Thursday, June 11, 2020

Mengapa kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan Kanonisasi Alkitab?

Serie tulisan: Kanonisasi Alkitab



Kanonisasi Alkitab


“Kanonisasi Alkitab,” kata-kata ini mungkin terdengar cukup asing bagi telinga kebanyakan orang Kristen, bukan? Mungkin hanya orang-orang yang pernah mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Teologi saja yang barangkali sudah akrab dengan istilah ini. Tetapi apa itu Kanonisasi Alkitab dan mengapa kita orang awam juga perlu untuk membicarakannya? [Baca juga: Bagaimana kumpulan kitab Perjanjian Lama terbentuk? Klik disini.]

Menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh adalah menjadi orang yang senantiasa merenungkan dan mempelajari Firman Tuhan serta mengkaitkannya dengan kehidupan sehari-hari. [1] Justru salah satu ciri dari orang yang sudah lahir baru adalah kecenderungannya yang besar untuk memikirkan apa yang Tuhan katakan melalui Firman-Nya serta menilai kehidupannya sendiri [2] berdasarkan Firman itu dari hari ke sehari.

Dan ketika seseorang mulai serius memikirkan Firman, maka cepat atau lambat mereka akan berhadapan dengan beberapa pertanyaan di bawah ini:

Mengapa orang Kristen hanya berpedoman pada Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru saja?
Mengapa orang Kristen tidak bisa menerima kitab-kitab yang tergabung di dalam kumpulan kitab yang disebut sebagai Deuterokanonika atau Apocrypa ?
Bagaimana dengan Injil Barnabas, Injil Maria, Injil Thomas dan Injil Yudas, apakah kita dapat menerima injil-injil tersebut sebagai Kitab Suci kita?
Di dunia ini ada begitu banyak kitab yang berbicara tentang hal-hal yang spiritual. Apakah semua kitab yang membahas persoalan spiritual harus kita terima begitu saja sebagai kitab suci kita?

Ketika kita mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang dipaparkan di atas, maka mau tidak mau kita harus masuk ke dalam pembahasan tentang Kanonisasi Alkitab tersebut.


Apakah yang dimaksud dengan Kanonisasi Alkitab?

Frederick Fyvie Bruce (atau yang lebih dikenal sebagai F.F. Bruce) adalah salah seorang pakar dalam bidang Kanonisasi Alkitab yang dimiliki oleh dunia kekristenan. Dalam bukunya, Bruce menulis:

The word “canon” has a simple meaning. It means the list of books contained in scripture, the list of books recognized as worthy to be included in the sacred writings of a worshipping community.[3]

Menurut F.F. Bruce, istilah Kanon (atau Canon) itu sendiri berarti daftar buku-buku yang terdapat di dalam kitab suci, yaitu daftar dari buku-buku yang dianggap pantas untuk dimasukkan sebagai tulisan yang suci oleh suatu komunitas para penyembah Yang Ilahi.

Istilah “Kanon” sendiri berasal dari bahasa Yunani yang sama artinya dengan sebatang tongkat (a rod). Yaitu sebatang tongkat berbentuk lurus yang biasa dipakai sebagai tongkat pengukur. Di zaman kita, apalagi di Indonesia, mungkin akan lebih mudah jika kita membayangkan apa yang dimaksudkan oleh istilah “Kanon” itu sebagai sebatang penggaris yang biasa dibawa-bawa oleh anak sekolah ataupun sebatang tongkat kayu pengukur yang biasa dipakai oleh para penjual bahan kain.

Jadi secara prinsip, melalui kata Kanon ini, sebuah komunitas penganut kepercayaan tertentu[4] membuat suatu daftar atau ukuran terhadap kitab-kitab mana saja yang dapat mereka terima, dan kitab-kitab mana saja yang tidak dapat mereka terima sebagai dasar bagi iman kepercayaan mereka.

Pada bagian ini, Bruce melihat bahwa proses kanonisasi bukan semata-mata milik dunia kekristenan saja, melainkan merupakan hal yang secara natural pasti akan dilakukan oleh setiap komunitas yang menyembah suatu entitas ke-Ilahi-an. Di dalam agama apapun, di dalam kepercayaan apapun, para penyembah itu memiliki semacam ukuran atau daftar dari kitab-kitab apa saja atau tulisan-tulisan apa saja yang dianggap merupakan tulisan suci yang mempunyai kekuatan untuk mengatur kehidupan orang yang percaya.

