Kisah perjumpaan Yesus dengan seorang pemuda yang kaya
Bagian 2
Oleh: Izar Tirta
Sumber bacaan:
Matius 19:16-26
Markus 10:17-27
Lukas 18:18-28
PENDAHULUAN
Pada bagian sebelumnya, kita
sudah berkenalan dengan seorang pria muda yang memiliki karakteristik
luarbiasa. Seorang pria yang sangat mungkin akan begitu diidamkan, diidolakan
dan bahkan dijadikan panutan oleh banyak orang. Meskipun demikian, penulis Alkitab
memaparkan peristiwa perjumpaan pemuda itu dengan Yesus justru bukan dengan
maksud agar kita menjadikan dia panutan atas segala kelebihannya, melainkan
agar kita belajar dari kesalahan-kesalahan yang dia lakukan.
Kesalahan pemuda ini dapat
kita ketahui dari setiap kritik dan teguran yang Yesus alamatkan kepada
dirinya. Dan melalui tulisan ini, saya akan memaparkan apa makna kritik dan
teguran Yesus tersebut. Agar melaluinya, kita pun dapat mengevaluasi diri kita
sendiri dan menilai sejauh mana kritik dan teguran itu barangkali berhubungan
dengan diri kita juga.
KRITIK DAN TEGURAN YESUS: APA DAN MENGAPA?
Guru yang baik
Pemuda kaya itu datang kepada
Yesus dan mengajukan sebuah kalimat pertanyaan yang berkaitan dengan kehidupan
yang kekal, yaitu kehidupan setelah kematian di sorga bersama dengan Tuhan.
Ketiga penulis Injil mencatat pertanyaan tersebut demikian:
Matius (ayat 16):
Guru, perbuatan
baik apakah yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?
Markus (ayat 17)
Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk
memperoleh hidup yang kekal?
Lukas (ayat 18)
Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat
untuk memperoleh hidup yang kekal?
Jika kita melihat
pertanyaan pemuda kaya itu dalam suatu kerangka perbandingan antara tiga Injil,
maka kitab Matius nampaknya berbeda dengan Markus dan Lukas.
Sementara dalam
Markus dan Lukas kata “baik” dialamatkan kepada Pribadi Sang Guru (Guru yang
baik), Matius terlihat mencatat bahwa kata “baik” itu dialamatkan kepada jenis
perbuatan (perbuatan baik). Lalu bagaimana kita harus memahami perbedaan
catatan semacam ini?
Perbedaan yang
muncul dalam terjemahan LAI itu diambil dari Alkitab Yunani Novum Testamentum Greek yang
dipadukan dengan Alkitab Yunani versi Septuaginta. Manuskrip Alkitab semacam
ini biasanya diberi singkatan BGT.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa
perbedaan tersebut mungkin sekali dikarenakan penyalin manuskrip BGT untuk
Injil Matius tersebut ingin menekankan aspek perbuatan dari peristiwa itu,
mengingat kitab Matius adalah kitab yang lebih kental dengan nuansa ke-Yahudi-annya
dibandingkan dengan Markus dan Lukas. Meskipun demikian, seperti yang dapat
kita baca sendiri dalam terjemahan LAI-nya, jawaban Yesus atas pertanyaan
tersebut (di dalam Injil Matius), bukan mengarah pada perbuatan, melainkan pada
Pribadi, “hanya Satu yang baik” kata Yesus.
Polemik semacam
ini akan semakin tidak terasa jika kita membaca Matius 19:16 menurut Alkitab
Yunani versi Byzantine[1] (BYZ), bahasa Yunani yang dipakai hampir
sama antara Matius, Markus dan Lukas yaitu: Didaskale
agate, ti agaton poieso, ina echo zoen aionion, terjemahan saya dari ayat
ini bisa dilihat pada bagian bawah.
