Thursday, December 19, 2013

Selamat Ulang Tahun Tuhan Yesus - 2


Freedownload tulisan ini



Oleh: Izar Tirta

Pendahuluan
Dalam bagian sebelumnya, kita sudah membahas bahwa Yesus tidak mungkin dilahirkan pada bulan Desember. Dan dalam pembahasan itu pula, kita mendapati bahwa bulan yang lebih memungkinkan sebagai saat dimana Yesus Juruselamat kita dilahirkan adalah bulan September yang bertepatan dengan sebuah hari raya orang Yahudi, yaitu hari raya Tabernakel[1].

Tulisan kali ini akan membawa kita untuk menelusuri hari raya tersebut, agar kita dapat melihat sejauh mana keterkaitan antara hari raya Tabernakel itu dengan kelahiran Yesus Kristus.

Hari raya Tabernakel/ The Feast of Tabernacles: menelusuri kata-kata
Jika kita membaca Imamat 23, kita akan menemukan adanya beberapa Hari Raya penting yang ditetapkan oleh Tuhan seperti:
- Paskah (ayat 5),
- Roti Tidak Beragi (ayat 6),
- Hasil Pertama (ayat 10),
- Pentekosta (ayat 16),
- Serunai/Sangkakala (ayat 24),
- Pendamaian (ayat 26) dan
- Pondok Daun (ayat 33).

Hari raya Pondok Daun, atau yang disebut juga Feast of Tabernacles oleh Alkitab NIV (New International Version), adalah suatu hari raya orang Yahudi untuk memperingati Kemah Suci Allah. Apa hubungan antara Hari Raya Tabernakel ini dengan perkiraan kelahiran Yesus Kristus?

Saya akan coba menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan pendekatan analisa terhadap kata-kata yang dipakai, yaitu dengan membandingkan antara kata yang dipakai dalam ayat yang satu dengan ayat yang lain dan dengan didukung pula oleh beberapa bahasa yang dipakai oleh naskah aslinya.

Dalam Yohanes 1:14, rasul Yohanes melukiskan Yesus sebagai “Firman” yang “telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” Dalam Alkitab bahasa Inggris versi NIV ayat tersebut berbunyi: “The Word became flesh and made his dwelling among us.”

Saya menemukan bahwa kata made his dwelling dalam bahasa Inggris tersebut adalah terjemahan dari kata eskenosen (dalam bentuk aorist, orang ke 3, tunggal) yang secara harafiah dapat diterjemahkan menjadi “dia telah membentangkan tenda/kemah.” Jadi Yohanes 1:14 ini dapat pula dibaca (secara harafiah) demikian: “Firman itu telah menjadi manusia dan Dia telah membentangkan tenda di antara kita.”

Apa yang ditulis oleh Yohanes ini jelas sekali merujuk pada kedatangan Yesus yang pertama kali sebagai Manusia atau yang kita pahami sebagai kelahiran Yesus, yaitu topik yang sedang menjadi fokus perhatian kita saat ini.

Tidak sulit untuk mencerna kata-kata “Firman itu telah menjadi manusia,”[2] tetapi apa maksud Yohanes dengan mengatakan Dia telah membentangkan tenda di antara kita”?

Kata “tenda” dalam bahasa Yunani adalah skenen (kata benda, akusatif, feminim, tunggal). Dalam bahasa Inggris kata skenen tersebut dapat diterjemahkan menjadi tent namun dapat pula diterjemahkan menjadi tabernacle, yang merupakan kata serapan dari bahasa Latin Vulgata: tabernaculum. Dari istilah tabernaculum inilah kemudian kita mendapat istilah Feast of Tabernacle.

Mengapa bahasa Inggris tidak memakai istilah Feast of Tent untuk Hari Raya Pondok Daun? Hal ini disebabkan karena di dalam istilah tabernacle (tabernaculum) terkandung pengertian yang lebih luas daripada istilah tent. The tabernacle was essentially a tent, composed of two layers of cloth and two layers of skins stretched over a wooden framework.[3]

Dari hubungan antara istilah Yunani, Inggris dan Latin ini, terlihat adanya keterkaitan yang kuat antara Feast of Tabernacles (Hari Raya Pondok Daun yaitu hari raya untuk memperingati Tenda/Kemah Suci) dengan Yesus yang telah made his dwelling atau eskenosen atau telah membentangkan tenda dalam Yohanes 1:14 itu.

Tapi kita belum selesai sampai di sini, karena penelusuran selanjutnya harus pula kita lakukan terhadap hubungan antara bahasa Yunani dengan bahasa Ibraninya. Sebab bagaimanapun, istilah Kemah Suci ini sebenarnya pertama kali dikenal dalam Perjanjian Lama (yang ditulis dalam bahasa Ibrani), bukan Perjanjian Baru (yang ditulis dalam bahasa Yunani).

