Freedownload tulisan ini
Oleh: Izar Tirta
Pendahuluan
Dalam bagian sebelumnya, kita sudah membahas bahwa Yesus tidak mungkin
dilahirkan pada bulan Desember. Dan dalam pembahasan itu pula, kita mendapati
bahwa bulan yang lebih memungkinkan sebagai saat dimana Yesus Juruselamat kita
dilahirkan adalah bulan September yang bertepatan dengan sebuah hari raya orang
Yahudi, yaitu hari raya Tabernakel[1].
Tulisan kali ini akan membawa kita untuk menelusuri hari raya tersebut,
agar kita dapat melihat sejauh mana keterkaitan antara hari raya Tabernakel itu
dengan kelahiran Yesus Kristus.
Hari raya Tabernakel/ The Feast of Tabernacles: menelusuri kata-kata
Jika kita membaca
Imamat 23, kita akan menemukan adanya beberapa Hari Raya penting yang ditetapkan
oleh Tuhan seperti:
- Paskah (ayat
5),
- Roti Tidak
Beragi (ayat 6),
- Hasil Pertama
(ayat 10),
- Pentekosta
(ayat 16),
- Serunai/Sangkakala
(ayat 24),
- Pendamaian
(ayat 26) dan
- Pondok Daun
(ayat 33).
Hari raya Pondok
Daun, atau yang disebut juga Feast of
Tabernacles oleh Alkitab NIV (New
International Version), adalah suatu hari raya orang Yahudi untuk
memperingati Kemah Suci Allah. Apa hubungan antara Hari Raya Tabernakel ini
dengan perkiraan kelahiran Yesus Kristus?
Saya akan coba
menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan pendekatan analisa terhadap
kata-kata yang dipakai, yaitu dengan membandingkan antara kata yang dipakai
dalam ayat yang satu dengan ayat yang lain dan dengan didukung pula oleh
beberapa bahasa yang dipakai oleh naskah aslinya.
Dalam Yohanes
1:14, rasul Yohanes melukiskan Yesus sebagai “Firman” yang “telah menjadi
manusia dan diam di antara kita.” Dalam Alkitab bahasa Inggris versi NIV
ayat tersebut berbunyi: “The Word became flesh and made his dwelling
among us.”
Saya menemukan
bahwa kata made his dwelling dalam bahasa Inggris tersebut adalah
terjemahan dari kata eskenosen (dalam bentuk aorist,
orang ke 3, tunggal) yang secara harafiah dapat diterjemahkan menjadi “dia telah membentangkan tenda/kemah.”
Jadi Yohanes 1:14 ini dapat pula dibaca (secara harafiah) demikian: “Firman itu telah
menjadi manusia dan Dia telah membentangkan tenda di antara kita.”
Apa yang ditulis
oleh Yohanes ini jelas sekali merujuk pada kedatangan Yesus yang pertama kali
sebagai Manusia atau yang kita pahami sebagai kelahiran Yesus, yaitu topik yang
sedang menjadi fokus perhatian kita saat ini.
Tidak sulit
untuk mencerna kata-kata “Firman itu telah menjadi manusia,”[2]
tetapi apa maksud Yohanes dengan mengatakan “Dia telah membentangkan
tenda di antara kita”?
Kata “tenda”
dalam bahasa Yunani adalah skenen (kata benda, akusatif, feminim, tunggal). Dalam bahasa
Inggris kata skenen tersebut dapat diterjemahkan menjadi tent namun dapat pula
diterjemahkan menjadi tabernacle, yang merupakan kata serapan
dari bahasa Latin Vulgata: tabernaculum.
Dari istilah tabernaculum inilah
kemudian kita mendapat istilah Feast of
Tabernacle.
Mengapa bahasa Inggris tidak memakai istilah Feast of Tent untuk Hari Raya Pondok Daun? Hal ini disebabkan karena di dalam
istilah tabernacle (tabernaculum) terkandung pengertian yang
lebih luas daripada istilah tent. The tabernacle was
essentially a tent, composed of two layers of cloth and two layers of skins
stretched over a wooden framework.[3]
Dari hubungan
antara istilah Yunani, Inggris dan Latin ini, terlihat adanya keterkaitan yang kuat antara Feast
of Tabernacles (Hari Raya Pondok Daun yaitu hari raya untuk
memperingati Tenda/Kemah Suci) dengan Yesus yang telah made his dwelling atau eskenosen atau telah membentangkan tenda dalam Yohanes
1:14 itu.
Tapi kita belum
selesai sampai di sini, karena penelusuran selanjutnya harus pula kita lakukan
terhadap hubungan antara bahasa Yunani dengan bahasa Ibraninya. Sebab
bagaimanapun, istilah Kemah Suci ini sebenarnya pertama kali dikenal dalam
Perjanjian Lama (yang ditulis dalam bahasa Ibrani), bukan Perjanjian Baru (yang
ditulis dalam bahasa Yunani).
