Friday, May 22, 2020

Apakah yang dimaksud dengan istilah “nubuat” di dalam Alkitab?

Oleh: Izar Tirta




Beberapa pertanyaan yang dibahas di dalam tulisan ini adalah:
Pengertian apa yang terkandung di dalam kata “nubuat” tersebut?
Apakah pengertian nubuat menurut Perjanjian Lama?
Apakah pengertian nubuat menurut Perjanjian Baru?
Paulus mengatakan bahwa nubuat akan berakhir, kapankah nubuat itu berakhir?
Apakah nubuat itu sama dengan pengajaran? (Prophecy vs teaching)
Apabila nubuat dan pengajaran tidak sama, maka di manakah letak perbedaannya?
Jika nubuat dan pengajaran tidak sama, maka yang manakah yang lebih diutamakan?
Jika pengajaran lebih utama daripada nubuat, lalu mengapa bernubuat lebih menarik ketimbang mengajar?

Nubuat adalah istilah yang cukup sering muncul di dalam kosa kata perbincangan kita sebagai orang Kristen. Meskipun demikian masih ada sebagian orang Kristen yang punya pemahaman kurang tepat terhadap istilah tersebut. Mereka menyamakan istilah nubuat dengan istilah meramal atau mengatakan tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan.

Di dalam nubuat memang adakalanya seorang nabi menyampaikan pesan tentang sesuatu peristiwa yang belum terjadi, namun apabila kita menganggap istilah nubuat itu sama dengan meramal, maka pandangan kita terhadap istilah nubuat itu menjadi kurang tepat atau dapat dikatakan terlalu sempit.

Apabila kita membaca 2 Tawarikh 9:29 dalam bahasa aslinya, maka istilah “nubuat” yang ada dalam ayat itu memakai istilah Ibrani nevuat. Sedangkan dalam bahasa Inggris istilah yang dipakai adalah prophecy.

Sebagaimana dapat kita lihat, istilah nevuat itu sendiri memiliki pertalian yang dekat sekali dengan istilah nabi. Sama seperti istilah prophecy juga memiliki kedekatan dengan istilah prophet. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa nubuat atau nevuat adalah istilah yang mengacu pada aktivitas yang dilakukan oleh seorang nabi.

Lantas pertanyaan adalah, aktivitas apakah yang biasa dilakukan oleh seorang nabi?

Kita akan menelusuri jawaban atas pertanyaan di atas dengan cara melakukan penelusuran singkat terhadap kata-kata yang berhubungan dengan istilah “nubuat” dan “nabi,” baik di dalam Perjanjian Lama maupun di dalam Perjanjian Baru.


Istilah nubuat di dalam Perjanjian Lama

Karena istilah nubuat memiliki keterkaitan yang tak terpisahkan dengan pemahaman kita tentang nabi, maka sebelum kita melihat bagaimana istilah nubuat dipakai di dalam Perjanjian Lama, kita akan terlebih dahulu melihat peranan seorang nabi di hadapan Tuhan.

Di dalam Kitab Ulangan ada tertulis demikian: seorang nabi akan Kubangkitkan bagi mereka dari antara saudara mereka, seperti engkau ini; Aku akan menaruh firman-Ku dalam mulutnya, dan ia akan mengatakan kepada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. (Ulangan 18:18)

Dari ayat itu jelas terbaca, bahwa bukan manusia yang memilih untuk menjadi seorag nabi melainkan Allah-lah yang akan memanggil dia dan memberi dia tanggung jawab sebagai nabi. Setelah itu, Allah akan menaruh firman-Nya di dalam mulut sang nabi. Dan tugas selanjutnya dari nabi itu adalah menyampaikan firman Tuhan tadi kepada orang-orang lain.

Jadi seorang nabi tidak muncul sendiri atas kehendaknya sendiri, melainkan dipanggil oleh Tuhan. Dan seorang nabi tidak berkata-kata dari dirinya sendiri, melainkan memperkatakan apa yang Tuhan ingin agar ia katakan kepada manusia.

Di dalam 2 Tawarikh 15, disebutkan ada seorang bernama Azarya bin Oded yang dihinggapi oleh Roh Allah (2 Tawarikh 15:1).

