Friday, May 31, 2024

Kiranya Engkau memperluas daerahku (Serie Doa Yabes)

 

Kiranya Engkau memperluas daerahku

Di dalam isi dari Doa Yabes ada seruan agar Allah memperluas daerah Yabes. Apa maksud perkataan tersebut? Daerah apa yang Yabes ingin agar diperluas oleh Tuhan?

Dalam tulisan-tulisan terdahulu saya sudah mengutarakan kecenderungan kita sebagai manusia berdosa yang sering dipengaruhi oleh hasrat akan kekayaan materi dan kemuliaan dunia, sehingga tidak jarang ketika membaca Alkitab pun kita memakai pola pikir yang demikian.

Bukan tidak mungkin bahwa ada orang Kristen yang ketika mendengar seruan Yabes agar daerahnya diperluas oleh Tuhan, maka ia pun ingin turut berdoa seperti Yabes, apalagi di bagian akhir disebutkan bahwa Tuhan mengabulkan doa Yabes tersebut. Akan tetapi ketertarikan orang Kristen untuk turut berdoa seperti Yabes tadi, sangat mungkin disebabkan atau digerakkan oleh anggapan bahwa yang akan diperluas oleh Tuhan adalah kepemilikan akan harta di dunia, seperti rumah yang diperluas, tanah diperluas, bangunan pabrik diperluas, toko diperluas, jaringan bisnis diperluas, popularitas diperluas dan lain sebagainya yang tidak jauh-jauh berkisar di antara urusan materi dan kemuliaan duniawi semata. 

Padahal bukan itu yang didoakan oleh Yabes, dan bukan permintaan jenis itu yang akan dikabulkan oleh Tuhan (Yakobus 4:3)

Apabila kita kembali kepada konteks yang dihadapi oleh Yabes semasa hidupnya di era hakim-hakim (sebagaimana telah saya uraikan dalam tulisan terdahulu), maka kita mendapati bahwa Yabes sedang menerima tanggungjawab dari Tuhan untuk memerangi penduduk Kanaan yang tidak mengenal Allah yang sejati. Sehingga Yabes memohon agar Tuhan memberkati dia secara berlimpah-limpah dengan keberanian untuk berperang dan kesetiaan kepada Tuhan.

Oleh karena itu, permohonan Yabes agar daerahnya diperluas oleh Tuhan, sudah pasti bukan bicara tentang kepemilikan akan harta dan kemuliaan duniawi, melainkan agar daerah yang menjadi tanggungjawabnya itu boleh diperluas, agar Tuhan bersedia mempercayakan tanggungjawab yang lebih besar lagi kepadanya, agar ia boleh lebih banyak lagi terlibat di dalam pekerjaan Tuhan di dunia ini. Doa seperti inilah yang akan dikabulkan oleh Tuhan, sebab doa seperti ini sudah pasti sejalan dengan kehendak Tuhan sendiri.


Bukan kepemilikan materi dan kemuliaan duniawi yang diperluas oleh Tuhan

Darimana kita tahu bahwa Yabes bukan bicara tentang kepemilikan materi yang semakin luas? Tentu saja dari kisah-kisah lain di dalam Alkitab.

Sementara pandangan dunia beranggapan bahwa kehidupan orang yang diberkati Tuhan itu semakin lama semakin makmur dan ditandai dengan kepemilikan materi yang semakin banyak, semakin besar, semakin luas; beberapa tokoh penting di dalam Alkitab justru mengalami hal yang sebaliknya. Mereka jauh dari kondisi makmur, tidak punya banyak materi dan ruang gerak kehidupan mereka justru semakin dipersempit dan dikekang.

Tuhan Yesus mengakhiri hidup-Nya dalam keadaan yang sangat miskin. Jangankan memiliki banyak harta, satu-satunya kepemilikan yang melekat pada tubuh Tuhan, yaitu baju, itupun diambil daripada-Nya. Tuhan Yesus tidak memiliki ruang gerak yang semakin lama semakin luas, sebaliknya, pada akhir hidup-Nya, Tuhan Yesus justru tidak bisa bergerak karena dipakukan kepada kayu salib. Di hadapan manusia pada waktu itu, Tuhan Yesus adalah sosok orang kecil, orang tidak penting, sampah masyarakat yang perlu disingkirkan, bukan sosok mulia yang membanggakan. Bahkan para murid pun salah paham pada-Nya. Jadi, apabila Doa Yabes bicara tentang kehidupan materi yang semakin makmur, properti yang semakin luas, maka hal itu sungguh-sungguh tidak berlaku pada diri Yesus Kristus. Sehingga bagaimana mungkin Doa Yabes menjadi doa yang sesuai kehendak Allah sehingga perlu dikabulkan?

Bukan hanya Tuhan Yesus yang mengalami ruang lingkup kehidupan duniawi yang semakin dipersempit, tetapi tokoh-tokoh lain yang setia kepada Tuhan, mengalami hal yang serupa. Yohanes Pembaptis yang semula bebas berjalan-jalan kemanapun ia mau, pada akhirnya harus mengalami penjara dan bahkan mati di sana. Yesaya dan Yeremia pun mengalami hal yang serupa dengan Tuhan Yesus dan Yohanes Pembaptis.

Bahkan kepada Petrus, Tuhan Yesus menubuatkan suatu kehidupan yang pasti sangat berbeda dengan angan-angan dunia tentang apa yang dimaksud dengan sebuah kehidupan yang baik. Tuhan Yesus berkata: Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki." (Yohanes 21:18). Kehidupan Petrus secara jasmaniah dan duniawi, justru semakin dipersempit dan bukan semakin diperluas.

Berdasarkan beberapa contoh dan prinsip kehidupan kristiani yang saya utarakan tadi, maka jelaslah bagi kita, bahwa yang diminta oleh Yabes agar diperluas oleh Tuhan bukanlah kepemilikan materi ataupun kemuliaan duniawi, melainkan keluasan di dalam tanggungjawab dan kepercayaan dari Tuhan serta keluasan di dalam keterlibatan dengan pekerjaan Tuhan. Itulah sebabnya mengapa Tuhan mau mengabulkan doa Yabes tersebut.

Di dalam Perjanjian Baru kita juga mendapati prinsip perluasan yang dikerjakan Tuhan dalam diri para hamba-Nya. Prinsip perluasan tersebut memiliki kemiripan dengan yang terdapat di dalam doa Yabes, dan bahkan lebih dari itu, prinsip tersebut juga mengalami perkembangan (progressive revelation) di dalam bentuknya.

Setidaknya ada tiga hal yang diperluas oleh Tuhan di dalam kehidupan spiritual para hamba-Nya, sebagaimana tercatat dalam Perjanjian Baru, yaitu:

  • Tuhan memperluas tanggungjawab pelayanan para hamba-Nya
  • Tuhan memperluas jangkauan orang-orang yang diselamatkan-Nya.
  • Tuhan memperluas hati hamba-Nya untuk sabar menerima kekurangan orang lain.

Kita akan membahas satu persatu pekerjaan Tuhan ini beserta contoh-contoh yang diambil dari Alkitab.


