Seberapa besar
iman kita dapat diukur dari seberapa jauh kita berani menanggung risiko demi
iman tersebut.[Baca juga: Yusuf si tukang kayu yang tulus hati. Klik disini.]
Yusuf, tidak
diragukan lagi, adalah seorang pria dengan iman yang kokoh. Ia berani melakukan
apa yang benar, meskipun ia tahu bahwa apa yang ia lakukan itu akan
mengakibatkan penderitaan bagi dirinya. [Baca juga: Yusuf si tukang kayu yang peka akan suara Tuhan. Klik disini.]
Yusuf sudah
bertunangan dengan Maria ketika namanya mulai muncul di dalam pentas sejarah
Alkitab. Untuk masyarakat Yahudi pada masa itu terdapat tiga tahap yang harus
dilalui dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah. Tahap
pertama, kedua calon mempelai saling setuju untuk hidup sebagai satu
kesatuan. Tahap kedua, persetujuan mereka berdua diumumkan kepada
masyarakat umum atau orang-orang di sekitar hidup mereka. Pada tahap ini,
hubungan mereka sudah bersifat mengikat satu sama lain dan hanya dapat
dipisahkan oleh kematian atau perceraian. Meskipun demikian, hubungan seksual
seperti layaknya suami istri masih belum
diperkenankan. Tahap selanjutnya yaitu yang ketiga, pasangan muda mudi
ini masuk ke dalam jenjang pernikahan dan tinggal bersama.
[Baca juga: Mengapa Yesus Kristus harus menjadi Manusia? Klik disini]
Ketika Maria
memberi tahu Yusuf bahwa dirinya telah mengandung, Yusuf dapat saja menceraikan
Maria dan membiarkan pihak-pihak yang berwenang menghukum Maria dengan cara
melemparinya dengan batu sampai mati. Hal ini sesuai dengan hukum Yahudi
seperti yang tertuang di dalam Ulangan 22:23-24 yang berbunyi: “Apabila ada seorang gadis yang masih
perawan dan yang sudah bertunangan -- jika seorang laki-laki bertemu dengan dia
di kota dan tidur dengan dia, maka haruslah mereka keduanya kamu bawa ke luar
ke pintu gerbang kota dan kamu lempari dengan batu, sehingga mati. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari
tengah-tengahmu.”
Ketika kisah
antara Yusuf dan Maria muncul di Alkitab, hubungan mereka sudah
berada pada tahap yang kedua.
Artinya, hubungan mereka sudah berada pada situasi di
mana masyakarat sudah mengetahui bahwa mereka
adalah calon suami istri.
Secara
manusiawi, fakta bahwa Maria sudah hamil hanya mungkin terjadi jika Maria
memiliki pria lain yang telah menghamili
dirinya. Sehingga dalam hal ini, Yusuf dapat saja mengumumkan
perceraiannya dengan Maria secara terbuka agar
masyarakat dan para pemimpin agama dapat mengetahui
bahwa perceraian tersebut disebabkan karena Maria berkhianat
pada calon suaminya.
Dan dengan demikian pihak
yang berwenang pun dapat menjatuhkan hukuman pada Maria (dan pria misterius tersebut) sebagaimana
yang telah di atur dalam Ulangan 22:23-24.
Namun
luarbiasanya, sekalipun Yusuf belum mengetahui[1]
siapa ayah dari bayi itu, ia telah memutuskan untuk melepaskan
Maria dari penghukuman. Daripada mengumumkan perceraian itu secara terbuka,
Yusuf memilih untuk menceraikan Maria secara diam-diam. Karena hanya dengan
cara ini Yusuf dapat memberi kesempatan pada Maria untuk hidup dan menikah
dengan laki-laki lain yang telah menghamili
dirinya
itu.
Dari peristiwa
ini kita tahu betapa baiknya kepribadian Yusuf.
Sebagai laki-laki ia tentu merasa sakit hati karena menduga bahwa dirinya telah
dikhianati oleh wanita yang dicintainya. Akan tetapi di dalam hal ini Yusuf
memilih untuk menunjukkan tindakan kasih karunia daripada menjatuhkan
penghakiman yang keras sesuai dengan perintah agama. Ketimbang membalas dendam atas sakit hatinya itu, rupanya
Yusuf lebih memilih untuk memberi pengampunan.
Alkitab secara
singkat menyebutkan karakter Yusuf ini sebagai “tulus hati.” (Matius 1:19)
Dalam versi lain Alkitab istilah yang dipakai adalah righteous sementara versi lainnya memakai istilah just. Sedangkah istilah Yunani yang
dipakai adalah dikaios yang mengacu
pada karakter yang suci, adil dan benar.
