Oleh:
Izar Tirta
Beberapa pertanyaan yang dibahas di
dalam tulisan ini adalah:
Pengertian
apa yang terkandung di dalam kata “nubuat” tersebut?
Apakah
pengertian nubuat menurut Perjanjian Lama?
Apakah
pengertian nubuat menurut Perjanjian Baru?
Paulus
mengatakan bahwa nubuat akan berakhir, kapankah nubuat itu berakhir?
Apakah
nubuat itu sama dengan pengajaran? (Prophecy vs teaching)
Apabila
nubuat dan pengajaran tidak sama, maka di manakah letak perbedaannya?
Jika
nubuat dan pengajaran tidak sama, maka yang manakah yang lebih diutamakan?
Jika
pengajaran lebih utama daripada nubuat, lalu mengapa bernubuat lebih menarik
ketimbang mengajar?
Nubuat
adalah istilah yang cukup sering muncul di dalam kosa kata perbincangan kita
sebagai orang Kristen. Meskipun demikian masih ada sebagian orang Kristen yang punya
pemahaman kurang tepat terhadap istilah tersebut. Mereka menyamakan istilah
nubuat dengan istilah meramal atau mengatakan tentang sesuatu yang akan terjadi
di masa depan.
Di
dalam nubuat memang adakalanya seorang nabi menyampaikan pesan tentang sesuatu peristiwa
yang belum terjadi, namun apabila kita menganggap istilah nubuat itu sama
dengan meramal, maka pandangan kita terhadap istilah nubuat itu menjadi kurang
tepat atau dapat dikatakan terlalu sempit.
Apabila
kita membaca 2 Tawarikh 9:29 dalam bahasa aslinya, maka istilah “nubuat” yang
ada dalam ayat itu memakai istilah Ibrani nevuat.
Sedangkan dalam bahasa Inggris istilah yang dipakai adalah prophecy.
Sebagaimana
dapat kita lihat, istilah nevuat itu
sendiri memiliki pertalian yang dekat sekali dengan istilah nabi. Sama seperti
istilah prophecy juga memiliki
kedekatan dengan istilah prophet.
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa nubuat atau nevuat adalah istilah yang mengacu pada aktivitas yang dilakukan
oleh seorang nabi.
Lantas
pertanyaan adalah, aktivitas apakah yang biasa dilakukan oleh seorang nabi?
Kita
akan menelusuri jawaban atas pertanyaan di atas dengan cara melakukan
penelusuran singkat terhadap kata-kata yang berhubungan dengan istilah “nubuat”
dan “nabi,” baik di dalam Perjanjian Lama maupun di dalam Perjanjian Baru.
Istilah
nubuat di dalam Perjanjian Lama
Karena
istilah nubuat memiliki keterkaitan yang tak terpisahkan dengan pemahaman kita
tentang nabi, maka sebelum kita melihat bagaimana istilah nubuat dipakai di
dalam Perjanjian Lama, kita akan terlebih dahulu melihat peranan seorang nabi
di hadapan Tuhan.
Di
dalam Kitab Ulangan ada tertulis demikian: seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh
firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang
Kuperintahkan kepadanya. (Ulangan
18:18)
Dari
ayat itu jelas terbaca, bahwa bukan manusia yang memilih untuk menjadi seorag
nabi melainkan Allah-lah yang akan memanggil dia dan memberi dia tanggung jawab
sebagai nabi. Setelah itu, Allah akan menaruh firman-Nya di dalam mulut sang
nabi. Dan tugas selanjutnya dari nabi itu adalah menyampaikan firman Tuhan tadi
kepada orang-orang lain.
Jadi
seorang nabi tidak muncul sendiri atas kehendaknya sendiri, melainkan dipanggil
oleh Tuhan. Dan seorang nabi tidak berkata-kata dari dirinya sendiri, melainkan
memperkatakan apa yang Tuhan ingin agar ia katakan kepada manusia.
Di
dalam 2 Tawarikh 15, disebutkan ada seorang bernama Azarya
bin Oded yang dihinggapi oleh Roh Allah (2 Tawarikh 15:1).
