Ketika Allah membawa kita ke tempat yang tidak nyaman,
apakah kita cukup rendah hati untuk menerimanya?
Ketika Allah membawa kita ke tempat yang tidak nyaman |
Matius 4:1 Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun
untuk dicobai Iblis.
Dalam perikop sebelumnya kita melihat kerendahan hati Tuhan Yesus, yang mau menemui Yohanes Pembaptis untuk dibaptis, sama seperti orang lain. Ini merupakan hal yang luarbiasa, sebab semua orang lain yang datang menemui Yohanes Pembaptis, memang adalah orang berdosa yang memerlukan pertobatan. Akan tetapi Tuhan Yesus datang untuk dibaptis oleh Yohanes, bukan karena Ia orang berdosa, melainkan semata-mata karena Tuhan Yesus adalah Pribadi yang taat pada kehendak Bapa-Nya.
Dalam peristiwa Baptisan, Tuhan Yesus merendahkan diri-Nya di hadapan Bapa, di hadapan Roh Kudus, di hadapan Yohanes Pembaptis dan bahkan di hadapan semua orang yang hadir. Mengapa termasuk di hadapan semua orang yang hadir? Sebab mereka tidak tahu siapakah Tuhan Yesus itu sebenarnya dan Tuhan Yesus pun tidak mengumumkan atau memamerkan siapakah diri-Nya yang sebenarnya. Sehingga bagi orang banyak itu, Tuhan Yesus sama saja dengan semua orang lain yang hadir. Tuhan Yesus tidak show off tentang siapakah diri-Nya. Tuhan tidak meminta perhatian, meminta pengakuan, menganggap diri penting dan lain sebagainya, sebagaimana yang sering dilakukan oleh manusia berdosa.
Narsisisme adalah penyakit yang sangat sering menjangkiti orang-orang di dunia ini, tidak terkecuali orang Kristen, terlebih di era sosial media seperti sekarang ini. Banyak orang yang merasa dirinya begitu penting, begitu istimewa, sehingga ia berpikir bahwa orang lain akan tertarik pada apa yang ia makan, apa yang ia pakai, tempat liburan mana yang ia kunjungi, siapa nama kucingnya dan lain sebagainya.
Dunia menjadi sedemikian self-centered dan setiap orang menjadi semakin merasa berhak atas apapun yang mereka inginkan (entitled). Orang-orang dengan sesuka hati membuat konten untuk sosial media mereka di tempat umum, tanpa memperdulikan kepentingan orang lain di tempat itu. Orang-orang menyerukan gagasan tentang Lgbtq, woke culture, pronouns, dan memaksa orang lain juga setuju pada gagasan dan gaya hidup mereka. Seolah-olah gagasan mereka begitu penting sehingga orang lain yang tidak setuju pun dipaksa untuk setuju dengan mereka. Hal seperti ini sudah menjadi semakin marak di luar negeri, dan apabila tidak dikendalikan atau di stop, maka dapat dipastikan akan menjadi sangat marak juga terjadi di Indonesia.
Tetapi Tuhan Yesus yang mahamulia, justru berbeda dengan manusia berdosa yang merasa dirinya mulia dan istimewa itu. Kemuliaan hati Tuhan Yesus justru terpancar dari kerendahan hati-Nya. Ia menyembunyikan kemuliaan-Nya sebagai Anak Allah di hadapan manusia. Kecuali jika Bapa atau Roh Kudus yang mempermuliakan Dia, maka Ia tidak tertarik untuk menonjolkan diri atau mempermuliakan diri-Nya sendiri.
Dalam perikop sebelumnya kita membaca pengumuman dari sorga, bahwa Tuhan Yesus adalah anak yang diperkenan oleh Bapa. Dalam perikop ini kita belajar seperti apakah contoh kehidupan yang diperkenan oleh Bapa. Dalam perikop ini kita membaca kerelaan yang murni, yaitu ketika Tuhan Yesus membiarkan diri-Nya dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun untuk dicobai iblis.
Hubungan baik yang dilandasi oleh cinta kasih (Mat 3:16), membuat seseorang rela dibawa oleh Pribadi yang dicintai dan mencintai itu. Tuhan Yesus bukan terpaksa ikut, tetapi dengan rela memberi diri dipimpin Roh Kudus, sebab Tuhan Yesus memiliki relasi kasih dengan Bapa dan dengan Roh Kudus.
Kita senang ketika Allah memimpin kita ke tempat-tempat yang makmur, nyaman dan indah. Tetapi ketika Allah memimpin kita ke tempat yang kering dan kumuh, apakah kita masih bisa melihat itu sebagai cinta kasih Allah?
