Apakah salah satu tanda atau ciri dari orang yang sudah diselamatkan?
Amsal 3:1 Hai anakku, janganlah engkau melupakan ajaranku, dan biarlah hatimu memelihara perintahku,
Hai anakku
Sekali lagi tentang pesan kepada anak. Atau orang yang lebih muda. Atau orang-orang yang berjiwa muda, yaitu mereka yang jiwanya mau menerima pembentukan dari Hikmat Allah. Di sisi lain, kita juga melihat jiwa dari penulis Amsal yang bersifat kebapakan. Jiwa yang mengarahkan, jiwa yang menggembalakan, seperti nasihat Tuhan Yesus kepada Petrus. Orang yang sekaligus tahu apa yang harus digembalakan.
Rekomendasi Buku:
"Anugerah Yang Hilang"
Klik disini.
Ada orang yang tahu kebenaran, tetapi tidak ada dorongan untuk menggembalakan. Ada orang yang suka dengan Mazmur 23, tapi tidak sadar akan Yohanes 17. Tapi di sisi lain, ada juga orang yang banyak bicara, banyak kasih nasihat, berhasrat ngajar orang lain, kasi tau orang lain gini gini. Tapi ia sendiri tidak mengenal kebenaran yang sejati. Alkitab mendorong kita untuk mengenal kebenaran, sekaligus mewartakan kebenaran itu pada orang lain.
Janganlah engkau melupakan ajaranku
Penulis Amsal yakin bahwa ajarannya itu penting. Dan ia mengingatkan anaknya, atau siapapun yang dibimbingnya. Untuk tidak melupakan ajarannya.
Sebagai orang tua, atau yang lebih tua, atau yang berperan sebagai pembimbing kepada anak-anak yang lebih muda. Kita sendiri harus menghargai ajaran yang telah kita terima. Ajaran tersebut harus menyatu dengan hidup kita, bukan teori semata. Tetapi sesuatu yang telah kita lakukan, kita alami, kita hidupi dan kita gumulkan. Sehingga kita tahu persis betapa pentingnya ajaran tersebut. Sehingga ada dorongan yang kuat untuk meneruskannya atau mengajarkannya kepada orang lain. Agar mereka pun mengerti, mengalami, menghidupi dan melakukan dalam kehidupan mereka. Sehingga mereka tidak turut binasa bersama dunia yang tidak peduli pada Hikmat dan Pribadi Tuhan itu.
Kita sendiri harus yakin bahwa ajaran yang kita terima dari Tuhan adalah ajaran yang menghidupkan, yang menyelamatkan, yang meluputkan kita dari binasa. Jika keyakinan seperti ini tidak ada, maka mustahil kita juga dapat meyakinkan generasi di bawah kita untuk tidak melupakan ajaran Tuhan.
Apa saja yang telah kita turunkan kepada generasi di bawah kita? Cerita tentang betapa hebatnya diri kita? Atau betapa hebatnya Tuhan? Cerita tentang kebudayaan manusia? Atau tentang ajaran Tuhan? Cerita tentang kesuksesan dan kemuliaan dunia? Atau cerita tentang salib Kristus.
Atau jangan-jangan tidak ada apapun yang disampaikan. Karena kita pikir yang penting anak sudah diberi uang, dibelikan rumah, mobil, ini itu. Jika seperti ini, kita jauh dari Amsal, jauh dari Firman Tuhan.
Biarlah hatimu memelihara perintahku
Jika frasa pertama lebih mengacu pada pikiran, maka frasa kedua ini mengacu pada hati (perpaduan antara pikiran dan perasaan). Ada aspek emosi yang dilibatkan. Ada kesukaan terhadap perintah Ilahi.
Jadi bukan hanya hafal atau ingat akan sesuatu, tetapi juga menyukai apa yang diingat itu. Seseorang bisa mengingat sesuatu, tidak melupakan sesuatu hal. Atau bahkan hafal dengan tepat apa yang menjadi perintah Allah. Tetapi jika hal itu tidak masuk ke dalam hati, serta tidak mengubah arah hati seseorang, maka sia-sialah apa yang dihafalkannya itu. Segala ayat hafalan itu akhirnya hanya sekedar menjadi ayat hafalan. Atau bahkan lebih celaka lagi menjadi semacam penanda dari kebesaran seseorang. Alasan untuk melihat diri sendiri sebagai orang yang lebih tinggi, atau lebih baik atau lebih suci daripada orang lain.
Orang Farisi adalah contoh yang tepat untuk hal ini. Mereka hafal peraturan agama. Mereka tidak melupakan ajaran hikmat. Tetapi apabila diperhatikan, sepertinya ajaran hikmat itu tidak sampai menyentuh hati mereka sendiri. Hidup mereka tidak diubahkan. Mereka jadi merasa benar sendiri (self-righteous) dan memandang orang lain lebih rendah dari mereka.
11 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa dalam hatinya begini: Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, bukan perampok, bukan orang lalim, bukan pezinah dan bukan juga seperti pemungut cukai ini; 12 aku berpuasa dua kali seminggu, aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku. (Lukas 18:11-12).