Kemudian setelah Roh Allah memenuhi dirinya, Azarya pun datang menemui raja Yehuda yang bernama Asa, lalu Azarya kemudian berkata kepada Asa:

"Dengarlah kepadaku, Asa dan seluruh Yehuda dan Benyamin! TUHAN beserta dengan kamu bilamana kamu beserta dengan Dia. Bilamana kamu mencari-Nya, Ia berkenan ditemui olehmu, tetapi bilamana kamu meninggalkan-Nya, kamu akan ditinggalkan-Nya. Lama sekali Israel tanpa Allah yang benar, tanpa ajaran dari pada imam dan tanpa hukum. Tetapi dalam kesesakan mereka berbalik kepada TUHAN, Allah orang Israel. Mereka mencari-Nya, dan Ia berkenan ditemui oleh mereka. Pada zaman itu tidak dapat orang pergi dan pulang dengan selamat, karena terdapat kekacauan yang besar di antara segenap penduduk daerah-daerah. Bangsa menghancurkan bangsa, kota menghancurkan kota, karena Allah mengacaukan mereka dengan berbagai-bagai kesesakan. Tetapi kamu ini, kuatkanlah hatimu, jangan lemah semangatmu, karena ada upah bagi usahamu!" (2 Tawarikh 15:2-7)

Apabila kita perhatikan, perkataan Azarya terhadap Asa di atas sebetulnya merupakan suatu pesan yang bersifat nasihat dan penghiburan. Tidak ada teguran yang spesifik, tidak ada ramalan yang spesifik di dalam pesan itu, melainkan berupa suatu pesan pengharapan yang cukup general (umum) serta dapat segera diaplikasikan atau dinikmati oleh Asa apabila ia mau mendengarkan pesan itu.

Ditinjau dari aspek waktu, pesan Azarya kepada Asa ini, meliputi 3 aspek yaitu masa sekarang, masa lalu dan masa yang akan datang. Pada masa sekarang, Asa punya dua pilihan yaitu apakah Asa mencari Dia, ataukah meninggalkan Dia. Ada konsekuensi untuk masing-masing pilihan tersebut. Pada masa lalu, Asa juga diingatkan bagaimana sikap bangsa Israel kepada Allah dan bagaimana sikap Allah terhadap mereka. Lalu pada masa yang akan datang, Asa diberi suatu pengharapan akan upah bagi segala usahanya di dalam Tuhan.

Dan menurut Alkitab, respon Asa adalah sebagai berikut: Ketika Asa mendengar perkataan nubuat yang diucapkan oleh nabi Azarya bin Oded itu, ia menguatkan hatinya dan menyingkirkan dewa-dewa kejijikan dari seluruh tanah Yehuda dan Benyamin dan dari kota-kota yang direbutnya di pegunungan Efraim. Ia membaharui mezbah TUHAN yang ada di depan balai Bait Suci TUHAN. (2 Tawarikh 15:8)

Jadi dari apa yang yang kita baca tentang Azarya dan Asa ini, kita tiba pada kesimpulan pertama dari nubuat yaitu ditinjau dari aspek waktu, sebuah nubuat tidak terbatas hanya pada berita tentang masa depan saja, melainkan berita tentang masa sekarang dan juga tentang masa lalu.

Lalu perhatikan pula bahwa bagi Asa, apa yang dikatakan oleh Azarya bukanlah sebuah perkataan biasa melainkan sebuah perkataan nubuat yang disampaikan oleh Tuhan kepadanya melalui sang nabi. Sehingga melalui hal ini kita sampai pada kesimpulan kedua, yaitu bahwa menurut pandangan Perjanjian Lama, nubuat adalah perkataan-perkataan yang disampaikan oleh seorang nabi, setelah nabi itu mendapat pesan dari Allah.