Dan tentang hal itu, Bruce mengambil contoh dari kanonisasi kitab lain di luar kekristenan, sebagaimana yang ia katakan di bawah ini:

Many religions have sacred books associated with their traditions or their worship. There was a once-famous series of volumes entitled “The Sacred Books of the East.”[5]

The Sacred Books of the East? Kita bahkan baru pertama kali mendengar hal itu dan kita tidak tahu kumpulan buku apa sajakah itu? Tetapi di sini F.F. Bruce mengatakan bahwa untuk kumpulan buku-buku “tidak populer” semacam itupun orang membuat kanonisasinya sedemikian rupa agar siapapun dapat mendefinisikan kepercayaan apa yang diajarkan kepada penganutnya melalui buku-buku tersebut.

Dari F.F Bruce kita dapat belajar bahwa apa yang kita percayai, dapat didefinisikan dari buku-buku apa saja[6] yang kita jadikan pegangan bagi kepercayaan itu.

Meskipun istilah “Kanonisasi” bukan semata-mata milik dunia kekristenan, tetapi di dalam tulisan ini saya akan membatasi fokus pembahasan kita pada Kanonisasi Alkitab saja. Dan tentang hal itu, F.F. Bruce mengatakan: In a Christian context, we might define the word as “the list of the writings acknowledged by the Church as documents of the divine revelation.[7]

Jadi berdasarkan definisi yang diberikan oleh Bruce di atas, Kanonisasi Alkitab dapat kita pahami sebagai: Daftar tulisan yang diakui oleh gereja sebagai dokumen yang merupakan penyataan Ilahi (God Revelation)


Apakah arti penting dari proses Kanonisasi Alkitab?

Baik pada zaman sebelum Yesus Kristus hadir di dunia, maupun setelah Tuhan kita yang mulia itu naik kembali ke sorga, ada sangat banyak tulisan-tulisan yang memuat hal-hal yang spiritual. Meskipun demikian, hal itu tidaklah berarti bahwa setiap tulisan yang bersifat spiritual itu pasti dapat diakui sebagai Kitab Suci oleh umat yang percaya kepada Yesus Kristus.

Sebab kekeliruan kita dalam menerima atau menolak suatu kitab ke dalam daftar Kitab Suci akan memberi pengaruh yang besar sekali terhadap bagaimana kita mengenal pikiran, perasaan dan kehedak Allah bagi manusia.

Untuk itulah maka dibutuhkan suatu perhatian terhadap kitab-kitab mana saja yang diakui sebagai Kitab Suci dan kitab-kitab mana saja yang tidak termasuk. Tanpa adanya pemahaman yang mendasar tentang hal ini, maka pembicaraan tentang Allah, manusia, seluruh ciptaan dan segala hubungan yang tercipta di antaranya akan mustahil terjadi.

Sebab ketika kita bicara tentang Allah misalnya, maka kita perlu bertanya; Allah macam apa yang sedang kita bicarakan? Dan ketika kita mengatakan Allah seperti ini atau Allah seperti itu, maka pertanyaan selanjutnya adalah: darimana kita tahu bahwa Allah adalah seperti ini dan bukan seperti itu?

Tanpa adanya suatu kejelasan dari apa yang menjadi dasar bagi iman seseorang, maka pembicaraan tentang iman akan menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan. Atau, apabila kita mencoba memaksakan hal tersebut, maka hasilnya adalah suatu gambaran yang sangat karikatural dan tidak riil dari sosok Allah yang kita imani tersebut. Setiap orang dapat membuat sendiri figure Allah sesuka hatinya tanpa ada ukuran apapun yang memberitahukan di manakah letak batasan-batasannya.[8]

Jika melalui F.F. Bruce, kita belajar bahwa setiap iman dan kepercayaan memiliki aturan dasar bagi terbentuknya kepercayaan itu. Maka sekarang kita akan melihat bahwa bahkan seorang yang senantiasa ragu-ragu [9] pun harus memiliki seperangkat aturan dasar di dalam cara berpikir mereka untuk membawa mereka pada kesimpulan bahwa segala sesuatu harus diragu-ragukan.

