Sehingga kesakitan tidak menimpa aku |
"Kiranya tangan-Mu menyertai aku, dan melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku!" (1 Tawarikh 4:10)
Di dalam tulisan-tulisan sebelumnya, kita sudah membahas beberapa hal tentang Yabes, yaitu:
Dalam tulisan ini kita akan melihat bagian lain dari doa Yabes, yaitu
- Permohonan Yabes agar Tuhan menyertai dan melindungi dari malapetaka
- Harapan Yabes agar kesakitan tidak menimpa dia.
Pertama: Kiranya tanganMu menyertai aku dan melindungi aku dari malapetaka
Doa Yabes mengajarkan kita untuk dengan rendah hati memohon penyertaan Tuhan dalam mengemban tanggungjawab yang juga berasal dari Tuhan. Permohonan Yabes ini merupakan cerminan dari suatu sikap yang rendah hati. Yabes tidak merasa kuat atau mampu untuk menghadapi segala macam tantangan dalam kehidupan sehingga ia memohon agar tangan Tuhan yang mahakuat itu mau menyertai dan melindungi dia.
Tidak semua orang Kristen punya sikap hati seperti ini, karena hal seperti ini bukan sesuatu yang timbul secara otomatis. Seseorang perlu mengenal siapakah Tuhan itu, siapakah dirinya di hadapan Tuhan dan kondisi seperti apakah yang sedang dihadapinya di dunia. Melalui pengenalan itu, seseorang akan bertumbuh dalam kerohanian sehingga mulai timbul suatu kebergantungan yang sehat kepada Tuhan.
Tanpa pengenalan akan Tuhan, seseorang cenderung keliru dalam mengenal dirinya sendiri. Adakalanya seseorang melihat diri terlalu rendah sehingga tidak ada keberanian dalam memikul tanggungjawab dalam kehidupan. Ia tidak berani meminta agar Tuhan memperluas daerahnya, seperti yang didoakan Yabes. Ia tidak berani melibatkan diri dalam peperangan rohani yang sedang dikobarkan oleh Tuhan. Ia bagaikan katak dalam tempurung yang hidup hanya untuk mencari aman saja.
Di sisi lain, ada pula orang yang melihat dirinya terlalu tinggi, sehingga merasa sombong, merasa paling mampu, merasa tidak butuh orang lain dan pada akhirnya merasa tidak membutuhkan Tuhan. Kepandaian, kekuatan fisik maupun ketahanan mental, serta harta kekayaan dapat membawa seseorang ke dalam perasaan kuat yang palsu. Orang itu tidak sadar bahwa di dalam sebuah peperangan rohani, yang menjadi lawan kita adalah iblis yang sangat kuat dan sangat pandai. Tidak ada seorang manusia pun yang dapat melawan iblis dengan kekuatannya sendiri. Hanya kebergantungan kepada Tuhan-lah yang mampu menyelamatkan seorang manusia dari tipuan dan serangan iblis.
Dalam peristiwa pencobaan di padang gurun, Tuhan Yesus yang mahakuasa pun telah memberi contoh bahwa satu-satunya cara untuk melawan iblis adalah melalui kebersandaran seutuhnya pada Firman Tuhan. Tuhan Yesus tidak memakai kekuatan supranatural yang dimiliki-Nya sebagai Pribadi Allah untuk melumpuhkan Iblis. Tuhan mau kita pun meneladani Dia.
Seruan Yabes agar Tuhan menyertai dan melindungi dia, dapat diparalelkan dengan Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Dalam Doa Bapa Kami ada ucapan: "dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan." Melalui ucapan ini Tuhan Yesus mengajar kita untuk memiliki kerendahan hati di hadapan Tuhan yaitu dengan memohon agar Tuhan tidak memasukkan kita ke dalam pencobaan. Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa kita ini lemah dan berpotensi untuk mengalami kegagalan ketika pencobaan datang.
Malapetaka jasmani dan malapetaka rohani
Dalam doa Yabes, kita diajar bahwa ada malapetaka yang dapat berpotensi menimpa kita di dalam hidup ini. Hal mana disebabkan karena adanya peperangan rohani melawan iblis yang punya kekuatan lebih besar dari kita. Satu hal yang perlu kita ingat adalah bahwa malapetaka itu tidak selalu berupa malapetaka jasmani, tetapi dapat pula berupa malapetaka rohani.