Meskipun demikian, Perjanjian Lama juga memakai istilah nubuat untuk sebuah pesan yang disampaikan oleh seorang yang mengaku nabi, namun pada kenyataanya bukan nabi yang sejati. Peristiwa itu tercatat demikian: Karena kuketahui benar, bahwa Allah tidak mengutus dia. Ia mengucapkan nubuat itu terhadap aku, karena disuap Tobia dan Sanbalat. (Nehemia 6:12)

Sehingga dari ayat di atas, kita sampai pada kesimpulan ketiga, yaitu bahwa istilah nubuat dapat pula dikenakan kepada perkataan-perkataan nabi palsu, yaitu orang yang mengaku sebagai nabi padahal Allah sendiri tidak pernah mengutus dia untuk mengatakan sesuatu.

Itulah sebabnya, Allah ber-Firman kepada umat-Nya untuk berhati-hati terhadap perkataan-perkataan dari orang yang mengaku sebagai nabi padahal sebetulnya ia bukan membawa pesan dari Allah yang sejati. Allah bahkan memberikan suatu petunjuk bagi kita untuk menilai, apakah seorang nabi merupakan nabi yang sejati, ataukah ternyata seorang nabi palsu.

(20) Tetapi seorang nabi, yang terlalu berani untuk mengucapkan demi nama-Ku perkataan yang tidak Kuperintahkan untuk dikatakan olehnya, atau yang berkata demi nama allah lain, nabi itu harus mati. (21) Jika sekiranya kamu berkata dalam hatimu: Bagaimanakah kami mengetahui perkataan yang tidak difirmankan TUHAN? (22)  apabila seorang nabi berkata demi nama TUHAN dan perkataannya itu tidak terjadi dan tidak sampai, maka itulah perkataan yang tidak difirmankan TUHAN; dengan terlalu berani nabi itu telah mengatakannya, maka janganlah gentar kepadanya." (Ulangan 18:20-22)

Berdasarkan ayat-ayat Firman Tuhan di atas, kita kembali melihat bahwa di dalam Perjanjian Lama rupanya dapat terjadi pula ketika seseorang mengaku-ngaku sebagai nabi Allah, namun ternyata terlalu berani mengucapkan demi nama Tuhan perkataan yang tidak diperintahkan oleh Tuhan untuk dikatakan olehnya. Atau ada pula seorang yang mengaku nabi tetapi perkataan yang ia bawa bukanlah perkataan dari Yahwe melainkan perkataan dari allah lain.

Terhadap nabi semacam itu, Allah akan menjatuhkan hukuman mati. Dan kita sebagai umat, harus menguji perkataan sang nabi, jika perkataannya tidak terjadi, maka itu adalah perkataan yang tidak difirmankan oleh Tuhan.

Oleh karena itu, kita dapat tiba pada kesimpulan keempat, yaitu bahwa sebuah nubuat memang dapat berisi tentang peristiwa yang belum terjadi. Justru karena peristiwa itu belum terjadi, maka umat Tuhan dapat menguji kesejatian dari si nabi.

Jadi kalau kita summary-kan, pengertian nubuat dari Perjanjian Lama adalah: perkataan yang diucapkan oleh seorang nabi, baik yang berisi nasihat maupun penghiburan; baik yang berisi pesan tentang masa sekarang, masa lalu maupun tentang peristiwa yang akan datang. Adapun fungsi dari pesan tentang peristiwa yang akan datang adalah sebagai ujian untuk menentukan apakah seorang nabi merupakan nabi Allah yang sejati, ataukah nabi palsu.

Nabi Allah sejati, apabila mengatakan tentang sesuatu di masa yang akan datang, maka hal tersebut pasti akan terjadi. Sedangkan apabila seorang yang mengaku nabi mengatakan sesuatu di masa yang akan datang namun peristiwa itu tidak terjadi, maka ia adalah seorang nabi palsu.


Istilah nubuat di dalam Perjanjian baru

Istilah yang lebih populer untuk para utusan Tuhan di zaman Perjanjian Baru adalah rasul. Kalaupun istilah nabi mau kita kaitkan dengan era Perjanjian Baru maka biasanya istilah itu kita kenakan kepada Yohanes Pembaptis yang secara populer kita kenal sebagai nabi terakhir, atau kepada Yesus Kristus sendiri yang dalam kapasitas-Nya sebagai Mesias memegang jabatan sebagai imam, nabi dan raja.