Kemah Suci
adalah semacam “perkembangan” dari Kemah Pertemuan. Di dalam Keluaran 33:7 kita
membaca tentang Kemah Pertemuan ini, bunyinya: “Sesudah itu Musa mengambil kemah dan membentangkannya di luar
perkemahan, jauh dari perkemahan, dan menamainya Kemah Pertemuan. Setiap orang
yang mencari TUHAN, keluarlah ia pergi ke Kemah Pertemuan yang di luar
perkemahan.”
Istilah “kemah”
dalam ayat tersebut adalah ohel dalam
bahasa Ibrani. Dan ternyata Alkitab Perjanjian Lama yang memakai bahasa Yunani
(yaitu versi Septuaginta) dan Alkitab Perjanjian Lama yang memakai bahasa Latin
(yaitu versi Vulgata) juga menterjemahkan kata ohel menjadi skenen untuk Septuaginta dan tabernaculum untuk Vulgata.
Apakah
keselarasan antara bahasa Ibrani, bahasa Yunani, bahasa Latin serta bahasa
Inggris dalam mengkaitkan Yesus dengan Kemah Suci tersebut hanyalah suatu
kebetulan belaka?
Arti penting dari “Yesus yang telah membentangkan
tenda-Nya”
Bagi saya
pribadi keselarasan tersebut bukanlah suatu kebetulan belaka. Semenjak keluar
dari tanah Mesir, bangsa Israel
hidup mengembara di padang
gurun selama puluhan tahun, sebelum akhirnya masuk Tanah Perjanjian. Kemah
Pertemuan adalah tempat orang-orang Israel bertemu dengan TUHAN, Allah
yang mereka kenal secara pribadi itu. Tuhan kemudian memerintahkan agar Kemah
Suci dijadikan sebagai tempat tinggal Allah di tengah-tengah bangsa Israel di padang
gurun.
Tentunya, rasul Yohanes
sebagai seorang yang tahu betul kepercayaan orang Yahudi, mengingat akan Kemah
Suci ini ketika ia menuliskan kata-kata di dalam Yohanes 1:14 untuk mengingatkan
kepada bangsa Israel dan seluruh orang percaya saat ini bahwa Yesus-lah
Kemah Suci kita atau Kemah Pertemuan kita.
Artinya, di mata
seorang rasul Yohanes hanya di dalam
Yesus inilah, kita manusia dapat bertemu dengan Allah yang sejati. Biasanya,
kita senang dengan gagasan Yesus yang Imanuel, yaitu Allah beserta kita, Yesus
yang membuka tenda-Nya di sekitar kehidupan kita. Tetapi jika kita melihat
Yohanes 1:14 dari kacamata Yohanes sendiri (dan tentu saja hal ini sama artinya
dengan sudut pandang Allah sendiri), maka gagasan Yesus yang tinggal di antara
kita sama artinya dengan: satu-satunya
cara mutlak untuk bertemu dengan Allah yang sejati.
Dan gagasan yang
muncul dalam Yoh 1:14 tersebut, ternyata sejalan pula dengan kata-kata Yesus
sendiri di dalam bagian lain dari Alkitab, Yesus berkata: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
Nyatalah bagi
kita sekarang, kehadiran Yesus di dalam dunia, berdasarkan ayat-ayat tersebut,
bersifat KEHARUSAN, bukan PILIHAN (optional).
Karena tanpa Yesus, maka manusia tidak mungkin memiliki mediator untuk berjumpa
dengan Allah yang sejati.
Ditinjau dari
waktu yang dipakai untuk merayakan Feast
of Tabernacles, dugaan bahwa Yesus dilahirkan pada bulan September
(sebagaimana yang telah saya uraikan dalam bagian 3) semakin kuat. Sebab Hari Raya
Tabernakel jatuh pada tanggal 15 bulan Tishri
yang ekuivalen dengan pertengahan September dan awal Oktober pada sistem
penanggalan kita sekarang.
Akhirnya, mengapa?
Sejauh ini kita
sudah mencoba melihat topik kelahiran Yesus ini dari berbagai sudut pandang.
Kita sudah mengevaluasi cuaca, mempertimbangkan jadwal tugas para imam,
menganalisa kata-kata yang dipakai serta melihat sendiri bahwa Hari Raya
Tabernakel jatuh pada bulan yang sama dengan bulan yang kita duga sebagai bulan
kelahiran Yesus tersebut.
Petunjuk atau
evidensi yang tersedia terasa begitu kuat hingga sulit untuk meragukannya. Meskipun
demikian, terlepas dari berbagai dugaan, tafsiran serta analisa yang telah kita
simak dan telusuri bersama, satu hal yang kita tahu adalah, bahwa sampai saat
ini seluruh dunia tetap memperingati kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember.