Kita mungkin mudah memahami malapetaka jasmani sebagai kecelakaan fisik, sakit penyakit, bencana alam, aniaya dan pembunuhan. Tetapi apa itu malapetaka rohani?
Malapetaka rohani adalah suatu bencana yang memberi pengaruh besar terhadap keadaan rohani kita. Misalnya, ada orang Kristen yang tidak sungguh-sungguh belajar Firman Tuhan, lalu dalam perjalanan hidupnya ia berjumpa dengan seseorang penganut atheisme yang sangat pandai dalam berargumentasi tentang betapa masuk akalnya pandangan atheisme dibandingkan dengan pandangan iman Kristen. Karena orang Kristen tadi tidak menaruh perhatian pada Firman, akhirnya ia pun turut menganut pandangan atheisme dan sama sekali meninggalkan kekristenan. Ini sebuah malapetaka yang terjadi dalam ranah kerohanian, bukan (belum) menjadi malapetaka jasmani.
Banyak orang terlalu fokus menghindar dari malapetaka jasmani seperti kecelakaan, sakit penyakit, kelaparan, jatuh miskin dan lain sebagainya tadi, tetapi tidak menganggap malapetaka rohani sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan. Padahal malapetaka rohani itu akan membawa seorang manusia kepada kebinasaan kekal.
Iblis bekerja dibalik setiap malapetaka rohani yang menimpa manusia. Hal itu sudah terlihat sejak awal penciptaan. Dalam kisah Adam dan Hawa, iblis tidak datang dalam wujud monster menakutkan yang mencakar Adam dan Hawa hingga terluka berdarah-darah. Sebaliknya iblis justru tampil dalam wujud yang biasa saja di mata Hawa maupun Adam. Hal itu terbukti dari reaksi Hawa dan Adam yang tidak berteriak ketakutan ketika melihat iblis dalam wujud sang ular di Taman Eden.
Hal yang paling berbahaya dari perbuatan iblis bukanlah dikarenakan dalam wujudnya sebagai ular itu ia telah berusaha menggigit Adam dan Hawa atau mencekik mereka dengan lilitan yang sangat mematikan. Hal paling berbahaya dari iblis adalah bahwa ia telah menanamkan ide atau gambaran yang salah tentang Allah sehingga manusia memutuskan untuk menentang Dia. Dan inilah malapetaka rohani yang membawa seluruh umat manusia kemudian terseret dalam jurang kebinasaan kekal.
Iblis masih melancarkan serangannya melalui berbagai ajaran, ide atau gagasan, atau paradigma yang menjauhkan manusia dari pengenalan akan Allah yang sejati. Malapetaka yang ditebarkan oleh iblis cukup berhasil dalam ukuran manusia. Hal itu terbukti dari banyaknya jumlah orang yang memilih untuk menolak Allah yang telah hadir dalam diri Yesus Kristus. Hanya 1/3 saja jumlah manusia di bumi yang dapat diasosiasikan keterkaitannya dengan gereja, dan dari jumlah 1/3 itupun, hanya sedikit saja jumlah yang benar-benar mengalami kelahiran baru oleh Roh Kudus sehingga melihat kerajaan Allah yang sebenarnya.
Oleh karena itu, doa Yabes agar Tuhan menyertai dan melindungi, sungguh merupakan doa yang sangat pantas untuk dipanjatkan. Sebab tanpa penyertaan Tuhan, sangatlah mudah bagi seorang manusia untuk terjatuh dan kalah di hadapan tipu daya iblis.
Apabila kita perbandingkan dengan Doa Bapa Kami yang memohon kepada Bapa agar tidak memasukkan kita ke dalam pencobaan, maka kita dapati bahwa doa Yabes memiliki keselarasan dengan Doa Bapa Kami. Sekalipun dalam hidup kekristenan, Allah tidak menghapus kesulitan kita, tetapi dari sisi kita manusia, sepatutnya kita bersikap rendah hati dan tidak menantang kesulitan. Sebab hanya Bapa yang tahu persis hingga di manakah kekuatan kita dalam menghadapi pencobaan tersebut.