Kemah Suci adalah semacam “perkembangan” dari Kemah Pertemuan. Di dalam Keluaran 33:7 kita membaca tentang Kemah Pertemuan ini, bunyinya: “Sesudah itu Musa mengambil kemah dan membentangkannya di luar perkemahan, jauh dari perkemahan, dan menamainya Kemah Pertemuan. Setiap orang yang mencari TUHAN, keluarlah ia pergi ke Kemah Pertemuan yang di luar perkemahan.”

Istilah “kemah” dalam ayat tersebut adalah ohel dalam bahasa Ibrani. Dan ternyata Alkitab Perjanjian Lama yang memakai bahasa Yunani (yaitu versi Septuaginta) dan Alkitab Perjanjian Lama yang memakai bahasa Latin (yaitu versi Vulgata) juga menterjemahkan kata ohel menjadi skenen untuk Septuaginta dan tabernaculum untuk Vulgata.

Apakah keselarasan antara bahasa Ibrani, bahasa Yunani, bahasa Latin serta bahasa Inggris dalam mengkaitkan Yesus dengan Kemah Suci tersebut hanyalah suatu kebetulan belaka?

Arti penting dari “Yesus yang telah membentangkan tenda-Nya”
Bagi saya pribadi keselarasan tersebut bukanlah suatu kebetulan belaka. Semenjak keluar dari tanah Mesir, bangsa Israel hidup mengembara di padang gurun selama puluhan tahun, sebelum akhirnya masuk Tanah Perjanjian. Kemah Pertemuan adalah tempat orang-orang Israel bertemu dengan TUHAN, Allah yang mereka kenal secara pribadi itu. Tuhan kemudian memerintahkan agar Kemah Suci dijadikan sebagai tempat tinggal Allah di tengah-tengah bangsa Israel di padang gurun.

Tentunya, rasul Yohanes sebagai seorang yang tahu betul kepercayaan orang Yahudi, mengingat akan Kemah Suci ini ketika ia menuliskan kata-kata di dalam Yohanes 1:14 untuk mengingatkan kepada bangsa Israel dan seluruh orang percaya saat ini bahwa Yesus-lah Kemah Suci kita atau Kemah Pertemuan kita.

Artinya, di mata seorang rasul Yohanes hanya di dalam Yesus inilah, kita manusia dapat bertemu dengan Allah yang sejati. Biasanya, kita senang dengan gagasan Yesus yang Imanuel, yaitu Allah beserta kita, Yesus yang membuka tenda-Nya di sekitar kehidupan kita. Tetapi jika kita melihat Yohanes 1:14 dari kacamata Yohanes sendiri (dan tentu saja hal ini sama artinya dengan sudut pandang Allah sendiri), maka gagasan Yesus yang tinggal di antara kita sama artinya dengan: satu-satunya cara mutlak untuk bertemu dengan Allah yang sejati.

Dan gagasan yang muncul dalam Yoh 1:14 tersebut, ternyata sejalan pula dengan kata-kata Yesus sendiri di dalam bagian lain dari Alkitab, Yesus berkata: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)

Nyatalah bagi kita sekarang, kehadiran Yesus di dalam dunia, berdasarkan ayat-ayat tersebut, bersifat KEHARUSAN, bukan PILIHAN (optional). Karena tanpa Yesus, maka manusia tidak mungkin memiliki mediator untuk berjumpa dengan Allah yang sejati.

Ditinjau dari waktu yang dipakai untuk merayakan Feast of Tabernacles, dugaan bahwa Yesus dilahirkan pada bulan September (sebagaimana yang telah saya uraikan dalam bagian 3) semakin kuat. Sebab Hari Raya Tabernakel jatuh pada tanggal 15 bulan Tishri yang ekuivalen dengan pertengahan September dan awal Oktober pada sistem penanggalan kita sekarang.

Akhirnya, mengapa?
Sejauh ini kita sudah mencoba melihat topik kelahiran Yesus ini dari berbagai sudut pandang. Kita sudah mengevaluasi cuaca, mempertimbangkan jadwal tugas para imam, menganalisa kata-kata yang dipakai serta melihat sendiri bahwa Hari Raya Tabernakel jatuh pada bulan yang sama dengan bulan yang kita duga sebagai bulan kelahiran Yesus tersebut.