Tuhan memperluas tanggungjawab pelayanan para hamba-Nya

Dalam kisah Rasul, Tuhan Yesus berjanji bahwa daerah pelayanan para murid akan diperluas. Tuhan berkenan memberi para murid kepercayaan yang lebih besar, tanggungjawab yang lebih berat dan jangkauan pelayanan kesaksian yang semakin luas. Tuhan Yesus berkata: "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi." (Kisah Para Rasul 1:8).

Meminta tanggungjawab yang lebih besar kepada Tuhan adalah suatu sikap yang baik, asalkan di dasarkan pada motivasi yang benar. Tetapi jika motivasinya keliru, maka Tuhan pun pasti tidak berkenan untuk mengabulkannya. Motivasi yang benar adalah ketika seseorang melihat betapa besarnya dan betapa pentingnya pekerjaan Tuhan di dunia ini sehingga ia terdorong untuk ikut ambil bagian dalam pekerjaan tersebut. Orang semacam itu melihat hati Tuhan yang mengasihi dunia yang sedang binasa ini dan hatinya pun turut bergetar bersama hati Tuhan, sehingga tercetuslah sebuah keinginan untuk turut bersusahpayah di dalam pekerjaan Tuhan itu.

Seorang teolog Inggris bernama John Knox (1514 - 1572) melihat betapa besar kebutuhan masyarakat Skotlandia untuk mengenal Yesus Kristus dan ia tidak tinggal diam. Doa John Knox yang terkenal adalah "Give me Scotland Lord, or I die." Berikan Skotlandia padaku ya Tuhan atau biarkan aku mati saja. 

Doa John Knox ini bukanlah suatu bentuk kesombongan, melainkan sebuah keinginan kuat dan kerelaan untuk dipakai dan diutus oleh Tuhan sebagai saksi-Nya dan sikap ini tidak bertentangan dengan keinginan Tuhan bagi para pengikut-Nya untuk menjadi saksi hingga ke ujung dunia. Bahkan mungkin tidak keliru juga apabila kita membandingkan ucapan John Knox ini dengan ucapan nabi Yesaya: "Ini aku, utuslah aku!" (Yesaya 6:8)

Kita dapat menghayati Doa Yabes di dalam konteks yang benar, yaitu ketika kita meminta kepada Tuhan agar diberi tanggungjawab pelayanan di dalam area yang lebih luas, entah lebih luas secara geografis, maupun secara bidang-bidang pelayanan yang semakin beragam dan berkembang luas.


Tuhan memperluas jangkauan orang-orang yang diselamatkan-Nya.

Pada awal-awal perjumpaan antara bangsa Israel dan Tuhan, sebagaimana yang mungkin dialami pula oleh Yabes, ada anggapan di dalam benak bangsa Israel bahwa Tuhan datang haya untuk menyelamatkan bangsa Israel saja dan akan membiarkan bangsa lain dalam kebinasaan.

Begitu kuatnya anggapan tersebut dipegang oleh mayoritas orang Yahudi sehingga mereka menganggap bangsa Israel merupakan bangsa paling istimewa yang lebih unggul dari bangsa manapun. Dan meskipun selama masa Perjanjian Lama Tuhan telah mengajar bangsa Israel bahwa Tuhan memperhatikan dan mau menyelamatkan pula bangsa-bangsa lain, orang Yahudi seperti sudah terlanjur merasa sebagai bangsa yang sangat istimewa dibandingkan bangsa yang lain. Mereka seperti lupa atau kurang menaruh perhatian bahwa di dalam Perjanjian Lama pun Tuhan mau menerima Rahab, perempuan Kanaan maupun Rut yang adalah perempuan Moab. Bahkan di dalam Kitab Yunus, Tuhan berupaya menyelamatkan Niniwe dari kebinasaan dengan cara mengutus Yunus ke sana.

Kesalahpahaman atau kekurangmengertian orang Israel bahwa Allah berencana pula untuk menyelamatkan bangsa-bangsa lain di luar Israel, agaknya masih terjadi pada orang Israel yang hidup sejaman dengan Tuhan Yesus. Rasul Petrus yang telah hidup bersama-sama dengan Tuhan Yesus selama kurun waktu 3 tahun pun tidak mudah untuk membuka hati bagi bangsa lain di luar Yahudi. Petrus telah sangat dipengaruhi oleh pandangan orang Yahudi yang menganggap bahwa orang berkebangsaan lain adalah orang najis atau tidak tahir. Hal ini dapat kita ketahui dari ucapan Petrus sendiri demikian: "Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka. Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir." (Kisah Para Rasul 10:28).

Suatu ketika, pada saat Petrus sedang lapar, Tuhan memberi penglihatan kepada Petrus tentang sekumpulan binatang yang dianggap najis bagi orang Yahudi, lalu Tuhan menyuruh Petrus untuk menyembelih dan memakan binatang-binatang tersebut. Sebagai penganut ajaran agama yang saleh, tentu saja Petrus menolak hal tersebut. Tetapi Tuhan punya maksud lain.

Mungkin semula Petrus pun merasa agak heran, mengapa Tuhan menyuruh dia melakukan sesuatu yang bertentangan dengan perintah dalam Taurat? Tetapi dari sinilah Petrus belajar bahwa sekalipun Tuhan pernah mengajarkan konsep tahir dan najis di dalam soal makanan pada era Perjanjian Lama, namun bukan berarti bahwa prinsip itu dapat diterapkan kepada manusia. Tuhan memberi arahan kepada Petrus demikian: "Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram." (Kisah Para Rasul 10:15)

Berdasarkan Firman Tuhan itulah Petrus mulai menyadari bahwa ia harus belajar untuk menerima pula orang lain yang non-Yahudi. Dan pada akhirnya Petrus menerima panggilan Tuhan untuk melayani Kornelius yang adalah seorang Romawi. Maka kemudian Petrus pun berkata: "Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya. Itulah firman yang Ia suruh sampaikan kepada orang-orang Israel, yaitu firman yang memberitakan damai sejahtera oleh Yesus Kristus, yang adalah Tuhan dari semua orang." (Kisah Para Rasul 10:34-36).

Jadi apakah contoh dari penggenapan atas Doa Yabes agar Tuhan memperluas daerahnya? Contohnya adalah Petrus yang telah memperluas sudut pandangnya tentang orang-orang yang membutuhkan Injil Keselamatan. Semula Petrus mengira hanya Yahudi saja, kini hatinya diperluas untuk menerima non-Yahudi juga.

Siapakah orang-orang yang selama ini kita anggap sebagai orang asing atau kelompok orang yang tidak kita sukai sehingga kita merasa segan atau menganggap bahwa mereka tidak perlu dijangkau oleh Injil Tuhan? Mari kita perluas hati untuk menjangkau mereka juga.


Tuhan memperluas hati hamba-Nya untuk sabar menerima kekurangan orang lain.

Kalau dalam peristiwa Petrus dan Kornelius, persoalan yang mengemuka adalah seputar penerimaan terhadap orang yang berbeda, yang belum kita kenal, maka dalam peristiwa Paulus berikut ini, persoalan yang mengemuka adalah seputar mengampuni orang yang pernah mengecewakan kita.

