Tuesday, April 14, 2020

Eskposisi singkat Kejadian 4:2: Apakah arti penting pekerjaan manusia di hadapan Tuhan?

Kisah Kain dan Habel bagian 13

Oleh: Izar Tirta

 

Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani. (Kej 4:2)
 
Dalam tulisan-tulisan sebelumnya kita sudah mulai mengenal sosok Kain dan Habel, dengan masing-masing perbedaan sikap serta respon Hawa atas kelahiran mereka tersebut. Meskipun kedua putra Adam ini lahir di tengah-tengah dunia yang telah dikutuk oleh Tuhan sebagai akibat pemberontakan manusia, kita bersyukur bahwa melalui sosok Habel, Tuhan memberi suatu pesan kepada manusia bahwa pengharapan akan kebaikan di tengah-tengah kejahatan itu ternyata masih ada. Karya anugerah Tuhan belum meninggalkan umat manusia sepenuhnya, sekalipun mereka itu berdosa adanya.
 
Dalam tulisan ini kita akan melihat bagaimana interaksi manusia dengan Tuhan, khususnya dalam kaitan pekerjaan mereka sehari-hari.
 
Habel adalah seorang gembala kambing domba, sedangkan Kain adalah seorang petani. Di dalam pandangan Alkitab, tidak ada suatu pekerjaan yang lebih rendah atau lebih hina antara yang satu dibandingkan dengan yang lain. Sejauh pekerjaan tersebut memang tidak mengandung nilai-nilai yang immoral atau merugikan orang lain. Mencuri, merampok, membunuh, teroris, melacur, memperdagangkan manusia dan lain sebagainya tentu saja tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori pekerjaan dalam tulisan ini.
 
Semua pekerjaan itu, baik yang dilakukan oleh Kain maupun yang dilakukan oleh Habel adalah sama-sama merupakan wujud nyata dari mandat budaya yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu untuk mengelola bumi dengan segala isinya.
 
Dalam paradigma Alkitab, yang menjadi perhatian utama bukanlah tentang pekerjaan apa yang kita lakukan, melainkan dengan sikap hati apakah kita melakukannya.
 
Di dalam sejarah, gereja pernah memiliki pandangan yang sangat keliru terhadap nilai dari suatu pekerjaan. Pada sekitar abad ke 3 Masehi, seorang bapa gereja bernama Eusebius percaya bahwa tidak semua pekerjaan memiliki nilai yang sama. Ia berpendapat bahwa ada pekerjaan kelas satu dan ada pekerjaan yang dianggap kurang mulia, sehingga masuk dalam kategori kelas dua.
 
Alister E.McGrath, seorang Teolog dan Profesor di University of Oxford dan Gresham College, pernah mengemukakan cara pandang Eusebius demikian: For Eusebius of Caesarea, the perfect Christian life was one devoted to serving God, untainted by physical labor. Those who chose to work for a living were second-rate Christians. To live and work in the world was to forfeit a first-rate Christian calling, with all that this implied. (Alister E.McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 256)

Kekeliruan pandangan semacam ini semakin diperparah pula dengan mulai bercampurnya persoalan gereja dengan persoalan politik. Gesekan yang terjadi antara pemerintah politik yang dipimpin oleh raja dengan pemimpin gereja ketika itu yang dipegang oleh Paus, membuat cara pandang terhadap pekerjaan menjadi sangat menyimpang, jauh dari apa yang dinafaskan oleh Alkitab.
 
Demi mempertahankan status quo-nya di mata para raja, maka Paus demi Paus yang menjadi pucuk pimpinan gereja, terus berusaha mempertahankan bukan saja adanya pandangan dualisme antara pekerjaan gereja yang dipegang oleh para Paus dan pekerjaan sekuler yang dipegang oleh para raja dan orang awam, tetapi mereka semakin menegaskan pula bahwa pekerjaan di luar kehidupan biarawan dan biarawati adalah pekerjaan yang bernilai rendah di mata Tuhan.
 
Adriano Tilgher, seorang filsuf Itali yang melakukan suatu studi mendalam terhadap dunia kerja dari abad ke abad, pernah berkata demikian: monastic spirituality never regarded everyday work in the world as anything of value.  (Alister E.McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 256)
 
Menurut Tilgher dalam bukunya yang berjudul Work: What It Has Meant to Men Through the Ages, di mata para biarawan dan biarawati, pekerjaan sehari-hari kita yang sekuler, entah itu petani, nelayan, dokter, akuntan, pedagang, ahli hukum, ibu rumah tangga dan lain sebagainya, adalah suatu pekerjaan yang tidak bernilai sama sekali. Hanya aktivitas keseharian kaum biaralah yang bernilai baik di mata Tuhan.
 
Namun kita boleh bersyukur, karena pandangan keliru yang dianut oleh Eusebius dan para penghuni biara tersebut, pada akhirnya telah dikoreksi oleh bapak-bapak Reformasi Kristen seperti Martin Luther dan John Calvin. Tentang hal itu, McGrath mengatakan:

Protestantism rejected the critical medieval distinction between the “sacred” and “secular” orders. While this can easily be interpreted as the desacralization of the sacred, it can equally well be understood as the sacralization of the secular. As early as 1520, Luther had laid the fundamental conceptual foundations for created sacred space within the secular. His doctrine of the “priesthood of all believers” asserted that *there was no genuine difference of status between the “spiritual” and the “temporal” or “secular” order. All Christians were called to be priests – and could exercise that calling within the everyday world. The idea of “calling” was thus fundamentally redefined: no longer was it about being called to serve God by leaving the world; it was now about serving God within the everyday world. (Alister E.McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 257)
 