Kemudian
setelah Roh Allah memenuhi dirinya, Azarya pun datang menemui raja Yehuda yang
bernama Asa, lalu Azarya kemudian
berkata kepada Asa:
"Dengarlah
kepadaku, Asa dan seluruh Yehuda dan Benyamin! TUHAN beserta dengan kamu
bilamana kamu beserta dengan Dia. Bilamana kamu mencari-Nya, Ia berkenan
ditemui olehmu, tetapi bilamana kamu meninggalkan-Nya, kamu akan
ditinggalkan-Nya. Lama sekali Israel tanpa Allah yang benar, tanpa ajaran dari
pada imam dan tanpa hukum. Tetapi dalam kesesakan mereka berbalik kepada TUHAN,
Allah orang Israel. Mereka mencari-Nya, dan Ia berkenan ditemui oleh mereka.
Pada zaman itu tidak dapat orang pergi dan pulang dengan selamat, karena
terdapat kekacauan yang besar di antara segenap penduduk daerah-daerah. Bangsa
menghancurkan bangsa, kota menghancurkan kota, karena Allah mengacaukan mereka
dengan berbagai-bagai kesesakan. Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan
lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu!" (2 Tawarikh 15:2-7)
Apabila
kita perhatikan, perkataan Azarya terhadap Asa di atas sebetulnya merupakan
suatu pesan yang bersifat nasihat
dan penghiburan. Tidak ada
teguran yang spesifik, tidak ada ramalan yang spesifik di dalam pesan itu,
melainkan berupa suatu pesan
pengharapan yang cukup general
(umum) serta dapat segera diaplikasikan atau dinikmati oleh Asa apabila ia mau
mendengarkan pesan itu.
Ditinjau
dari aspek waktu, pesan Azarya kepada Asa ini, meliputi 3 aspek yaitu masa
sekarang, masa lalu dan masa yang akan datang. Pada masa sekarang, Asa punya dua pilihan yaitu apakah Asa
mencari Dia, ataukah meninggalkan Dia. Ada konsekuensi untuk masing-masing
pilihan tersebut. Pada masa lalu,
Asa juga diingatkan bagaimana sikap bangsa Israel kepada Allah dan bagaimana
sikap Allah terhadap mereka. Lalu pada masa yang
akan datang, Asa diberi suatu pengharapan akan upah bagi segala
usahanya di dalam Tuhan.
Dan
menurut Alkitab, respon Asa adalah sebagai berikut: Ketika Asa mendengar perkataan nubuat
yang diucapkan oleh nabi Azarya bin Oded itu, ia menguatkan hatinya
dan menyingkirkan dewa-dewa kejijikan dari seluruh tanah Yehuda dan Benyamin
dan dari kota-kota yang direbutnya di pegunungan Efraim. Ia membaharui mezbah
TUHAN yang ada di depan balai Bait Suci TUHAN. (2 Tawarikh 15:8)
Jadi
dari apa yang yang kita baca tentang Azarya dan Asa ini, kita tiba pada kesimpulan
pertama dari nubuat yaitu ditinjau dari
aspek waktu, sebuah nubuat tidak terbatas hanya pada berita tentang masa depan
saja, melainkan berita tentang masa sekarang dan juga tentang masa lalu.
Lalu
perhatikan pula bahwa bagi Asa, apa yang dikatakan oleh Azarya bukanlah sebuah
perkataan biasa melainkan sebuah perkataan nubuat yang disampaikan oleh Tuhan
kepadanya melalui sang nabi. Sehingga melalui hal ini kita sampai pada kesimpulan kedua,
yaitu bahwa menurut pandangan Perjanjian Lama, nubuat
adalah perkataan-perkataan yang disampaikan oleh seorang nabi, setelah nabi itu
mendapat pesan dari Allah.
Meskipun
demikian, Perjanjian Lama juga memakai istilah nubuat untuk sebuah pesan yang
disampaikan oleh seorang yang mengaku nabi, namun pada kenyataanya bukan nabi
yang sejati. Peristiwa itu tercatat demikian: Karena kuketahui
benar, bahwa
Allah tidak mengutus dia. Ia mengucapkan nubuat itu terhadap aku, karena disuap
Tobia dan Sanbalat. (Nehemia 6:12)
Sehingga
dari ayat di atas, kita sampai pada kesimpulan ketiga, yaitu bahwa istilah nubuat dapat pula dikenakan kepada
perkataan-perkataan nabi palsu, yaitu orang yang mengaku sebagai nabi
padahal Allah sendiri tidak pernah mengutus dia untuk mengatakan sesuatu.