Alkitab mencatat bahwa Paulus pernah bertengkar dengan Barnabas karena ulah perbuatan Markus, demikian: Paulus dan Barnabas tinggal beberapa lama di Antiokhia. Mereka bersama-sama dengan banyak orang lain mengajar dan memberitakan firman Tuhan. Tetapi beberapa waktu kemudian berkatalah Paulus kepada Barnabas: "Baiklah kita kembali kepada saudara-saudara kita di setiap kota, di mana kita telah memberitakan firman Tuhan, untuk melihat, bagaimana keadaan mereka." Barnabas ingin membawa juga Yohanes yang disebut Markus; tetapi Paulus dengan tegas berkata, bahwa tidak baik membawa serta orang yang telah meninggalkan mereka di Pamfilia dan tidak mau turut bekerja bersama-sama dengan mereka. Hal itu menimbulkan perselisihan yang tajam, sehingga mereka berpisah dan Barnabas membawa Markus juga sertanya berlayar ke Siprus. (Kisah Para Rasul 15:35-39)

Dalam bagian ini, Paulus digambarkan sebagai pribadi yang sulit menerima orang lain, yaitu Markus, yang secara kerohanian kelihatan lemah dan kurang serius dalam melayani Tuhan. Bagi Paulus, orang seperti itu sudah dianggap gagal, serta tidak perlu diberi kesempatan atau kepercayaan lagi. Paulus adalah seorang pelayan yang terbiasa kerja keras dan sangat serius dalam melayani Tuhan. Tidak ada ruang di hati Paulus untuk orang-orang lemah seperti Markus.

Tetapi rekan sepelayanan Paulus yang bernama Barnabas, punya sikap yang berbeda. Barnabas bersedia memberi kesempatan lagi kepada Markus. Perbedaan itu cukup tajam hingga Paulus dan Barnabas pun berpisah sambil saling berselisih. Suatu gambaran yang mungkin kurang sedap dipandang, namun menjadi suatu kenyataan di dalam kehidupan setiap kita.

Betapapun Paulus adalah seorang rasul yang pandai dan sungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya, kita perlu ingat bahwa beliau pun seorang manusia yang tidak luput dari kekurangan atau kelemahan. Dalam hal ini, kekuatan Paulus dalam melayani Tuhan justru menjadi suatu kelemahan dalam memahami orang lain dan menerima mereka yang masih lemah. Mungkin Paulus berharap semua orang bisa seperti dia dalam sikap melayani, padahal dalam kenyataannya tentu tidak semua orang bisa disamakan kekuatannya serta keadaan spiritualnya. Ada orang yang sudah lebih matang, tetapi ada pula orang yang masih bersifat kekanak-kanakan, bahkan ada pula mereka-mereka yang sedang bergumul dengan dosa.

Yang indah dari kisah ini bukanlah kisah kegagalan Markus dalam ujian kesetiaan atau kegagalan Paulus dalam ujian kesabaran untuk menerima kelemahan orang lain, yang indah dari kisah ini adalah bahwa Tuhan bekerja di dalam hati anak-anak-Nya, sehingga seorang Paulus yang semula berhati sempit, berubah menjadi pribadi yang berhati luas. Sebab dari surat Paulus kepada Timotius terungkap sikap hati Paulus yang telah menerima Markus kembali. Bahkan Paulus menganggap pelayanan Markus adalah sesuatu yang penting dalam menopang pelayanannya sendiri. 

Paulus menulis: "Hanya Lukas yang tinggal dengan aku. Jemputlah Markus dan bawalah ia ke mari, karena pelayanannya penting bagiku" (2 Timotius 4:11). Pada akhirnya rasul Paulus membuka hatinya untuk Markus dan kita bersyukur atas kesempatan dan kepercayaan sang rasul ini kepada rekan pelayanannya yang lebih muda, karena di kemudian hari Markus pun dipakai Tuhan untuk menulis Injil yang pertama, yaitu Injil Markus yang kita kenal sekarang.


Penutup

Berdoa seperti Yabes agar Tuhan memperluas daerah kita, merupakan suatu hal yang baik apabila didasarkan pada pengertian yang benar dan motivasi yang benar, itu sebabnya Tuhan mengabulkan doa yang dipanjatkan oleh Yabes. Akan tetapi apabila pemahaman kita salah dan motivasi kita pun salah, maka sangat mungkin Tuhan tidak akan mengabulkan doa kita tersebut. Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita.

Kita masih akan melanjutkan pembahasan tentang Doa Yabes dalam tulisan mendatang.

Berlanjut ke:
Kiranya Engkau menyertai dan melindungi agar kesakitan tidak menimpa aku. Klik disini.


Sunday, May 26, 2024

Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah. (Serie Doa Yabes)

 

Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah

 

Yabes berseru kepada Allah Israel, katanya: "Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan memperluas daerahku, dan kiranya tangan-Mu menyertai aku, dan melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku!" Dan Allah mengabulkan permintaannya itu. (1 Tawarikh 4:10)


Kiranya Engkau memberkati aku

Seruan Yabes agar Allah Israel memberkati dia, mengingatkan kita pada peristiwa pergulatan Yakub dengan Tuhan di tepi sungai Yabok. Setelah fajar menyingsing, ketika Tuhan akan meninggalkan dia, Yakub juga memohon agar Tuhan memberkati dia (Kej 32:26). Dua orang yang sama-sama sedang dalam pergumulan, dua orang yang sama-sama berseru kepada Allah Israel, dan dua orang yang sama-sama minta diberkati. Sulit untuk tidak melihat kesamaan di antara ke dua peristiwa, yaitu Yakub dan Yabes tersebut.

Pertanyaannya adalah pergumulan apa yang sedang mereka hadapi? Dan berkat apa yang sedang mereka minta dari Tuhan?

Bagi Yakub, pergumulan yang sedang ia hadapi adalah rasa takut karena sadar bahwa ia telah bersalah di hadapan Tuhan dan sesama. Yakub pernah menipu Esau, kakaknya, dan kini ia takut bahwa kakaknya akan marah sekali dan akan membunuh dia. Selain itu, Yakub juga merasa takut apabila ia harus mati dalam keadaan berdosa, maka ia harus berhadapan dengan penghakiman Ilahi atas dosa-dosanya tersebut.

Oleh karena itu, kita dapat menduga berkat apakah yang kiranya diminta oleh Yakub, dalam keadaan seperti itu, bukan? Apakah Yakub ingin berkat kekayaan yang berlimpah-limpah? Atau berkat kesehatan? Atau berkat puji-pujian dan pengakuan dari manusia? Tentu saja tidak.

Berkat yang dibutuhkan oleh Yakub adalah pengampunan dari Allah atas perbuatannya, sehingga ketika ia sudah menerima pengampunan dari Allah, ia sudah siap menerima konsekuensi dari Esau, apabila kakaknya itu masih marah kepadanya. Ketika Allah mengampuni Yakub, memang tidak ada jaminan baginya bahwa Esau juga akan mengampuni dia, tetapi hubungan yang dibereskan dengan Tuhan itu menjadi suatu landasan atau dasar bagi Yakub untuk berani menerima tanggungjawab atas perbuatannya di masa lalu.

Lalu sekarang, berkat apa yang diminta oleh Yabes melalui seruan kepada Allah Israel? Dalam konteks kitab Tawarikh sebagaimana yang telah diuraikan dalam tulisan sebelumnya, maka dapat dipastikan bahwa bukan berkat berupa harta kekayaanlah yang diminta oleh Yabes. Hidup di era Hakim-hakim, Yabes bersama orang Israel lainnya, sedang berada dalam situasi peperangan dengan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah Israel.