Cara berpikir para Reformator Kristen ini sesuai dengan pandangan Alkitab mengenai pekerjaan manusia sebagai suatu tanggung jawab atas mandat budaya yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Para Reformator itu mulai menyadarkan masyarakat yang hidup sezaman dengan mereka, bahwa menjadi seorang pandai besi adalah sama mulianya jika dibandingkan dengan menjadi seorang pastor. Menjadi seorang nelayan adalah sama mulianya jika dibandingkan dengan seorang pemimpin pujian di dalam gereja. Gagasan yang dikemukan oleh Luther dan Calvin mengenai etos kerja Kristen ini, memberi pengaruh yang besar bagi terciptanya revolusi ilmiah dan revolusi industri di negara-negara Barat, khususnya Eropa. Bukan suatu kebetulan jika para penemu di bidang ilmiah dan industri, mulai bermunculan justru setelah era reformasi Kristen di abad ke 16 tersebut.
 
Sebab menurut Luther maupun Calvin (dan menurut Alkitab juga tentunya), faktor utama yang membedakan antara mulia atau tidak mulianya suatu pekerjaan, bukan terletak pada jenis pekerjaan tersebut, melainkan terletak pada sikap hati dari orang yang melaksanakan pekerjaan tersebut.
 
Seorang pastor yang memimpin umat di dalam gereja, bisa saja kelihatan begitu mulia di mata manusia, tetapi jika sikap hatinya lebih tertarik untuk memuliakan manusia melalui ajaran humanisme ketimbang memuliakan Tuhan melalui ajaran yang benar tentang Kristus dan Firman-Nya, maka sekalipun pekerjaannya terlihat begitu rohani, ia sama sekali bukan orang yang benar di mata Tuhan.
 
Seorang petani atau peternak, mungkin adalah pekerjaan yang biasa saja di mata dunia, tetapi jika mereka melakukan pekerjaan itu dengan sikap hati yang tunduk kepada Tuhan, maka sekalipun di mata manusia pekerjaan tersebut kurang bernilai, tetap merupakan hal yang mulia di mata Tuhan.
 
Seorang petani kentang, yang menanam kentang sesuai dengan jadwalnya dan menuai kentang itu lalu mengumpulkannya dan menjualnya di pasar adalah suatu pekerjaan yang mulia jika ia melakukan semua pekerjaan itu untuk kemuliaan Tuhan (Kolose 3:23).
 
Itu sebabnya, Martin Luther pernah berkata: “Seandainya besok adalah hari kiamat, maka hari ini pun aku akan tetap menanam pohon apel.”
 
Biasanya, jika kita mengetahui bahwa besok adalah hari terakhir bagi hidup kita, maka kita akan mengisi hari ini dengan kesibukan yang luar biasa dalam  mengerjakan hal-hal yang dianggap sebagai pelayanan “rohani.” Tetapi Luther tidak demikian, Luther mengatakan bahwa ia akan tetap menanam apel, karena baginya adalah lebih mulia menanam pohon apel dengan motivasi untuk menyenangkan hati Tuhan, ketimbang menyanyi di gereja dengan motivasi untuk mencari kemuliaan atau keselamatan bagi diri sendiri
 
Di mata Tuhan, menjadi petani adalah sama mulianya dengan menjadi penggembala ternak dan sama mulianya pula dengan menjadi pemimpin gereja. Sebab semua pekerjaan itu, sama-sama merupakan wujud nyata dari mandat budaya yang Tuhan sendiri berikan kepada manusia, yaitu untuk mengelola dan mengusahakan bumi dan segala isinya ini.
 
Sampai disini kita sudah sedikit melihat bahwa secara prinsip Alkitabiah, tidak ada pembedaan antara pekerjaan yang disebut sebagai pekerjaan yang rohani dan pekerjaan yang tidak rohani (sekuler). Yang membuat perbedaan bukanlah pekerjaan apa yang sedang dilakukan, tetapi bagaimana sikap hati dari orang yang melakukan pekerjaan tersebut.
 
Tetapi pertanyaannya, bagaimana cara kita mengukur sikap hati seseorang? Kita akan membahasnya dalam tulisan selanjutnya.

Silahkan hubungi WA: 087712051970
Kami akan berdoa untuk Anda
Kami akan mengirimi artikel Kristen secara gratis untuk Anda

Beberapa pokok pikiran dalam tulisan ini:
Eskposisi singkat dari Kejadian 4:2
Apakah arti penting pekerjaan manusia di hadapan Tuhan?
Apa arti dari perkataan : "Habel menjadi gembala kambing domba dan Kain menjadi petani?"
Apakah menjadi gembala kambing domba itu lebih baik daripada menjadi petani?
Bagaimana pandangan Alkitab terhadap pekerjaan masing-masing orang?
Apakah ada jenis pekerjaan yang sekuler dan jenis pekerjaan yang spiritual?
Apakah menjadi Hamba Tuhan lebih tinggi nilainya daripada pekerjaan yang lain?
Pandangan biara Katolik terhadap pekerjaan, sebelum era Reformasi Kristen.
Pandangan kekeristenan sejati terhadap pekeraan, setelah era Reformasi Kristen.
Ungkapan terkenal Martin Luther tentang hari kiamat.
Bagaimana memahami ayat Firman Tuhan dari Kolose 3:23
Pandangan John Calvin terhadap pekerjaan.
Pandangan yang sejati dari Alkitab terhadap pekerjaan manusia.
Seorang petani kentang pun bisa memuliakan Allah melalui pertanian.
Seorang pastor pun bisa mempermalukan Allah melalui mimbarnya.