Kedua: Sehingga kesakitan tidak menimpa aku
Melalui doa, Yabes berharap agar Tuhan menyertainya sehingga kesakitan tidak menimpa dia. Lalu pertanyaannya adalah apakah penyertaan Tuhan memang pasti membuat seseorang dapat terbebas dari hal-hal yang menyakitkan? Jika di dalam Alkitab ternyata justru ada banyak kasus dimana kedekatan dengan Tuhan justru membawa seseorang kepada kesulitan dan tantangan yang sangat berat, lalu bagaimana kita memahami permohonan Yabes yang sekalipun terdengar enak di telinga namun tidak realistis ini?
Apakah mungkin orang Kristen dapat terbebas dari kesakitan? Ini merupakan pertanyaan yang justru terdengar seperti bertentangan dengan panggilan Kristus sendiri. Mengapa? Sebab Tuhan Yesus pernah berkata: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku." (Matius 16:24). Siapakah yang dapat mengatakan bahwa menyangkal diri sendiri dan memikul salib merupakan tindakan yang tidak menyakitkan?
Tuhan Yesus cukup serius dalam perkara yang berkaitan dengan memikul salib ini, sebab di bagian lain Ia bahkan pernah berkata: "Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku." (Matius 10:38). Artinya, seseorang tidak bisa berkata bahwa ia adalah Kristen (artinya pengikut Kristus), tetapi ia tidak mau ikut memikul salib bersama Sang Kristus. Menurut Tuhan Yesus, hal seperti itu tidak memungkinkan untuk dipadankan. Memikul salib dan mengikut Tuhan Yesus bukanlah sesuatu yang bersifat pilihan, apabila kita mengaku sebagai orang Kristen.
Apa yang dikatakan oleh Tuhan Yesus, dipertegas pula oleh Rasul Paulus. Dalam surat Filipi, Paulus berkata: "Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya," (Filipi 3:10).
Melalui surat tersebut Rasul Paulus berpendapat bahwa pengenalan akan Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya, tidak mungkin dipisahkan dari persekutuan dalam penderitaan dan keserupaan dalam kematian-Nya. Sehingga sekali lagi kita mendapati bahwa kehidupan orang Kristen tidak mungkin dapat dipisahkan dari penderitaan serta kesakitan, sebagai akibat dari pengikutan kita kepada Yesus Kristus.
Jika kehidupan orang Kristen tidak mungkin dipisahkan dari kesakitan, lalu mengapa Yabes berdoa agar kesakitan tidak menimpa dia? Apakah Yabes salah berdoa? Tetapi jika ia salah berdoa, lalu mengapa Tuhan berkenan mengabulkan doanya tersebut? Bagaimana kita memahami hal yang seakan-akan saling bertentangan ini?
Kita tidak mungkin tahu bagaimana menjawab pertanyaan ini, kecuali apabila kita kembali kepada ajaran Alkitab tentang kesulitan dan penderitaan, serta hal baik apa yang dapat dihasilkan daripadanya.
Alkitab mengajarkan bahwa kesulitan dan penderitaan adalah hal yang tidak mungkin dihindarkan dari kehidupan seluruh umat manusia, entah dari kalangan orang yang percaya kepada Yesus Kristus, maupun kelompok orang yang tidak percaya. Hal ini terjadi terutama karena manusia telah jatuh ke dalam dosa. Dan dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh dosa sedemikian besarnya, sehingga bukan hanya manusia saja yang mengalami penderitaan, tetapi seluruh alam semesta, seperti tanah, tumbuhan dan hewan, juga mengalaminya. Bahkan Allah Tritunggal pun turut mengalami kepedihan, penderitaan dan kematian dari salah satu Pribadi-Nya sebagai akibat dari dosa manusia.
Penderitaan bagi orang yang tidak percaya kepada Yesus Kristus (non-believer)
Tadi sudah saya sebutkan, bahwa ada jauh lebih banyak jumlah manusia di dunia ini yang memilih untuk menolak Yesus Kristus atau yang tidak menaruh kepedulian pada-Nya. Menurut hitungan kasar saja, diperkirakan hanya 1/3 penduduk bumi yang dapat dikategorikan sebagai orang yang punya hubungan dengan gereja. Dan dari yang 1/3 itupun, tidak semuanya menjalankan kehidupan imannya berdasarkan pemahaman Alkitab yang sehat dan memadai untuk dipertanggungjawabkan. Sehingga jumlah orang yang memiliki relasi dengan Kristus, yaitu yang kehidupannya digerakkan oleh kehidupan Kristus, pasti jauh lebih sedikit lagi.