Selain Yesus dan Yohanes Pembaptis, biasanya kita memahami nabi bukan sebagai seorang pribadi tertentu, melainkan lebih kepada fungsinya, dimana kita sebagai orang percaya yang juga harus menjalankan fungsi kenabian sama seperti Yesus telah lakukan, yaitu membawa pesan Allah kepada dunia yang berdosa ini.

Meskipun tidak keliru sama sekali untuk memiliki pandangan seperti yang saya sebutkan di atas, namun pada kenyataannya zaman Perjanjian Baru bukan zaman yang sama sekali tidak mengenal peran seorang nabi, selain Yohanes Pembaptis dan Yesus Kristus sebagaimana saya sebutkan di atas.

Dalam Kisah Rasul misalnya disebutkan demikian: Pada waktu itu datanglah beberapa nabi dari Yerusalem ke Antiokhia. Seorang dari mereka yang bernama Agabus bangkit dan oleh kuasa Roh ia mengatakan, bahwa seluruh dunia akan ditimpa bahaya kelaparan yang besar. Hal itu terjadi juga pada zaman Klaudius. (Kisah Rasul 11:27 dan 28)

Dari ayat tersebut, kita diberitahu bahwa pada zaman Perjanjian Baru pun ada beberapa orang yang dikenal sebagai nabi oleh jemaat pada waktu itu. Bahkan Kisah Rasul mencatat ada beberapa nabi, lebih dari satu orang. Kita tidak tahu pasti ada berapa jumlah keseluruhan dari nabi-nabi itu, tetapi yang kita tahu adalah bahwa salah seorang dari nabi itu, yaitu yang bernama Agabus, mengatakan sesuatu yang dapat kita persamakan dengan nubuat sebagaimana yang terjadi di era Perjanjian Lama.

Perhatikan bagaimana Agabus berkata-kata tentang sesuatu di masa depan di dalam kuasa Roh. Ini memang pola yang mirip sekali dengan nabi-nabi di Perjanjian Lama, bukan? Dan agaknya, tidak ada keberatan dari jemaat pada masa itu terhadap apa yang dikatakan oleh Agabus. Kita tidak mendapati suatu catatan di dalam Alkitab bahwa Agabus ternyata nabi palsu atau ternyata apa yang ia katakan itu salah dan lain sebagainya, bukan? Artinya, di zaman Perjanjian Baru pun, peran seorang nabi sebagaimana yang kita kenal di zaman Perjanjian Lama, ternyata masih ada.

Dan karena peran nabi seperti di era Perjanjian Lama masih ada, maka nubuat-nubuat seperti yang terjadi dalam era Perjanjian Lama pun masih ada pula di zaman ketika para rasul hidup. Itu sebabnya di dalam surat-surat Paulus maupun Petrus, masih muncul beberapa kali istilah nubuat.

Apa yang dapat kita pahami dari istilah nubuat
di dalam zaman Perjanjian Baru?

Untuk memahami pengertian nabi dan nubuat di dalam zaman Perjanjian Baru, maka kita akan melihat beberapa ayat dalam PB dimana istilah-istilah tersebut muncul.

Menurut Matius:
Maka pada mereka genaplah nubuat Yesaya, yang berbunyi: Kamu akan mendengar dan mendengar, namun tidak mengerti, kamu akan melihat dan melihat, namun tidak menanggap. (Matius 13:14)

Di dalam ayat ini, Matius mengacu kepada ucapan nabi Yesaya dan menganggap hal itu sebagai suatu nubuat yang terjadi di zaman Perjanjian Baru. Tetapi apakah hal ini dapat kita tarik sebagai suatu kesimpulan bahwa ucapan nabi Yesaya pada zaman Perjanjian Lama hanya berlaku pada zaman Perjanjian Baru saja? Apakah Yesaya semata-mata sedang berbicara tentang masa depan saja? Tentu tidak. Ketika Yesaya mengucapkan perkataan yang berasal dari Tuhan, maka perkataan itu berlaku baik ketika zaman Yesaya hidup, maupun di zaman ketika Matius hidup.