Itulah
sebabnya, Allah ber-Firman kepada umat-Nya untuk berhati-hati terhadap
perkataan-perkataan dari orang yang mengaku sebagai nabi padahal sebetulnya ia
bukan membawa pesan dari Allah yang sejati. Allah bahkan memberikan suatu
petunjuk bagi kita untuk menilai, apakah seorang nabi merupakan nabi yang
sejati, ataukah ternyata seorang nabi palsu.
(20) Tetapi seorang
nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak
Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain,
nabi itu harus mati. (21) Jika sekiranya kamu berkata dalam hatimu:
Bagaimanakah kami mengetahui perkataan yang tidak difirmankan TUHAN? (22) apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN
dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang
tidak difirmankan TUHAN; dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya,
maka janganlah gentar kepadanya." (Ulangan
18:20-22)
Berdasarkan
ayat-ayat Firman Tuhan di atas, kita kembali melihat bahwa di dalam Perjanjian
Lama rupanya dapat terjadi pula ketika seseorang mengaku-ngaku sebagai nabi
Allah, namun ternyata terlalu berani mengucapkan demi nama Tuhan perkataan yang
tidak diperintahkan oleh Tuhan untuk dikatakan olehnya. Atau ada pula seorang
yang mengaku nabi tetapi perkataan yang ia bawa bukanlah perkataan dari Yahwe
melainkan perkataan dari allah lain.
Terhadap
nabi semacam itu, Allah akan menjatuhkan hukuman mati. Dan kita sebagai umat,
harus menguji perkataan sang nabi, jika perkataannya tidak terjadi, maka itu
adalah perkataan yang tidak difirmankan oleh Tuhan.
Oleh
karena itu, kita dapat tiba pada kesimpulan keempat, yaitu bahwa sebuah nubuat memang dapat berisi tentang peristiwa
yang belum terjadi. Justru karena peristiwa itu belum terjadi, maka
umat Tuhan dapat menguji kesejatian dari si nabi.
Jadi
kalau kita summary-kan, pengertian nubuat dari Perjanjian Lama adalah:
perkataan yang diucapkan oleh seorang nabi, baik yang
berisi nasihat maupun penghiburan; baik yang berisi pesan tentang masa
sekarang, masa lalu maupun tentang peristiwa yang akan datang. Adapun fungsi dari pesan tentang peristiwa
yang akan datang adalah sebagai ujian untuk menentukan apakah seorang nabi
merupakan nabi Allah yang sejati, ataukah nabi palsu.
Nabi
Allah sejati, apabila mengatakan tentang sesuatu di masa yang akan datang, maka
hal tersebut pasti akan terjadi. Sedangkan apabila seorang yang mengaku nabi
mengatakan sesuatu di masa yang akan datang namun peristiwa itu tidak terjadi,
maka ia adalah seorang nabi palsu.
Istilah
nubuat di dalam Perjanjian baru
Istilah
yang lebih populer untuk para utusan Tuhan di zaman Perjanjian Baru adalah
rasul. Kalaupun istilah nabi mau kita kaitkan dengan era Perjanjian Baru maka
biasanya istilah itu kita kenakan kepada Yohanes Pembaptis yang secara populer
kita kenal sebagai nabi terakhir, atau kepada Yesus Kristus sendiri yang dalam
kapasitas-Nya sebagai Mesias memegang jabatan sebagai imam, nabi dan raja.
Selain
Yesus dan Yohanes Pembaptis, biasanya kita memahami nabi bukan sebagai seorang
pribadi tertentu, melainkan lebih kepada fungsinya, dimana kita sebagai orang
percaya yang juga harus menjalankan fungsi kenabian sama seperti Yesus telah
lakukan, yaitu membawa pesan Allah kepada dunia yang berdosa ini.
Meskipun
tidak keliru sama sekali untuk memiliki pandangan seperti yang saya sebutkan di
atas, namun pada kenyataannya zaman Perjanjian Baru bukan zaman yang sama
sekali tidak mengenal peran seorang nabi, selain Yohanes Pembaptis dan Yesus
Kristus sebagaimana saya sebutkan di atas.