Akibatnya, kebanyakan manusia di bumi ini tidak sadar bahwa mereka sedang hidup di dalam kegelapan. Mereka tidak tahu siapa Tuhan, mereka tidak tahu siapa diri mereka di hadapan Tuhan, sehingga pada akhirnya mereka juga tidak sadar betapa dalam mereka sudah jatuh ke dalam dosa. Percaya atau bahkan tahu bahwa Tuhan ada, itu satu hal. Tetapi tanpa memiliki pengenalan akan Dia, sehingga mengerti apa yang menjadi perintah-Nya, maka manusia tidak mungkin mengerti sejauh apa manusia telah berdosa di hadapan Tuhan.
Dan apabila kita tidak sadar akan keberdosaan kita, lalu bagaimana mungkin ada pertobatan di dalam hati dan ada upaya untuk hidup bergantung kepada Tuhan? Pada akhirnya, kepercayaan kepada Tuhan tadi hanyalah terbatas sebagai konsep atau slogan yang kita setujui dalam pikiran, tetapi kemudian tidak berpengaruh apa-apa terhadap cara kita berpikir, cara merasa dan cara bertindak. Jika ukurannya hanya percaya bahwa Tuhan itu ada, iblis pun percaya demikian, dan bahkan mereka ketakutan. Tetapi apakah itu cukup atau berguna bagi perubahan si iblis? Mereka tetap akan dibinasakan karena mereka tidak akan bertobat dan tidak akan berubah taat kepada Tuhan.
Mungkin jika dilihat berdasarkan ukuran dunia, yaitu kehidupan yang terlihat dipermukaan, kehidupan dari orang yang tidak peduli pada Tuhan itu, bisa saja tampak baik. Mereka terlihat bahagia karena berkecukupan secara materi, terpandang di masyarakat dan punya pendidikan tinggi. Mereka punya banyak pencapaian dalam hidup dan menerima banyak pengakuan dari orang lain. Tetapi meski demikian, apakah jauh di lubuk hati mereka ada suatu kebahagiaan, kedamaian dan bebas dari penderitaan? Sangat mungkin tidak.
Sudah banyak kesaksian di media massa dari para selebriti baik dalam dan luar negeri, bahwa sekalipun mereka adalah orang-orang yang memiliki segalanya dalam ukuran dunia, tetapi hati mereka menderita karena kosong, bosan, kehilangan arti dan tidak tahu lagi harus melakukan apa yang baik. Belum lagi persoalan pernikahan, hubungan orangtua dengan anak, relasi bisnis, munculnya para haters, ketergantungan pada alkohol, obat terlarang dan lain sebagainya. Dunia sudah tidak terlalu kaget lagi dengan orang-orang sukses yang justru melakukan bunuh diri karena depresi atau sakit mental lainnya.
Kalau pun ada orang sukses di dunia ini yang benar-benar bahagia dan mengaku tidak mengalami penderitaan, maka sikap mereka yang tidak mau mengenal Allah Sang Pencipta melalui Yesus Kristus, suatu saat pasti akan membawa mereka pada penderitaan kekal di neraka. Suka atau tidak suka, percaya atau tidak percaya, siap atau tidak siap, hal itu pasti akan terjadi pada setiap orang yang menolak Kristus. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa tidak ada orang dari kelompok ini yang tidak akan menderita, entah di dunia ini maupun di dunia yang akan datang.
Penderitaan bagi orang yang percaya kepada Yesus Kristus (believer)
Sebelumnya sudah saya sebutkan bahwa orang percaya maupun bukan orang percaya, pasti akan mengalami penderitaan, oleh sebab kita hidup di suatu rentang waktu di mana dunia telah jatuh ke dalam dosa. Meski demikian, bukan berarti penderitaan orang yang percaya pada Yesus Kristus (believer) dan orang yang tidak percaya kepada-Nya (non-believer) itu ada kesamaan di dalam makna dan tujuannya.