Selengkapnya
perbandingan itu akan saya sajikan di bawah ini:
Matius (ayat 16):
Guru, perbuatan baik apakah yang harus kuperbuat
untuk memperoleh hidup yang kekal? Didaskale agate, ti
agaton poieso, ina echo zoen aionion (versi BYZ)
Markus (ayat 17)
Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk
memperoleh hidup yang kekal?
Didaskale agate, ti poieso ina zoen
aionion kleronomeso
Lukas (ayat 18)
Guru yang baik, apa yang harus aku perbuat untuk
memperoleh hidup yang kekal?
Didaskale
agate, ti poiesas zoen aionion kleronomeso
Saya kira dari sini cukup jelas, bahwa
Matius pun mengalamatkan kata “baik” itu kepada Pribadi Sang Guru, yaitu Guru
yang baik. Sehingga jika saya terjemahkan langsung pertanyaan pemuda itu dalam
Injil Matius, menurut Alkitab Yunani versi BYZ tersebut, maka kalimatnya akan
berbunyi seperti ini:
“Guru yang baik, perbuatan baik apakah yang kiranya[2] dapat aku lakukan,
agar aku sekiranya[3]
dapat terus memiliki hidup kekal?”
Apa jawab Yesus terhadap pertanyaan si
pemuda kaya ini?
Yesus bukan pertama-tama menjawab
pertanyaan, melainkan Ia lebih dahulu mengkritik ungkapan yang dipakai pemuda
itu: "Apakah sebabnya
engkau bertanya kepada-Ku tentang apa yang baik? Hanya Satu yang baik.(Matius 19:17)
Sekali lagi saya
harus katakan bahwa terjemahan Indonesia versi LAI yang anda baca di atas, sedikit
berbeda dengan Alkitab Yunani versi BYZ yang saya pakai dan yang juga dipakai
oleh Alkitab Inggris versi King James
Version (KJV). Menurut Alkitab
Yunani versi BYZ, jawaban Yesus adalah: Ti
me legeis agaton, oudeis agatos, ei me eis, ho Teos Yang jika saya
terjemahkan secara langsung akan berbunyi demikian:
Mengapa engkau memanggil-Ku baik, tidak ada
satupun yang baik, kecuali satu, yaitu Tuhan. (Bandingkan terjemahan langsung Mat 19:17 saya ini dengan versi LAI
terhadap Mar 10:18 & Luk 18:19)
Masalahnya sekarang adalah, mengapa
Yesus harus mengajukan pertanyaan seperti itu? Apakah dengan demikian berarti
Yesus tidak mau mengakui bahwa diri-Nya adalah Tuhan? Apakah dengan demikian
berarti Yesus ingin mengatakan bahwa diri-Nya tidak baik?
Di manakah letak kesalahan pemuda kaya
itu sehingga ia harus menerima kritik dan teguran? Lalu apa salahnya memuji
seseorang dengan sebutan “Guru yang baik” ...??
Pertanyaan atau kritikan Yesus
bukanlah berarti bahwa Ia tidak mau mengaku sebagai Tuhan, bukan pula berarti
bahwa Ia menganggap diri-Nya tidak baik. Ia hanya mengatakan bahwa tidak ada
satupun yang baik, kecuali Tuhan. Pernyataan Yesus ini:
- Pertama, dimaksudkan untuk menguji si pemuda
kaya, apakah dia mengatakan hal itu karena ia sudah tahu bahwa Yesus adalah
Tuhan, ataukah hal itu ia katakan hanya sebagai suatu basa basi sosial belaka.
- Kedua, mempunyai implikasi bahwa cara pandang
manusia tentang kebaikan, berbeda dengan cara pandang Tuhan tentang kebaikan.
Untuk hal yang pertama, pemuda kaya itu
agaknya tidak tahu bahwa Yesus adalah Tuhan yang sejati. Bagi pemuda ini, Yesus
adalah seorang Guru, seorang tokoh religius yang ia harap dapat membantu
dirinya untuk menemukan jalan keselamatan. Pemuda ini gagal mengenal Yesus
sebagai Jalan Keselamatan itu sendiri, karena ketika kesempatan untuk mengikut
Yesus ditawarkan padanya, ia menolak Yesus karena merasa harga yang harus
dibayarkan terlalu mahal.