Dalam
Kisah Rasul misalnya disebutkan demikian: Pada waktu itu datanglah
beberapa nabi dari Yerusalem ke Antiokhia. Seorang dari mereka yang bernama Agabus
bangkit dan oleh kuasa Roh ia mengatakan, bahwa seluruh dunia akan ditimpa
bahaya kelaparan yang besar. Hal itu terjadi juga pada zaman Klaudius. (Kisah Rasul 11:27 dan 28)
Dari
ayat tersebut, kita diberitahu bahwa pada zaman Perjanjian Baru pun ada
beberapa orang yang dikenal sebagai nabi oleh jemaat pada waktu itu. Bahkan Kisah
Rasul mencatat ada beberapa nabi, lebih dari satu orang. Kita tidak tahu pasti
ada berapa jumlah keseluruhan dari nabi-nabi itu, tetapi yang kita tahu adalah
bahwa salah seorang dari nabi itu, yaitu yang bernama Agabus, mengatakan sesuatu
yang dapat kita persamakan dengan nubuat sebagaimana yang terjadi di era
Perjanjian Lama.
Perhatikan
bagaimana Agabus berkata-kata tentang sesuatu di masa depan di dalam kuasa Roh.
Ini memang pola yang mirip sekali dengan nabi-nabi di Perjanjian Lama, bukan?
Dan agaknya, tidak ada keberatan dari jemaat pada masa itu terhadap apa yang
dikatakan oleh Agabus. Kita tidak
mendapati suatu catatan di dalam Alkitab bahwa Agabus ternyata nabi palsu
atau ternyata apa yang ia katakan itu salah dan lain sebagainya, bukan?
Artinya, di zaman Perjanjian Baru pun, peran seorang nabi sebagaimana yang kita
kenal di zaman Perjanjian Lama, ternyata masih ada.
Dan
karena peran nabi seperti di era Perjanjian Lama masih ada, maka nubuat-nubuat
seperti yang terjadi dalam era Perjanjian Lama pun masih ada pula di zaman ketika
para rasul hidup. Itu sebabnya di dalam surat-surat Paulus maupun Petrus, masih
muncul beberapa kali istilah nubuat.
Apa yang dapat kita pahami dari istilah nubuat
di dalam zaman Perjanjian Baru?
Untuk
memahami pengertian nabi dan nubuat di dalam zaman Perjanjian Baru, maka kita
akan melihat beberapa ayat dalam PB dimana istilah-istilah tersebut muncul.
Menurut
Matius:
Maka pada mereka
genaplah nubuat
Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun
tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap. (Matius 13:14)
Di
dalam ayat ini, Matius mengacu kepada ucapan nabi Yesaya dan menganggap hal itu
sebagai suatu nubuat yang terjadi di zaman Perjanjian Baru. Tetapi apakah hal
ini dapat kita tarik sebagai suatu kesimpulan bahwa ucapan nabi Yesaya pada zaman
Perjanjian Lama hanya berlaku pada zaman Perjanjian Baru saja? Apakah Yesaya
semata-mata sedang berbicara tentang masa depan saja? Tentu tidak. Ketika
Yesaya mengucapkan perkataan yang berasal dari Tuhan, maka perkataan itu
berlaku baik ketika zaman Yesaya hidup, maupun di zaman ketika Matius hidup.
Dalam
ayat di atas, nubuat tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu ramalan yang
penggenapannya terjadi di masa depan saja. Apa yang diucapkan oleh Yesaya
adalah suatu kebenaran yang berlaku di setiap zaman. Oleh karena itu, dalam
bagian ini istilah
nubuat kita pahami sebagai ucapan Ilahi yang diberikan kepada seorang nabi
untuk disampaikan kepada umat Tuhan, tanpa mempersoalkan kapan ucapan itu akan
menjadi kenyataan.
Menurut
Paulus:
Kasih tidak
berkesudahan; nubuat
akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. (1 Korintus 13:8)
Di
dalam ayat ini, kita tidak mendapatkan gambaran tentang apakah isi dari suatu nubuat.
Yang kita dapatkan adalah gambaran bahwa nubuat itu tidak selamanya akan ada. Paulus
mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai nubuat itu, pada suatu saat akan
berakhir. Tidak selamanya akan ada nubuat.[1]
Paulus
tidak mengatakan bahwa nubuat sudah berakhir, yang Paulus katakan adalah nubuat
akan berakhir. Artinya, di zaman Paulus masih ada nubuat-nubuat yang terjadi
dan saya pikir kenyataan ini masih sejalan dengan fakta bahwa pada masa Paulus
hidup pun masih ada orang-orang yang disebut sebagai nabi seperti Agabus tadi.