Di dalam konteks peperangan seperti yang dihadapi oleh Yabes, ia meminta agar Tuhan yang telah mengutus dia untuk berperang itu berkenan untuk memberkati dia dengan keberanian dan kesetiaan.

Mengapa Yabes ingin mendapat berkat berupa keberanian? Sebab Yabes menghadapi peperangan yang diinisiasi oleh Tuhan, sebuah peperangan yang bersifat fisik, sekaligus merupakan peperangan yang bersifat rohani. Peperangan fisik yang dihadapi Yabes adalah peperangan yang benar-benar berhadapan dengan prajurit musuh yang bersifat garang serta berniat untuk membunuh lawannya, sehingga dalam peperangan itu pasti akan melibatkan otot, ketrampilan dasar untuk bertempur serta berisiko besar akan mengalami luka atau bahkan terbunuh dengan cara yang menyakitkan. 

Bersamaan dengan peperangan fisik ini, berkecamuk pula peperangan rohani, yaitu menumpas orang-orang berdosa yang menolak pengenalan sejati akan Tuhan. Kesesatan mereka harus ditumpas, agar dunia tidak semakin dicemari oleh ajaran sesat. Bagi kita di zaman modern ini, gagasan untuk menumpas orang berdosa yang tidak mengenal Tuhan secara fisik di dalam suatu peperangan, mungkin akan menjadi gagasan yang sulit diterima. Tetapi setidaknya ada dua hal yang harus kita pegang, pertama, gagasan yang sesat dari manusia yang tidak mengenal Tuhan, tetap harus kita lawan hingga saat ini, yaitu melalui pemberitaan Firman Tuhan dengan cara yang bertanggungjawab, secara gigih dan konsisten. Melalui pemberitaan Firman itu, kita turuf ambil bagian di dalam peperangan Ilahi dalam menumpas ajaran sesat dan ketidakmengenalan manusia akan Tuhan. Kedua, mengenai penumpasan secara fisik, memang semenjak zaman Perjanjian Baru hal itu sudah tidak diminta untuk dilakukan lagi oleh kita orang percaya, sebab kita telah diminta untuk menyerahkan segala penghakiman dan pembalasan ke dalam tangan Tuhan. 

Kita percaya bahwa pembalasan Tuhan itu bersifat pasti dan bersifat adil. Ada kalanya Tuhan mengizinkan orang jahat tetap hidup untuk jangka waktu tertentu, tetapi pada akhirnya kita tahu bahwa Tuhan memberi batas waktu bagi setiap orang, jika sudah tiba waktunya, maka orang-orang jahat yang menyesatkan dunia ini pasti akan ditumpas pula oleh Tuhan dengan cara-cara yang Tuhan sendiri tentukan. Ada yang mati karena sakit, ada yang mati karena dibunuh oleh aparat keamanan, ada yang mati karena kecelakaan dan lain sebagainya. Tuhan akan menjaga dan memelihara dunia ini dan Tuhan pasti akan membalas kejahatan manusia dengan penghakiman.

1 Tawarikh 4:41-43 dan 5:20 membicarakan tentang bangsa-bangsa yang harus ditumpas oleh orang-orang sebangsa dengan Yabes atas perintah Tuhan. Sebagai manusia yang normal dan bukan pembunuh profesional yang jiwanya penuh kebencian dan kesadisan, tentu saja Yabes dan sebagian besar orang Israel akan merasa takut untuk menghadapi peperangan yang bisa membawa risiko kematian. Oleh karena itu, bersama-sama, mereka juga berseru kepada Tuhan, mereka percaya kepada-Nya, sehingga mereka memiliki keberanian dalam menjalankan peperangan suci tersebut bagi Tuhan. 

Gambaran Alkitab tentang peperangan Tuhan, selalu bicara tentang penyertaan dari Tuhan, kekuatan dari Tuhan dan kemenangan dari Tuhan. Bukan seperti gambaran peperangan yang umumnya dikisahkan dalam cerita lain di luar Alkitab yang menekankan pada heroisme seorang manusia, dengan segala keberanian serta strateginya yang hebat. Di dalam peperangan Tuhan yang dibicarakan oleh Alkitab, Tuhanlah yang senantiasa menjadi pahlawan sejati, bukan manusia. Yabes menyadari hal itu, sehingga ia tidak mengandalkan hidupnya di atas kekuatannya sendiri, melainkan bersandar pada Tuhan yang memberikan berkat keberanian.

Sebagai orang Kristen, kita juga harus seperti Yabes dalam hal bersandar kepada Tuhan. Jangan memandang enteng peperangan rohani yang sedang berkecamuk di dalam dunia. Tanpa pertolongan dari Tuhan, maka segala strategi kita pasti akan menghasilkan kejatuhan, sebab lawan kita si iblis jauh lebih pandai daripada manusia manapun. Ketika kita pikir bahwa kita telah berhasil mengalahkan si iblis dengan kekuatan kita, maka sebenarnya justru pada saat itu kita telah masuk ke dalam perangkapnya. Kita menjadi sombong karena merasa menang, kita merasa tidak memerlukan Tuhan lagi, karena menganggap diri sendiripun mampu. Dan sementara kita sedang merasa menang seperti itu, iblis justru tertawa melihat jiwa kita yang terperangkap dalam kemenangan yang palsu tersebut, sebab target utama iblis justru adalah untuk menjauhkan manusia dari Tuhan, untuk membuat manusia merasa tidak memerlukan Tuhan lagi. Ironis sekali, bahwa di dalam kemenangan itu, kita justru sedang menuju kebinasaan.

Mengapa Yabes ingin mendapat berkat berupa kesetiaan? Sebab tanpa pertolongan Tuhan, manusia dengan mudah dapat berubah setia. Abraham yang disebut-sebut sebagai bapak kaum beriman pun pernah berubah setia, ia nyaris mengorbankan istrinya dan nyaris membuat Mesir dikutuk oleh Tuhan, sebagai akibat ketidaksetiaannya. Daud pernah berubah setia, Salomo pun pernah berubah setia. Bahkan murid-murid Tuhan Yesus pun tidak mampu untuk tetap setia menyertai Tuhan menuju Golgota. Dan secara khusus dalam 1Tawarikh 5:25 pun kita melihat orang-orang Israel yang berubah setia dari panggilan Tuhan.

Tidak seorang pun mampu untuk tetap setia kepada Tuhan, kecuali apabila Tuhan sendiri yang menganugerahkan hati yang setia kepada orang itu. Dan melalui Yabes kita belajar betapa dirinya memiliki rasa takut yang sehat, yaitu takut berubah setia kepada Tuhan ketika ia menjalankan tugasnya. 

Mengapa rasa takut Yabes disebut sebagai rasa takut yang sehat? Sebab rasa takut tersebut dikaitkan dengan Pribadi Tuhan. Banyak orang di dunia ini yang merasa takut akan sesuatu, tetapi ketakutan mereka diarahkan kepada hal-hal yang sebetulnya tidak penting (bahkan berdosa) di dalam pandangan Tuhan, misalnya, takut tidak diakui sebagai orang kaya, takut tidak diterima dalam status sosial tertentu, takut tidak dianggap penting oleh orang lain dan lain sebagainya. Semua itu merupakan rasa takut yang tidak ada hubungannya dengan Pribadi Allah, semua itu merupakan ketakutan yang timbul dari sifat kedagingan yang berdosa dan justru menjadi tanda bahwa orang tersebut belum atau kurang mengenal Allah yang sejati.

