikal) saja, tetapi hidup dari setiap Firman yang diucapkan oleh Allah (makanan spiritual). Jika Allah ber-Firman: hidup !, maka meski orang tidak makan/minum, ia tetap hidup. Tetapi jika Tuhan berkata: mati !, maka orang itu pasti akan mati sekalipun dalam keadaan sehat, cukup makan, cukup minum dan cukup istirahat.
Kita manusia jangan sombong mengira hidup ini ada di tangan kita sendiri? Kita diberi demonstrasi tentang kuasa dan kedaulatan Allah melalui para hamba-Nya dan secara khusus melalui Anak-Nya ini. Biarlah kita tidak menjadi tinggi hati karena segala apa yang kita miliki. Biarlah kita sadar bahwa hidup kita sepenuhnya ada di tangan Tuhan.
Janganlah kita tidak percaya pada mukjizat, sebab Allah itu mahakuasa, tetapi di sisi lain, janganlah kita juga bergantung pada mukjizat semata, sebab Tuhan pun tidak selalu memakai cara-cara yang supranatural dalam bekerja. Hanya dalam konteks tertentu saja Allah memberi hak istimewa kepada seseorang untuk mengalami pemeliharaan yang dahsyat seperti Musa dan Elia.
Sebab siapa yang memandang hina hari peristiwa-peristiwa yang kecil, mereka akan bersukaria melihat batu pilihan di tangan Zerubabel. Yang tujuh ini adalah mata TUHAN, yang menjelajah seluruh bumi." (Zakaria 4:10)
Ayat ini mengajarkan prinsip penting dan berlaku selamanya yaitu tentang: pentingnya memperhatikan atau tidak meremehkan hal-hal yang kecil di dalam hari-hari yang biasa saja. Sebab hal-hal kecil dari hari yang biasa pun akan membawa pada sukacita dan tergenapinya pekerjaan Tuhan.
Dalam keseharian, Allah bahkan jauh lebih banyak berkarya melalui kejadian-kejadian yang biasa dan natural, ketimbang melalui hal-hal yang spektakuler atau supranatural. Dan hal seperti itu berlaku pula bagi Tuhan Yesus. Setelah kurun waktu penetapan Allah bagi Tuhan Yesus untuk berpuasa selesai, maka Tuhan Yesus pun kembali merasa lapar, sama seperti manusia lainnya.
Tuhan Yesus dalam keadaan
fisik yang sangat lemah, lapar, haus, tersendiri di padang gurun (bukit) nan
gersang. Siapa pun yang ada di dalam situasi itu pasti maklum, jika Ia lapar. Tapi
justru dalam kondisi inilah, serangan roh jahat menjadi semakin intens. Ada
kalanya kita pikir, semakin setia kepada Tuhan, maka iblis makin takut, menjauh.
Ternyata, makin setia pada Tuhan, semakin kita diincar untuk dijatuhkan oleh
iblis. [Baca juga: 7 hal yang dapat mengalahkan keganasan si iblis. Klik disini.]
Apa yang dialami oleh Tuhan Yesus di padang gurun bukan dimaksudkan untuk kita menjadi orang yang ketakutan, cemas berlebihan seolah-olah kita tidak memiliki harapan dalam menghadapi iblis. Pengalaman Tuhan Yesus di padang gurun yang dicobai oleh iblis justru menjadi pengingat bagi kita akan potensi bahaya dari si iblis, agar kita menjadi waspada. Dan sekaligus pengingat bagi kita untuk setia bergantung pada Kristus, sebab hanya Dia satu-satunya yang mampu menghadapi dan mengalahkan si iblis.
Kiranya Tuhan Yesus memberkati dan menolong kita. Amin.
Baca artikel lain:
Apakah Tuhan merestui hubungan cinta kaum LGBTQ? Klik disini.