Untuk hal yang kedua, jelas sekali
cara pandang manusia tentang kebaikan sangat berbeda dengan cara pandang Tuhan.
Dan dalam hal ini, hanya cara pandang Tuhanlah yang dianggap mutlak benar oleh
Yesus Kristus.
Manusia memandang kebaikan seseorang
karena berbagai pengaruh dan motivasi:
-
Kebaikan hampir selalu kita definisikan
sebagai segala sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan bagi kita.
-
Seseorang bisa kita sebut baik, ketika ia telah
melakukan sesuatu yang menguntungkan kita. Jika merugikan, maka kita tentu
urung menyebut orang itu baik.
-
Seseorang bisa kita sebut baik, ketika kita
berharap ia akan melakukan sesuatu yang menguntungkan kita.
-
Jika seseorang berbuat sesuatu yang tidak baik,
mencuri misalnya, maka pendapat orang lain terhadap dia dapat beragam. Bagi
mereka yang belum pernah mencuri, maka orang tadi akan dinilai sangat buruk,
tetapi bagi mereka yang selama ini diam-diam juga suka mencuri, maka tentu akan
mempunyai penilaian yang tidak terlalu buruk terhadap orang yang mencuri itu.
Standar kebaikan dan keburukan dapat berbeda, tergantung kondisi dari orang
yang memberi penilaian.
Dapat kita lihat sekarang, ukuran
kebaikan seorang manusia terhadap manusia lain, sangat mudah berubah,
tergantung pada kondisi dan situasi. Situasiku jadi baik, engkau baik.
Situasiku jadi buruk, engkau jahat (atau setidaknya, sudah tidak baik lagi).
Sesederhana itu.
Di samping itu, kebaikan seorang
manusia, kalau pun kita berhasil melakukannya, amat rapuh dan mudah berubah.
Tidak setiap saat kita dapat melakukan perbuatan baik atau memilih apa yang
baik. Kita jarang konsisten. Atau lebih tepatnya, kita tidak mampu untuk
konsisten.
Dan Yesus ingin mengkoreksi pandangan
pemuda ini. Yesus ingin pemuda ini tahu bahwa hanya Allah saja yang standar
kebaikan-Nya bersifat mutlak, absolut, tidak pernah berubah, tidak pernah
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Sehingga dengan demikian hanya Dia-lah
yang benar-benar pantas disebut baik.
Alkitab dipenuhi dengan kisah-kisah
kebaikan Allah yang jika dipandang melalui kacamata kita sebagai manusia yang
terbatas dan berdosa, maka yang nampak adalah gambaran-gambaran yang cukup
membingungkan. Jika Allah itu baik dan penuh kasih, mengapa hidup ini penuh
penderitaan? Atau, mengapa Allah mengasihi Yakub dan membenci Esau? Mengapa
Allah menciptakan manusia hanya untuk kemudian membiarkan sebagian dari mereka
masuk neraka? Jika Allah itu baik, mengapa Ia mengizinkan iblis menyiksa Ayub?
Jika Allah itu baik, mengapa Ia merestui aksi pembantaian masal terhadap warga
Kanaan oleh bangsa Israel? Jika Allah baik, mengapa Ia tidak mencegah Yudas
bunuh diri setelah penyesalannya itu? Jika Allah itu baik, mengapa Alkitab
mengajarkan bahwa hanya yang percaya pada Yesus Kristus saja yang akan
diselamatkan?
Pertanyaan-pertanyaan di atas dan
segudang pertanyaan lainnya tentang Allah, adalah ungkapan ketidakmengertian
kita terhadap Pribadi Allah yang Mahabaik ini. Hanya setelah kita bersikukuh
untuk percaya dan berusaha mengenal Dia secara mendalamlah, baru kita dapat
mengerti mengapa Allah itu sangat pantas diberi predikat baik.