Ketika seorang non-believer menderita, ia menderita sendirian tanpa adanya penyertaan Tuhan. Sebab bagaimana mungkin orang itu dapat memperoleh penyertaan dan penghiburan Tuhan apabila percaya kepada-Nya pun tidak?
Tetapi tidak demikian halnya dengan orang percaya, penderitaannya menjadi sesuatu yang bernilai, sebab Allah sendiri turut menderita bersamanya. Allah yang mahakuasa telah rela menjadi Manusia, untuk turut merasakan penderitaan dan kelemahan manusia, dan bahkan dalam natur-Nya sebagai Manusia, Ia telah menderita penghukuman yang sangat mengerikan hingga mati dengan cara yang menyakitkan di atas kayu salib.
Selain Allah turut menderita bagi dan bersama orang percaya, Allah juga memakai penderitaan di dunia sebagai suatu sarana yang positif bagi umat-Nya. Sebagaimana yang dapat kita lihat sendiri secara faktual, kita dapati kenyataan bahwa Tuhan memang tidak menghapus penderitaan di dalam dunia. Ada waktunya kelak dimana Tuhan akan menghapus segala penderitaan di dunia, tetapi untuk sekarang Tuhan membiarkan penderitaan itu tetap ada. Penderitaan adalah akibat ulah perbuatan manusia sendiri dan sebetulnya Tuhan tidak ada kewajiban untuk membereskan apa yang sudah dirusak oleh manusia.
Akan tetapi, sementara penderitaan itu dibiarkan tetap ada di dalam dunia, Tuhan memakai penderitaan itu sebagai sarana untuk mencapai beberapa tujuan yang positif. Di tangan Tuhan yang mahakuasa, penderitaan dipakai sebagai:
A. jalan bagi umat-Nya untuk bersekutu dengan Pribadi-Nya.
B. sarana untuk mempertumbuhkan kerohanian umat-Nya.
C. alat untuk menguji isi hati, kesetiaan dan kesejatian iman dari umat-Nya.
Melalui penderitaan yang Tuhan izinkan untuk terjadi inilah, dunia yang kita kenal sekarang ini perlahan-lahan berjalan menuju kebinasaan atau kematiannya. Orang yang tidak percaya (non-believer) akan ikut binasa bersama dengan dunia yang tercemar dosa ini. Sedangkan orang-orang percaya (kaum believer), juga berjalan di dalam jalan salib menuju kematian mereka bersama Kristus.
Sampai pada bagian ini, seakan-akan jalan kehidupan non-believer sama dengan jalan kehidupan believer. Sama-sama mati. Kelompok yang satu akan mati bersama dunia, karena mereka begitu mencintai dunia, selalu mendengarkan nasihat dunia dan ingin sama seperti dunia. Sementara kelompok believer akan mati bersama Kristus, karena mereka mengasihi Kristus, selalu mendengarkan nasihat Kristus dan ingin menjadi sama seperti Kristus. Lalu bedanya di mana?
Bedanya adalah yang mati bersama dunia, akan terus mati, mereka mengalami kebinasaan kekal. Sedangkan yang mati bersama Kristus akan dibangkitkan bersama Kristus. Yang mati bersama dunia, tidak akan mendapatkan Kristus dan tidak akan mendapatkan dunia yang baru. Sementara kaum believer yang mati bersama Tuhan Yesus, mereka bersama-sama dengan seluruh ciptaan yang lain akan memperoleh dunia yang baru, yang dicipta ulang oleh Allah, sebuah dunia yang bebas dari penderitaan. Jadi, yang mati dan bangkit bersama Kristus akan mendapatkan Kristus, sekaligus mendapatkan kesempatan hidup kekal dalam dunia yang baru tersebut.
Jika semua orang pasti menderita, lantas bagaimana Yabes dapat meminta dalam doa untuk dibebaskan dari kesakitan atau penderitaan?
Pembahasan Doa Yabes untuk dibebaskan dari penderitaan, ada di dalam kategori pembicaraan tentang penderitaan yang dipakai Tuhan untuk mempertumbuhkan kerohanian umat-Nya. Secara sederhana dapat dikatakan seperti ini: "Tuhan memakai penderitaan untuk mempertumbuhkan kerohanian seseorang. Lalu ketika kerohanian seseorang sudah semakin bertumbuh, cinta kasihnya pada Allah dan pada sesama juga bertumbuh, maka penderitaan yang harus dihadapi orang itu terasa jadi lebih mudah ditanggung. Bukan karena penderitaannya menjadi kecil atau penderitaannya dihilangkan, melainkan karena orang yang mengalaminya sudah semakin matang, semakin kuat dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan, semakin mampu memaknai sebuah penderitaan yang diizinkan Tuhan, bahwa semua itu terjadi demi mencapai tujuan yang lebih mulia, yaitu pertumbuhan rohani dan keserupaan dengan Kristus."