Pertanyaannya adalah, mengapa?
Penetapan tanggal 25 Desember dan bagaimana kita
harus bersikap
Meskipun uraian
tentang perkiraan kelahiran Yesus pada bulan September sudah cukup meyakinkan,
tidak semua orang Kristen akhirnya mencapai konsensus untuk melupakan saja
tanggal 25 Desember sebagai hari peringatan Yesus dan menggantinya dengan
tanggal yang baru.
Alasan pertama
adalah karena sekalipun kita sudah cukup berhasil membuat dugaan bahwa bulan
September adalah waktu yang paling mungkin bagi kelahiran Yesus, namun para
cendekiawan pun sulit menentukan tanggal berapa persisnya di bulan September
itu.
Alasan kedua
adalah karena tanggal 25 Desember itu sudah “terlanjur” diterima secara luas
oleh orang-orang Kristen di seluruh dunia dari satu generasi ke generasi lainnya.
Saya melihat
bahwa yang terjadi adalah; di satu sisi tanggal yang benar tidak dapat
diketahui secara pasti, sementara di sisi lain tanggal yang salah sudah
terlanjur populer, maka jadilah kita tetap memperingati kelahiran Juruselamat
kita pada tanggal yang kurang tepat itu.
Beberapa
cendekiawan mencoba untuk mengambil jalan tengah atas persoalan ini dengan
mengatakan bahwa yang kita peringati pada bulan Desember bukanlah kelahiran
Yesus sebagai bayi namun peristiwa diutusnya Yesus oleh Allah Bapa ke dalam
rahim Maria sebagai janin.
Apapun
alasannya, kalangan Kristen tidak melihat adanya suatu keberatan teologis atas
persoalan ini sehingga hampir seluruh orang Kristen di dunia tetap memperingati
Natal pada
tanggal 25 Desember.
Adapun alasan
mengapa tanggal 25 Desember akhirnya muncul sebagai sebuah tanggal yang
terkenal secara mendunia adalah disebabkan karena tanggal tersebut telah dipilih
oleh gereja Katolik Roma.
Seperti yang
kita ketahui, gereja Katolik Roma pernah begitu mendominasi dunia kekristenan
selama berabad-abad, yaitu kira-kira mulai abad 5 sampai sekitar abad 15.
Segala sesuatu yang pernah ditetapkan oleh gereja Katolik Roma, telah menjadi
semacam acuan bagi banyak orang Kristen sebagai suatu tradisi yang diteruskan
dari satu generasi ke generasi lainnya.
Tanggal 25
Desember oleh orang-orang yang belum mengenal Kristus, dikenal sebagai tanggal
kembalinya Matahari setelah beberapa lama berada pada titik terjauh dari Bumi.
Kehadiran kembali Matahari pada titik yang lebih dekat dengan bumi menjadikan
siang hari lebih panjang dari pada sebelum-sebelumnya dan ini rupanya membawa
suatu keceriaan sehingga pada hari itu mereka mengadakan suatu festival yang
meriah.
Menurut
pandangan para pemimpin gereja Katolik Roma ketika itu, bukanlah suatu masalah
yang besar jika hari raya yang semula dipakai untuk memperingati sesuatu yang
semula bukan berasal dari kepercayaan iman Kristen menjadi suatu hari raya suci
kekristenan (a holy day yang kemudian
di dunia modern berubah menjadi holiday[4]). Selain itu, seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa berhubung
tanggal kelahiran Yesus yang sebenarnya pun tidak diketahui maka akhirnya
diputuskanlah bahwa tanggal 25 Desember sebagai hari peringatan kelahiran Yesus
Kristus. Dan sampai hari ini, mayoritas Kristen dunia tetap memakai tanggal
tersebut.
Bagaimana iman Kristen menanggapi adanya kekeliruan
tanggal kelahiran Yesus?
Iman Kristen
yang dibangun di atas keyakinan pada Alkitab bukanlah iman yang suka
mengikatkan diri kepada hal-hal yang pada dasarnya tidak dipentingkan pula oleh
Alkitab. Karena Alkitab pun pada dasarnya bungkam tentang tanggal persisnya
Yesus dilahirkan, maka tidak ada suatu keharusan bagi kita untuk menjadikan
suatu tanggal tertentu sebagai semacam “harga mati” yang tidak boleh
diubah-ubah.
Di sisi lain,
bukanlah suatu kesalahan pula jika kita ikut memperingati hari kelahiran Yesus
pada tanggal 25 Desember itu. Dari sisi sudut pandang teologis, maupun dari sisi moral,
tidak ada satu keberatan yang kita jumpai mengenai hal ini. Malahan, perayaan Natal yang jatuh hanya beberapa
hari sebelum tahun baru tiba memberi suatu efek psikologis yang sangat baik.