Yabes memiliki ketakutan yang ada kaitannya dengan Pribadi Allah, ia takut tidak setia pada-Nya, itu sebabnya ia meminta Tuhan memberkati dia dengan kesetiaan. Berapa banyak di antara kita yang masih setia untuk Tuhan setelah sekian lama menjadi Kristen? Adakah kita memohon dengan sungguh-sungguh agar Tuhan memberkati kita dengan kesetiaan? Ataukah dengan sikap yakin yang palsu kita menganggap bahwa hal itu tidak perlu terlalu diperhatikan? Kita berasumsi saja, bahwa sekali setia maka pasti akan tetap setia? Itu sikap yang sangat keliru. Mari belajar dari Yabes yang dengan rendah hati tetap memohon agar Tuhan memberkati dia dengan kesetiaan.


Berlimpah-limpah di dalam keberanian dan kesetiaan.

Jika kita sudah memahami berkat apa yang diminta oleh Yabes, maka mungkin kita bisa memahami mengapa Yabes meminta berkat tersebut secara melimpah-limpah. Yabes sadar bahwa dirinya bukan siapa-siapa, namun harus mengemban tugas yang besar dari Allah, itu sebabnya ia memohon agar Tuhan memberkati dia dengan berlimpah, agar ia mampu mengemban tugas mulia tersebut.

Harapan Yabes untuk mendapat berkat keberanian dan kesetiaan yang melimpah adalah gambaran orang yang rendah hati dan sadar akan betapa berlimpahnya Pribadi Tuhan, sadar akan betapa pentingnya pekerjaan Tuhan dan sadar bahwa dirinya bukan siapa-siapa. Tidak jarang orang Kristen yang justru bersikap sebaliknya dari sikap Yabes. Karena tidak mengenal siapa Tuhan, maka mereka pun tidak berdoa minta apa-apa pada-Nya. Karena tidak sadar akan tugas tanggung jawab yang diberikan oleh Tuhan, maka mereka tidak sungguh-sungguh di dalam berdoa. Dan karena memandang diri terlalu tinggi, di dalam rasa percaya diri yang palsu, dan terlalu memandang remeh tantangan yang dihadapi, akhirnya mereka merasa tidak terlalu membutuhkan pertolongan dari Tuhan.

Sangat tidak tepat jika berkat berlimpah-limpah yang dituliskan disini kemudian dipahami sebagai berkat materi, atau kesehatan atau kemuliaan dunia, sebab pasti bukan itu yang dipikirkan oleh Yabes. Mengapa kita bisa yakin bahwa bukan itu yang diminta oleh Yabes? Pertama, sebab apabila permintaan Yabes bersifat materi dan duniawi, maka tentu tidak akan cocok dengan konteks yang sedang dihadapi oleh Yabes saat itu. Kedua, jika permintaan Yabes bersifat material dan duniawi, maka tidak mungkin Tuhan mengabulkan permintaan tersebut.

Darimana kita tahu bahwa yang didoakan oleh Yabes, bukan kelimpahan harta atau kesehatan atau status sosial yang tinggi di mata manusia?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa hati kita yang berdosa ini jauh lebih mudah untuk tertarik kepada kelimpahan harta duniawi, kelimpahan akan kesehatan badani serta kelimpahan pengakuan dari orang lain akan betapa hebatnya, mulianya dan luarbiasanya diri kita. Jauh di dasar lubuk hati manusia, ada kerinduan untuk menjadi seperti Allah (Kejadian 3).

Oleh karena itu, boleh jadi kepopuleran Doa Yabes di kalangan orang Kristen pun sebenarnya disebabkan karena secara sepintas doa ini terdengar seperti jalan keluar yang sangat rohani untuk memenuhi hasrat jiwa kita yang terdalam akan kelimpahan materi dan berbagai kemuliaan duniawi tadi. Pertanyaannya, akankah kita masih tetap menyanyikan Doa Yabes dengan sepenuh hati apabila kita sudah mengerti makna yang sebenarnya dari doa ini?

Kelimpahan yang diminta oleh Yabes, sudah pasti bukan kelimpahan materi atau kelimpahan akan kemuliaan dan kemegahan duniawi, sebab hal itu pasti akan bertentangan dengan prinsip-prinsip mendasar yang diajarkan di dalam Alkitab. Selain itu, doa-doa yang dipanjatkan untuk memenuhi nafsu duniawi seperti demikian, sudah pasti tidak mungkin akan dikabulkan oleh Tuhan (Yakobus 4:3)

Alkitab tidak mengajarkan kelimpahan materi sebagai sesuatu yang harus dikejar oleh orang percaya. Yang diajarkan oleh Alkitab agar dikejar oleh orang Kristen adalah:

  • sifat ke-Raja-an Allah (Matius 6:33)
  • wajah Allah atau pengenalan akan Pribadi Allah (2 Tawarikh 7:14)
  • kehidupan spiritual yang berbuah (Roma 7:4)
  • kekudusan hidup di hadapan Allah. (1 Petrus 1:16)

Mengenai kebutuhan manusia akan materi, Tuhan yang memelihara kita telah berjanji bahwa Dia sendirilah yang akan mencukupkannya bagi kita, sehingga tidak perlulah kita sedemikian banyak mengerahkan energi atau merasa sedemikian khawatir semata-mata untuk mencari apa yang harus dimakan atau diminum atau dipakai. Itu semua adalah hal-hal yang dicari oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah. (Matius 6:31-32)

Bagi orang yang mengenal Allah, Tuhan Yesus mengajar kita melalui Doa Bapa Kami untuk meminta makanan yang secukupnya saja (Matius 6:11), bukan makanan yang berlimpah-limpah, bukan berkat materi yang berlimpah-limpah, sebagaimana yang disalahmengerti oleh orang Kristen ketika membaca doa Yabes. Prinsip serupa dengan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus ini, dapat kita temukan pula dalam tulisan Paulus, demikian : Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. (1 Timotius 6:8)

Jadi melalui perspektif Doa Yabes, kita diajar untuk meminta berkat rohani (seperti keberanian dan kesetiaan) yang berlimpah-limpah, tetapi melalui Doa Bapa Kami, kita diajar untuk meminta berkat jasmani (seperti makanan) yang secukupnya saja. Inilah prinsip Alkitab yang benar. Dan hal itu dapat kita lihat pula dalam kehidupan Tuhan Yesus dan para murid-Nya yang jauh dari gelimangan harta, hidup dalam kesederhanaan dan bahkan meninggal dunia secara terbunuh oleh orang-orang yang jahat.

Meski demikian, cukup disayangkan bahwa di dalam kehidupan orang Kristen sehari-hari, justru sebaliknya-lah yang lebih sering terjadi. Orang Kristen lebih tertarik pada berkat jasmani yang berlimpah, tetapi tidak ada atau kurang memiliki kepedulian pada berkat rohani. Orang Kristen pun lebih sering menganggap kesehatan fisik jauh lebih penting daripada kesehatan spiritual. Orang Kristen begitu tertarik pada ibadah penyembuhan fisik yang disertai mukjizat, tetapi tidak tertarik pada ibadah yang bersifat pengajaran Alkitab. Padahal jenis ibadah yang disebutkan pertama tadi lebih fokus pada kesembuhan fisik, sedangkan jenis ibadah yang disebutkan kedua, justru dapat menyembuhkan sakit rohani, melalui pengenalan yang benar akan Allah. Jika hasrat orang Kristen saat ini sudah sedemikian berbeda dalam cara pandang dan cara hidup Tuhan Yesus, maka bagaimana mungkin mereka akan memiliki persekutuan yang benar dengan Dia?