Di satu sisi kita
mendapat informasi bahwa sesuai hukum agama, seharusnya Yusuf
melaporkan Maria atas penyimpangan yang dibuatnya
dan membiarkan gadis itu diproses secara hukum agama. Tetapi
kini kita tahu pula bahwa Yusuf ternyata disebut sebagai orang yang tulus
hati justru ketika ia berniat menghindarkan Maria dari hukuman. Apa yang
dapat kita pelajari di
sini??
Dari peristiwa
ini, kita belajar bahwa rupanya menunjukkan
kasih karunia kepada orang yang bersalah adalah lebih tinggi nilainya daripada semata-mata menjatuhi orang tersebut
dengan hukuman.
Kasih karunia
adalah sifat Allah.
Kasih karunia berarti memberikan kepada
orang lain kesempatan atau ruang atau hadiah yang sebenarnya tidak patut
diterima oleh orang itu.
[Baca: Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan. Klik disini]
Berapa banyak
orang telah mati karena melanggar perintah agama? Atau berapa banyak pula orang
telah mati karena dianggap tidak sesuai dengan aturan agama-agama tertentu?
Mereka adalah orang-orang yang disebut kafir dan pendosa oleh orang-orang yang
merasa dirinya telah cukup baik dalam menjalankan hukum dan perintah agama. Namun
Allah justru datang untuk menunjukkan kasih karunia pada dunia melalui Yesus
Kristus yang lahir untuk menyelamatkan kita dari dosa.
Seorang Yusuf
paham bahwa di balik aturan-aturan agama tersimpan suatu makna yang dalam yaitu
bagaimana mengasihi sesama seperti diri sendiri.
Oleh karena itu Yusuf lebih memilih untuk tetap mengasihi Maria ketimbang
menghukumnya.
Dan
bersyukurlah kita atas sikap Yusuf yang tulus hati
ini, karena kemudian kebenaran itu pun dinyatakan oleh
malaikat, bahwa sesungguhnya kehamilan Maria
bukan disebabkan oleh karena suatu perzinahan
melainkan karena pekerjaan Tuhan yang harus terjadi melalui Maria.
Selain dikenal
sebagai pria yang tulus hati, rupanya Yusuf juga merupakan
tipe seorang
laki-laki yang segera bertindak dan taat kepada suara Tuhan.
Alkitab menjelaskan: “Sesudah bangun
dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu
kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya, tetapi tidak bersetubuh dengan
dia sampai ia melahirkan anaknya laki-laki dan Yusuf menamakan Dia Yesus.”
(Matius 1:24-25)
Bayangkan
peristiwa itu?! Malaikat datang dalam mimpi ketika Yusuf sedang bergumul dalam
membuat keputusan terhadap hubungannya dengan Maria. Dan setelah bangun dari
tidur Yusuf dengan penuh keyakinan “berbuat seperti yang diperintahkan malaikat
Tuhan itu kepadanya.” Ini adalah suatu tindakan iman yang luarbiasa bukan?
Hanya orang-orang yang peka terhadap suara Tuhan yang dapat terlatih untuk
melakukan hal seperti yang Yusuf lakukan dengan segera.
Sekalipun
peristiwa ini hanya disampaikan secara singkat oleh penulis Alkitab namun kita
dapat menyimpulkan bahwa Yusuf memang adalah seorang yang memiliki hubungan
pribadi yang baik dengan Tuhan. Ia mengenal suara Tuhannya dan bersedia untuk
bertindak sesuai dengan suara itu. Ia peka dan taat.
Bagaimana
dengan kita?
Ada
banyak keputusan yang harus kita ambil di dalam hidup ini dan ada begitu banyak
pertimbangan yang muncul, entah itu dari pikiran kita sendiri, entah itu dari
orang-orang di sekeliling kita. Bagaimana dengan
pertimbangan yang berasal dari Tuhan? Apakah kita juga turut
memperhitungkannya? Belajar dari Yusuf, satu-satunya hal yang harus kita
perhitungkan di dalam mengambil keputusan justru adalah suara Tuhan.
Secara
manusiawi, Yusuf tentu masih galau akibat
tidak umumnya peristiwa yang terjadi antara dirinya
dan Maria itu. Secara kehidupan sosial, desas desus
kehamilan Maria yang terjadi sebelum Yusuf dan Maria hidup sebagai suami istri
tentulah menjadi suatu beban tersendiri bagi Yusuf. Tetapi di dalam kesulitan
ini, Yusuf tetap taat. Dan bukan
hanya sekali Yusuf bertindak seperti itu.
Ketaatan
semacam ini kembali ditunjukkan Yusuf ketika ia sekali
lagi diberi peringatan
oleh malaikat melalui mimpi untuk menyingkir ke Mesir.