Dalam ayat di atas, nubuat tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu ramalan yang penggenapannya terjadi di masa depan saja. Apa yang diucapkan oleh Yesaya adalah suatu kebenaran yang berlaku di setiap zaman. Oleh karena itu, dalam bagian ini istilah nubuat kita pahami sebagai ucapan Ilahi yang diberikan kepada seorang nabi untuk disampaikan kepada umat Tuhan, tanpa mempersoalkan kapan ucapan itu akan menjadi kenyataan.

Menurut Paulus:
Kasih tidak berkesudahan; nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti; pengetahuan akan lenyap. (1 Korintus 13:8)

Di dalam ayat ini, kita tidak mendapatkan gambaran tentang apakah isi dari suatu nubuat. Yang kita dapatkan adalah gambaran bahwa nubuat itu tidak selamanya akan ada. Paulus mengatakan bahwa apa yang disebut sebagai nubuat itu, pada suatu saat akan berakhir. Tidak selamanya akan ada nubuat.[1]

Paulus tidak mengatakan bahwa nubuat sudah berakhir, yang Paulus katakan adalah nubuat akan berakhir. Artinya, di zaman Paulus masih ada nubuat-nubuat yang terjadi dan saya pikir kenyataan ini masih sejalan dengan fakta bahwa pada masa Paulus hidup pun masih ada orang-orang yang disebut sebagai nabi seperti Agabus tadi.

Lalu, kapankah nubuat itu berakhir?

Agaknya, selama era para rasul, nubuat itu memang belum berakhir. Sebab bukan hanya Paulus yang menyebutkan sesuatu yang berhubungan dengan nubuat, rasul Petrus pun sempat menyebut tentang nubuat.

Menurut Petrus:
sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. (2 Petrus 1:21)

Bagi Petrus, nubuat itu dihasilkan oleh dorongan Roh Kudus atau Roh Allah sendiri dan melalui dorongan tersebut, seorang manusia dapat berbicara atas nama Allah atau sebagai wakil Allah untuk berbicara kepada manusia. Berdasarkan ayat ini, saya pikir kita mendapati pemahaman yang sama tentang apa itu nubuat, baik menurut pandangan Perjanjian Lama, maupun menurut Perjanjian Baru, bukan?

Jika Paulus dan Petrus sama-sama memandang nubuat sebagai sesuatu yang masih terjadi, maka kapankah nubuat itu dikatakan berakhir seperti yang diutarakan oleh Paulus dalam ayat sebelumnya?

Bagi saya, jawaban atas pertanyaan ini, sangat mungkin dapat kita temukan di dalam kitab yang paling akhir dari Alkitab, yaitu Kitab Wahyu.

Di dalam Kitab Wahyu, rasul Yohanes pernah mengatakan:
Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: "Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini." (Wahyu 22:18 dan 19)

Dari perkataan dalam ayat tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa perkataan-perkataan atau nubuat Ilahi adalah sesuatu yang sudah tidak boleh ditambah atau dikurangkan lagi oleh siapapun. Ada konsekuensi yang menakutkan jika seorang manusia menambahkan nubuat ataupun mengurang-ngurangkan perkataan-perkataan Allah di dalam kitab nubuat tersebut.

Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa setelah kitab Wahyu, sudah tidak boleh lagi ada orang yang mengaku menerima nubuat dari Allah. Sebab jika demikian, maka orang itu telah menambah-nambahkan sesuatu ke dalam nubuat Ilahi yang diterima oleh Yohanes. Dan dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pada titik itu, yaitu pada saat selesainya Kitab Wahyu dituliskan, maka nubuat Ilahi sudah lengkap, sudah berhenti dan tidak ada tambahan nubuat lagi.

Apabila pada zaman setelah Kitab Wahyu ini ditulis, datang seseorang yang mengaku bahwa dia akan bernubuat sebab dia adalah nabi yang diutus Tuhan, maka berdasarkan apa yang tertulis di dalam Kitab Wahyu tersebut, kita dapat memastikan bahwa orang itu pasti adalah nabi palsu. Ia telah berdusta kepada manusia dan kepadanya akan ditambahkan segala malapetaka sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Wahyu itu.

Setelah kitab Wahyu selesai, nubuat juga selesai. Yang kita lakukan selanjutnya terhadap kitab nubuat yang telah selesai ditulis itu adalah membaca isinya, merenungkannya, melakukannya dan juga mengajarkannya kepada orang lain.