Tidak sedikit orang Kristen yang begitu menyukai perkataan Tuhan Yesus di dalam Injil Yohanes yang berbunyi: Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan. (Yohanes 10:10), karena di dalam benak mereka Tuhan Yesus akan memenuhi hasrat mereka terdalam akan kekayaan materi, kesehatan dan berbagai kemuliaan dunia. Padahal bukan itu yang Tuhan Yesus maksudkan.

Yang Tuhan Yesus maksudkan dengan hidup berkelimpahan di dalam Yohanes 10 adalah hidup dari seseorang yang rela memberikan apapun bagi orang yang dikasihi, bagaikan seorang gembala yang rela menyerahkan nyawanya bagi domba-dombanya (lihat Yohanes 10:11,15 dan 17)

Orang yang hidup berkelimpahan menurut versi Alkitab adalah orang yang hatinya rela dan siap untuk memberi atau berbagi dengan sesamanya, karena orang itu berkelimpahan dengan cinta kasih Tuhan. Dan pemberian terbesar yang dapat diberikan oleh seseorang bagi sesama yang dikasihinya itu adalah nyawanya atau hidupnya sendiri. Tuhan Yesus sendiri pernah berkata: Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yohanes 15:13).

Jadi sangatlah keliru apabila menafsirkan perkataan Tuhan Yesus tentang "hidup berkelimpahan" sebagai kehidupan yang berkelimpahan akan harta, kesehatan badani ataupun berlimpah di dalam bentuk-bentuk kemuliaan duniawi lainnya.

Kita perlu berhati-hati di dalam memaknai perkataan-perkataan di dalam Alkitab. Jangan biarkan hasrat kita yang berdosa atau nafsu kita akan dunia ini mempengaruhi cara kita memahami Firman Tuhan. Kita perlu menggali makna yang sebenarnya dari sebuah ayat dengan mempertimbangkan ayat-ayat lain di dalam Alkitab dan juga mempertimbangkan konteks dari ayat itu sendiri, sebab itulah cara yang paling bertanggungjawab di dalam menafsirkan Alkitab. Dan sebagai tambahan akhir yang justru paling penting adalah, kita perlu berdoa dengan hati yang jujur dan terbuka agar Roh Kudus memberi pengertian kepada kita sebab Roh Kudus-lah yang telah menuliskan ayat-ayat tersebut.

Kita masih akan melanjutkan pembahasan mengenai Doa Yabes di dalam tulisan-tulisan mendatang.

Berlanjut ke tulisan berjudul:
Kiranya Engkau memperluas daerahku. Klik disini.


Sunday, May 5, 2024

Mengapa Yabes lebih dimuliakan daripada saudara-saudaranya? (Serie Doa Yabes)

Mengapa Yabes lebih dimuliakan dari saudara-saudaranya?

Yabes lebih dimuliakan dari pada saudara-saudaranya; nama Yabes itu diberi ibunya kepadanya sebab katanya: "Aku telah melahirkan dia dengan kesakitan." (1 Tawarikh 4:9)


Mengapa doa Yabes menjadi sangat terkenal? Padahal itu merupakan doa yg sangat pendek? Dan bahkan nama Yabes sendiri pun sebetulnya hanya satu kali saja muncul di seluruh Alkitab.

Mengapa doa-doa seperti puji-pujian Hana misalnya kurang digali? Atau nyanyian pujian Maria contohnya? Mengapa tidak ada lagu untuk puji-pujian seperti itu? Padahal namanya jelas merupakan pujian Hana dan nyanyian pujian Maria.

Apakah karena isi dari doa Yabes yang sangat menarik, yang diam-diam telah membangkitkan hasrat kita yangbterdalam akan materi, kenyamanan dan cinta pada diri sendiri? Hanya diri kita dan Tuhan saja yang tahu tentang motivasi kita tersebut.

Tetapi jika kita kembali kepada Alkitab, kita mendapati bahwa nama Yabes hanya muncul satu kali saja, yaitu dalam 1 Tawarikh 4 ini, khususnya ayat 9 dan 10 yang membicarakan isi dari doa Yabes dan bagaimana respon Allah terhadap doa Yabes tersebut. Artinya, tidak banyak informasi yang dapat kita gali hanya berdasarkan dua ayat itu saja, sehingga kita harus berhati-hati sekali ketika ingin mengerti ayat ini, agar jangan sampai membuat penafsiran yang sesuka hati, sesuai angan-angan kita sendiri saja. 

Dalam menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang cukup minim informasi seperti Doa Yabes ini, kita harus memakai prinsip-prinsip yang sudah ada di dalam bagian-bagian lain dari Alkitab dan membandingkan dengan apa yang dikatakan dalam doa Yabes ini. Prinsip penafsiran semacam ini biasa disebut dengan istilah: Alkitab menafsirkan Alkitab.


Dalam konteks zaman apakah Kitab Tawarikh ditulis?

Tawarikh ditulis oleh Ezra, tahun 440 SM dan di dalamnya menceritakan tentang peristiwa yang terjadi pada sekitar tahun 1.000-960 SM, dan bahkan ada pula sedikit pembahasan tentang Adam. Jadi singkatnya kitab ini memulai dari Adam, lanjut pada kisah penaklukan Kanaan, pemerintahan Daud, Salomo, raja-raja dan akhirnya tentang pembuangan bangsa Israel ke Babel.

Mengapa demikian? Sebab kitab ini ditulis kepada generasi baru Israel. Ini adalah bangsa yang baru saja keluar dari pembuangan. Mereka perlu diingatkan akan sejarah bangsa mereka agar memahami jati diri mereka yang sesungguhnya.

Israel dibuang ke Babel pada 586 SM, lalu pada kira-kira tahun 516 SM, oleh bangsa Persia mereka diizinkan untuk kembali ke Kanaan dan membangun Bait Allah. Jadi ada sekitar 70 tahun, mereka terbuang dari hadapan Tuhan, yang ditandai dengan terpisahnya mereka dari Bait Suci.

Sekilas tentang Sejarah Bait Suci, Bait Suci adalah suatu perwakilan dari kehadiran Allah secara khusus di tengah-tengah umat-Nya. Memang Bait Allah adalah bangunan buatan manusia, tetapi bangunan tersebut dijadikan simbolisasi kehadiran Allah yang nyata, sehingga menjadi suatu elemen yang sangat penting di dalam penyembahan kepada Yahwe. Secara substansi memang kita mempercayai Allah yang Mahabesar, yang kebesaran-Nya tidak mungkin di tampung di dalam sebuah bangunan buatan manusia. Tetapi di dalam anugerah-Nya, Tuhan telah bersedia menyatakan diri-Nya secara khusus di dalam Bait tersebut.