Alkitab mencatat: nampaklah malaikat
Tuhan kepada Yusuf dalam mimpi dan berkata: "Bangunlah, ambillah Anak itu
serta ibu-Nya, larilah ke Mesir dan tinggallah di sana sampai Aku berfirman
kepadamu, karena Herodes akan mencari Anak itu untuk membunuh Dia." Maka
Yusuf pun bangunlah, diambilnya Anak itu serta ibu-Nya malam itu juga, lalu
menyingkir ke Mesir, (Matius 2:13-14)
Jujur saja, saya sangat penasaran, adakah Yusuf suatu ketika termenung
ketika ia harus hidup di Mesir, bahwa segala peristiwa hidupnya yang agak
ganjil itu, selalu di arahkan lewat mimpi? Kalau saya jadi Yusuf, mungkin saya
akan mempertanyakan kewarasan diri saya. “Menikahi seorang perempuan yang sudah
hamil hanya gara-gara mimpi?” Lalu, “pergi jauh-jauh ke Mesir juga hanya
gara-gara mimpi? Apa-apaan ini?! Bagaimana kalau itu cuma fantasiku atau cuma mimpi
di siang bolong belaka? Bagaimana kalau aku salah dengar.. !?”
Sekedar perbandingan, Zakharia dan Maria dikunjungi malaikat bukan ketika
tertidur melainkan pada saat mereka berdua sedang dalam keadaan sadar. Tetapi
kepada Yusuf, malaikat datang lewat sebuah mimpi, sungguh suatu kunjungan yang
bersifat sangat tersamar. Diam-diam hati saya pun mengaku: “Yusuf, betapa
hebatnya engkau, betapa beraninya dirimu dalam bertindak dan betapa pekanya
hatimu pada suara Tuhan. Allah tidak perlu berteriak kepadamu, cukup berbisik
lembut lewat mimpi saja pun, engkau sudah bisa melakukan pekerjaan besar bagi
kemuliaan-Nya. Berapa seringkah Tuhan telah berteriak padaku, tetapi hatiku yang
degil ini tetap tidak mendengar?”
Kita tidak
tahu berapa lama Yusuf menjalankan perannya sebagai ayah bagi seorang Yesus Kristus.
Terakhir kali namanya dicatat adalah ketika Yesus berusia dua belas tahun dan
mereka sekeluarga sedang pergi ke Bait Allah. Kemungkinan sekali Yusuf telah meninggal dunia ketika Yesus memulai pelayanan-Nya pada usia 30
tahun. Dan sekalipun Yusuf telah mendapatkan berkat melimpah
dalam hidupnya karena telah dipercaya untuk menjadi
ayah bagi Sang Mesias, bukan berarti Yusuf
lalu menjadi seorang yang terpandang bagaikan seorang selebritis yang hidup makmur. Yusuf tetap menjalankan suatu hidup
sederhana sebagai seorang tukang kayu. Hidup yang
begitu biasa. Hidup yang mungkin tidak pernah kita minati. Hidup yang begitu
jauh dari publisitas, glamour dan
hingar bingar kesuksesan dunia.
Jadi jika anda
mendengar ajaran gereja di abad modern ini yang mengatakan bahwa kalau ikut
Yesus, hidup anda pasti hebat, pasti kaya, pasti sukses secara materi dan lain
sebagainya, cobalah untuk duduk sebentar dan memandang sosok Yusuf si tukang
kayu Yahudi ini dalam keheningan. Pria sederhana yang namanya bahkan jarang
kita angkat secara khusus dalam khotbah-khotbah di gereja kita. Tapi siapa di
antara kita yang berani berada di posisi Yusuf ketika tanggung jawab dan risiko
sebesar itu dibebankan di atas pundaknya?
Meskipun
hanya tukang kayu sederhana, peran Yusuf
sebagai orang percaya yang rela dipakai Tuhan
tidaklah sedikit. Di tangan Yusuf-lah Allah telah mempercayakan Anak-Nya yang
tunggal, Juruselamat kita ketika Dia masih seorang bayi yang lemah. Apa sajakah yang telah Tuhan
percayakan di tangan kita? Bagaimana sikap kita terhadap
tanggung jawab yang Tuhan berikan itu? Belajarlah
dari Yusuf, hamba Tuhan yang setia ini.
Jadi, jika lain
kali ada orang yang menyakiti hati kita, mungkin ada baiknya kita belajar
bersabar sedikit dan mencoba menunjukkan kasih karunia pada orang itu, sebab
siapa tahu pada saat itu Roh Kudus sedang melakukan sebuah pekerjaan besar di
dunia ini melalui kita. Itu pernah terjadi pada Yusuf, dalam skala yang
berlainan bukan tidak mungkin itu terjadi juga pada kita, iya kan?
Kiranya Tuhan memberkati kita semua.
(Oleh: Izar Tirta)
[1] Pada saat itu, malaikat
belum datang kepada Yusuf untuk memberitahukan peristiwa yang sebenarnya
terjadi atas Maria.