John M.Frame, seorang profesor Apologetika dan Teologi di Westminster Theological Seminary, melukiskan keadaan tersebut di atas dengan cara yang sangat gamblang, yaitu sebagai berikut :

Every philosophy must use its own standards in proving its conclusions; otherwise, it is simply inconsistent. Those who believe that human reason is the ultimate authority (rationalists) must presuppose the authority of reason in their arguments for rationalism. Those who believe in the ultimacy of sense experience must presuppose it in arguing for their philosophy (empiricism). And skeptics must be skeptical of their own skepticism. The point is that when one is arguing for an ultimate criterion whether Scripture, the Koran, human reason, sensation, or whatever, one must use criteria compatibel with that conclusion.[10]

Sebagaimana dapat kita baca dalam tulisan di atas, John M.Frame mengatakan bahwa setiap filosofi [11] harus memakai suatu standard untuk membuktikan kesimpulan mereka.

Atau kalau boleh saya parafrasakan; setiap sistem kepercayaan harus memiliki ukurannya sendiri atau standard-nya sendiri atau kriterianya sendiri untuk menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak ada satupun sistem kepercayaan di dunia ini yang tidak memiliki standard-nya sendiri, bahkan seorang skeptis pun harus berpedoman pada skepticism itu sendiri agar ia dapat tetap menjadi seorang skeptis.

Apa yang dipercayai oleh seseorang sangat menentukan bagaimana ia akan menjalani kehidupan ini. Ketika seseorang mengatakan bahwa ia percaya kepada ajaran Kitab Suci, maka secara natural orang itu harus tahu apa yang ia maksudkan dengan Kitab Suci, sebab kitab apa yang ia percayai sangat menentukan jenis kehidupan apa yang akan ia jalani.

Seorang yang diajar untuk membunuh orang kafir, sudah pasti akan menjalani hidup dengan cara yang berbeda dengan seorang lain yang diajar untuk mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Orang yang diajar bahwa dirinya adalah hasil evolusi binatang kera, akan memiliki cara pandang kehidupan yang berbeda dengan orang yang diajar bahwa dirinya dicipta menurut gambar dan teladan Allah.

Seorang yang yakin bahwa ada penghakiman setelah kematian, pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan orang lain yang merasa yakin bahwa tidak ada apa-apa yang perlu dihadapi setelah kematian datang menjemput. Orang yang diajar bahwa manusia terbagi-bagi ke dalam berbagai kasta pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan orang yang diajar bahwa manusia pada dasarnya adalah sama di hadapan Sang Pencipta.

Orang yang diajar bahwa manusia adalah allah bagi dirinya sendiri, sudah pasti akan menjalani hidup yang berbeda dengan manusia yang diajar untuk menyembah kepada Sang Pencipta. Orang yang diajar bahwa kita harus berbuat baik untuk masuk ke sorga, pasti akan memiliki sikap hati yang berbeda di hadapan Allah dibandingkan dengan orang yang diajar bahwa keselamatan adalah sebuah anugerah.

Pada suatu waktu, saya pernah terlibat pembicaraan dengan orang yang memiliki keyakinan berbeda dengan keyakinan saya. Kawan saya itu adalah orang yang percaya bahwa apabila seorang manusia meninggal dunia, maka ia akan dilahirkan kembali ke dalam dunia ini. Ia tidak percaya bahwa manusia akan dihakimi oleh Sosok Ilahi yang tampil sebagai Hakim bagi seluruh umat manusia.

Kepada dia saya berkata: seandainya ternyata kepercayaanmu yang benar, maka apa susahnya bagi saya? Saya juga akan terlahir kembali seperti kamu. Kamu tidak jahat, dan saya juga tidak jahat, kita sama-sama punya peluang untuk kehidupan yang baik atau setidaknya sama dengan kehidupan yang kita kenal sekarang ini.

Tetapi bagaimana jika kepercayaan saya yang akan menjadi kenyataan? Maka engkau akan mati tanpa Kristus dan akan menghadapi penghakiman kekal setelah engkau mati. Tetapi saya, saya akan mati di dalam Kristus dan saya akan menikmati relasi kekal dengan Yesus Kristus yang telah saya percayai dan telah saya layani semenjak saya masih hidup di dunia ini.

Point saya adalah, apa yang kita percayai itu, bukan hanya akan mempengaruhi hidup kita di masa sekarang ini, tetapi juga akan menentukan kehidupan kita setelah kematian. Sebab, apa yang kita percayai itu ternyata sangat berpengaruh pula pada bagaimana sikap Tuhan terhadap kita.