Di dalam sejarah Alkitab, semenjak keluar dari Mesir dan mengembara di padang gurun, bangsa Israel beribadah kepada Yahwe yang menandai kehadiran-Nya melalui Kemah Suci (Keluaran 25:9). Dan bangsa Israel terus beribadah, selama kurang lebih 500 tahun, di depan Kemah Suci itu sampai Salomo mendirikan Bait Suci. Hal itu dapat kita baca dalam Alkitab, demikian: Di hadapan Kemah Suci, yakni Kemah Pertemuan, mereka melayani sebagai penyanyi sampai Salomo mendirikan rumah TUHAN di Yerusalem. Mereka melakukan tugas jabatannya sesuai dengan peraturannya (1 Tawarikh 6:32).

Pada tahun 957 SM, Salomo mendirikan Bait Suci yang pertama. Namun Bait ini kemudian dihancurkan oleh Nebukadnezar dari Babilonia pada tahun 587/586 SM dan mengangkut orang Israel ke negri Babel.

Kelak, seperti dikatakan di atas, Bait Allah ke dua dibangun kembali pada saat bangsa Israel diizinkan untuk datang kembali ke Kanaan. Pembangunan Bait Allah kedua dipimpin oleh seorang bernama Zerubabel, Alkitab mencatat demikian: Pada waktu itu mulailah Zerubabel bin Sealtiel dan Yesua bin Yozadak membangun rumah Allah yang ada di Yerusalem. Mereka didampingi dan dibantu oleh nabi-nabi Allah. (Ezra 5:2)

Bait Allah yang ada pada zaman Tuhan Yesus adalah Bait Allah kedua yang telah diperbesar, diperbaharui secara cukup masif oleh Herodes. Waktu yang dipakai oleh Herodes untuk merenovasi Bait Allah adalah 46 tahun, yaitu dari 20 SM sampai dengan 26 M. Hal itu sempat dituliskan oleh rasul Yohanes demikian : Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?" (Yohanes 2:20).

Generasi baru Israel pembaca kitab Tawarikh, perlu mengetahui sejarah perbuatan Allah kepada leluhur mereka, bagaimana Allah membuang Israel, bagaimana Allah memelihara Israel dan bagaimana Allah mengembalikan mereka ke Tanah Perjanjian, agar mereka mengenal siapa Allah yang mereka sembah dan siapakah jatidiri mereka yang sebenarnya, yaitu umat pilihan Allah yang mendapat anugerah, sekaligus mendapat tugas dan tanggungjawab sebagai wakil Allah di dunia ini.

Yabes diperkirakan hidup di dalam konteks jaman hakim-hakim, yaitu sesudah bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan. Mereka diberikan tanah perjanjian, sebagai sebuah anugerah, sekaligus sambil memikul tanggungjawab, yaitu berperang melawan bangsa lain yang tidak mengenal Tuhan. Inilah tanggungjawab sebagai wakil Tuhan dalam menyatakan kesucian-Nya serta penghakiman-Nya atas bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.

Dalam konteks Hakim-hakim ada dua hal yang perlu dijaga oleh umat Tuhan, yaitu keberanian untuk melawan bangsa lain dan kesetiaan kepada Allah, agar tidak menyimpang kepada allah lain yang disembah oleh orang Kanaan.


Yabes lebih dimuliakan daripada saudara-saudaranya

Mengapa Yabes dikatakan lebih dimuliakan daripada saudara-saudaranya? Alkitab tidak memberikan penjelasan yang eksplisit tentang mengapa, tetapi dari teks-teks selanjutnya kita membaca setidaknya ada dua hal yang mau diajarkan kepada generasi baru Israel, yaitu:

  • bahwa Yabes lahir dari kesakitan.
  • bahwa Yabes berseru/berdoa pada Allah Israel.

Tetapi, apa hubungan antara kesakitan dan kemuliaan? Hidup di dunia bersama Tuhan, hal pertama yang harus kita hayati bukanlah bagaimana hidup penuh sukacita, apalagi kemuliaan ala dunia, melainkan merenungkan apa artinya berdukacita secara rohani.

Tuhan Yesus pernah berkata: Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur (Matius 5:4). Dukacita adalah emosi yang sewajarnya dimiliki oleh orang-orang yang sudah melihat kesucian Allah, melihat keberdosaan dirinya dan melihat keadaan dunia yang sedang berjalan menuju kebinasaan ini. Apabila kita tidak memiliki perasaan berduka atas kehidupan kita di dunia ini, maka agak disangsikan apakah kita juga sudah mengerti apa itu Injil Keselamatan Allah, apa itu karya keselamatan yang dikerjakan Kristus. Kematian Kristus di atas kayu salib sudah pasti bukan suatu kejadian yang pantas kita tanggapi dengan tertawa-tertawa, senyum-senyum dan apalagi berpesta. Tuhan sedang mengalami kematian, yang sebenarnya merupakan kematian kita sendiri, apakah sukacita merupakan sikap yang tepat dalam menanggapi penderitaan dan kematian Tuhan kita?

Baru setelah ada kebangkitan, ada penghiburan serta ada pengharapan di dalam Tuhan yang bangkit itulah, maka kita punya alasan untuk bersukacita.

Di dalam kitab Yesaya kita mendapati penggalan kalimat seperti ini: ..".untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung" (Yesaya 61:2). Dari kalimat tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa tanpa adanya penghayatan akan perkabungan, bagaimana mungkin akan ada penghiburan yang dari Tuhan?

Kekristenan yang hanya mengerti sukacita, gembira-gembira, senda gurau, tetapi tidak mengerti apa itu kematian di dalam Tuhan dan tidak mengerti dukacita rohani apa yang meliputi dunia, bukanlah kekristenan sejati, sebab Tuhan datang untuk menghibur yang berduka. Tetapi sebaliknya, kekristenan yang murung, sedih, marah putus asa terus menerus, juga bukan kekeristenan sejati, sebab pengharapan di dalam Tuhan bukanlah sesuatu yang sia-sia. 

Dalam Perjanjian Lama pun ada gambaran yang cukup kontras tentang kehidupan keluarga Kain dan keluarga Set. Di mana keluarga Kain diisi oleh orang-orang yang sukses, gagah perkasa, sedap dipandang, sedangkan keluarga Set justru tidak ada penyebutan apapun tentang prestasi mereka. Keluarga Kain tidak ada penghayatan akan hidup menderita, justru mereka yang membuat orang lain menderita. Keluarga Kain tidak ada penghayatan bahwa mereka berdosa, hidup di tanah yang terkutuk, sedang sebaliknya keluarga Set justru adalah keluarga yang mengerti apa itu penderitaan, apa itu kutukan dari Tuhan, sehingga mereka menantikan penghiburan dari Tuhan. Dan ketika Tuhan akhirnya memberi penghiburan, mereka pun sangat bersuka cita, sebagaimana yang dicatat oleh Alkitab demikian: 28 Setelah Lamekh hidup seratus delapan puluh dua tahun, ia memperanakkan seorang anak laki-laki, 29 dan memberi nama Nuh kepadanya, katanya: "Anak ini akan memberi kepada kita penghiburan dalam pekerjaan kita yang penuh susah payah di tanah yang telah terkutuk oleh TUHAN." (Kejadian 5:28-29). Keturunan Set, pengganti Habel, justru menghayati apa itu hidup bersusah payah dan apa artinya hidup dibawah keterkutukan.