Petunjuk atau evidensi yang tersedia terasa begitu kuat hingga sulit untuk meragukannya. Meskipun demikian, terlepas dari berbagai dugaan, tafsiran serta analisa yang telah kita simak dan telusuri bersama, satu hal yang kita tahu adalah, bahwa sampai saat ini seluruh dunia tetap memperingati kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember. Pertanyaannya adalah, mengapa?

Penetapan tanggal 25 Desember dan bagaimana kita harus bersikap

Meskipun uraian tentang perkiraan kelahiran Yesus pada bulan September sudah cukup meyakinkan, tidak semua orang Kristen akhirnya mencapai konsensus untuk melupakan saja tanggal 25 Desember sebagai hari peringatan Yesus dan menggantinya dengan tanggal yang baru.

Alasan pertama adalah karena sekalipun kita sudah cukup berhasil membuat dugaan bahwa bulan September adalah waktu yang paling mungkin bagi kelahiran Yesus, namun para cendekiawan pun sulit menentukan tanggal berapa persisnya di bulan September itu.

Alasan kedua adalah karena tanggal 25 Desember itu sudah “terlanjur” diterima secara luas oleh orang-orang Kristen di seluruh dunia dari satu generasi ke generasi lainnya.

Saya melihat bahwa yang terjadi adalah; di satu sisi tanggal yang benar tidak dapat diketahui secara pasti, sementara di sisi lain tanggal yang salah sudah terlanjur populer, maka jadilah kita tetap memperingati kelahiran Juruselamat kita pada tanggal yang kurang tepat itu.

Beberapa cendekiawan mencoba untuk mengambil jalan tengah atas persoalan ini dengan mengatakan bahwa yang kita peringati pada bulan Desember bukanlah kelahiran Yesus sebagai bayi namun peristiwa diutusnya Yesus oleh Allah Bapa ke dalam rahim Maria sebagai janin.

Apapun alasannya, kalangan Kristen tidak melihat adanya suatu keberatan teologis atas persoalan ini sehingga hampir seluruh orang Kristen di dunia tetap memperingati Natal pada tanggal 25 Desember.

Adapun alasan mengapa tanggal 25 Desember akhirnya muncul sebagai sebuah tanggal yang terkenal secara mendunia adalah disebabkan karena tanggal tersebut telah dipilih oleh gereja Katolik Roma.

Seperti yang kita ketahui, gereja Katolik Roma pernah begitu mendominasi dunia kekristenan selama berabad-abad, yaitu kira-kira mulai abad 5 sampai sekitar abad 15. Segala sesuatu yang pernah ditetapkan oleh gereja Katolik Roma, telah menjadi semacam acuan bagi banyak orang Kristen sebagai suatu tradisi yang diteruskan dari satu generasi ke generasi lainnya.

Tanggal 25 Desember oleh orang-orang yang belum mengenal Kristus, dikenal sebagai tanggal kembalinya Matahari setelah beberapa lama berada pada titik terjauh dari Bumi. Kehadiran kembali Matahari pada titik yang lebih dekat dengan bumi menjadikan siang hari lebih panjang dari pada sebelum-sebelumnya dan ini rupanya membawa suatu keceriaan sehingga pada hari itu mereka mengadakan suatu festival yang meriah.

Menurut pandangan para pemimpin gereja Katolik Roma ketika itu, bukanlah suatu masalah yang besar jika hari raya yang semula dipakai untuk memperingati sesuatu yang semula bukan berasal dari kepercayaan iman Kristen menjadi suatu hari raya suci kekristenan (a holy day yang kemudian di dunia modern berubah menjadi holiday[4]). Selain itu, seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa berhubung tanggal kelahiran Yesus yang sebenarnya pun tidak diketahui maka akhirnya diputuskanlah bahwa tanggal 25 Desember sebagai hari peringatan kelahiran Yesus Kristus. Dan sampai hari ini, mayoritas Kristen dunia tetap memakai tanggal tersebut.

Bagaimana iman Kristen menanggapi adanya kekeliruan tanggal kelahiran Yesus?

Iman Kristen yang dibangun di atas keyakinan pada Alkitab bukanlah iman yang suka mengikatkan diri kepada hal-hal yang pada dasarnya tidak dipentingkan pula oleh Alkitab. Karena Alkitab pun pada dasarnya bungkam tentang tanggal persisnya Yesus dilahirkan, maka tidak ada suatu keharusan bagi kita untuk menjadikan suatu tanggal tertentu sebagai semacam “harga mati” yang tidak boleh diubah-ubah.