Tidak mudah memahami kebaikan Tuhan yang
sejati. Butuh proses, butuh usaha, butuh perjuangan, butuh iman dan tentu saja
butuh pertolongan dari Tuhan sendiri. Kebaikan Tuhan itu bersifat ontologis,
objektif, ada para dirinya sendiri, tidak terpengaruh oleh pendapat orang lain.
Bagaimana dengan kebaikan manusia? Adakah
ungkapan yang spesifik tentang kebaikan manusia? Yesus menepis gagasan tentang
kebaikan manusia. “Tidak ada satupun yang baik” kata Yesus dalam Matius 19:17. Dan
belakangan kita tahu bahwa Rasul
Paulus pun berkata: "Tidak
ada yang benar, seorangpun tidak. (Roma 3:10)
Berbeda dengan opini umum yang
menganggap bahwa semua manusia pada dasarnya baik. Yesus justru memandang bahwa kita ini tidak baik.
Dan jika pemuda luarbiasa ini saja masih
dianggap tidak baik oleh Tuhan, maka bagaimanakah peluang Anda dan saya? Dalam
pandangan Alkitab, tidak ada manusia yang dapat disandingkan dengan Kebaikan,
Kebenaran dan Kesucian Allah.
Menuruti segala perintah Tuhan
Respon Tuhan Yesus terhadap pertanyaan
si pemuda: “perbuatan baik apakah yang kiranya
dapat aku lakukan, agar aku sekiranya dapat terus memiliki hidup kekal?”
adalah “jikalau engkau ingin masuk ke dalam hidup,
turutilah segala perintah Allah." (Mat 19:17)
Sepintas jawaban Yesus ini memang
persis sama dengan opini umum yang mengajarkan bahwa kalau kita berbuat baik,
maka pasti masuk sorga. Atau lakukan
semua perintah Allah, maka kita pasti diterima di sorga. Konsep semacam ini
terasa sangat masuk akal bagi kita. Sejak kecil kita sudah belajar dari
kehidupan ini bahwa kita harus berusaha melakukan sesuatu untuk mendapatkan apa
yang kita inginkan. Termasuk ketika kita sedang berbicara tentang urusan masuk
sorga, kita merasa yakin bahwa cara yang harus ditempuh adalah dengan menuruti
segala perintah Allah. Lalu, apa masalahnya?
Masalahnya adalah, perintah yang mana? Sampai sejauh mana kita harus
menurutinya? Dan darimana kita tahu bahwa kita sudah berhasil menurutinya atau belum?
Lalu jika kita kadang berhasil dan kadang gagal, apa konsekuensinya?
Banyak orang tanpa sadar telah terlalu
memandang enteng syarat dari Yesus ini. Entah mengapa muncul perasaan bahwa
menuruti segala perintah Allah tidak jauh lebih sulit daripada menyelesaikan
soal-soal ujian seperti waktu di sekolah kita dulu. Sehingga secara gegabah timbul
suatu keyakinan bahwa asalkan kita tidak pernah melakukan kejahatan yang besar
dan nyata di dalam masyarakat, maka pastilah kita akan diterima di sorga.
Sayangnya, anggapan kita tentang hal
tersebut ternyata sama sekali tidak sesuai dengan Alkitab. Karena terburu-buru
dan cenderung melihat kalimat Yesus tersebut tanpa memperhatikan konteksnya,
maka dengan mudah kita akan keliru dalam memahami alasan dan motivasi Yesus di
balik kata-kata-Nya pada pemuda itu.
Pemuda itu juga keliru. Dari sejak
semula bertemu Yesus, dia sudah punya konsep yang keliru tentang bagaimana cara
untuk memperoleh hidup yang kekal di sorga. Sebagai seorang yang punya banyak
harta, pemuda itu sudah terbiasa dengan konsep bahwa untuk memiliki sesuatu, ia
harus melakukan hal-hal yang perlu agar dapat memiliki apa yang diinginkannya.