Apakah nubuat dan pengajaran itu sama, ataukah berbeda?

Ada ayat-ayat di dalam Alkitab yang memberi kesan bahwa antara bernubuat dan mengajar tidak terdapat perbedaan. Misalnya perkataan Paulus berikut ini:

(1) Kejarlah kasih itu dan usahakanlah dirimu memperoleh karunia-karunia Roh, terutama karunia untuk bernubuat. (2) Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorangpun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia. (3) Tetapi siapa yang bernubuat, ia berkata-kata kepada manusia, ia membangun, menasihati dan menghibur. (4) Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat. (5) Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun. (1 Korintus 14:1-5)

Dari ayat di atas ini, kita belajar bahwa:
Pertama
Kemampuan untuk bernubuat adalah sebuah karunia dari Roh Kudus. Hal ini sejalan dengan ayat-ayat lain di dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang telah kita bahas sebelumnya.

Kedua
Bernubuat itu artinya kita berkata-kata kepada manusia, untuk membangun, menasihati dan menghibur manusia lain. Hal ini juga sejalan dengan pembahasan kita yang sebelumnya tentang nubuat (lihat kisah Azarya dan Asa di atas). Dan pada bagian ini kita barangkali dapat melihat adanya kemiripan antara bernubuat dan mengajar.

Ketiga
Bernubuat itu membangun jemaat, sebagai kontras dari berbahasa roh yang hanya membangun diri sendiri. Sehingga pada bagian ini pun kita kembali melihat adanya kemiripan antara bernubuat dan mengajar. Dan karena melalui nubuat, orang lain dapat dibangun kerohaniannya , maka Paulus lebih mendorong orang untuk bernubuat ketimbang berbahasa roh. Bagi Paulus bernubuat lebih berharga daripada berbahasa roh.

Dari apa yang kita baca di atas, kita melihat bahwa apa yang dicapai oleh nubuat, yaitu pembangunan jemaat, sangat mirip sekali dengan apa yang dapat dicapai melalui pengajaran. Sehingga cukup beralasan apabila ada anggapan bahwa bernubuat dan mengajar Firman Tuhan atau berkhotbah itu adalah tindakan yang sama.

Apalagi jika kita membaca perkataan Paulus berikut ini: Jadi, saudara-saudara, jika aku datang kepadamu dan berkata-kata dengan bahasa roh, apakah gunanya itu bagimu, jika aku tidak menyampaikan kepadamu penyataan Allah atau pengetahuan atau nubuat atau pengajaran? (1 Korintus 14:6)

Dalam ayat di atas, nubuat disejajarkan dengan pengajaran dan penyataan Allah dan pengetahuan, sehingga sekali lagi, cukup beralasan untuk menganggap bahwa antara bernubuat dengan mengajar memiliki kesamaan.

AKAN TETAPI, di dalam surat yang lain, Paulus mengatakan hal yang seperti ini: (6) Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. (7) Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; (Roma 12:6, 7)

Sulit untuk tidak sampai pada kesimpulan bahwa terdapat perbedaan antara bernubuat dan mengajar, jika ditinjau dari sudut pandang rasul Paulus dalam surat Roma tersebut. Sebab dengan sangat jelas Paulus membedakan antara karunia untuk bernubuat dan karunia untuk mengajar. Sehingga meskipun ada hal-hal yang sangat mirip di antara keduanya, tetapi melalui surat Roma tadi, kita tidak dapat memaksakan diri untuk mengatakan bahwa bernubuat dan mengajar itu adalah dua hal yang sama.

Oleh karena itu, jika bernubuat dan mengajar itu adalah dua hal yang berbeda, lantas dimanakah letak perbedaannya?

Pertanyaan semacam ini telah direnungkan oleh para Teolog Kristen, yaitu mereka-mereka yang memiliki kesungguhan hati untuk memikirkan tentang apa yang dikatakan oleh Firman Tuhan.