Lalu, kapankah nubuat itu berakhir?
Agaknya,
selama era para rasul, nubuat itu memang belum berakhir. Sebab bukan hanya
Paulus yang menyebutkan sesuatu yang berhubungan dengan nubuat, rasul Petrus
pun sempat menyebut tentang nubuat.
Menurut
Petrus:
sebab tidak pernah nubuat
dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus
orang-orang berbicara atas nama Allah. (2
Petrus 1:21)
Bagi
Petrus, nubuat itu dihasilkan oleh dorongan Roh Kudus atau Roh Allah sendiri
dan melalui dorongan tersebut, seorang manusia dapat berbicara atas nama Allah
atau sebagai wakil Allah untuk berbicara kepada manusia. Berdasarkan ayat ini,
saya pikir kita mendapati pemahaman yang sama tentang apa itu nubuat, baik
menurut pandangan Perjanjian Lama, maupun menurut Perjanjian Baru, bukan?
Jika
Paulus dan Petrus sama-sama memandang nubuat sebagai sesuatu yang masih
terjadi, maka kapankah nubuat itu dikatakan berakhir seperti yang diutarakan
oleh Paulus dalam ayat sebelumnya?
Bagi
saya, jawaban atas pertanyaan ini, sangat mungkin dapat kita temukan di dalam
kitab yang paling akhir dari Alkitab, yaitu Kitab Wahyu.
Di
dalam Kitab Wahyu, rasul Yohanes pernah mengatakan:
Aku bersaksi kepada
setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: "Jika seorang
menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan
menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini.
Dan jikalau
seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab
nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari
kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini." (Wahyu 22:18 dan 19)
Dari perkataan dalam ayat tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa perkataan-perkataan
atau nubuat Ilahi adalah sesuatu yang sudah tidak boleh ditambah atau
dikurangkan lagi oleh siapapun. Ada konsekuensi yang menakutkan jika seorang
manusia menambahkan nubuat ataupun mengurang-ngurangkan perkataan-perkataan
Allah di dalam kitab nubuat tersebut.
Hal ini sekaligus mengindikasikan
bahwa setelah kitab Wahyu, sudah tidak boleh lagi ada orang yang mengaku
menerima nubuat dari Allah. Sebab jika
demikian, maka orang itu telah menambah-nambahkan sesuatu ke dalam nubuat Ilahi
yang diterima oleh Yohanes. Dan dengan demikian, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa pada titik itu, yaitu pada saat selesainya Kitab Wahyu
dituliskan, maka nubuat Ilahi sudah lengkap,
sudah berhenti dan tidak ada tambahan nubuat lagi.
Apabila pada zaman setelah Kitab Wahyu ini ditulis, datang seseorang yang
mengaku bahwa dia akan bernubuat sebab dia adalah nabi yang diutus Tuhan, maka
berdasarkan apa yang tertulis di dalam Kitab Wahyu tersebut, kita dapat
memastikan bahwa orang itu pasti adalah nabi palsu. Ia telah berdusta kepada
manusia dan kepadanya akan ditambahkan segala malapetaka sebagaimana yang
tertulis di dalam kitab Wahyu itu.
Setelah kitab Wahyu selesai, nubuat juga selesai. Yang kita lakukan
selanjutnya terhadap kitab nubuat yang telah selesai ditulis itu adalah membaca
isinya, merenungkannya, melakukannya dan juga mengajarkannya kepada orang lain.
Apakah nubuat dan pengajaran itu sama, ataukah berbeda?
Ada
ayat-ayat di dalam Alkitab yang memberi kesan bahwa antara bernubuat dan
mengajar tidak terdapat perbedaan. Misalnya perkataan Paulus berikut ini:
(1) Kejarlah kasih itu
dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat. (2)
Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia,
tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh
Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia. (3) Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada
manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur. (4) Siapa yang
berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat,
ia membangun Jemaat. (5) Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata
dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang
bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh,
kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun. (1 Korintus 14:1-5)
Dari
ayat di atas ini, kita belajar bahwa:
Pertama
Kemampuan
untuk bernubuat adalah sebuah karunia dari Roh Kudus. Hal ini sejalan dengan
ayat-ayat lain di dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru
yang telah kita bahas sebelumnya.