Pemuda ini menyangka bahwa ia pun harus melakukan sesuatu perbuatan kebaikan
agar dirinya dapat diterima oleh Allah di sorga kelak.
Dari pertanyaan pemuda ini, “perbuatan baik apakah yang kiranya dapat
aku lakukan, agar aku sekiranya dapat terus memiliki hidup kekal?” tercermin
suatu kenyataan, yaitu bahwa dia sendiri belum yakin apakah dirinya akan
memiliki hidup yang kekal atau tidak. Dan bukan saja tidak yakin, tetapi ia
bahkan merasa bahwa segala hal yang ia lakukan sejak masa mudanya, masih belum
cukup untuk membawa dia kepada keselamatan. Something is still missing. Jiwanya terlihat masih
terus mencari-cari cara serta mencari-cari jenis perbuatan lain yang sekiranya
dapat menyelamatkan nyawanya jika kelak berhadapan dengan Allah yang Mahasuci.
Itu sebabnya ia bertanya lagi pada Yesus: “Perintah yang mana?”
Jadi, di satu sisi si pemuda sudah
merasa bahwa ia telah melakukan segala perintah Allah, tetapi di sisi lain ia
tetap merasa bahwa jiwanya belum memiliki keselamatan.
Jawaban Yesus kemudian adalah "Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan
saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu
dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 19:18,19). Apakah Anda ingat, dimana kita dapat menemukan kalimat-kalimat
perintah semacam itu? Tentu saja, dalam 10 perintah Allah (Kel 20:2-17)
Jika kita
perhatikan, 10 perintah Allah terbagi menjadi dua bagian besar.
Bagian pertama,
terdiri dari:
1. Jangan ada allah lain di hadapan-Ku
2. Jangan membuat patung dan jangan sujud menyembah padanya
3. Jangan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan
4. Ingat dan kuduskan hari Sabat.
Sedangkan bagian
kedua, terdiri dari:
5. Hormati ayah dan ibumu
6. Jangan membunuh
7. Jangan berzinah
8. Jangan mencuri
9. Jangan mengucapkan saksi dusta
10. Jangan mengingini milik sesamamu.
Bagian pertama,
yaitu perintah ke 1 sampai 4, memberi penekanan pada kasih terhadap Allah,
sementara bagian kedua, yaitu perintah ke 5 sampai 10 menekankan pada kasih
terhadap sesama.
Jika
diperhatikan, perintah-perintah Allah yang Yesus sebutkan pada pemuda itu,
hanya mencakup bagian kedua saja, yaitu yang menekankan pada kasih terhadap
sesama. Yesus belum membahas bagian pertama, yaitu kasih terhadap Allah. Dan
bagaimanakah tanggapan pemuda ini terhadap perintah-perintah yang berkenaan
dengan kasih kepada sesama manusia itu?
Dengan penuh
keyakinan, ia berkata: "Guru, semuanya itu telah kuturuti sejak masa mudaku, apa lagi yang masih
kurang?"
Sampai di sini,
kita kembali melihat suatu kekeliruan fatal dari pemuda ini, yaitu dia terlalu memandang
enteng 10 perintah Allah dan terlalu memandang tinggi dirinya sendiri.
Dia merasa mampu memenuhi standar yang Allah tetapkan bagi manusia untuk
memperoleh keselamatan. Padahal sebagai manusia yang berdosa, jangankan kita
mampu mencapai secara sempurna standar itu, untuk disebut baik pun, menurut
Yesus kita ini tidak layak.
Banyak orang di dunia
ini yang sama seperti pemuda kaya tersebut, yaitu sudah merasa cukup suci,
cukup mampu, cukup rohani, cukup bijaksana dan perasaan serba kecukupan lainnya
yang pada gilirannya membuat kita merasa bahwa dengan segala kecukupan ini kita
bisa mencapai hadirat Allah dengan kekuatan serta kesucian kita sendiri. Di
mata Yesus, anggapan semacam ini adalah kekeliruan fatal...!