Mengapa? Karena sebagai manusia kita sadar bahwa pergantian tahun selalu
memberi harapan baru, semangat baru, kehidupan baru, rencana baru dan
kesempatan yang baru. Alangkah indahnya jika kita memasuki dimensi yang baru
itu bersama-sama dengan Tuhan bukan?
Meskipun
demikian, ada pula aliran-aliran di dalam kekristenan yang secara ekstrim
menolak untuk merayakan Natal
sama sekali, berhubung ketidaktepatan tanggal 25 Desember sebagai hari
kelahiran Yesus.
Saya pribadi
tidak memilih untuk bersikap se-ekstrim itu karena kita tahu bahwa pada faktanya Yesus memang
telah dilahirkan ke dunia, kapan tepatnya memang tidak ada yang tahu. Tetapi tidak
ada salahnya pula jika di dalam suatu hari, atau bahkan suatu bulan selama sepanjang
tahun, kita mengkhususkan diri untuk memperingati hari yang amat besar di dalam
sejarah umat manusia.
Hanya karena
Alkitab tidak menyebutkan tanggalnya, hanya karena teknologi kita sendiri pun
tidak berhasil menemukan tanggal itu dan bahkan hanya karena tanggal yang sudah
ada, yaitu 25 Desember, bukanlah tanggal yang tepat; bukanlah berarti bahwa
kita tidak perlu memperingati kelahiran Yesus.
Idealnya, kita
harus senantiasa ingat akan kebaikan Tuhan yang mau hadir
bersama-sama kita menjadi semacam Kemah Pertemuan antara kita manusia berdosa
ini dengan Allah yang Mahasuci. Akan tetapi prakteknya, kita memang butuh
hari-hari tertentu untuk membantu kita mengingat hal tersebut. Pada
kenyataannya, kita memang selalu butuh diingatkan melalui penetapan
tanggal-tanggal hari raya kita sehingga di dalam setahun itu paling tidak ada
momen-momen yang secara khusus kita pakai untuk memperingati suatu peristiwa
besar bagi iman kita.
Idealnya, banyak
yang berkata pada saya, “Merayakan Natal tidaklah harus pada tanggal tertentu,
setiap hari adalah Natal
bagi kita karena setiap hari kita harus ingat pada Tuhan.” Baiklah, itu memang
idealnya. Tetapi maaf, bagaimana dengan prakteknya? Berapa sering kita
memikirkan Tuhan secara serius dalam kurun waktu - jangankan satu tahun - satu
hari saja? Saya pernah menulis suatu gagasan tentang Natal
sebagai momentum, namun saya juga tidak lupa bahwa Natal pun adalah sebuah moment.
Jika ulang tahun
demi ulang tahun yang kita alami membawa perubahan pada diri kita; entah itu
tambah dewasa, tambah pintar, tambah cantik atau tambah apapun (yang pasti sih, tambah tua, iya kan?),
di dalam Natal
ternyata yang terjadi adalah kebalikannya. Sebab, meskipun Yesus yang berulang
tahun, bukan Dia yang semakin lama semakin berubah melainkan kita pulalah yang
harus makin lama makin berubah menjadi seperti Dia. Unik bukan?
Hari Natal
adalah hari yang besar bagi umat manusia. Hari Natal adalah hari yang sungguh
ajaib, hari yang penuh pesona, hari yang terus perlu kita renungkan dan
pelajari sebagai bekal kehidupan kita. Hari yang jauh lebih besar daripada
kurun waktu yang kita pakai untuk merenungkannya. Sebab di hari Natal itu, kasih dan
penghargaan Allah kepada manusia memang sungguh telah terbukti.
Jadi, walaupun
kita barangkali sudah yakin bahwa tanggal 25 Desember ini bukan hari yang tepat
bagi kelahiran Yesus Kristus, kita tetap dapat memakai momen yang indah itu
untuk merenungkan kelahiran-Nya yang ajaib bagi kita. “Selamat ulang tahun Tuhan Yesus!”
Selamat Natal. Tuhan memberkati kita
semua.
[2] Silahkan membaca tulisan saya berjudul: “Inkarnasi: Istilah asing
yang terasa tidak asing lagi.”
[3] R.Laird Harris, Gleason L.Archer and Bruce K.Waltke, eds, Theological Wordbook of the Old Testament
(Chicago: Moody Press, 1981), 32.
[4] Dalam perkembangan
selanjutnya kata “holiday” ini selalu
dikonotasikan semata-mata sebagai hari libur. Dewasa ini, makna holiday sebagai suatu hari yang suci (a holy day) untuk mengenang Allah sudah
terasa semakin luntur.