Keluarga Kain tidak mengerti apa artinya berduka di hadapan Tuhan. Mereka tahu bagaimana sukses mengatasi masalah, bagaimana sukses mengalahkan orang lain, sukses menguasai dunia dan menjadi kaya. Sementara keluarga Set justru mengerti apa itu berduka. Dan kita (seharusnya) sudah tahu, kehidupan mana yang diperkenan oleh Tuhan, dan mana yang dikutuk oleh Tuhan, bukan?

Kita mungkin sering berduka, tetapi apa yang seringkali membuat kita berduka? Karena perekonomian yang sedang turun? Karena orang lain tidak mengerti kita? Karena tidak dihargai atau kurang dikagumi oleh orang banyak? Apabila kedukaan kita hanya sebatas hal-hal ini, maka penghiburan dari Kristus tidak akan relevan bagi kita. Tetapi apabila kedukaan kita disebabkan oleh kesadaran akan dosa kita, kesadaran akan ketidakmampuan kita membalas cinta kasih Tuhan, kesadaran bahwa kita belum bisa mengasihi sesama kita atau kedukaan yang timbul karena hati yang makin selaras dengan hati Tuhan yang juga sedang berduka melihat kerusakan di dunia ini, maka kedatangan Kristus benar-benar merupakan penghiburan bagi kita.


Jadi, mengapa Yabes lebih mulia dari saudaranya?

Alasan Pertama mengapa Yabes dimuliakan adalah: karena ia mengerti apa artinya menderita bersama Tuhan di dalam dunia yang terkutuk ini. Yabes adalah gambaran dari Kristus yang juga mendapat kemuliaan setelah melewati penderitaan. Iniil Lukas mencatat demikian: Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?" (Lukas 24:26)

Perhatikan hubungan antara penderitaan dan kemuliaan dalam hidup Kristus, seperti yang dikatakan dalam Injil Lukas. Tidak jarang orang Kristen berpikir, "yang menderita itukan Kristus, bukan saya, berarti saya aman dong?" Atau cara berpikir lain adalah: "Justru karena Kristus sudah menderita, maka berarti saya bebas, tidak harus menderita lagi."

Sepintas cara berpikir seperti itu ada benarnya, tetapi kalau kita berpikir demikian, maka hal ini hanya menunjukkan, bahwa kita tidak ada relasi kasih dengan Dia. Sebab kalau kita menyayangi seseorang, lalu orang itu menderita. Apakah kita dengan mudahnya dapat berkata: "biarlah itu urusan Dia, yang menderita itukan dia, saya kan tidak?"

Lagipula, Alkitab sendiri tidak mendukung cara berpikir seperti yang saya uraikan dalam paragraf di atas. Alkitab, khususnya Kitab Roma berikut ini, justru berkata: Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia. (Roma 8:17)

Alasan Kedua mengapa Yabes lebih dimuliakan adalah karena Yabes berdoa atau berseru kepada Allah yang benar. Hal itu dapat kita ketahui dari ayat berikutnya, yaitu: Yabes berseru kepada Allah Israel (1 Tawarikh 4:10).

Apa hubungan antara doa dan kemuliaan? Doa adalah suatu perbuatan yang membedakan antara manusia dan binatang. Darimana kita tahu prinsip seperti ini? Dari kisah Nebukadnezar dalam Daniel 4:34. Nebukadnezar dianggap sebagai manusia oleh Tuhan ketika ia bisa berdoa kepada Yahwe. Sebelum ia bisa berdoa, berkata-kata kepada Tuhan, maka bagi Tuhan Nebukadnezar pada dasarnya adalah binatang.

Begitu pentingnya doa dalam kehidupan orang percaya, namun sayangnya, tidak semua orang Kristen bisa dan biasa berdoa. Ada orang Kristen yang tidak bisa berdoa, ketika tiba-tiba ditunjuk untuk berdoa, orang itu ketakutan dan menolak, lalu dengan agak panik meminta agar orang lain saja yang berdoa. Dalam konteks kehidupan orang Kristen, menolak untuk berdoa di depan umum adalah indikasi sederhana dari kehidupan pribadi yang jarang atau tidak pernah berdoa. Ia tidak biasa berbicara dengan Tuhan sehingga ketakutan ketika diminta berdoa secara spontan sambil didengarkan orang lain. Atau mungkin juga orang itu memang pernah berdoa, tetapi doa yang diucapkan adalah doa hafalan yang diucapkan berulang-ulang, tanpa ia sendiri menyadari apa yang sedang ia katakan kepada Tuhan, sehingga ucapan tersebut lebih mirip sebuah mantra ketimbang sebuah pembicaraan antara orang percaya dengan Tuhannya.

Di sisi lain, ada juga orang yang kelihatannya seperti pandai berdoa, fasih lidah, tahu memakai kata-kata yang tepat, enak di dengar dan bahkan berdoa dalam durasi yang panjang. Tetapi belum tentu orang seperti ini memang biasa berdoa di dalam kehidupannya, dalam arti, belum tentu senantiasa melibatkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari, belum tentu bertanya kepada Tuhan ketika akan mengambil keputusan. Di depan orang lain keliatan pandai berdoa, tetapi di dalam keseharian ia lebih mengandalkan kepandaiannya, kekayaannya, koneksinya, pengalamannya dan lain-lain, ketimbang mengandalkan Tuhan melalui doa. Ketrampilannya berdoa di depan orang lain mungkin disebabkan karena ia memang pandai bicara, atau mungkin juga karena orang itu ingin pamer saja di depan orang lain agar kelihatan hebat, kelihatan rohani dan lain sebagainya.

Pada praktiknya ada orang-orang yang merasa dirinya cukup hebat, cukup pandai, cukup berani, cukup berpengalaman, sehingga merasa tidak perlu berdoa. Bagi orang seperti itu, doa hanya menjadi pilihan yang terakhir, ketika usaha manusia tampak menemukan jalan buntu, ketika tantangan sudah terlalu besar.

Yabes berbeda, ia disebut lebih mulia dari saudara-saudaranya karena ia berseru kepada Allah Israel. Yabes dalam hal ini adalah sosok yang seperti Kristus, yang juga senantiasa berdoa di dalam segala situasi. Kristus berdoa sebelum memilih murid-murid-Nya (Lukas 6), Ia berdoa di pagi hari ketika hari masih gelap (Markus 1:35), berdoa sebelum menolong para murid yang terkena badai (Matius 14:23), Tuhan Yesus berdoa di Taman Getsemane sebelum Ia mengalami penderitaan di atas kayu salib.

Berdoa adalah gesture kerendahan hati di hadapan Allah. Jika Kristus saja yang mahakuasa, mau merendahkan diri-Nya di hadapan Bapa, mengapa kita manusia justru tidak? Itu sebabnya, ketika ada manusia yang bersikap seperti Kristus, mau merendahkan dirinya di dalam doa, mau membiarkan Tuhan memimpin langkah hidupnya, mau meminta petunjuk Allah dalam mengerti kebenaran, mau bersandar pada kekuatan Tuhan dan bukan pada kekuatannya sendiri, mau bersandar pada hikmat Tuhan dan bukan pada pengertiannya sendiri, maka wajar sekali apabila orang itu dianggap lebih mulia daripada saudara-saudaranya yang tidak demikian.

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita.


Bersambung ke tulisan selanjutnya:
Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah. Klik disini.