Tidak ada satu orangpun yang dapat memenuhi
standar yang Allah tetapkan. Tidak ada satu orangpun yang dapat melaksanakan
dengan sempurna 10 perintah yang Allah telah berikan.
Di dalam sejarah
umat manusia, sejak dari Adam hingga bayi terakhir yang lahir pada detik Anda
membaca tulisan ini, hanya ada satu manusia yang mampu memenuhi standar dalam
10 perintah Allah itu, namanya adalah Yesus, Dia orang Yahudi dan mempunyai gelar
Kristus. Tidak ada lagi yang lain.
Pemuda kaya itu
tidak menyadari bahwa 10 perintah Allah adalah sesuatu yang memiliki tuntutan
sangat tinggi. Tidak semudah seperti yang ia bayangkan. Pemuda kaya itu juga
tidak menyadari bahwa dirinya adalah manusia yang telah jatuh ke dalam dosa
sehingga tidak mungkin mampu memenuhi tuntutan yang ada dalam 10 perintah
Allah.
Ketika Yesus
meminta dia melakukan perintah ke 5 sampai ke 10 dari Taurat, pemuda itu mengatakan
bahwa ia telah melakukan hal tersebut sejak ia masih muda remaja. Seolah-olah
ia ingin mengatakan bahwa dirinya sanggup dan mampu mengasihi sesama manusia secara
sempurna.
Demi menyadarkan
pemuda kaya itu dari kekeliruannya, Yesus meminta dia untuk melakukan sesuatu
yang di luar dugaan. Yesus meminta pemuda itu menjual seluruh hartanya dan
memberikan uang hasil penjualan itu kepada orang miskin. Yesus meminta pemuda
sombong rohani ini untuk membuktikan kemampuannya dalam mengasihi sesama manusia
sebagaimana yang telah ia gembar-gemborkan
sebelumnya.
Dalam bahasa
sehari-hari, seolah Yesus ingin berkata: “Oke,
jika kamu pikir bahwa mengasihi sesama manusia adalah hal yang mudah, coba
lakukan ini; jual semua hartamu, lalu berikan hasilnya pada sesama yang engkau
kasihi itu. Tidak usahlah sampai mengorbankan nyawamu bagi orang lain, cukup
korbankan seluruh hartamu saja. Mau?”
Hasil akhirnya,
kita sama-sama sudah tahu, pemuda itu menolak untuk menuruti anjuran Yesus dan
memilih untuk pergi. Permintaan Yesus yang radikal itu akhirnya mau tidak mau
membongkar isi hati si pemuda yang sebenarnya. Jika sebelumnya ia menganggap
dirinya sudah mampu melaksanakan perintah mengasihi sesama, kini ia disadarkan
bahwa dirinya sama sekali belum mampu mengasihi sesama sesuai dengan standar
yang Allah tetapkan. Jika tadinya kita pikir orang semacam ini adalah orang
yang God-centered (berpusat pada
Allah), sekarang kita tahu bahwa dia ternyata adalah seorang yang self-centered (berpusat pada diri
sendiri).
Yesus meminta
pemuda kaya itu mengikut Dia dengan maksud agar pemuda itu mengerti bahwa memiliki hidup yang
kekal bukanlah perkara melakukan suatu perbuatan baik, melainkan dengan
mengikut Yesus dan menjadikan Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat. Sebab hanya
dengan mengikut Yesus-lah seseorang dapat memperoleh anugerah hidup yang kekal
itu.
Jika boleh saya summary-kan kembali, kritik Yesus kepada
pemuda kaya itu adalah:
-
Pertama, karena ia
mengira bahwa manusia itu baik, padahal hanya Allah saja yang memiliki kebaikan
absolut. Di hadapan Tuhan, tidak ada manusia yang baik.
-
Kedua, karena ia mengira bahwa keselamatan
atau kehidupan kekal di sorga adalah sesuatu yang dapat diperoleh melalui
perbuatan baik. Padahal hanya anugerah kebaikan Allah melalui penebusan Yesus
Kristus sajalah hal itu dapat kita terima.