Yesus Kristus mengalami penderitaan selama hidup-Nya di dunia, bahkan sampai saat kematian-Nya. Oleh karena itu, bagaimana mungkin kita yang menjadi pengikut-Nya tidak akan mengalami atau mencicipi hal serupa?
Bagaimana penderitaan kita dipakai Tuhan untuk mempertumbuhkan kerohanian?
Penderitaan yang ada di dunia ini sebagai akibat dosa manusia, tidak dihapuskan oleh Tuhan. Sebaliknya penderitaan itu dipakai oleh Tuhan sebagai sarana untuk mempertumbuhkan kerohanian umat pilihan. Melalui penderitaan, iman mereka diuji, karakter mereka diasah sehingga lambat laun mereka menjadi semakin serupa dengan Yesus Kristus.
Dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat Roma, ada sebuah petunjuk tentang bagaimana penderitaan atau kesengsaraan itu membawa kita pada pertumbuhan rohani. Rasul Paulus menulis: Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita, karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan, dan ketekunan menimbulkan tahan uji dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita. (Roma 5:2-5).
Rasul Paulus tidak memandang kesengsaraan dari sudut pandang yang negatif. Ia memandang kesengsaraan sebagai suatu dasar untuk bermegah. Tentu saja dengan berkata seperti ini bukan berarti bahwa kita lalu menjadi sombong karena telah lebih banyak menderita dibanding orang lain, melainkan berarti kita diajak melihat bahwa penderitaan yang terjadi atas seizin Tuhan harus kita lihat sebagai tanda bahwa Tuhan sedang mengerjakan sesuatu pada diri kita.
Apa yang dapat dihasilkan dari sebuah kesulitan? Menurut Paulus kesulitan menimbulkan ketekunan. Dan ketekunan adalah sebuah karakter yang baik. Dari sesuatu yang terlihat sebagai negatif, berubah menjadi sesuatu yang positif. Dan dari ketekunan pun, kemudian menghasilkan karakter-karakter lain yang juga baik di mata Tuhan, hingga pada akhirnya orang itu mampu menaruh pengharapan pada kasih Tuhan.
Pengharapan bukanlah suatu hal yang sepele. Dalam konteks yang umum saja, sebuah pengharapan sudah mampu membuat seseorang menjadi lebih kuat di dalam menahan penderitaan. Apalagi dalam konteks pengharapan kepada Allah yang hidup. Ketika sebuah penderitaan membawa manusia kepada Allah, maka sengat dari penderitaan itu menjadi semakin dapat ditanggung.
Tetapi sebaliknya, ketiadaan pengharapan dapat membuat seseorang mengalami kehancuran mental dan merasakan penderitaan sebagai sesuatu yang tak tertahankan.
Pertumbuhan rohani membuat kesakitan tidak menimpa kita
Harapan Yabes agar kesakitan tidak menimpa lagi, dapat dicapai apabila seseorang mengalami pertumbuhan rohani. Ketika seseorang bertumbuh di dalam iman, pengharapan dan kasih, maka sekalipun penderitaan itu ada, orang tersebut akan dimampukan untuk menanggungnya.
Tuhan tidak menghilangkan penderitaan dan kesakitan di dalam dunia ini. Tuhan justru ikut menderita bahkan mati bersama dengan manusia. Dan barangsiapa menderita dan mati bersama Dia, maka penderitaan dan kematiannya tidak sia-sia. Penderitaannya membuat ia bertumbuh, dan kematiannya membuat ia bangkit bersama Kristus.
Tuhan tidak menghapus penderitaan di dalam dunia, tetapi Ia memakai penderitaan itu untuk memperkuat kerohanian anak-anak-Nya sehingga pada gilirannya, penderitaan itupun dapat lebih ditanggung. Bukankah ketika seseorang mengasihi, maka orang itu lebih siap menderita demi orang yang dikasihi?