Wayne Grudem adalah seorang profesor Teologi di Phoenix Seminary, dalam salah satu bukunya ia mengatakan: As far as we can tell, all New Testament phophecy was based on this kind of spontaneous prompting from the Holy Spirit. Unless a person receives a spontaneous revelation from God, there is no prophecy.  (Wayne Grudem, Systematic Theology, 1058)

Melalui kalimat tersebut, Grudem menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan nubuat, yaitu suatu dorongan spontan dari Roh Kudus ataupun suatu penyataan spontan dari Allah tentang suatu hal. Kita sudah membahas hal ini di atas dan kita setuju dengan apa yang dikatakan oleh Grudem pada bagian ini.

Tapi lalu Grudem melanjutkan:
By contrast, no human speech act that is called a “teaching” or done by a “teacher” or described by the verb “teach” is ever said to be based on a “revelation” in the New Testament. Rather, “teaching” is often simply an explanation or application of Scripture or a repetition and explanation of apostolic instructions. It is what we would call “Bible teaching” or “preaching” today.

Menurut Grudem, mengajar itu justru memiliki pengertian yang sangat berbeda (kontras) dengan bernubuat. Mengajar adalah suatu kegiatan untuk memberi penjelasan atau penerapan atau pengulangan atau penegasan dari perintah-perintah yang sudah diberikan terlebih dahulu oleh para rasul maupun penulis Perjanjian Lama.

Dalam pandangannya, Grudem mempersamakan antara aktivitas mengajar dan berkhotbah, antara Bible teaching dan Bible preaching.

Di dalam 1 Timotius 4:11 dan 6:2, Paulus meminta kepada Timotius untuk mengajar, bukan untuk bernubuat. Di dalam 1 Koristus 4:17 ada tertulis demikian: Justru itulah sebabnya aku mengirimkan kepadamu Timotius, yang adalah anakku yang kekasih dan yang setia dalam Tuhan. Ia akan memperingatkan kamu akan hidup yang kuturuti dalam Kristus Yesus, seperti yang kuajarkan di mana-mana dalam setiap jemaat. (1 Korintus 4:17)

Paulus memiliki perhatian yang besar sekali terhadap pengajaran, ia tidak pernah pergi kemana-mana untuk bernubuat. Paulus pergi kemana-mana untuk mengajar jemaat agar mereka mengerti Firman Tuhan.

Jika dalam bagian sebelumnya kita melihat bagaimana Paulus menganggap bahwa bernubuat itu lebih penting daripada berbahasa roh, maka di dalam bagian ini kita melihat bahwa bagi Paulus, mengajar adalah suatu pelayanan yang bahkan lebih penting daripada bernubuat.

Apa yang Paulus lakukan ini juga sama seperti apa yang Yesus Kristus sendiri lakukan atau perintahkan. Alkitab mengajarkan pada kita bagaimana Yesus sangat giat di dalam mengajar dan memberitakan Firman. Dan di dalam Amanat Agung pun, Tuhan Yesus berkata:

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman. (Matius 28:19-20)

Tuhan Yesus tidak meminta murid-murid-Nya untuk bernubuat tetapi untuk mengajar. Nubuat, sekalipun penting, sekalipun berharga, tetapi tidak lebih utama daripada mengajar. Nubuat, seperti yang dikatakan oleh Paulus, tidak selamanya ada melainkan akan berakhir. Dan hal itu menjadi kenyataan tidak lama setelahnya, yaitu pada saat rasul Yohanes menutup tulisannya dalam Kitab Wahyu.

AKHIR KATA

Apa yang sering kita dengar di dalam pergaulan sehari-hari kita sebagai orang Kristen ternyata tidak selalu merupakan hal yang sudah benar-benar kita pahami. Tetapi semoga melalui tulisan singkat yang penuh keterbatasan ini, kita setidaknya mendapat sudut pandang yang berguna di dalam memahami arti dari istilah nubuat di dalam Alkitab.

Di zaman gereja modern seperti sekarang ini, tidak jarang kita mendengar orang-orang tertentu bernubuat tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan, baik yang ada hubungannya dengan gereja, dengan dunia ataupun dengan peristiwa-peristiwa lain. Dan biasanya hal-hal semacam itu menarik banyak sekali minat masyarakat untuk mengetahuinya.