Kedua
Bernubuat
itu artinya kita berkata-kata kepada manusia, untuk membangun, menasihati dan
menghibur manusia lain. Hal ini juga sejalan dengan pembahasan kita yang
sebelumnya tentang nubuat (lihat kisah Azarya dan Asa di atas). Dan pada bagian
ini kita barangkali dapat melihat adanya kemiripan antara bernubuat dan
mengajar.
Ketiga
Bernubuat
itu membangun jemaat, sebagai kontras dari berbahasa roh yang hanya membangun
diri sendiri. Sehingga pada bagian ini pun kita kembali melihat adanya kemiripan antara bernubuat dan mengajar.
Dan karena melalui nubuat, orang lain dapat dibangun kerohaniannya , maka
Paulus lebih mendorong orang untuk bernubuat ketimbang berbahasa roh. Bagi
Paulus bernubuat lebih berharga daripada berbahasa roh.
Dari
apa yang kita baca di atas, kita melihat bahwa apa yang dicapai oleh nubuat,
yaitu pembangunan jemaat, sangat mirip sekali dengan apa yang dapat dicapai
melalui pengajaran. Sehingga cukup beralasan apabila ada anggapan bahwa
bernubuat dan mengajar Firman Tuhan atau berkhotbah itu adalah tindakan yang
sama.
Apalagi
jika kita membaca perkataan Paulus berikut ini: Jadi, saudara-saudara,
jika aku datang kepadamu dan berkata-kata dengan bahasa roh, apakah gunanya itu
bagimu, jika aku tidak menyampaikan kepadamu penyataan Allah atau pengetahuan atau nubuat
atau pengajaran? (1 Korintus 14:6)
Dalam
ayat di atas, nubuat disejajarkan dengan pengajaran dan penyataan Allah dan
pengetahuan, sehingga sekali lagi, cukup beralasan untuk menganggap bahwa antara
bernubuat dengan mengajar memiliki kesamaan.
AKAN
TETAPI, di dalam surat yang lain, Paulus mengatakan hal yang seperti ini: (6) Demikianlah
kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang
dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah
kita melakukannya sesuai dengan iman kita. (7) Jika karunia untuk melayani,
baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; (Roma 12:6, 7)
Sulit
untuk tidak sampai pada kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara bernubuat
dan mengajar, jika ditinjau dari sudut pandang rasul Paulus dalam surat Roma
tersebut. Sebab dengan sangat jelas Paulus membedakan antara karunia untuk
bernubuat dan karunia untuk mengajar. Sehingga meskipun ada hal-hal yang sangat
mirip di antara keduanya, tetapi melalui surat Roma tadi, kita tidak dapat
memaksakan diri untuk mengatakan bahwa bernubuat dan mengajar itu adalah dua
hal yang sama.
Oleh karena itu, jika bernubuat dan mengajar itu adalah dua hal
yang berbeda, lantas dimanakah letak perbedaannya?
Pertanyaan
semacam ini telah direnungkan oleh para Teolog Kristen, yaitu mereka-mereka
yang memiliki kesungguhan hati untuk memikirkan tentang apa yang dikatakan oleh
Firman Tuhan.
Wayne
Grudem adalah seorang profesor Teologi di Phoenix
Seminary, dalam salah satu bukunya ia mengatakan: As far as we can tell, all New Testament phophecy was based on this
kind of spontaneous prompting from the Holy Spirit. Unless a person receives a
spontaneous revelation from God, there is no prophecy. (Wayne Grudem, Systematic Theology, 1058)
Melalui
kalimat tersebut, Grudem menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan nubuat,
yaitu suatu dorongan spontan dari Roh Kudus ataupun suatu penyataan spontan
dari Allah tentang suatu hal. Kita sudah membahas hal ini di atas dan kita
setuju dengan apa yang dikatakan oleh Grudem pada bagian ini.
Tapi
lalu Grudem melanjutkan:
By contrast, no human speech act that is
called a “teaching” or done by a “teacher” or described by the verb “teach” is
ever said to be based on a “revelation” in the New Testament. Rather,
“teaching” is often simply an explanation or application of Scripture or a
repetition and explanation of apostolic instructions. It is what we would call
“Bible teaching” or “preaching” today.