-
Ketiga, karena ia mengira bahwa menuruti
perintah Tuhan adalah hal yang mudah dilakukan. Padahal tanpa penebusan dari Yesus
dan pertolongan dari Roh Kudus, kita tidak akan mungkin mampu mencapai standar
yang Allah tetapkan.
-
Keempat, karena ia lebih memilih hartanya,
agamanya, comfort zone-nya, ketimbang
Pribadi Yesus Kristus. Padahal justru Pribadi Yesus itulah satu-satunya yang
mampu menyelamatkan, bukan agama, bukan perbuatan, bukan apapun.
Setelah pemuda itu pergi, Yesus
mengemukakan sebuah perbandingan yang sangat terkenal yaitu jauh lebih mudah
bagi seekor unta untuk masuk melalui lubang jarum daripada seorang yang kaya masuk
ke dalam kerajaan sorga. Tidak sedikit orang yang menafsir bahwa lubang jarum
dalam ungkapan ini adalah sebuah pintu kecil di gerbang Israel yang
mengharuskan unta melepaskan beban dan merayap untuk dapat masuk. Namun
tafsiran semacam ini tidaklah tepat serta tidak memiliki dukungan historis dan
arkeologis yang memadai. Arti dari ungkapan ini sebenarnya sangat sederhana,
yaitu bahwa mustahil
bagi manusia untuk masuk ke dalam kerajaan sorga dengan kemampuannya sendiri.
Sama mustahilnya jika ada seekor unta yang ingin melewati sebuah lubang jarum.
Meskipun demikian, apa yang mustahil bagi manusia, tidak bagi Allah.[4]
Orang kaya yang dimaksudkan oleh Yesus
dalam ungkapan tersebut tidaklah harus ditafsirkan sebagai orang yang memiliki
banyak harta. Orang yang kaya dalam ungkapan ini adalah orang yang merasa cukup
mampu untuk masuk ke sorga dengan usaha dan kebaikan dirinya sendiri. Seorang
yang miskin harta pun, jika merasa bahwa dirinya mampu masuk ke dalam sorga
melalui kesalehan diri serta perbuatannya, dapat masuk dalam kategori orang
yang kaya di dalam ungkapan unta dan lubang jarum ini.
Kiranya sampai di sini kita sudah memiliki
cukup banyak bahan untuk direnungkan, sebelum kita beranjak kepada step berikutnya, yaitu impilikasi dari
ajaran Yesus ini serta aplikasinya. Saya akan membahas hal itu di dalam tulisan
berikutnya. Tuhan memberkati.
[1]
Alkitab Yunani yang menggunakan Byzantine
text berasal dari manuskrip yang jumlahnya paling besar yang ditemukan dari
abad-abad awal kekristenan. Jenis text
ini dipakai oleh Greek Ortodox Church
dan juga oleh Alkitab bahasa Inggris King
James Version. Munculnya perbedaan antara BYZ dan BGT (dan juga versi2
lainnya) disebabkan karena manuskrip sumbernya pun berbeda. Meskipun begitu,
perbedaan tersebut tidak terlalu menggangu ajaran-ajaran mendasar di dalam
Alkitab.
[2] Saya
menterjemahkan “kiranya dapat aku lakukan” karena bahasa aslinya yaitu “poieso,” disajikan dalam bentuk kata
kerja, subjunctive, aorist, aktif.
Sebagaimana kita tahu, subjunctive
adalah mood yang menunjukkan
keragu-raguan.
[3]
“sekiranya dapat terus memiliki” dalam bahasa aslinya adalah “echo” yang merupakan kata kerja, subjunctive, present, aktif. Kalimat ini juga memiliki mood keragu-raguan.
[4]
Saya membuat tulisan secara tersendiri mengenai tema ini dengan judul “Ketika unta masuk melalui lubang jarum.”