Secara ajaran, orang Farisi itu benar bahwa seseorang harus menjauhkan diri dari perampokan (mengingini milik orang lain), kelaliman dan perzinahan. Tetapi pengetahuan itu rupanya di terima dengan hati yang salah. Bukannya ia sadar bahwa dirinya tidak luput dari dosa, ia malah melihat dirinya sangat istimewa, tidak sama seperti semua orang lain. Dan bahkan memandang orang lain sebagai orang yang tidak layak. Hati orang ini belum diubahkan.
Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Matius 5:20)
Hidup keagamaan seperti apakah yang lebih benar daripada ahli Taurat dan orang Farisi? Bukankah mereka sudah sangat baik dan taat dalam menjalankan perintah Taurat. Bukankah mereka tidak melupakan ajaran hikmat?
Hidup keagamaan yang lebih baik adalah hidup keagamaan yang melibatkan hati. Yaitu hati yang mengasihi. Dan jika mengacu pada konteks Matius 5:20-48, maka yang dimaksud dengan mengasihi adalah mengasihi semua orang sama seperti Bapa yang menerbitkan matahari dan menurunkan hujan bagi semua orang.
Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. (Matius 5:45)
Seseorang mungkin hafal akan perintah mengasihi. Tetapi untuk benar-benar bisa mengasihi seperti Bapa, dibutuhkan hati yang telah diubahkan. Sehingga mampu memelihara perintah itu dengan kerelaan dan hati yang bersuka cita. Hanya orang yang sudah lahir baru yang tidak akan melupakan ajaran Tuhan dan mau memelihara perintah Allah di dalam hatinya.
Amsal 3:2 karena panjang umur dan lanjut usia serta sejahtera akan ditambahkannya kepadamu.
Panjang umur
Kalau kita menilai panjang umur sebagai usia kehidupan selama di dunia ini saja, agaknya kita akan mendapati kesulitan, sebab orang-orang percaya yang sejati pun tidak senantiasa memiliki umur yang panjang. Akan tetapi kalau kita melihat hal ini sebagai kehidupan yang kekal, mungkin kita akan dapat lebih mengerti. Orang yang tidak melupakan ajaran Tuhan dan yang hatinya memelihara perintah Tuhan, adalah ciri-ciri dari orang yang sudah lahir baru, dan mereka itu memang memiliki hidup yang kekal.
Lanjut usia
Jika melihat ke dalam bahasa Indonesia saja, agak sulit memahami perbedaan panjang umur dan lanjut usia. Bukankah keduanya sama saja? Tetapi seringkali di dalam Alkitab, lanjut usia dikaitkan dengan kebenaran, kebijaksanaan dan kesucian.
Sejahtera
Kesejahteraan dapat dikaitkan dengan materi, dapat pula dikaitkan dengan kedamaian, ketenangan, hati yang lapang, tidak dibebani oleh rasa bersalah, ada keselarasan dengan kehendak Tuhan. Tidak selalu salah apabila mengkaitkan kesejahteraan dengan kekayaan materi, karena Alkitab juga mengajarkan bahwa Allah bisa mewujudkan berkat-Nya melalui kelimpahan materi.
Yang salah adalah, jika manusia memandang bahwa materi merupakan satu-satunya berkat yang ditunggu, dimintakan, dicari manusia, ketika manusia berhubungan dengan Allah. Yang keliru adalah, ketika hati manusia belum diubahkan oleh Allah, sehingga belum mampu memelihara perintah Allah dengan hati yang mengasihi. Sehingga ketika melihat berkat materi, maka hatinya serta merta langsung melekat kepada materi tersebut.
Orang yang pikirannya tidak lupa pada ajaran Hikmat dan hatinya setia memelihara perintah Allah, maka kepada orang itu akan ditambahkan usia, kebijaksanaan dan kesejahteraan. Tanpa pikiran dan hati yang melekat pada ajaran dan perintah Allah, maka panjang umur pun tidak akan membawa kemuliaan bagi Tuhan. Usia lanjut pun tidak akan menjadi berkat bagi siapa-siapa. Kesejahteraan pun akhirnya membawa manusia itu pada kehancuran, yaitu menyembah mamon dan mengejar kesenangan dunia yang sia-sia.
Bagi kitab Amsal, pengajaran dan pendidikan akan Firman Tuhan merupakan sesuatu yang sangat penting. Orang yang tidak peduli pada ajaran dan perintah Tuhan, menurut Amsal adalah orang yang akan binasa. Dan prinsip ini bukan hanya ada di dalam Perjanjian Lama, di dalam Perjanjian Baru pun prinsip yang disampaikan di dalam Amsal diulang kembali. Dalam Surat kepada Timotius, Paulus mengatakan:
Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. (2 Timotius 3:16)
Kalau kita tidak peduli pada pengajaran dan perkataan Firman Tuhan, bagaimana kita dapat disebut sebagai pengikut Yesus Kristus? Kiranya Tuhan menolong kita. Amin.