Menurut
Grudem, mengajar itu justru memiliki pengertian yang sangat berbeda (kontras) dengan
bernubuat. Mengajar adalah suatu kegiatan untuk memberi penjelasan atau
penerapan atau pengulangan atau penegasan dari perintah-perintah yang sudah
diberikan terlebih dahulu oleh para rasul maupun penulis Perjanjian Lama.
Dalam
pandangannya, Grudem mempersamakan antara aktivitas mengajar dan berkhotbah,
antara Bible teaching dan Bible preaching.
Di
dalam 1 Timotius 4:11 dan 6:2, Paulus meminta kepada Timotius untuk mengajar,
bukan untuk bernubuat. Di dalam 1 Koristus 4:17 ada tertulis demikian: Justru itulah
sebabnya aku mengirimkan kepadamu Timotius, yang adalah anakku yang kekasih dan
yang setia dalam Tuhan. Ia akan memperingatkan kamu akan hidup yang kuturuti
dalam Kristus Yesus, seperti yang kuajarkan di mana-mana dalam setiap jemaat. (1 Korintus 4:17)
Paulus
memiliki perhatian yang besar sekali terhadap pengajaran, ia tidak pernah pergi
kemana-mana untuk bernubuat. Paulus pergi kemana-mana untuk mengajar jemaat agar
mereka mengerti Firman Tuhan.
Jika
dalam bagian sebelumnya kita melihat bagaimana Paulus menganggap bahwa bernubuat
itu lebih penting daripada berbahasa roh, maka di dalam bagian
ini kita melihat bahwa bagi Paulus, mengajar adalah suatu pelayanan yang bahkan lebih penting
daripada bernubuat.
Apa
yang Paulus lakukan ini juga sama seperti apa yang Yesus Kristus sendiri
lakukan atau perintahkan. Alkitab mengajarkan pada kita bagaimana Yesus sangat
giat di dalam mengajar dan memberitakan Firman. Dan di dalam Amanat Agung pun,
Tuhan Yesus berkata:
Karena itu pergilah,
jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak
dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa
sampai kepada akhir zaman. (Matius 28:19-20)
Tuhan Yesus tidak meminta murid-murid-Nya untuk bernubuat tetapi untuk
mengajar. Nubuat, sekalipun penting, sekalipun berharga, tetapi tidak lebih
utama daripada mengajar. Nubuat, seperti yang dikatakan oleh Paulus, tidak
selamanya ada melainkan akan berakhir. Dan hal itu menjadi kenyataan tidak lama
setelahnya, yaitu pada saat rasul Yohanes menutup tulisannya dalam Kitab Wahyu.
AKHIR
KATA
Apa
yang sering kita dengar di dalam pergaulan sehari-hari kita sebagai orang
Kristen ternyata tidak selalu merupakan hal yang sudah benar-benar kita pahami.
Tetapi semoga melalui tulisan singkat yang penuh keterbatasan ini, kita
setidaknya mendapat sudut pandang yang berguna di dalam memahami arti dari
istilah nubuat di dalam Alkitab.
Di
zaman gereja modern seperti sekarang ini, tidak jarang kita mendengar
orang-orang tertentu bernubuat tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan,
baik yang ada hubungannya dengan gereja, dengan dunia ataupun dengan
peristiwa-peristiwa lain. Dan biasanya hal-hal semacam itu menarik banyak
sekali minat masyarakat untuk mengetahuinya.
Tetapi
setelah kita membaca apa yang Alkitab sendiri tuturkan, kita sekarang tahu
bahwa hal yang demikian justru berbeda sekali dengan apa yang diajarkan oleh
Paulus, Yohanes dan bahkan oleh Yesus Kristus sekalipun.
Mengapa bernubuat terlihat lebih menarik daripada mengajar?
Bernubuat
memang terlihat sebagai kegiatan yang sangat menarik, karena melibatkan unsur
supranatural dan dapat membawa sang “nabi modern” kepada tingkat popularitas
yang tinggi.