Seorang Ibu rela mengalami kesakitan demi mendapatkan anak yang dicintai. Setelah anak itu lahir, penderitaan si ibu tidak berhenti, melainkan terus menerus datang silih berganti. Namun karena cintanya sebagai orang tua kepada anaknya, maka segala kesulitan dan penderitaan itu ditanggungnya dengan rela, bahkan ada kalanya tidak dianggap sebagai penderitaan lagi. Ini adalah contoh sederhana dari hilangnya penderitaan karena ditelan oleh kasih sayang.
Bukankah kita juga rela melakukan banyak hal, rela direpotkan oleh orang yang kita cintai? Tanpa diminta pun kita bersedia melakukan segala yang diperlukan demi orang yang dicintai itu, bukan? Tetapi bagaimana jika ada orang yang tidak kita cintai datang lalu minta tolong pada kita untuk mengerjakan ini dan itu? Bukankah kita jadi merasa sangat terganggu, tertekan, kesal, ingin marah dan muncul rupa-rupa perasaan sulit lainnya? Tanpa cinta, banyak hal terasa seperti beban yang berat.
Dalam ucapan Tuhan Yesus mengenai "tampar pipi kiri, beri pipi kanan," kita jangan memahami ucapan itu sebagai suatu ajaran kebodohan atau kelemahan. Sebaliknya, Tuhan ingin kita menjadi kuat di dalam kasih, hingga lebih rela menderita dan lebih siap dilukai oleh dunia ini. Di dalam dunia kita mengalami keterlukaan, katakanlah seperti orang yang ditampar pipi sebelah kirinya. Orang yang tidak punya kasih, akan menampar balik, jika ia mampu, atau jika tidak cukup kuat untuk membalas, maka ia akan pergi menjauh. Tetapi Tuhan Yesus mengajarkan bahwa kasih yang besar mampu menahan kita dari keinginan membalas atau menjauh. Kasih yang besar membuat kita bertahan, tetap melayani dunia ini, meski dengan risiko akan menerima tamparan berikutnya. Itu sama seperti "memberi peluang bagi orang lain untuk menampar pipi yang lain."
Tuhan Yesus memiliki kasih yang sempurna. Demi mengasihi dunia, Ia bukan saja rela ditampar, tetapi bahkan dipukuli, diludahi, diejek, ditelanjangi bahkan akhirnya disiksa hingga mati. Apakah Tuhan Yesus tidak merasa kesakitan? Tentu saja. Tetapi Tuhan Yesus mampu melalui semua itu karena Ia memiliki kasih yang sangat besar. Kasih-Nya pada Bapa dan kasih-Nya pada manusia, membuat penderitaan menjadi sesuatu yang relatif.
Dalam di Kitab Wahyu, kita juga mendapati kondisi jemaat saat itu yang sedang mengalami siksaan dari Kaisar Dominitian yang kejam, sehingga mereka berseru-seru kepada Tuhan. Yang menarik untuk dipelajari adalah bahwa Tuhan bukan meresponi seruan umat dengan cara melenyapkan Kaisar yang kejam tadi, tetapi Tuhan memerintahkan agar fokus orang Kristen-lah yang harus dipertajam kepada Kristus dan Firman-Nya.
Penutup
Pekerjaan Tuhan di dunia begitu besar dan sekalipun Ia mahakuasa, Tuhan tetap memilih untuk melayani dunia ini melalui tangan orang-orang yang telah ditebus-Nya. Ketika Tuhan Yesus datang ke dunia, Beliau melayani orang-orang berdosa yang membutuhkan kasih karunia-Nya. Tetapi bukan itu saja yang dilakukan-Nya, Tuhan Yesus pun mengajar, memuridkan orang-orang percaya, supaya pada gilirannya para murid pun dapat mewakili Tuhan, menjadi kepanjangan tangan Tuhan untuk melayani dunia ini.
Tuhan memanggil orang percaya, anak-anak-Nya, para murid yang setia, untuk memikul salib sambil berjalan mengikuti Dia. Dalam hal seperti inilah doa Yabes menemukan penggenapannya. Dalam persekutuan penderitaan bersama Kristus seperti inilah, Bapa dipermuliakan.