Kisah Tuhan Yesus dan orang Saduki

Pada suatu hari, Tuhan Yesus berjumpa dengan orang-orang Saduki yang menantang Dia dengan suatu kasus seperti ini:

19"Guru, Musa menuliskan perintah ini untuk kita: Jika seorang, yang mempunyai saudara laki-laki, mati dengan meninggalkan seorang isteri tetapi tidak meninggalkan anak, saudaranya harus kawin dengan isterinya itu dan membangkitkan keturunan bagi saudaranya itu. 20Adalah tujuh orang bersaudara. Yang pertama kawin dengan seorang perempuan dan mati dengan tidak meninggalkan keturunan. 21Lalu yang kedua juga mengawini dia dan mati dengan tidak meninggalkan keturunan. Demikian juga dengan yang ketiga. 22Dan begitulah seterusnya, ketujuhnya tidak meninggalkan keturunan. Dan akhirnya, sesudah mereka semua, perempuan itupun mati. 23Pada hari kebangkitan, bilamana mereka bangkit, siapakah yang menjadi suami perempuan itu? Sebab ketujuhnya telah beristerikan dia."[12]

Mengapa orang Saduki menantang Tuhan Yesus dengan cara seperti ini? Orang Saduki adalah orang yang hanya percaya kepada lima Kitab Taurat saja dan mereka tidak menganggap Kitab Para Nabi sebagai Kitab Suci. Sebagai akibat dari penolakan tersebut, orang Saduki tidak pernah mempercayai adanya kebangkitan dari orang mati.[13] Padahal justru di luar Kitab Taurat itulah ajaran tentang kebangkitan diberikan dengan jelas dan gamblang.[14]

Bagaimana kira-kira respon Tuhan Yesus terhadap orang Saduki yang gagal mengenal jalan pikiran Tuhan sebagai akibat penolakan mereka kepada Kitab Suci? Apakah Tuhan Yesus akan berkata dengan lembut seperti ini?:

Oh...saudara-Ku, Aku maklum kalau kalian tidak percaya pada kebangkitan, sebab kalian hanya percaya kepada kitab Musa saja, bukan? Okelah, tidak masalah, sebab yang terutama bagi-Ku adalah kalian sudah memiliki suatu iman kepercayaan tertentu, tidak jadi soal apa isi dari iman kepercayaan kalian itu, yang penting hiduplah saja sesuai dengan apapun yang kalian percayai tersebut.

Begitukah jawaban Tuhan Yesus? Tuhan Yesus yang telah kita ciptakan sendiri di dalam pikiran kita yang berdosa mungkin akan berkata seperti itu. Tetapi Tuhan Yesus yang dinyatakan oleh Alkitab ternyata menjawab seperti ini:

Jawab Yesus kepada mereka: "Kamu sesat, justru karena kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kuasa Allah. Sebab apabila orang bangkit dari antara orang mati, orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga. Dan juga tentang bangkitnya orang-orang mati, tidakkah kamu baca dalam kitab Musa, dalam ceritera tentang semak duri, bagaimana bunyi firman Allah kepadanya: Akulah Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub? Ia bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Kamu benar-benar sesat !"[15]

Tuhan Yesus menghardik dan memarahi orang Saduki karena mereka tidak mengerti Kitab Suci serta tidak memahami kuasa Allah. Penolakan mereka terhadap Kitab Para Nabi telah berbuahkan kesalahan yang fatal di dalam pengenalan mereka terhadap Allah yang sejati. Dan untuk perbuatan itu, Tuhan Yesus berkata: Kamu benar-benar sesat.[16] Bukan satu kali saja Yesus Kristus berkata seperti itu, tetapi sampai dua kali, menandakan suatu ekspresi kegusaran yang ada di dalam hati Tuhan kita.

Orang Saduki menuai kemarahan Tuhan Yesus karena mereka menolak untuk mempercayai kitab-kitab di luar Lima Kitab Musa sebagai Kitab Suci. Akibat penolakan tersebut, mereka gagal mengenal Pribadi Tuhan yang sejati. Dari sini kita belajar bahwa kekeliruan kita dalam memahami kitab-kitab mana yang termasuk dalam Kitab Suci dan kitab-kitab mana yang bukan termasuk Kitab Suci ternyata bukan saja berakibat kesalahan di dalam bertindak, tetapi juga dapat berakibat timbulnya kemarahan Tuhan terhadap kita.