Bernubuat
memang terlihat menarik karena salah satu ciri dari orang yang belum
diselamatkan adalah ketertarikan mereka yang besar sekali terhadap hal-hal yang
bersifat mistikal dan hal-hal yang berhubungan dengan ramalan akan masa depan, [2] tanpa
sedikitpun mereka sadari bahwa hal semacam itu justru merupakan hal yang amat dibenci
oleh Tuhan. [3]
Bernubuat,
seperti yang dikatakan oleh Wayne Grudem, merupakan suatu aktivitas yang
bersifat spontan. Akibatnya, siapa pun bisa mengaku telah menerima pesan dari
Allah secara spontan entah melalui mimpi, entah melalui bisikan atau suara dari
langit atau kucing sebelah rumah yang secara ajaib tiba-tiba berbicara padanya
dan lain sebagainya. Itu sebabnya, bahkan di zaman Perjanjian Lama pun banyak
nabi-nabi palsu yang bermunculan. [4]
Di
sisi lain, mengajar adalah aktivitas yang sangat berbeda dengan bernubuat.
Tidak ada sifat spontan di dalam kegiatan ajar mengajar. Seorang pengajar harus
terlebih dahulu belajar sebelum ia sendiri pergi untuk mengajar. Sementara
seorang yang mengaku sedang bernubuat dapat berbicara sesukanya dan memberi “label
ilahi” terhadap ucapannya, seorang pengajar tidak dapat berbicara sesukanya
seperti itu. Ia harus punya dasar yang valid
dari mana sumber atau bahan pengajarannya tersebut.
Seorang
pengajar Alkitab, harus sungguh-sungguh belajar Alkitab sehingga setiap orang
yang belajar daripadanya dapat membuktikan sendiri apakah yang ia ajarkan itu
merupakan pengajaran yang sehat atau tidak. Ada objektivitas dan
pertanggungjawaban di dalam aktivitas mengajar. [5]
Pilihan
ada di tangan kita, apakah kita lebih tertarik pada hal-hal supranatural yang
justru berisiko akan menuai murka Allah? Ataukah kita lebih tertarik untuk
menjadi murid Kristus yang setia belajar mengenal Dia melalui Firman-Nya?
Kiranya
Tuhan menolong kita memilih apa yang benar. Amin.
Catatan
[1] Memang ayat ini tidak semata-mata ingin menginformasikan bahwa nubuat pada prinsipnya akan berakhir saja. Ayat ini sebetulnya terutama ingin mengajak jemaat melihat bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada hal-hal yang menakjubkan seperti nubuat, bahasa roh dan pengetahuan. Sesuatu yang lebih penting itu adalah kasih. Dibandingkan dengan kasih, nubuat tidak ada apa-apanya. Sebab nubuat akan berakhir, tetapi kasih tidak. Namun untuk keperluan pembahasan saya dalam tema nubuat ini, saya mengajak kita melihat dari sisi bahwa nubuat itu memang akan berakhir, saya tidak masuk ke dalam pembahasan dimana nubuat dibandingkan dengan kasih.
[1] Memang ayat ini tidak semata-mata ingin menginformasikan bahwa nubuat pada prinsipnya akan berakhir saja. Ayat ini sebetulnya terutama ingin mengajak jemaat melihat bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada hal-hal yang menakjubkan seperti nubuat, bahasa roh dan pengetahuan. Sesuatu yang lebih penting itu adalah kasih. Dibandingkan dengan kasih, nubuat tidak ada apa-apanya. Sebab nubuat akan berakhir, tetapi kasih tidak. Namun untuk keperluan pembahasan saya dalam tema nubuat ini, saya mengajak kita melihat dari sisi bahwa nubuat itu memang akan berakhir, saya tidak masuk ke dalam pembahasan dimana nubuat dibandingkan dengan kasih.
[2] Sebagai kontrasnya, salah satu ciri dari orang yang sudah diselamatkan adalah ketertarikannya yang besar terhadap Firman Tuhan.
[3] Mereka tidak sadar karena mereka sendiri memang tidak tertarik untuk mengetahui apa yang sesungguhnya Allah katakan di dalam Alkitab.
[4] Itu sebabnya pula, Allah membuat batasan untuk menguji apakah seorang nabi itu asli ataukah palsu.
[5] Sementara di dalam aktivitas bernubuat, sangat kental dengan sifat subjektif karena faktor sulitnya membuktikan apakah seseorang datang dari Allah ataukah bukan.