Kisah Kain dan Habel bagian 13
Oleh: Izar Tirta
Habel
menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani. (Kej 4:2)
Dalam tulisan-tulisan sebelumnya
kita sudah mulai mengenal sosok Kain dan Habel, dengan masing-masing perbedaan
sikap serta respon Hawa atas kelahiran mereka tersebut. Meskipun kedua putra
Adam ini lahir di tengah-tengah dunia yang telah dikutuk oleh Tuhan sebagai
akibat pemberontakan manusia, kita bersyukur bahwa melalui sosok Habel, Tuhan
memberi suatu pesan kepada manusia bahwa pengharapan akan kebaikan di
tengah-tengah kejahatan itu ternyata masih ada. Karya anugerah Tuhan belum
meninggalkan umat manusia sepenuhnya, sekalipun mereka itu berdosa adanya.
Dalam tulisan ini kita akan
melihat bagaimana interaksi manusia dengan Tuhan, khususnya dalam kaitan pekerjaan
mereka sehari-hari.
Habel adalah seorang gembala
kambing domba, sedangkan Kain adalah seorang petani. Di dalam pandangan
Alkitab, tidak ada suatu pekerjaan yang lebih rendah atau lebih hina antara
yang satu dibandingkan dengan yang lain. Sejauh pekerjaan tersebut memang tidak
mengandung nilai-nilai yang immoral
atau merugikan orang lain. Mencuri, merampok, membunuh, teroris, melacur, memperdagangkan
manusia dan lain sebagainya tentu saja tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori
pekerjaan dalam tulisan ini.
Semua pekerjaan itu, baik yang
dilakukan oleh Kain maupun yang dilakukan oleh Habel adalah sama-sama merupakan
wujud nyata dari mandat budaya yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia, yaitu
untuk mengelola bumi dengan segala isinya.
Dalam paradigma Alkitab, yang
menjadi perhatian utama bukanlah tentang pekerjaan apa yang kita lakukan,
melainkan dengan sikap hati apakah kita melakukannya.
Di dalam sejarah, gereja pernah
memiliki pandangan yang sangat keliru terhadap nilai dari suatu pekerjaan. Pada
sekitar abad ke 3 Masehi, seorang bapa gereja bernama Eusebius percaya bahwa
tidak semua pekerjaan memiliki nilai yang sama. Ia berpendapat bahwa ada
pekerjaan kelas satu dan ada pekerjaan yang dianggap kurang mulia, sehingga
masuk dalam kategori kelas dua.
Alister E.McGrath, seorang Teolog dan Profesor di University of Oxford dan Gresham College, pernah mengemukakan cara pandang Eusebius demikian: For Eusebius of Caesarea, the perfect Christian life was one devoted to serving God, untainted by physical labor. Those who chose to work for a living were second-rate Christians. To live and work in the world was to forfeit a first-rate Christian calling, with all that this implied. (Alister E.McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 256)
Kekeliruan pandangan semacam ini
semakin diperparah pula dengan mulai bercampurnya persoalan gereja dengan
persoalan politik. Gesekan yang terjadi antara pemerintah politik yang dipimpin
oleh raja dengan pemimpin gereja ketika itu yang dipegang oleh Paus, membuat
cara pandang terhadap pekerjaan menjadi sangat menyimpang, jauh dari apa yang
dinafaskan oleh Alkitab.
Demi mempertahankan status quo-nya di mata para raja, maka Paus
demi Paus yang menjadi pucuk pimpinan gereja, terus berusaha mempertahankan bukan
saja adanya pandangan dualisme antara pekerjaan gereja yang dipegang oleh para
Paus dan pekerjaan sekuler yang dipegang oleh para raja dan orang awam, tetapi
mereka semakin menegaskan pula bahwa pekerjaan di luar kehidupan biarawan dan
biarawati adalah pekerjaan yang bernilai rendah di mata Tuhan.
Adriano Tilgher, seorang filsuf Itali yang melakukan suatu studi mendalam terhadap dunia kerja dari abad ke abad, pernah berkata demikian: monastic spirituality never regarded everyday work in the world as anything of value. (Alister E.McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 256)
Menurut Tilgher dalam bukunya
yang berjudul Work: What It Has Meant to Men Through the Ages, di mata para
biarawan dan biarawati, pekerjaan sehari-hari kita yang sekuler, entah itu
petani, nelayan, dokter, akuntan, pedagang, ahli hukum, ibu rumah tangga dan
lain sebagainya, adalah suatu pekerjaan yang tidak bernilai sama sekali. Hanya
aktivitas keseharian kaum biaralah yang bernilai baik di mata Tuhan.
Namun kita boleh bersyukur, karena pandangan keliru yang dianut oleh Eusebius dan para penghuni biara tersebut, pada akhirnya telah dikoreksi oleh bapak-bapak Reformasi Kristen seperti Martin Luther dan John Calvin. Tentang hal itu, McGrath mengatakan:
Protestantism
rejected the critical medieval distinction between the “sacred” and “secular”
orders. While this can easily be interpreted as the desacralization of the
sacred, it can equally well be understood as the sacralization of the secular.