Di sisi lain, bukanlah suatu kesalahan pula jika kita ikut memperingati hari kelahiran Yesus pada tanggal 25 Desember itu. Dari sisi sudut pandang teologis, maupun dari sisi moral, tidak ada satu keberatan yang kita jumpai mengenai hal ini. Malahan, perayaan Natal yang jatuh hanya beberapa hari sebelum tahun baru tiba memberi suatu efek psikologis yang sangat baik. Mengapa? Karena sebagai manusia kita sadar bahwa pergantian tahun selalu memberi harapan baru, semangat baru, kehidupan baru, rencana baru dan kesempatan yang baru. Alangkah indahnya jika kita memasuki dimensi yang baru itu bersama-sama dengan Tuhan bukan?

Meskipun demikian, ada pula aliran-aliran di dalam kekristenan yang secara ekstrim menolak untuk merayakan Natal sama sekali, berhubung ketidaktepatan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus.

Saya pribadi tidak memilih untuk bersikap se-ekstrim itu karena kita tahu bahwa pada faktanya Yesus memang telah dilahirkan ke dunia, kapan tepatnya memang tidak ada yang tahu. Tetapi tidak ada salahnya pula jika di dalam suatu hari, atau bahkan suatu bulan selama sepanjang tahun, kita mengkhususkan diri untuk memperingati hari yang amat besar di dalam sejarah umat manusia.

Hanya karena Alkitab tidak menyebutkan tanggalnya, hanya karena teknologi kita sendiri pun tidak berhasil menemukan tanggal itu dan bahkan hanya karena tanggal yang sudah ada, yaitu 25 Desember, bukanlah tanggal yang tepat; bukanlah berarti bahwa kita tidak perlu memperingati kelahiran Yesus.

Idealnya, kita harus senantiasa ingat akan kebaikan Tuhan yang mau hadir bersama-sama kita menjadi semacam Kemah Pertemuan antara kita manusia berdosa ini dengan Allah yang Mahasuci. Akan tetapi prakteknya, kita memang butuh hari-hari tertentu untuk membantu kita mengingat hal tersebut. Pada kenyataannya, kita memang selalu butuh diingatkan melalui penetapan tanggal-tanggal hari raya kita sehingga di dalam setahun itu paling tidak ada momen-momen yang secara khusus kita pakai untuk memperingati suatu peristiwa besar bagi iman kita.

Idealnya, banyak yang berkata pada saya, “Merayakan Natal tidaklah harus pada tanggal tertentu, setiap hari adalah Natal bagi kita karena setiap hari kita harus ingat pada Tuhan.” Baiklah, itu memang idealnya. Tetapi maaf, bagaimana dengan prakteknya? Berapa sering kita memikirkan Tuhan secara serius dalam kurun waktu - jangankan satu tahun - satu hari saja? Saya pernah menulis suatu gagasan tentang Natal sebagai momentum, namun saya juga tidak lupa bahwa Natal pun adalah sebuah moment.

Jika ulang tahun demi ulang tahun yang kita alami membawa perubahan pada diri kita; entah itu tambah dewasa, tambah pintar, tambah cantik atau tambah apapun (yang pasti sih, tambah tua, iya kan?), di dalam Natal ternyata yang terjadi adalah kebalikannya. Sebab, meskipun Yesus yang berulang tahun, bukan Dia yang semakin lama semakin berubah melainkan kita pulalah yang harus makin lama makin berubah menjadi seperti Dia. Unik bukan?

Hari Natal adalah hari yang besar bagi umat manusia. Hari Natal adalah hari yang sungguh ajaib, hari yang penuh pesona, hari yang terus perlu kita renungkan dan pelajari sebagai bekal kehidupan kita. Hari yang jauh lebih besar daripada kurun waktu yang kita pakai untuk merenungkannya. Sebab di hari Natal itu, kasih dan penghargaan Allah kepada manusia memang sungguh telah terbukti.

Jadi, walaupun kita barangkali sudah yakin bahwa tanggal 25 Desember ini bukan hari yang tepat bagi kelahiran Yesus Kristus, kita tetap dapat memakai momen yang indah itu untuk merenungkan kelahiran-Nya yang ajaib bagi kita.  “Selamat ulang tahun Tuhan Yesus!”

Selamat Natal. Tuhan memberkati kita semua.


[1] Atau disebut juga Hari Raya Pondok Daun.
[2] Silahkan membaca tulisan saya berjudul: “Inkarnasi: Istilah asing yang terasa tidak asing lagi.”
[3] R.Laird Harris, Gleason L.Archer and Bruce K.Waltke, eds, Theological Wordbook of the Old Testament (Chicago: Moody Press, 1981), 32.
[4] Dalam perkembangan selanjutnya kata “holiday” ini selalu dikonotasikan semata-mata sebagai hari libur. Dewasa ini, makna holiday sebagai suatu hari yang suci (a holy day) untuk mengenang Allah sudah terasa semakin luntur.