Kekristenan berbeda dengan ajaran dunia. Ajaran dunia selalu mengajak kita berjalan menuju kemuliaan yang ada dalam dunia seperti kekayaan materi, kesehatan jasmani, pengakuan atau validasi, nama besar, kekuasaan, pengaruh dlsb. Sedangkan kekristenan mengajak kita berjalan lewat jalan yang sempit, pintu yang sesak, perjalanan ke padang gurun, sebagai domba di tengah serigala dan pada akhirnya mati bersama Kristus yang tersalib.
Kekristen yang sejati bukanlah suatu cara hidup yang mudah untuk diterima oleh semua orang. Itu sebabnya Paulus menulis demikain: 1 Kor 1:18 Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah.
Kalimat pemberitaan tentang salib, bukan dimaksudkan untuk dipahami secara sederhana bahwa secara kognitif kita setuju bahwa Tuhan Yesus telah disalibkan saja, melainkan untuk dihayati bahwa kisah salib itu pun menjadi bagian dari hidup kita. Salib adalah lambang kehinaan, apakah kita bersedia jika di dalam hidup ini orang merendahkan kita? Apa reaksi kita ketika orang lain tidak menganggap kita sebagai orang yang sukses? Tidak memberi tepuk tangan kepada kita? Tidak menyanjung-nyanjung kita? Bagaimana kalau orang tua kita bangga sekali pada anak orang lain yang kaya raya, tetapi selalu kecewa pada kita karena tidak sekaya anak tetangga misalnya? Itulah bagian dari pemberitaan salib.
Contoh lain dari kehidupan yang memikul salib adalah ketika Tuhan membawa kehidupan kita bukan ke atas tetapi ke bawah. Misalnya, apabila semula Allah membawa kita memimpin jemaat yang terdiri dari 30 orang, lalu kemudian Tuhan membawa kita memimpin jemaat yang terdiri dari 100 orang. Maka kita pasti melihat itu sebagai pimpinan yang membawa sukacita. Tetapi bagaimana jika kebalikannya yang terjadi? Bagaimana jika Tuhan malah memimpin kita melayani jemaat yang lebih kecil dari sebelumnya? Bagaimana jika Tuhan mengirim kita ke desa dan bukan ke kota? Bagaimana jika Tuhan membuat perekonomian kita menjadi lebih sulit dan bukan menjadi bertambah kaya? Apakah kita bisa merasakan sukacita yang sama? Apakah kita masih mau ikut Tuhan Yesus?
Filipus adalah seorang penginjil yang sudah berhasil pelayanannya. Alkitab mencatat demikian: Kisah Para Rasul 8:6 Ketika orang banyak itu mendengar pemberitaan Filipus dan melihat tanda-tanda yang diadakannya, mereka semua dengan bulat hati menerima apa yang diberitakannya itu. Filipus diutus Tuhan untuk melayani di Samaria, Alkitab mencatat : Kisah Para Rasul 8:12 Tetapi sekarang mereka percaya kepada Filipus yang memberitakan Injil tentang Kerajaan Allah dan tentang nama Yesus Kristus, dan mereka memberi diri mereka dibaptis, baik laki-laki maupun perempuan. Dan Banyak orang yang bertobat melalui pelayanan Filipus tersebut.
Tetapi kemudian sesuatu terjadi pada Filipus, yang bagi banyak orang merupakan hal yang tidak menarik. Alkitab mencatat: Kisah Para Rasul 8:26 Kemudian berkatalah seorang malaikat Tuhan kepada Filipus, katanya: "Bangunlah dan berangkatlah ke sebelah selatan, menurut jalan yang turun dari Yerusalem ke Gaza." Jalan itu jalan yang sunyi. Setelah pelayanannya berhasil membawa orang banyak pada pertobatan, Tuhan malah mengirim dia ke tempat yang sunyi. Menurut ukuran dunia, ini adalah jalan hidup orang gagal, orang yang jalan hidupnya seperti sangat goblok. Filipus bisa saja berkata dalam hatinya: "Aku ini jelas-jelas berpotensi untuk melayani orang banyak, apa-apaan aku harus melayani satu orang saja, Ini buang-buang energi percuma. Ini pekerjaan yang sia-sia, tidak efektif, tidak efisien"
Tapi Filipus taat dan ia pergi ke jalan yang sunyi itu untuk melayani seorang sida-sida dari Etiopia, karena dia tahu, bahwa inilah keinginan Tuhan. Tuhan Yesus juga taat pada pimpinan Roh Kudus, sekalipun dipimpin ke padang gurun, karena Dia tahu, inilah keinginan Bapa-Nya.
Semoga ketaatan seperti yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dan Filipus ini dapat menjadi contoh bagi kita. Di dalam ketidakmampuan kita untuk taat kepada Bapa, biarlah dengan rendah hati kita memohon Roh Kudus untuk menolong kita semua. Kiranya Tuhan Yesus semakin dipermuliakan di dalam dan melalui hidup kita. Amin.