Tetapi setelah kita membaca apa yang Alkitab sendiri tuturkan, kita sekarang tahu bahwa hal yang demikian justru berbeda sekali dengan apa yang diajarkan oleh Paulus, Yohanes dan bahkan oleh Yesus Kristus sekalipun.

Mengapa bernubuat terlihat lebih menarik daripada mengajar?

Bernubuat memang terlihat sebagai kegiatan yang sangat menarik, karena melibatkan unsur supranatural dan dapat membawa sang “nabi modern” kepada tingkat popularitas yang tinggi.

Bernubuat memang terlihat menarik karena salah satu ciri dari orang yang belum diselamatkan adalah ketertarikan mereka yang besar sekali terhadap hal-hal yang bersifat mistikal dan hal-hal yang berhubungan dengan ramalan akan masa depan, [2] tanpa sedikitpun mereka sadari bahwa hal semacam itu justru merupakan hal yang amat dibenci oleh Tuhan. [3]

Bernubuat, seperti yang dikatakan oleh Wayne Grudem, merupakan suatu aktivitas yang bersifat spontan. Akibatnya, siapa pun bisa mengaku telah menerima pesan dari Allah secara spontan entah melalui mimpi, entah melalui bisikan atau suara dari langit atau kucing sebelah rumah yang secara ajaib tiba-tiba berbicara padanya dan lain sebagainya. Itu sebabnya, bahkan di zaman Perjanjian Lama pun banyak nabi-nabi palsu yang bermunculan. [4]

Di sisi lain, mengajar adalah aktivitas yang sangat berbeda dengan bernubuat. Tidak ada sifat spontan di dalam kegiatan ajar mengajar. Seorang pengajar harus terlebih dahulu belajar sebelum ia sendiri pergi untuk mengajar. Sementara seorang yang mengaku sedang bernubuat dapat berbicara sesukanya dan memberi “label ilahi” terhadap ucapannya, seorang pengajar tidak dapat berbicara sesukanya seperti itu. Ia harus punya dasar yang valid dari mana sumber atau bahan pengajarannya tersebut.

Seorang pengajar Alkitab, harus sungguh-sungguh belajar Alkitab sehingga setiap orang yang belajar daripadanya dapat membuktikan sendiri apakah yang ia ajarkan itu merupakan pengajaran yang sehat atau tidak. Ada objektivitas dan pertanggungjawaban di dalam aktivitas mengajar. [5]

Pilihan ada di tangan kita, apakah kita lebih tertarik pada hal-hal supranatural yang justru berisiko akan menuai murka Allah? Ataukah kita lebih tertarik untuk menjadi murid Kristus yang setia belajar mengenal Dia melalui Firman-Nya?

Kiranya Tuhan menolong kita memilih apa yang benar. Amin.


Catatan
[1] Memang ayat ini tidak semata-mata ingin menginformasikan bahwa nubuat pada prinsipnya akan berakhir saja. Ayat ini sebetulnya terutama ingin mengajak jemaat melihat bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada hal-hal yang menakjubkan seperti nubuat, bahasa roh dan pengetahuan. Sesuatu yang lebih penting itu adalah kasih. Dibandingkan dengan kasih, nubuat tidak ada apa-apanya. Sebab nubuat akan berakhir, tetapi kasih tidak. Namun untuk keperluan pembahasan saya dalam tema nubuat ini, saya mengajak kita melihat dari sisi bahwa nubuat itu memang akan berakhir, saya tidak masuk ke dalam pembahasan dimana nubuat dibandingkan dengan kasih.

[2] Sebagai kontrasnya, salah satu ciri dari orang yang sudah diselamatkan adalah ketertarikannya yang besar terhadap Firman Tuhan.

[3] Mereka tidak sadar karena mereka sendiri memang tidak tertarik untuk mengetahui apa yang sesungguhnya Allah katakan di dalam Alkitab.

[4] Itu sebabnya pula, Allah membuat batasan untuk menguji apakah seorang nabi itu asli ataukah palsu.

[5] Sementara di dalam aktivitas bernubuat, sangat kental dengan sifat subjektif karena faktor sulitnya membuktikan apakah seseorang datang dari Allah ataukah bukan.