Akhir kata

Jadi kalau boleh saya summary-kan, alasan mengapa kita perlu memikirkan tentang Kanonisasi Alkitab adalah:
1.      Tidak ada satupun sistem kepercayaan di dunia yang tidak memiliki standard. Sebagai orang kristen, adalah wajib bagi kita untuk memahami standard apakah yang kita pakai untuk menentukan sebuah kebenaran?
2.      Kitab-kitab apa saja yang seharusnya kita percayai sebagai standard kebenaran tersebut?
3.      Mengapa kitab-kitab tersebut kita pilih untuk kita percayai, dan bukan kitab yang lain?
4.      Apa yang kita percayai, mempengaruhi cara pandang kita terhadap Tuhan, terhadap sesama, terhadap diri sendiri dan terhadap seluruh aspek kehidupan.
5.      Apa yang kita percayai, mempengaruhi juga cara Tuhan memandang diri kita.

Berbagai pertanyaan dan kesimpulan di atas, selanjutnya akan membawa kita untuk masuk ke dalam pembahasan tentang kanonisasi Perjanjian Lama dan Kanonisasi Perjanjian Baru, yang akan kita lakukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.

Kiranya Tuhan Yesus memberkati kita dengan kecintaan akan Firman-Nya. Amin. (Oleh: Izar tirta)


[1] Salah satu ciri utama dari seorang Kristen yang sudah lahir baru adalah kecenderungan hatinya yang ingin terus belajar Firman Tuhan. Sebab hal ini juga sejalan dengan keinginan hati Tuhan Yesus sendiri. Sebelum naik ke sorga, Tuhan kita meminta murid-murid-Nya untuk mengajarkan segala sesuatu yang telah diajarkan oleh diri-Nya. Panggilan setiap orang Kristen adalah panggilan untuk menjadi murid. Seseorang diselamatkan karena ia percaya, dan ciri dari orang yang percaya adalah dengan menjadi murid Kristus. Orang yang mengaku percaya tetapi tidak mau menjadi murid, sangat mungkin sebetulnya ia bukan orang yang sudah percaya.
[2] Ya, menilai kehidupan diri sendiri, bukan pertama-tama sibuk menilai kehidupan orang lain.

[3] F.F. Bruce, The Canon of Scripture (Downers Grove Illinois: InterVarsity Press, 1988), 17.

[4] From any kind of faith, tidak harus terbatas pada iman Kristen saja, tetapi bagi semua sistem kepercayaan.

[5] F.F. Bruce, The Canon of Scripture, 18.

[6] Atau prinsip-prinsip apa saja yang mengatur suatu sistem kepercayaan.

[7] F.F. Bruce, The Canon of Scripture, 17.

[8] Di dalam Kitab Kejadian, kita tahu bahwa Allah menciptakan manusia seturut gambar teladan Allah. Tetapi dunia modern saat ini, telah membalikkan urutan itu. Manusialah yang menciptakan figure tentang allah dengan sesuka hati karena mereka tidak mau membaca dan memperhatikan apa yang Alkitab katakan tentang Allah yang sejati.

[9] Orang semacam ini biasa disebut sebagai orang yang skeptis. Keragu-raguan mereka pada umumnya merupakan ekspresi dari ketidakpercayaan mereka terhadap sosok Tuhan. Oleh karena itu, pada umumnya seorang skeptis juga dekat sekali dengan sifat atheist.

[10] John M. Frame, Apologetics to the Glory of God – an Introduction, (New Jersey : Presbyterian and Reformed Publishing Company, 1994), 10.

[11] Istilah filosofi di sini tidak harus dipahami sebagai cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan di bangku kuliah saja. Istilah filosofi di sini termasuk cara berpikir semua orang secara umum. Seorang ibu rumah tanggapun memiliki filosofi kehidupannya sendiri.

[12] Markus 12:19-23

[13] Matius 22:23

[14] Misalnya dalam Yesaya 26:19; 2 Raja-raja 13:21; Yehezkiel 37:3. Kitab Taurat bukan sama sekali tidak membahas tentang konsep kehidupan setelah kematian. Namun pesan-pesan yang lebih eksplisit memang bukan ditemukan di dalam Taurat tetapi di dalam kitab para nabi, maupun kitab sejarah lainnya di luar lima kitab Musa (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan)

[15] Markus 12:24-27

[16] Ketegasan sikap semacam yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus ini sangat asing bagi hati dan telinga orang modern yang sangat mendewa-dewakan pluralisme. Tidak sedikit orang yang kelihatannya seperti orang Kristen pun mungkin akan terkejut melihat respon Tuhan Yesus yang seperti ini sebab mimbar gereja modern dewasa ini telah sangat banyak memberi gambaran tentang Tuhan Yesus yang berbeda dengan apa yang diajarkan oleh Alkitab.