As early as 1520, Luther had laid the fundamental conceptual foundations for
created sacred space within the secular. His doctrine of the “priesthood of all
believers” asserted that *there was no genuine difference of status between the
“spiritual” and the “temporal” or “secular” order. All Christians were called
to be priests – and could exercise that calling within the everyday world. The
idea of “calling” was thus fundamentally redefined: no longer was it about
being called to serve God by leaving the world; it was now about serving God
within the everyday world. (Alister E.McGrath, Reformation Thought: An Introduction, 257)
Cara
berpikir para Reformator Kristen ini sesuai dengan pandangan Alkitab mengenai
pekerjaan manusia sebagai suatu tanggung jawab atas mandat budaya yang
diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Para Reformator itu mulai menyadarkan
masyarakat yang hidup sezaman dengan mereka, bahwa menjadi seorang pandai besi
adalah sama mulianya jika dibandingkan dengan menjadi seorang pastor. Menjadi
seorang nelayan adalah sama mulianya jika dibandingkan dengan seorang pemimpin
pujian di dalam gereja. Gagasan yang dikemukan oleh Luther dan Calvin mengenai
etos kerja Kristen ini, memberi pengaruh yang besar bagi terciptanya revolusi
ilmiah dan revolusi industri di negara-negara Barat, khususnya Eropa. Bukan
suatu kebetulan jika para penemu di bidang ilmiah dan industri, mulai
bermunculan justru setelah era reformasi Kristen di abad ke 16 tersebut.
Sebab menurut Luther maupun
Calvin (dan menurut Alkitab juga tentunya), faktor utama yang membedakan antara
mulia atau tidak mulianya suatu pekerjaan, bukan terletak pada jenis pekerjaan
tersebut, melainkan terletak pada sikap hati dari orang yang melaksanakan
pekerjaan tersebut.
Seorang pastor yang memimpin umat
di dalam gereja, bisa saja kelihatan begitu mulia di mata manusia, tetapi jika
sikap hatinya lebih tertarik untuk memuliakan manusia melalui ajaran humanisme ketimbang
memuliakan Tuhan melalui ajaran yang benar tentang Kristus dan Firman-Nya, maka
sekalipun pekerjaannya terlihat begitu rohani, ia sama sekali bukan orang yang
benar di mata Tuhan.
Seorang petani atau peternak,
mungkin adalah pekerjaan yang biasa saja di mata dunia, tetapi jika mereka
melakukan pekerjaan itu dengan sikap hati yang tunduk kepada Tuhan, maka
sekalipun di mata manusia pekerjaan tersebut kurang bernilai, tetap merupakan
hal yang mulia di mata Tuhan.
Seorang petani kentang, yang
menanam kentang sesuai dengan jadwalnya dan menuai kentang itu lalu
mengumpulkannya dan menjualnya di pasar adalah suatu pekerjaan yang mulia jika
ia melakukan semua pekerjaan itu untuk kemuliaan Tuhan (Kolose 3:23).
Itu sebabnya, Martin Luther
pernah berkata: “Seandainya besok adalah hari kiamat, maka hari ini pun aku
akan tetap menanam pohon apel.”
Biasanya, jika kita mengetahui
bahwa besok adalah hari terakhir bagi hidup kita, maka kita akan mengisi hari
ini dengan kesibukan yang luar biasa dalam mengerjakan hal-hal yang dianggap sebagai
pelayanan “rohani.” Tetapi Luther tidak demikian, Luther mengatakan bahwa ia akan
tetap menanam apel, karena baginya adalah lebih mulia menanam pohon apel dengan
motivasi untuk menyenangkan hati Tuhan, ketimbang menyanyi di gereja dengan
motivasi untuk mencari kemuliaan atau keselamatan bagi diri sendiri
Di mata Tuhan, menjadi petani
adalah sama mulianya dengan menjadi penggembala ternak dan sama mulianya pula dengan
menjadi pemimpin gereja. Sebab semua pekerjaan itu, sama-sama merupakan wujud
nyata dari mandat budaya yang Tuhan sendiri berikan kepada manusia, yaitu untuk
mengelola dan mengusahakan bumi dan segala isinya ini.
Sampai disini kita sudah sedikit
melihat bahwa secara prinsip Alkitabiah, tidak ada pembedaan antara pekerjaan
yang disebut sebagai pekerjaan yang rohani dan pekerjaan yang tidak rohani
(sekuler). Yang membuat perbedaan bukanlah pekerjaan apa yang sedang dilakukan,
tetapi bagaimana sikap hati dari orang yang melakukan pekerjaan tersebut.
Tetapi pertanyaannya, bagaimana cara kita mengukur sikap hati seseorang? Kita akan membahasnya dalam tulisan selanjutnya.
Silahkan hubungi WA: 087712051970
Kami akan berdoa untuk Anda
Kami akan mengirimi artikel Kristen secara gratis untuk Anda
Beberapa pokok pikiran dalam tulisan ini:
Eskposisi singkat dari Kejadian 4:2
Apakah arti penting pekerjaan manusia di hadapan Tuhan?
Apa arti dari perkataan : "Habel menjadi gembala kambing domba dan Kain menjadi petani?"
Apakah menjadi gembala kambing domba itu lebih baik daripada menjadi petani?
Bagaimana pandangan Alkitab terhadap pekerjaan masing-masing orang?
Apakah ada jenis pekerjaan yang sekuler dan jenis pekerjaan yang spiritual?
Apakah menjadi Hamba Tuhan lebih tinggi nilainya daripada pekerjaan yang lain?
Pandangan biara Katolik terhadap pekerjaan, sebelum era Reformasi Kristen.
Pandangan kekeristenan sejati terhadap pekeraan, setelah era Reformasi Kristen.
Ungkapan terkenal Martin Luther tentang hari kiamat.
Bagaimana memahami ayat Firman Tuhan dari Kolose 3:23
Pandangan John Calvin terhadap pekerjaan.
Pandangan yang sejati dari Alkitab terhadap pekerjaan manusia.
Seorang petani kentang pun bisa memuliakan Allah melalui pertanian.
Seorang pastor pun bisa mempermalukan Allah melalui mimbarnya.